Samsidar yang belakangan ini menjadi pendiam dan lebih banyak berkurung di rumah, sedang mengunyah sirih ketika anak dan menantunya datang. Naluri keibuannya sudah mengatakan apa yang akan dikatakan anaknya. Belum terkilat sudah terkelam. Pandangannya menerawang ketika Samsu menyampaikan maksudnya. Butir-butir air mata mulai meleleh di pipinya yang mulai berkerut, tetapi segera dihapusnya dengan selendangnya. Dia tahu bahwa suatu waktu dia pasti akan berpisah dengan sibiran tulangnya yang sangat santun kepadanya itu. Tetapi tidak secepat itu. Disangka panas sampai petang, kiranya hujan ditengah hari. Belum sepenuhnya selesai bicara, Samsu bersujud dan menagis mengerung-gerung di kaki Ibunya, diikuti ratap tangis si Kiah. "Onde anak ooiiii….".hanya itu yang mampu diucapkan Samsidar yang sudah tidak kuasa lagi menahan tangisnya. Kehadiran anak perempuan di Ranah Minang akan disambut dengan gembira oleh ayah bundanya karena akan meneruskan garis keturunan dan warisan. Tetapi bagi Datuk Mangkuto Sati, si Kiah lebih dari separuh hidupnya. Si Kiah adalah warisan satu-satunya dan titisan dari si Suma almarhum isterinya yang cantik semampai, elok hati serta patuh dan santun pada suami itu. Rezeki Datuk Mangkuto Sati yang ketika itu punya sebuah toko di Pasa Ateh Bukit Tinggi menanjak sejak menikah dengan si Suma, dan usaha Datuk Mangkuto Sati semakin menanjak sejak si Kiah lahir. Setiap hari pekan toko Datuk Mangkuto Sati ramai dikunjungi pembeli termasuk dari luar daerah seperti dari Pakanbaru, Rengat, Jambi, Medan bahkan dari Semenanjung Tanah Melayu. Si Suma meninggal setelah berjuang selama tiga hari untuk melahirkan si Safar, adik si Kiah yang wajahnya sangat mirip dengan Datuk Mangkuto Sati. Sayang si Safar hanya mampu bertahan hidup selama tiga minggu. Menghadapi musibah beruntun itu hampir menyebabkan Datuk Mangkuto Sati berubah akal. Lama baru Datuk Mangkuto Sati mau menikah lagi dengan si Tinur, sepupu almarhumah yang tidak cantik tetapi cabar itu. Datuk Mangkuto Sati membesarkan si Kiah seperti menating gelas penuh. Sawahnya si Kiah yang luas itu sebagian besar dibeli dengan hasil pencaharian Datuk Mangkuto Sati sendiri, sehingga mudah untuk digadaikan atau dijual sewaktu-waktu bila diperlukan. Barang masnya, dari gelang, kalung dan cincin dilengkapi benar oleh Datuk Mangkuto Sati. Ketika anak perempuannya itu berumur 12 tahun Datuk Mangkuto Sati membuatkan rumah tembok berjendela kaca yang sangat berbeda dengan rumah-rumah yang ada di sekitarnya. Sekalipun demikian, hal tersebut tidak menyebabkan si Kiah menjadi sombong, namun santun dan hormat belaka kepada siapa saja, persis seperti si Suma almarhumah, ibunya. Pilihan Datuk Mangkuto Sati kepada si Samsu untuk diambilnya menjadi menantu, selain suka dengan rupa dan perangai anak muda itu, ialah karena pekerjaan si Samsu sebagai petani yang tidak mungkin akan pergi merantau. Apalagi sawah yang akan ditanami, yaitu sawah si Kiah ditambah dengan sawah mandenya sendiri cukup luas. Tidak terbayang baginya untuk berpisah dengan buah hati pengarang jantungnya itu. Tetapi Datuk Mangkuto Sati sadar, manusia boleh berencana, Allah jua yang menentukan. Karena itu Datuk Mangkuto Sati hampir tidak mampu berbicara ketika menantunya menyampaikan maksudnya untuk merantau ke Jawa. Datuk Mangkuto Sati hampir tidak mampu berbicara, tersekat tenggorkannya oleh air matanya yang jatuh ke dalam. Dan ia mahfum, tidak mungkin baginya menolak keinginan menantunya tersebut.
Setelah anak dan menantunya pulang, dengan lunglai Datuk Mangkuto Sati masuk ke biliknya, direbahkannya dirinya lalu menangis bercucuran air mata. Dia baru berhenti menangis ketika waktu Magrib menjelang, dan dengan wajah kusut dia pergi mandi dan bersiap-siap untuk sembahyang magrib berkaum di Surau. Tidak lama sesudah itu, sesudah menjalani skrening dan memperoleh surat jalan dari Kantor Polisi di Bukiti Tinggi---seperti yang harus dan perlu diperoleh orang ketika itu bila hendak bepergian setelah terjadinya Peristiwa PRRI di Sumatera Tengah---dan dibekali lima puluh ringgit mas guna membeli toko, modal usaha dan menyewa rumah, tiga koper besi pakaian, perabot memasak termasuk "batu lado" dan "pangua" si Samsu dan si Kiah bersama Samsidar berangkat ke Padang menunggu kapal yang akan berangkat ke Jawa. Dalam akhir tahun limapuluhan ketersediaan infrastruktur publik, terasuk sarana transportasi sangat kurang sekali. Perekonomian mulai memburuk karena sebagian penerimaan negara, termasuk pinjaman dari Uni Sovyet banyak yang terpakai untuk mengatasi masalah keamanan dalam negeri dan persiapan untuk merebut Irian Barat. Kapal ke Jakarta hanya satu atau dua kali dalam sebulan. Jadwalnya pun tak tentu. Di Padang mereka tinggal di asrama adik Datuk Mangkuto Sati yang menjadi tentara di Muaro. Setelah sepuluh hari di Padang tiket kapal baru dapat diperoleh. Sehari menjelang keberangkatan Si Samsu dan isterinya, Samsidar memasak rendang daging bercampur jarieng dan rendang tembunsu untuk bekal anak dan menantunya di perjalanan. Setelah itu dia pulang ke Bukit Tinggi, karena tidak kuat hatinya untuk melepas keberangkatan anak yang dicintainya lebih dari cintanya kepada dirinya di Teluk Bayur, pelabuhan kapal. (bersambung) -- . Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet http://groups.google.com/group/RantauNet/~ =========================================================== UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi: - DILARANG: 1. Email besar dari 200KB; 2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 3. One Liner. - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet - Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting - Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama =========================================================== Berhenti, bergabung kembali serta ingin merubah konfigurasi/settingan keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe