Sanak Palanta

Sebagai camin untuak kito yang akan membangun wisata juo

Salam

andiko


 *
      06 September 2010
      Banda Sebuah Duka Pariwisata

      Ekspresi wajah Subu Rabigding, 70 tahun, berubah. Tokoh adat Namasawa, 
Kampung Nusantara, Banda Naira, itu seolah bertafakur sejenak ketika mengingat 
satu kejadian kelam sebelas tahun silam. Malam itu suasana begitu tegang. 
Banyak warga berjaga-jaga di dekat Pelabuhan Naira. Terdengar kabar seorang 
warga muslim terbunuh di Pulau Hatta. Pulau itu satu jam perjalanan dengan 
kapal cepat dari Naira. Pengungsi muslim Ambon diketahui telah masuk ke Naira.

      "Katong seng (kami tak) mau dorang (mereka) merusak, apalagi bunuh orang 
Kristen di sini," katanya. Menurut Subu, masyarakat Banda sebenarnya tak 
terpengaruh konflik antar agama di Ambon. Moto "katong basodara" tak pernah 
lesap di Naira, muslim dan kristiani saling menyayangi. Perkawinan antaragama 
sering terjadi di sini. "Kami sehidup-semati," katanya.

      Tapi kemarahan pengungsi Ambon tak bisa ditahan warga Naira. Satu-satunya 
gereja Katolik dibakar. Sebagian besar permukiman orang Kristen di Kampung 
Ratu, yang merupakan peninggalan kolonial Belanda, hangus. Gereja Kristen 
sempat akan dibakar, tapi warga berhasil mencegahnya.

      Sekitar 400 penduduk Kristen di sembunyikan di Hotel Maulana milik tokoh 
Banda, Des Alwi. Tak lama, warga Kristen Banda diungsikan ke Ambon dengan kapal 
milik TNI Angkatan Laut. Semua warga bersedih. Subu mengenang, air mata warga 
muslim me nyertai saudara mereka yang meninggalkan tanah Banda.

      l l l

      Tangisan itu seakan juga menjadi pembuka duka pariwisata Banda. Sejak 
hari itu, penduduk Banda seolah melihat takdir bahwa pulau mereka bakal 
terasing dari wisatawan. Jalanan Banda yang bersih dan rindang pun jarang 
dilintasi turis.

      Rizal Bahlawan, yang sejak 1994 menjadi pemandu wisata di Banda, 
mengatakan konflik Ambon seakan membunuh pariwisata Banda, yang tiap tahun 
dikunjungi sekitar 1.500 wisatawan. Pendapatan Rizal dari mengantar turis 
menjadi kosong melompong. Padahal sebelumnya ia bisa mendapat lima turis asing 
tiap pekan saat musim liburan. Pendapatan dari para bule itu membuat Rizal 
mampu membiayai sendiri kuliahnya di Ambon.

      Rizal akhirnya berganti profesi menjadi penjual mutiara di Ambon. Banyak 
pengusaha pariwisata seperti pemilik penginapan dan penjual suvenir gulung 
tikar. "Kebanyakan beralih jadi penjual sembako," kata Rizal.

      Di Pulau Ay, sekitar satu jam perjalanan dengan kapal cepat dari Naira, 
kondisinya sama saja. Salah satu situs bersejarah yang sering dikunjungi turis, 
Gereja Betlehem, yang dibangun pada 1617, dibakar saat konflik Ambon. Siyana, 
60 tahun, penduduk di sekitar gereja, mengatakan tak satu pun pembakar 
dikenalnya. Yang diketa hui Si yana, turis jarang mampir ke Ay sejak itu.

      Tidak menentunya waktu buang sauh tiga kapal penumpang Bukit Siguntang, 
Rinjani, dan Ciremai yang biasa ke Banda, memperparah kondisi ini. Biasanya, 
satu kapal masuk tiap pekan ke Banda. Belakangan PT Pelni mengalihkan rute 
Bukit Siguntang dan Rinjani karena kapal makin sepi pe numpang.

      Landasan bandara pun tak lagi dijejaki pesawat Merpati, yang biasanya 
tiga kali sepekan mengantar turis. "Belum tentu sekali sepekan ada pesawat 
mendarat. Turis benar-benar habis," kata Kepala Bandara Banda Naira, Yakub, 
melukiskan imbas kerusuhan Ambon.

      l l l

      Tengoklah Hotel Maulana, Banda Naira. Saat berlangsung Sail Banda pada 28 
Juli lalu pesta yang dibikin untuk menggairahkan kembali pariwisata Banda hotel 
ini semarak. Bule peserta Sail Banda banyak berkumpul di Hotel Maulana. Namun 
sekejap kemudian, setelah perhelatan itu selesai, kembali sepi. Hampir tak ada 
turis. "Sama saja seperti hari-hari biasa. Sepi," kata pemilik warung makan di 
dekat pelabuhan, Muzna Baadillah.

