Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Tan Malaka Bangkit dari Kuburnya
Rai Rahman Indra*)

Tidak masalah ia mau dikubur mana, atau dimana kuburnya, yang utama saat ini 
adalah bagaimana kita membangkitkan lagi sosoknya, pemikirannnya yang berupaya 
mengikis habis mental feodalisme kita – rocky gerung

Untuk kali pertama, dua film yang mengangkat figure pahlawan nasional Tan 
Malaka yang misterius dikupas habis di sebuah forum diskusi. Di kampus 
Universitas Indonesia pula perhelatan maha penting itu diadakan. Tak pelak, 
diskusi ini menjadi penting karena beberapa hal. Salah satunya, banyak 
informasi yang terkumpul soal sosok tokoh perjuangan ini yang justru selama ini 
seakan terhapus oleh sejarah.

Dan kutipan Rocky Gerung, dosen filsafat dari UI di atas menjadi salah satu 
kutipan yang menarik untuk dibahas lebih lanjut. Sebagai awal untuk terus 
meneruskan diskusi serupa atau mengengok lagi ke belakang, siapa Tan Malaka, 
apa yang sudah diperjuangkannya, kenapa ia diburu, dan kenapa pula ia menulis. 
Dan kenapa pula namanya hilang dari sejarah.

Dalam waktu dekat yakni 12 hingga 14 April mendatang, terungkap kalau diskusi 
serupa akan digelar di Padang, tepatnya di UNP (12), Unand (13) dan IAIN (14). 
This time, Tan Malaka goes to campus.

***

Ruang 4101 Fakultas Ilmu Budaya UI itu tak begitu besar, seperti ruang kelas 
untuk kuliah. Jelang pukul dua siang, Kamis (1/4), ruang itu sudah mulai 
terisi. Seperti dijadwalkan akan ada pemutaran film yang disertai diskusi 
mengenai sosok Tan Malaka di sana. Masing-masing film itu berjudul Tan Malaka 
yang dibuat oleh mahasiswa IKJ, Erik Wirawan dan Selopanggung yang dibesut 
lulusan UNP yang sekarang menyelesaikan studi S2-nya di UI, Devy Kurnia 
Alamsyah.

Film Tan Malaka bercerita tentang sepenggal kisah hidup dari sosok pahlawan 
asal Sumatra Barat itu menjelang akhir hidupnya di Kediri. Sang sutradara 
memulai film ini dengan narasi dan gambar foto Tan Malaka diikuti teks serta 
sebuah peta perjalanan Tan semasa hidupnya sebelum berada kembali di tanah air. 
Film ini diperkirakan mengambil setting tahun 1942, jelang akhir masa hidup Tan.

Adegan dibuka dengan penggambaran sosok Tan yang sudah tampak tak muda lagi, 
tapi masih bersemangat. Suaranya lantang. Ia memimpin pasukan. Berdialog dengan 
seorang bapak tua renta yang sedang mengantri makanan. Mengajar anak-anak tak 
berbaju di bawah pohon yang kemudian ditangkap oleh kompeni. Bertemu dengan 
pihak Belanda (bicara dengan bahasa Belanda juga). Sebelum diakhiri dengan 
pemburuan Tan hingga di sebuah daerah di Kediri. Ia ditangkap dan dibawa pergi.

Jika film pertama sebuah kisah fiksi penggambaran Tan (dengan aktor yang sangat 
mirip Tan muda), film Selopanggung merupakan film documenter yang menggambarkan 
saat penggalian makam Tan Malaka, di Selopanggung, Kediri, Jawa Timur. Disertai 
selang seling pendapat sejumlah pakar, dari mulai Harry Poeze (peneliti Tan 
Malaka), sejarahwan Asvi Warman Adam, Zulhasril Nasir, Zulfikan Tan keponakan 
Tan Malaka, serta Kariyanto, penggali makam.

Harry Poeze dalam wawancaranya menuturkan amat yakin kalau Tan Malaka ditembak 
dan dimakamkan di sebuah desa bernama Selopanggung. Hasil penelitiannya yang 
sudah hampir 30 tahun tentang Tan mengarah ke sana.

Lalu, film ini menuturkan secara runut menyoal pentingnya penggalian makam Tan 
Malaka yang berlangsung pada 12 September 2009. Penggalian tersebut diikuti tes 
forensic yang dilakukan dr.Djaja Surya Atmaja dan Evi Untoro. Sisa-sisa tulang 
belulang yang ditemukan di sana ditengarai amat mirip sosok Tan, namun masih 
perlu pembuktian lebih lanjut dengan tes DNA.

