________________________________
From: Dr. Saafroedin Bahar <saaf10...@yahoo.com>
To: Rantau Net <rantaunet@googlegroups.com>
Sent: Fri, May 21, 2010 2:07:48 AM
Subject: Re: [...@ntau-net] OOT. Selamat Jalan SMI
Bundo, terima atas posting sambutan Gunawan Mohammad atas keberangkatan Sri
Mulyani Indrawati dari Indonesia. Bukan saja sangat mengharukan, tetapi juga
sarat dgn kearifan dan kenegarawanan.
Kini Sri Mulyani Indrawati sudah punya citra sebagai pemimpin yang kuat dan
berani, berhadapan dgn SBY yang malah mengorbankan menterinya ini kpd tekanan
para 'preman politik' di Senayan.
Jika diizinkan ada calon presiden - yg mustahil - saya yakin SMI akan terpilih
jadi presiden pd pilpres 2014. Hanya SMI masih harus membuktikan komitmen
ideologisnya yg lebih berfihak kpd Rakyat, bukan kpd pasar.
Wassalam,
SB, Lk, 73 th, Jkt. Powered by Telkomsel BlackBerry®
________________________________
From: Nismah Rumzy <hayatunnis...@yahoo.com>
Sender: rantaunet@googlegroups.com
Date: Thu, 20 May 2010 10:06:56 -0700 (PDT)
To: <rantaunet@googlegroups.com>; Computer Tempo
Doeloe<computertempodoe...@yahoogroups.com>; PENSIUNAN
CALTEX<pensiunan-cal...@yahoogroups.com>
ReplyTo: rantaunet@googlegroups.com
Subject: [...@ntau-net] OOT. Selamat Jalan SMI
GM mengucapkan selamat jalan.
MENCOBA BERPISAH DARI SRI MULYANI
Goenawan Mohamad, pada acara perpisahan dengan Sri Mulyani, Jakarta, 19 Mei
2010.
Malam ini kita mencoba berpisah dari Sri Mulyani.
Saya katakan “mencoba”. Sebab sering kali, dan terutama malam ini, kita
menyadari: orang bisa hanya sebentar mengucapkan “hallo”, tapi tak pernah bisa
cuma sebentar mengucapkan “selamat berpisah”.
Mungkin karena kita tak tahu apa sebenarnya arti “berpisah”.
Terutama dalam hal Sri Mulyani. Kita mengerti, ia akan pergi ke Washington DC
untuk sebuah jabatan baru di Bank Dunia; tapi itu tak berarti ia akan berpisah
dari kita di tanah air. Tentu saja ia akan sibuk di sana, sebagaimana kita akan
sibuk di sini. Tapi kita bisa yakin ia akan tak putus-putusnya memikirkan kita
– bukan “kita” sebagai teman-temannya, tapi “kita” sebagai bagian dari
“Indonesia.” Dan begitu pula sebaliknya: kita tak akan bisa melupakan dia.
Lagipula, “berpisah” mengandung kesedihan, sementara peristiwa ini tak
seluruhnya sebuah kesedihan. Saya melihat Sri Mulyani menerima jabatannya yang
baru ini dengan gembira. Mungkin lega. Satu hal yang bisa dimaklumi.
Sebab sejak Oktober 2009, ia sudah jadi sasaran tembak. Berbulan-bulan ia jadi
target dari premanisme politik . Yang saya maksud dengan “premanisme” di sini
tak jauh berbeda dengan kebrutalan yang kita saksikan di jalan-jalan – sebuah
metode yang dipakai oleh sebuah kekuatan untuk menguasai satu posisi.
Metode premanisme itu adalah metode tiga jurus, dalam tiga fase.
Mula-mula gangguan terus menerus, yang makin lama makin meningkat. Mula-mula
ancaman yang membayang dari gangguan itu. Fase berikutnya adalah sebuah tawaran
untuk “berdamai” kepada pihak yang diganggu. Dan akhirnya, pada fase yang
ketiga, tatkala pihak yang diganggu tak tahan lagi, akan ada imbalan yang
dibayarkan agar gangguan itu berhenti. Juga akan ada janji bahwa pihak yang
diganggu akan selanjutnya diproteksi.