      Pesta itu sendiri berlangsung dua hari dua malam. Upacara buka kampung 
dengan tarian cakalele digelar di sam ping Hotel Maulana menyambut tamu. Tari 
kontemporer dengan busana cerah serta nyanyian grup band di atas panggung 
semakin memeriahkan acara yang dihadiri sekitar 500 orang itu.

      Kemudian tampaklah belasan kora-kora berwarna-warni di laut. Kora-kora 
itu mengiringi tiga puluhan kapal layar berbagai ukuran yang hendak melabuh. 
Kapal-kapal layar itu adalah peserta Sail Banda, yang telah berlayar sekitar 40 
jam dari Darwin, Australia. Para awak kapal itu pun turun ke darat. Mereka 
dipestakan di Hotel Maulana. Mereka bergabung dengan Menteri Kelautan dan 
Perikanan Fadel Muhammad, Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu, Bupati Maluku 
Tengah Abdullah Tuasikal, serta sejumlah pejabat lokal. Malamnya, pesta 
berlanjut di Benteng Belgica peninggalan Belanda. Kembang api membakar langit 
Banda Naira di akhir acara.

      Sehari kemudian pesta diadakan lagi di Hotel Maulana. Kali ini menyambut 
sekitar 400 peserta Pelayaran Lintas Nusantara Remaja dan Pemuda Bahari, yang 
bertolak dari Jakarta dengan KRI Makassar. Malamnya, panggung musik digelar 
kembali. Setelah para peserta Sail Banda ini balik ke Ambon, Hotel Maulana 
kembali sepi.

      Hotel lain, Hotel Bintang Laut, juga demikian. Hanya beberapa gelintir 
turis yang menginap. Seorang perempuan muda berambut pirang, Courtney Brown, 
salah satunya. Ia tampak asyik menikmati pemandangan di belakang Hotel Bintang 
Laut Panorama Gunung Api yang kakinya menembus ke dasar laut. Jaraknya hanya 
sekitar 200 meter dari tempatnya berdiri. Rambutnya sedikit basah.

      Ia datang untuk menikmati pemandangan bawah laut Banda. Ia menjelajahi 
keindahan laut di Pulau Ay."Jernih dan indah," kata turis asal California, 
Amerika Serikat, ini. Di sana ia bisa menyaksikan terumbu karang yang masih 
terpelihara baik. Sekitar 64 persen dari 700 jenis terumbu karang di dunia 
dimiliki Banda. Pemandangan indah ini ada di hampir seluruh Kepulauan Banda, 
mulai Pulau Banda Besar, Ay, Banda Naira, Hatta, Pisang, dan Karaka.

      Courtney, yang pernah berkunjung ke Bali, bahkan menilai Banda lebih 
indah ketimbang Pulau Dewata. Bali baginya terlalu kebarat-baratan. 
Pantai-pantai di Banda juga lebih bersih ketimbang Kuta, yang dipenuhi banyak 
turis. "Bali terlalu komersial, sedangkan Banda begitu natural," ujar turis 
asal Singapura, Joenne Har. Courtney bahkan menilai Banda lebih indah dibanding 
Hawaii. "Sayang sekali, pulau dengan keindahan dan keramahan sebaik ini tak 
bisa dinikmati banyak orang," kata Courtney.

      l l l

      Semua warga Banda yang ditemui Tempo mengaku kecewa. Warga sebenarnya 
berharap Sail Banda mampu memulihkan pariwisata seperti sebelum kerusuhan 
Ambon. Meski ada perbaikan, pertumbuhan pariwisata di Banda berjalan lambat 
setelah konflik Ambon selesai pada 2005. Seorang pemilik warung makan, Fauziah, 
menilai pendapatannya sebelum konflik lebih baik ketimbang sekarang. "Dulu saya 
bisa bikin rumah, sekarang pas-pasan," katanya.