Asvi Warman Adam menyebut tiga opsi jika itu terbukti makam Tan Malaka. Pertama 
tetap berada di sana dengan memugarnya kembali, dibawa ke kampung asal Tan di 
Pandan Gadang, Sulliki, Payakumbuh Sumatra Barat atau dimakamkan di TamanMakam 
Pahlawan Nasional Kalibata Jakarta.

“Saya setuju, makam Tan Malaka di tempat tersendiri agar orang bisa datang 
setiap saat untuk melihat kuburannya daripada ditaro di Taman Makam Pahlawan 
Kalibata, saya setuju kalau dikubur di Depok atau di UI,” ungkap Zulhasril 
Nasril yang sontak membuat geger penonton dan mengundang gelak tawa.

Keputusan pasti bahwa di makam yang digali itu benar makam Tan Malaka, memang 
belum terbukti.

Apik sedang memberikan paparan presentasinya


Di akhir film, Devy mengusulkan gagasannya agar ada makam khusus untuk tokoh 
besar yang ia sebut grand-homme, seperti di Prancis yang ditempatkan di 
Pantheon.

Gagasan itu lebih ia perjelas dengan presentasi (yang lebih menarik perhatian) 
berupa slide-slide. Banyak informasi yang lain yang belum terungkap di film, ia 
buka satu persatu lewat gambar.

Diantaranya soal nama jalan yang menggunakan nama Tan Malaka. Di Padang, nama 
Tan Malaka menjadi nama jalan yang tak begitu besar (dibanding nama jalan A. 
Yani). Jalan itu berada persis di samping RRI, dimana terdapat Kantor Dinas 
Pendidikan kota Padang, atau tak begitu jauh dari SMU N 1 Padang, sekitar 500 
meter. Sementara di Jakarta, nama Tan Malaka justru menjadi nama sebuah gang 
(lebih kecil). Hanya muat satu atau dua orang pejalan kaki, tunjuk Apik ke 
gambar jalan tersebut.


Berikutnya, ada kutipan Pidato Tan Malaka berjudul Komunisme dan Pan-Islamisme 
saat ia berada di Kongres Komunis Internasional di Rusia, 12 November 1922 (Tan 
berusia sekitar 24 atau 25 tahun saat itu). Pidatonya sangat kritis dan 
mendapat pujian.

Persoalan agama Tan memang menjadi sebuah pertanyaan. Karena, menurut Apik, 
dari sebuah buku di Departemen Sosial, ia pernah melihat kalau di bagian 
biodata Tan, isian untuk kolom agama hanya ada strip (-) atau tidak ada. 
Mendengar ini, salah seorang bapak yang ada di samping saya tersenyum. Sangat 
khas.

Lalu, ada perjalanan novel yang rencana ditulis Tan tapi tak jadi hingga ke 
sosok Matumona yang kemudian menuliskan Pacar Merah Indonesia. Sambil 
menunjukkan gambar Matumona, Apik lalu meminta putri dari sang penulis yang 
wafat tahun 1986 itu untuk berdiri. Ya, Rita Matumona adalah kejutan berikutnya 
yang dihadirkan Apik.

Rita kemudian juga diberi kesempatan menyampaikan pendapatnya usai pemaparan 
dari empat pemateri yang hadir. Empat pemateri itu; Erik Wirawan, Dey Kurnia 
Alamsyah, Andi Achdian (sejarawan), dan Rocky Gerung (dosen filsafat).

Rita Matumona di hadapan pembicara dan audience


“Ini kali pertama saya hadir di diskusi soal Tan Malaka, dan mengulas karya 
bapak saya Matumona, yang membuat saya prihatin dan gusar, kenapa setiap kali 
ada pembahasan soal Tan selalu ada nama Poeze, kemana sejarawan dan para 
sastwaran kita, kenapa tidak ada,” ungkapnya dengan emosional. Sangat emosional 
karena Rita menyampaikannya dengan suara naik turun dan emosi yang sangat 
kentara.

Bagi Erik Wirawan, film berjudul Tan Malaka merupakan tugas akhirnya bersama 
rekan-rekan di jurusan film di IKJ. Awalnya ia ingin mencari tahu tentang sosok 
Tan Malaka. Berbekal pertanyaan dan rasa ingin tahu, ia sempat berbalas mail 
dengan Poeze. Mencari tahu gambaran dan kisah hidupnya. Ke depan ia ingin 
membuat versi layar lebar.

Apik, atau Devy K Alamsyah yang hari itu dengan pe-de mengenakan kaos bergambar 
wajah dan tertulis Tan Malaka membuat film documenter Selopanggung juga atas 
keprihatinannya akan ketidaktahuan generasi muda, khususnya anak muda minang 
sendiri akan sosok Tan Malaka. Dibalik kekagumannya, ada juga berbagai ironi 
yang membuat Apik makin tertarik. Niatnya juga membuat versi layer lebar, 
dengan lanskap lebih besar; grand-homme.