Sudah tentu, antara sang penganggu dan sang protektor (yang kadang-kadang
bersikap santun) ada kerja sama. Bahkan bukan mustahil sang protektor itulah
yang menggerakkan para penggangu. Makin sengit gangguannya, makin besar yang
dipertaruhkan – dan akan makin besar pula imbalan yang diminta dan didapat.
Bila premanisme di jalanan akan menghasilkan imbalan uang atau protection
money, imbalan dalam premanisme politik adalah naiknya posisi kekuasaan.
Demikianlah yang terjadi dengan kasus Bank Century. Imbalan yang harus
diserahkan adalah mundurnya Sri Mulyani dari jabatan Menteri Keuangan. Segala
cara dipakai, segala daya dibayar. Politisi Senayan tak henti-hentinya
membentak dan menggedor-gedor. Melalui media yang dikuasai dengan baik,
kampanye anti Sri Mulyani (dan Boediono) digencarkan. Demonstrasi-demonstrasi
yang brisik dan agresif muncul. Sri Mulyani diboikot di sidang DPR, meskipun ia
oleh pimpinan DPR diundang dengan resmi sebagai Menteri Keuangan. Boediono
dikesankan akan dimakzulkan dari posisinya sebagai wakil presiden.
Akhirnya semua kita tahu: Sri Mulyani dipaksa berubah dari sebuah asset menjadi
sebuah liability bagi Pemerintahan SBY. Ia tidak bisa bertahan lagi. Ia tidak
dipertahankan lagi oleh Presiden, yang barangkali merasa bahwa pemerintahannya
akan habis enersi karena direcoki terus menerus.
Akhirnya semua kita tahu, hanya beberapa jam setelah Sri Mulyani dinyatakan
turun dari jabatannya, konstelasi politik berubah. Akhirnya semua kita tahu,
apa dan siapa yang mendapatkan kekuasaan yang lebih besar setelah itu. Dan
akirnya kita menyaksikan, pengrecokan dan kebrisikan yang berlangsung
berbulan-bulan itu dengan segera berhenti. Medan politik sepi kembali.
Stabilitas tampak terjamin. Presiden lega.
Saya kira, Sri Mulyani juga lega: kini ia terbebas dari posisi sebagai
bulan-bulanan kampanye buruk. Seperti sudah saya katakan di atas, kita semua
maklum jika ia merasa lega. Kita semua merasa ikut senang karena dua hal:
pertama, kini ia mendapatkan “masa libur” dari sebuah pekerjaan berat -- beban
yang makin lama makin terasa seperti dipanggulnya sendirian. Kedua, karena ia
meninggalkan jabatannya dengan tak meninggalkan cacat. Bahkan, seperti
diucapkannya dalam kuliah umumnya tadi malam, ia merasa menang, dan ia
berhasil. Ia merasa menang dan berhasil karena ia tetap “tak bisa didikte”
hingga meninggalkan prinsip hidupnya, hati nuraninya, dan kehormatan dirinya.
Dalam hal itu, perpisahan malam ini merupakan penglepasan yang rela dan senang
hati untuk seseorang yang kita sayangi.
Tapi saya akan berbohong jika mengatakan, perpisahan ini bebas dari rasa risau.
Kita risau bukan karena Sri Mulyani turun; kita risau karena merasakan bahwa
sebuah harapan telah jadi oleng, terguncang -- harapan untuk mempunyai
Indonesia yang lebih bersih. Kita risau karena kita jadi ragu, masih mungkinkah
tumbuhnya kehidupan politik yang adil dan tak curang di tanah air kita.
