Rhenald Kasali
Sindo 29 Juli 2010

Suatu ketika seorang mahasiswa tingkat undergaduate mengetuk ruang kerja saya 
di 
Bevier Hall – University of Illinois di Amerika Serikat. Sebagai teaching 
assistant di kampus itu, saya bertugas menggantikan seorang profesor yang 
mengajar mata kuliah consumer economics. Selain mengajar, saya juga membuat 
sebagian soal ujian dan memeriksanya.

Dengan mimik penuh percaya diri, ia menyampaikan masalahnya. Ia menunjuk lembar 
jawaban soal, yang terdiri dari pilihan berganda (multiple choice) yang baru 
saja ia terima. Nilai yang ia dapat tidak terlalu jelek, tetapi ia kurang puas 
dan mengajak saya berdiskusi, khusus pada sebuah soal yang dianggapnya terbuka 
untuk didiskusikan.

Setelah membacanya kembali, tiba-tiba saya tersadar, soalnya memang konyol 
sekali. Pertanyaannya kurang lebih seperti ini. “Berapa lama rata-rata rumah 
tangga menggunakan handuk mandi?” Tentu saja setiap orang punya jawaban yang 
berbeda-beda. Namun karena mata kuliah ini didasarkan atas hasil riset, maka 
mahasiswa harus menguasai dasar-dasar perilaku konsumen yang datanya diperoleh 
secara riil dari riset. Jawabannya semua ada di buku teks. Jadi kalau buku 
dibaca atau bahan kuliah dipelototi, pasti mereka mudah menemukan jawabannya.

Di buku teks jawaban tertulis, rata-rata rumah tangga mengkonsumsi handuk 
selama 
8 tahun. Ia memilih jawaban 2 tahun. Dan tentu saja saya mencoretnya.  Bagi 
seorang guru, menemukan murid seperti ini mungkin biasa saja. Tetapi cerita 
berikut ini mungkin dapat merubah pandangan Anda tentang cara mendidik, atau 
bahkan membimbing orang lain, karyawan, atau bahkan diri sendiri agar berhasil 
dalam hidup.  


Kekuatan Argumentasi
Mahasiswa saya tadi mengajak saya berdiskusi, “Prof,” ujarnya. “Jawaban ini 
salah.” Saya mengernyitkan dahi. Maklum, belum pernah saya mendengar seorang 
mahasiswa di tingkat persiapan berani-beraninya menyalahkan soal, apalagi 
menyalahkan isi buku.

“Maksud saya, setelah saya tanya-tanya ke kiri-kanan, tak ada orang yang 
menyimpan handuk mandi sampai 8 tahun,” lanjutnya.
“Jadi berapa tahun?,” tanya saya.
“Ya dua tahun. Ini jawaban saya benar,” katanya lagi.
Saya pun teringat dengan cara teman-teman saya sewaktu kuliah dulu mengakali 
dosen yang “lemah”. Dosen seperti itu biasanya gampang diajak kompromi dan 
kalau 
kita pintar mengambil hatinya, angka bisa berubah. Maka, di kepala saya, 
berkompromi bukanlah karakter saya. Berkompromi sama dengan kelemahan, lembek, 
merendahkan martabat, plin-plan. “Jadilah guru yang teguh.” Kalimat itu terus 
mengalir di hati saya.

Kompromi itu jelek, lemah, tidak konsisten, tidak berwibawa.
“Ah, kamu ini cuma cari pembenaran saja. Ini justifikasi namanya. Pokoknya 
jawaban Anda salah. Apa Anda tidak baca buku. Coba buka halaman 40,” ujar saya 
pada mahasiswa tadi.
“Betul,” katanya lagi.
“Di buku memang tertulis begitu. Saya tahu.”
“Ah, Anda tidak baca saja…,” ujar saya lagi.
“Bukan, tetapi ini tidak masuk akal.”

Ia mencoba menjelaskan. Namun sebagai orang Indonesia yang terbiasa dididik 
tanpa kompromi di sekolah, saya mencoba untuk tidak mendengarkan 
argumentasinya. 
Saya khawatir wibawa saya terganggu.  Dosen kok didebat. 


Namun Ia tetap menjelaskan panjang lebar bahwa sekarang tidak ada lagi handuk 
yang seawet itu, dua tahun sudah rusak. “Dulu sabunnya tidak sekuat yang 
sekarang, lagi pula mana ada produsen yang mau membuat handuk dengan material 
yang kuat dan harganya mahal. Konsumen memilih yang terjangkau, dan produsen 
memilih barang-barang yang murah. Kalau cepat rusak tak apa-apa, setelah itu 
beli lagi,” Katanya bersemangat. Matanya berbinar menjelaskan gagasannya dan 
penuh harap saya mau mengubah pendapat saya.

Saya masih ingat ia menjelaskan tentang mesin cuci yang dulu tidak dipakai 
rumah 
tangga sehingga tidak merusak material. Lama kita berdebat dan sebenarnya saya 
suka mempunyai peserta didik yang kritis seperti itu. Tetapi sebagai guru dari 
Indonesia, saya tidak suka ditawar-tawar. Ini soal integritas.

“Nope,” jawab saya menolak permohonannya agar saya mengkoreksi nilainya.
Ia pun keluar dengan kecewa. Saya berpikir, urusan pun selesai. Namun diluar 
dugaan saya, setengah jam kemudian ia kembali lagi. Kali ini ia datang diantar 
profesor saya. Seperti tak ada masalah sama sekali profesor itu datang dengan 
penuh senyum.
“Rhenald,” ujarnya.
“I talk to this guy, and I like his idea.”
Sudah tahu arahnya, saya pun segera menukas.
“Yes, he did talk to me, and indeed he was wrong. He didn’t give the right 
answer,” ujar saya.
“Saya mengerti,” jawab profesor itu, “Tetapi perhatikan ini. Saya suka cara 
berpikirnya. Ia memang memberi Jawaban yang berbeda dengan buku, tetapi 
argumentasinya kuat dan ia benar.”  Singkat cerita, profesor itu meminta saya 
agar mendengarkannya, dan memahami logika anak itu. 


Kejadian itu sekali lagi telah membuka pikiran saya. Betapa memalukannya otak 
reptil saya.  Guru kok tertutup.  Tapi saya beruntung segera menyadari 
kesalahan 
saya. Saya belajar bahwa saya menganut nilai-nilai yang salah. Tertutup, tak 
berkompromi, tegas, teguh, terlalu mengedepankan wibawa, hanyalah merupakan 
bentuk defensif saya sebagai guru yang sebenarnya hanya perwujudan dari rasa 
takut yang berlebihan saja. Takut dibilang lembek, kompromistik, mudah dirayu, 
tidak objektif dan sebagainya. Pendapat yang semula saya tentang kini harus 
saya 
terima, dan nilai anak itu saya koreksi. Bahkan seperti penjual kacang rebus 
yang suka menambah kacang ke dalam bungkusan pelanggannya, saya pun memberikan 
bonus angka kepadanya.

Mendidik adalah lebih dari sekedar menjaga image. Mendidik adalah proses 
menjadikan orang lain seorang “master” dan bukan menciptakan pengikut. Yang 
kita 
ingin lahirkan adalah manusia yang mampu berpikir, terbuka terhadap logika. 
Bukan manusia-manusia dogmatik yang hanya mengikuti maunya kita, menulis apa 
yang kita diktekan, berpendapat apa yang menjadi pikiran kita, dan tak bisa 
menerima perbedaan pendapat.  Malas berpikir.

Keluar dari buku
Kisah anak-anak yang tak mampu berpikir diluar buku teks sudah banyak kita 
saksikan. Salah satu film yang paling saya suka dan selalu saya pakai untuk 
mengajarkan dosen-dosen muda menjadi pendidik adalah potongan film yang 
dibintangi oleh Julia Roberts, yang berjudul “Monalisa Smile”.

Dalam film itu dikisahkan kesulitan seorang guru yang mengajar karena setiap 
kali ia menampilkan slide yang ia ambil dari buku, selalu disambar oleh 
murid-muridnya yang berebut menjelaskan. Ia benar-benar bingung. Muridnya 
aktif-aktif dan pintar-pintar. Mereka sudah membaca assignment sebelum 
pelajaran 
dimulai.  Mereka benar-benar telah mempersiapkan diri dengan baik sebelum masuk 
kelas dengan membaca, membuat ringkasan, dan memiliki percaya diri yang kuat 
dan 
aktif berbicara.

Hari pertama mengajar ia gagal total. Namun minggu berikutnya, setelah 
merenungi 
dalam-dalam, ia mendapatkan ide. Kali ini ia mengajak murid-muridnya keluar 
dari 
buku teks. Ia menunjukkan slides yang sama sekali baru. Tak ada di buku, dan 
bahan ajarannya sama sekali baru.
“Coba lihatlah gambar ini. Apakah ini bagus?”
Semua murid tertegun. Gambar itu belum pernah mereka lihat, dan tanpa referensi 
mereka tidak punya acuan sama sekali. Padahal selama ini mereka hanya mengikuti 
perintah buku. Gambar itu bagus kalau kalimat di buku berkata gambar itu 
bagus.  
Sekarang saat gambar itu tak ada penjelasannya, mereka pun tak berani 
berpendapat. Mereka saling lihat kiri-kanan. Seorang yang mencoba menjawab 
kebingungan.
“Apakah ada gambar yang bagus?”
 “Siapa yang berhak mengatakannya?”
“Sesuatu yang bagus itu akan menjadi bagus tergantung siapa yang mengatakannya.”
Mereka terbelah.  Ibu guru pun menjelaskan wisdom-nya. “Look, kalian baru saja 
keluar dari cara berpikir buku teks,” ujarnya.  Ia mengajarkan tentang 
kehidupan, yaitu berani berpendapat dan membuat keputusan pribadi.

Apa yang dapat dipelajari dari film “Monalisa Smile” dan kasus yang saya alami 
saat saya menjadi teaching assistant di University of Illinois dan berhadapan 
dengan mahasiswa yang minta agar saya mengkoreksi jawaban soalnya 15 tahun yang 
lalu itu?

Benar! Kita adalah manusia dan tugas guru adalah mendidik manusia, 
memerdekakannya dari segala tekanan, dari perilaku-perilaku buruk, dari 
pikiran-pikiran negatif, dari rasa sok pintarnya yang sesungguhnya belum 
apa-apa, dari belenggu-belenggu dogma, dan mengajaknya melihat keindahan dari 
apa yang diciptakan Tuhan.

Dari semua itu, yang terpenting adalah bagaimana kita hidup dengan otak yang 
terbuka dan mengajarkan keterbukaan. Bukankah otak kita bekerjanya seperti 
parasut, yang artinya ia baru bisa dipakai kalau ia mengembang dan terbuka?

Itulah yang saya ajukan selama ini kepada anak-anak didik saya dan terbukti 
mereka mampu menjadi orang-orang yang hebat. Itu pula yang saya sharing-kan 
kepada para guru dan dosen. Sebagian orang cepat mengubah diri, namun sebagian 
pendidik lainnya tidak peduli dengan cara ini. Mereka tetap ingin mengajar 
dengan cara-cara dogmatik. Ingin dipuja tanpa argumentasi, tak mau 
mendengarkan, 
takut dibilang lembek dan ingin diterima bak seorang ulama besar yang tak 
terbantahkan.

Itulah hidup, tak semua orang mau berubah. Tetapi Anda tak perlu cemas. 
Orang-orang seperti itu sudah pernah menyurati saya dengan amarah 
berlembar-lembar. Mereka menembaki saya dengan ratusan peluru. Di antara 
surat-surat cinta mereka pun juga ada yang berisi ancaman, memperingatkan saya 
dan mengusir dari keguruan ini. Namun saya berkeyakinan, seorang pendidik 
sejati 
tak akan menyerah oelh ancaman-ancaman kosong. Ia tak berorientasi pada 
persaingan, melainkan pada masa depan anak-anaknya.



      

-- 
.
Posting yang berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan di tempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini dan kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur dan Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer dan seluruh bagian tidak perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat e-mail baru, tidak me-reply e-mail lama dan 
mengganti subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali serta ingin mengubah konfigurasi/setting-an 
keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe.

Kirim email ke