***

Entah sengaja memperluas wacana bahasan atau moderator tidak begitu menguasai 
forum, pembahasan diskusi menjadi lebar. Setiap orang memberi pendapat dan 
pertanyaan yang beragam. Dari mulai film yang disebut dangkal, hingga persoalan 
revolusi. Namun, tujuan utama mengenalkan sosok Tan serta pentingnya menggali 
lebih jauh karya-karya Tan bisa dibilang sudah tercapai.

Setidaknya ada beberapa karya Tan yang tersebutkan dan betapa perjuangannya 
untuk tanah air sudah begitu sangat jelas. Selain pidato yang menggugah 
berjudul Komunisme dan Pan-Islamisme, Tan menuliskan Madilog dan Menuju 
Republik Indonesia (Naar de 'Republiek Indonesia') jauh sebelum proklamator 
Hatta dan Soekarno menggagasnya.

“Dahsyatnya Madilog ditulis berdasarkan ingatan, disela pelarian, sebuah bukti 
bahwa kemampuan intelektualnya sangat luar biasa,” ungkap Rocky Gerung sambil 
mengetuk-ngetukkan kaki saat memberi paparan.

Pria berkacamata yang sudah banyak menulis artikel dan favorit mahasiswa 
filsafat itu banyak memberi wacana dan paparan yang menarik. Yang tidak hanya 
informative tapi juga mengundang gelak tawa.

Andai menjadi seorang sutradara, katanya, ia akan mengambil kisah Tan saat 
berada di Bangkok atau masa-masa ia berada dalam pelarian. Diburu dan dikejar. 
Tan pernah menyembunyikan buku-bukunya di depan rumah dan sewaktu kembali tidak 
menemukannya lagi. Lalu, satu kali, ia juga pernah menenggelamkan buku-bukunya 
itu di laut.

Dua tahun lalu, Rocky mengaku pernah ke Hanoi, Vietnam. Di museum Ho Chi Minh, 
ia meliaht sebuah foto tokoh politik Vietnam, yang disebut sebagai teman 
diskusinya Tan Malaka semasa hidup. Siapa tahu, TM di kubur di Vietnam juga, 
selorohnya.

Maka, urusan kuburan dimana dan dimana kuburnya tidak menjadi hal yang utama 
bagi dosen filsafat itu.

“Tapi siapa yang ingin membangkitkannya, yang peduli dengan positif dan 
negatifnya, dan yang penting bisa temukan DNA politiknya,” tantang Rocky.

Menurutnya, dilihat dari sisi filsafat, pikiran tidak memunyai usia. Karena itu 
tidak memerlukan kuburan. Mungkin agak berbeda bila dilihat dari sisi lain, 
sejarah misalnya. Namun filsafat dan sejarah tidak bisa dipisahkan. Karena 
filsafat tanpa sejarah adalah tragedy, dan sejarah tanpa filsafat adalah komedi.

Rocky lalu mengungkapkan ketertarikannya dengan pidato Tan saat berada di 
Rusia. Yang menyebut bahwa “saat berada di hadapan Tuhan saya Muslim, saat 
berada di hadapan manusia saya bukan muslim”.Kutipan ini menjadi menarik karena 
masih relevan dengan keadaan sekarang. Dimana Tuhan adalah barang yang 
dimain-mainkan oleh kaum mayoritas.

Pelajaran sejarah semestinya bukan menyoal tanggal, tapi nilai-nilai. Kita 
tidak peduli matahari mau terbit dari utara atau selatan, yapi yang pasti ia 
tetap bersinar. Sejarah monumental menjadi pembahasan lebih lanjut, menjadi 
perdebatan dan diyakini memberi pelajaran lebih jauh akan pendalaman kesosialan 
manusia.

“Dan Tan Malaka adalah sebuah monument, dan juga momentum untuk yang akan 
datang,” * 
*) wartawan di koran jakarta
alumni sastra inggris universitas negeri padang

sebelumnya acara telah dilakukan di UIN Ciputat pada peringatan 61 tahun 
hilang/tewasnya Tan Malaka, dan seminggu ke depan akan digelar pula acara 
serupa di beberapa kampus di Padang.

Wassalam
---

Goresan Kecil Tentang Waktu Pagi

http://dhuhary.blogdetik.com/


      

-- 
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali serta ingin merubah konfigurasi/settingan 
keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe

To unsubscribe, reply using "remove me" as the subject.

Kirim email ke