Mampukah kita membebaskan diri dari premanisme politik? Bisakah berkurang
kekuatan uang di parlemen, hukum dan media dalam demokrasi kita? Sanggupkah
kita membersihkan kehidupan bernegara kita dari jual-beli dukungan, jual-beli
kedudukan, jual-beli keputusan – bagian yang paling gawat dalam koreng besar
yang bernama “korupsi” itu?
Pemerintahan SBY-Boediono punya janji yang seharusnya dianggap suci – yakni
membangun sebuah pemerintahan yang bersih, melalui reformasi birokrasi, melalui
pembrantasan korupsi. Semula kita punya keyakinan besar, janji itu akan jadi
sikap yang teguh, dan sikap itu akan jadi program, dan program itu konsisten
dijalankan. Tapi kini saya tak bisa mengatakan bahwa keyakinan itu masih sekuat
dulu.
Tentu saja kita masih bisa percaya, pemerintah ini tetap ingin melanjutkan
usaha ke arah Indonesia yang bebas dari korupsi; namun persoalannya, masih
mampukah dia?
Tak perlu diulangi panjang-lebar lagi, Sri Mulyani dengan berani dan
bersungguh-sungguh memulai reformasi birokrasi di tempatnya bekerja. Selama
bertahun-tahun, kementerian keuangan – terutama di bagian pajak dan bea cukai
-- jadi tempat yang sangat korup. Dalam sejarah Indonesia, mungkin baru Sri
Mulyani-lah menteri keuangan yang dengan tangguh mencoba membersihkan aparatnya
– sebuah langkah awal dari sebuah kerja yang panjang, yang mungkin baru akan
selesai satu dua generasi lagi.
Tapi kini pemerintahan SBY-Boediono telah kehilangan menteri keuangan yang
tangguh itu.
Tentu saja Sri Mulyani bisa digantikan. Tak seorang pun seharusnya dianggap
indespensable. Pengganti Sri Mulyani tidak dengan sendirinya seorang yang
lemah.
Tetapi beban jadi bertambah berat. Untuk membuat rakyat kembali yakin bahwa
pemerintah ini masih ingin membangun sebuah republik yang bersih, Presiden SBY
harus melipat-gandakan ikhtiar. Pemerintahan ini akan kehilangan kepercayaan
rakyat jika ia tak mampu mengusahakan, dengan serius, paling sedikit lima hal:
Pertama, lahirnya sebuah KPK yang kuat, bersih, dan mandiri. Kedua,
berfungsinya Tim Anti-Mafia Pengadilan yang efektif. Ketiga, tumbuhnya
kepercayaan masyarakat kepada aparat perpajakan dan bea cukai. Keempat, mulai
bersihnya kepolisian, kejaksaan dan kehakiman. Kelima, berlakunya legislasi
yang tidak kompromistis terhadap korupsi.
Tapi mungkinkah kelima hal itu dapat terlaksana sekarang?
Kini politisi Senayan semakin merasa kuat dan semakin angkuh; mereka telah
berhasil membuat Presiden berkompromi dan menyudutkan Sri Mulyani hingga jadi
beban politik bagi Pemerintah. Pada saat yang sama kita lihat juga bagaimana
politisi Senayan -- terutama para pencari dan penadah suap -- mencoba membuat
KPK lemah dan Tim Anti-Mafia Pengadilan tak bergigi. Premanisme politik yang
menang memang tidak mudah dijinakkan.
Pada saat yang sama kita pun layak ragu, bisakah kabinet menjalankan kebijakan
yang merugikan kepentingan bisnis – ketika, Abu Rizal Bakrie, tokoh bisnis,
politik dan penguasa media itu, berada dalam posisi yang sangat kuat di dekat
kabinet dan DPR sekaligus.
Kita juga patut waswas, bahwa parang yang akan membabat korupsi akan tumpul,
jika tampak kesan, pemerintah hanya “tebang pilih” dalam kebijakan dan
perundang-undangan. Parang itu akan majal, jika terasa ada perlakukan yang
berbeda dalam tindakan anti korupsi dan manipulasi pajak.
Sesuatu yang serius akan terjadi, jika pemerintahan SBY-Boediono gagal menjawab
rasa waswas dan keraguan tadi. Bukan, bukan kekalahan Partai Demokrat di tahun
2014 nanti, tapi hilangnya sebuah momentum. Yakni momentum gerakan nasional
melawan korupsi – panggilan perjuangan terpenting dalam sejarah Indonesia
sekarang.
Sekali momentum itu hilang, susah benar untuk mendapatkannya lagi. Sekali
momentum itu hilang, kita akan hidup dengan korupsi yang tak habis-habis.
Tentu, Indonesia tak akan segera runtuh. Bahkan negeri ini akan mungkin
berjalan dengan pertumbuhan ekonomi yang lumayan, 6% atau 7%. Tapi, ketika
gereget anti korupsi melemah, ada sesuatu yang agaknya tak bisa diperbaiki lagi
-- yakni terkikisnya “modal sosial”, runtuhnya sikap saling percaya dalam
masyarakat.
Sebab yang dirampok oleh para koruptor dari masyarakat bukan cuma uang, tapi
juga kepercayaan dan harapan. Korupsi yang kita alami tiap hari akan membuat
kita selamanya curiga kepada orang lain yang berhubungan dengan kita dalam
bisnis dan politik. Korupsi yang kita alami tiap hari akan membuat kita hidup
dengan sinisme – dengan keyakinan bahwa semua orang dapat dibeli.
Sinisme ini racun. Terutama ketika sebuah republik harus bisa membangun kerja
sama buat kepentingan umum – misalnya dalam mengatasi lingkungan hidup yang
rusak. Terkikisnya “modal sosial” akan membuat sebuah negeri setengah lumpuh
dan menyerah.
Tapi baiklah. Saya tak ingin membuat acara kita berpisah dari Sri Mulyani ini
hanya diisi dengan deretan kecemasan. Kita tak mungkin membiarkan Indonesia
lumpuh dan menyerah; kita tak ingin pelan-pelan bunuh diri. Sebab itu, kita
harus sanggup menanamkan kembali harapan, kita harus mampu menangkal sinisme.
Tanpa ilusi.
Sejarah Indonesia menunjukkan, ilusi itu mungkin bukan sesuatu yang
menyesatkan. Harapan itu tak pernah padam. Kita memang sering kecewa; kita
memang tahu sejak 1945 Indonesia dibangun oleh potongan-potongan pendek
optimisme. Tapi sejak 1945 pula Indonesia selalu bangkit kembali. Bangsa ini
selalu berangkat kerja kembali, mengangkut batu berat cita-cita itu lagi,
biarpun berkali-kali tangan patah, tubuh jatuh, dan semangat guyah.
Setidaknya makin lama kita makin arif: kita memang tidak akan bisa mencapai apa
yang kita cita-citakan secara penuh. Tapi kita tahu dan merasakan bahwa
Indonesia adalah sebuah amanah – sebuah tugas takdir dan sejarah. Kita tak bisa
melepaskan diri dari komitmen kita buat Indonesia. Selama kita ada.
Perpisahan kita dari Sri Mulyani malam ini justru merupakan penegasan komitmen
itu. “Jangan berhenti mencintai Indonesia”, itulah kata-kata Sri Mulyani kepada
jajaran pejabat kementerian keuangan yang harus ditinggalkannya, agar
melanjutkan reformasi.
Pada titik ini baiklah kita ucapkan: kita akan melanjutkan reformasi itu, Ani.
Jika malam ini kita ucapkan “selamat jalan”, kita sekaligus juga mengucapkan:
“You shall return”.
--
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
1. Email besar dari 200KB;
2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi;
3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali serta ingin merubah konfigurasi/settingan
keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
--
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
1. Email besar dari 200KB;
2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi;
3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali serta ingin merubah konfigurasi/settingan
keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
--
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
1. Email besar dari 200KB;
2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi;
3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali serta ingin merubah konfigurasi/settingan
keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe