Friday, 29 January 2010 13:45

Sebuah seminar tentang Hamka digelar di Malaysia. Ia lebih dikenal di Malaysia, 
Brunei, Singapura, dan dunia Islam ketimbang  di tanahnya sendiri,  Indonesia 

 

Oleh: Afriadi Sanusi*

 

“Hilang belum berganti”,  itulah kalimat yang dapat kita ungkapkan terhadap 
pribadi Hamka. Kalimat itu diilhami dari sebuah lagu untuk mengenang kepergian 
P. Ramlee, seorang artis dan aktor Malaysia pada tahun 1950-an.  

 

Sebuah seminar tentang Hamka baru-baru ini, tepatnya 25 Januari 2010 malam, 
diadakan di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), yang dibuka oleh YB Dato` 
Seri Utama Dr Rais Yatim, seorang Menteri di Malaysia dan dihadiri oleh 
berbagai ahli akademik dan tokoh lainnya.

 

Hamka adalah akronim namanya Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Lahir 
di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 dan meninggal di 
Jakarta 24 Juli 1981. Ia seorang ulama, politikus, dan juga sastrawan masyhur 
Indonesia.

 

Tidak ada pendewaan, pengagungan terhadap Hamka dalam seminar itu. Semua 
berjalan realistis dan apa adanya. Rusdhi Hamka, Prof. Dr Yunahar Ilyas, Dr 
Mochtar Naim umpamanya, lebih banyak menyingkap sisi hidup beliau sebagai 
manusia biasa dan normal. “Hamka kecil seorang yang “nakal”, malas sekolah, dan 
sebagainya,” katanya.

 

Namun menurut Dr Dato` Siddik Fadhil dari UKM, “tidak ada gunanya kita 
mengecil-ngecilkan orang besar dan membesar-besarkan orang kecil sebab itu 
hanya akan sia-sia saja, dan sememangnya Hamka adalah seorang tokoh besar yang 
menjadi kebanggaan orang Melayu.”

 

Kebesaran Hamka tidak membuat dia sombong dan ingin didewakan. Dia tidak suka 
orang mencium tangannya, meminum air sisanya, atau menjadikan air cuci kakinya 
sebagai ajimat, seperti yang sering berlaku pada sebagian orang, akibat belum 
habisnya pengaruh Siwa-Buddha di alam Nusantara ini. Bahkan dalam beberapa 
tulisannya Hamka sering mengatakan bahwa dia bukanlah manusia yang sempurna, 
tambah Mochtar Naim.

 

Hamka adalah simbol persatuan dunia Melayu yang identik dengan Islam, khususnya 
Indonesia, Singapura, Brunei, Malaysia. Baginya ukhuwah Islamiyah dan tali 
persaudaraan di atas segala-galanya. Kalau beliau masih hidup, pasti dia sangat 
marah di saat dua negara yang notabenenya serumpun, memiliki hubungan 
persaudaraan yang dekat, dan seagama ini, mau berperang dan berbunuh-bunuhan 
hanya karena masalah tari pendet dan perkara remeh temeh lainnya.

 

Hamka dianggap sebagai seorang tokoh pejuang Bahasa Melayu yang menjadikannya 
sebagai bahasa pengantar dan bahasa ilmu, seperti yang telah dilakukan oleh 
ilmuwan silam, seperti Syeikh Nuruddin Ar-Raniri, Hamzah Fansuri, Syamsuddin 
As-Sumatrani.

 

Bahasa Melayu dalam karya Hamka sangat tegas dan jelas, sehingga semua orang 
Melayu dapat memahami tulisannya. Ini tentu saja berlainan dengan ilmuwan saat 
ini yang menulis dalam bahasa Melayu Indonesia atau Malaysia yang hanya bisa 
dipahami oleh orang Malaysia saja atau oleh orang Indonesia saja.

 

Hamka lebih dikenal di Malaysia, Brunei, Singapura, dan dunia Islam lainnya, 
dibanding di Indonesia sendiri. Beliau adalah seorang yang kritis terhadap 
penguasa yang gagal dan zalim. Karya-karya beliau masih menjadi rujukan utama 
hingga saat ini.

 

Di masjid, surau, rumah, institusi pendidikan lainnya di Malaysia, kita akan 
dengan mudah menemukan buku beliau seperti “Tafsir al-Azhar”, “Tasauf Modern” 
atau novel “Dibawah Lindungan Ka’bah”, dan sebagainya. Bahkan seorang profesor 
senior di Universiti Malaya pernah mengatakan, “Walaupun sudah berpuluh kali 
membaca buku “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk”, namun saya masih ingin terus 
membaca, dan membacanya lagi.

 

Seorang Profesor lain di Universitas Malaya (UM) juga pernah mengatakan, “Saya 
banyak membaca buku karya Hamka, harapan saya suatu hari nanti bisa menulis 
sebuah novel sehebat Hamka, tetapi sampai saat ini saya belum mampu 
melakukannya.”

 

Sebuah museum Hamka yang memuat berbagai karya dan peninggalan Hamka dapat kita 
temui di Maninjau Sumatera Barat saat ini. Museum itu terletak di bibir Danau 
Maninjau yang nyaman, tenang, asri, dan damai, dengan pemandangan dan suasana 
perkampungan yang menyejukkan jiwa. Walaupun museum itu sederhana, namun saya 
sangat kagum saat berkunjung pada tahun 2008 lalu.

 

Namun perlu diingat bahwa di museum, kuburan Hamka, dan ayahnya Dr Abdul Karim 
Amrullah, tidak ada manusia yang datang berziarah berdoa meminta keberkatan, 
murah rezeki, dijauhkan dari penyakit, dapat jodoh, apalagi meminta nomor di 
kuburannya. Barang-barang peninggalannya juga tidak dijadikan ajimat yang 
diperebutkan dan dikeramatkan. Beliau hanya manusia biasa yang diberi kelebihan 
oleh Allah, itulah yang tergambar di dalam benak kita di waktu berkunjung ke 
sana.

 

Sekitar 300 buku telah beliau tulis dan “Tafsir al-Azhar” adalah karya agung 
beliau. Tulisannya selaju lidahnya, keras dan tegas. Kalau hitam, tidak dia 
katakan coklat dan sebagainya. Semua keberhasilan itu beliau hasilkan di balik 
berbagai tekanan dan keterbatasan keuangan lainnya.

 

Walaupun saat ini terdapat kemajuan bidang ilmu pengetahuan dengan berbagai 
kemudahan dari segi pendanaan dari Dikti, FRGS, dan berbagai program pendanaan 
penyelidikan lainnya, namun seorang pengkaji belum tentu bisa dikategorikan 
sebagai ahli dalam bidang yang dia kaji, walaupun anggaran pendidikan itu 
bermilyar-milyar rupiah jumlahnya.

 

Di zaman keemasannya dahulu, Islam tidak mengenal sistem dikotomi ilmu 
pengetahuan. Sejarah mencatatkan Ibn Rusyd, Ibn Sina, al-Farabi, Ibn Khaldun, 
al-Biruni, Muhammad ibn Abi Bakr al-Isfahani, Ibn Nafis, Imam Shuyuthi, dan 
sebagainya. Namun, mereka menguasai berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan. 
Hamka adalah termasuk seorang ulama besar Indonesia yang menguasai multi 
disiplin ilmu pengetahuan, seperti bidang falsafah, sastra, sejarah, sosiologi, 
dan politik Islam serta Barat.

 

Inilah yang membuat kita berdecak kagum dengan Hamka serta mengharapkan 
lahirnya Hamka-Hamka baru yang mampu mewarnai dan mengubah zamannya dan ratusan 
tahun setelah kepergiannya. Semoga kehilangan Hamka segera mendapatkan ganti 
sebagai penerus cita-cita dan perjuangan beliau. Amin. [Kuala Lumpur, 25 
Januari  2010/www.hidayatullah.com]

 

Afriadi Sanusi. Penulis adalah mahasiswa S3 bidang sains politik Islam, 
pengkaji produk halal Asia Tenggara di Universiti Malaya dan juga pengurus 
Muhammadiyah Malaysia

 

http://hidayatullah.com/opini/opini/10554-2010-01-30-04-37-25.html

-- 
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali serta ingin merubah konfigurasi/settingan 
keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe

Kirim email ke