      Salah satu pemandu wisata, Iqbal Baadillah, mengatakan wisatawan ramai 
datang hanya bulan tertentu, terutama September hingga Desember, saat cuaca 
cerah. Kebanyakan menggunakan perahu layar. Di luar masa itu, Banda kembali 
sepi. Iqbal menduga kelambanan pertumbuhan pariwisata terjadi karena masalah 
transportasi. Ambon masih menjadi pintu utama menuju Banda. Seharusnya dibuat 
rute lain yang memungkinkan turis datang tanpa melewati Ambon. "Kalau Ambon 
bermasalah lagi, pariwisata Banda hancur lagi," katanya.

      Kendala transportasi ini dikeluhkan Richard Gardner, turis asal London, 
Inggris. Menurut dia, akses menuju Banda terlalu merepotkan. Karena tak ada 
lagi transportasi dari Ambon ke Banda, Richard dan tiga temannya terpaksa 
terbang dulu ke Pulau Kei. Dari situ mereka melanjutkan perjalanan dengan kapal 
penumpang milik Pelni.

      Persoalan transportasi ini diakui Kepala Kantor Administrator Pela buhan 
Banda Naira, Ihsan Tidore. Saat ini ada tiga kapal yang singgah di Banda. Dua 
kapal dari Ambon, yaitu Ciremai, tiap dua pekan sekali; Kalimutu tiap bulan; 
dan Tatamailau dari Bau-Bau, Sulawesi Tenggara, tiap tiga pekan. Menurut Ihsan, 
Pelni mengurangi frekuensi perjalanan ke Banda karena volume penumpang tak 
terlalu banyak. "Tak mungkin Pelni mau mengoperasikan banyak kapal di pos yang 
merugi," katanya.

      Pemerintah Provinsi Maluku sebenarnya telah memilih Nusantara Buana 
Airlines (NBA) sebagai penerbangan perintis. Pesawat Cassa 212 dari Ambon hadir 
tiap Rabu dan Sabtu. Tapi, dengan daya angkut hanya 22 orang, dan harga lebih 
murah ketimbang ti ket kelas tiga kapal Ciremai, orang harus berebut membeli 
tiket. Kepala Bandara Banda Naira, Yakub, mengatakan NBA baru beroperasi 
pertengahan Juni. "Sejak konflik Ambon selesai, pesawat yang masuk Naira tetap 
tak terlalu banyak," katanya.

      Kendala lain, sarana penunjang akomodasi turis juga minim. Paul Gordon 
asal Skotlandia mengaku harus menyiapkan banyak uang selama di Banda. 
Musababnya, tak ada anjungan tunai mandiri (ATM) dan money changer yang 
mendukung. Ia mencontohkan, US$ 1 hanya dihargai Rp 7.000. Setelah 
tawar-menawar, disepakati Rp 8.000, selisih sekitar seribu rupiah dari kurs 
saat itu.

      Cukup memprihatinkan untuk pulau yang disebut lebih bagus ketimbang Bali. 
Bisa dikatakan, turis harus ekstrarepot selama menuju, menetap, dan 
meninggalkan Banda. Benar yang dikatakan perempuan muda asal California itu. 
"Sayang sekali, pulau dengan keindahan dan keramahan sebaik ini tak bisa 
dinikmati banyak orang."

      l l l

      Deretan foto dan lukisan tergantung di lobi Hotel Maulana. Wajah dua 
anggota Kerajaan Inggris, Putri Diana dan Sarah Ferguson, serta vokalis grup 
Rol ling Stones, Mick Jagger, menjadi beberapa pengisi pigura. Mereka pernah 
menginap di hotel ini pada 1990-an.

      Sipemilik hotel, Des Alwi, 73 tahun, mengenang masa jaya pariwisata Banda 
saat itu. Ia masih teringat komentar Menteri Pariwisata era Soeharto, Joop Ave. 
"Dia bilang, 'Pemerintah susah payah coba datangkan tokoh dunia ke Indonesia. 
Eh, ternyata, sudah ada di hotel Des'," kata laki-laki 83 tahun ini terkekeh.

      Des menilai pariwisata di Banda sering dilupakan. Toh, Banda tetap 
bergeliat, berusaha bangkit setelah pariwisatanya hancur saat kerusuhan Ambon. 
Anak angkat Mohammad Hatta dan Sjahrir ini tetap optimistis, Banda akan kembali 
ke pentas pariwisata dunia, seperti yang dibangunnya dulu, dan mendatangkan 
tokoh internasional. "Karena Banda adalah mutiara Maluku, salah satu pulau 
terbaik di dunia," katanya mantap.

      Pramono 

-- 
.
Posting yang berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan di tempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini dan kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur dan Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer dan seluruh bagian tidak perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat e-mail baru, tidak me-reply e-mail lama dan 
mengganti subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali serta ingin mengubah konfigurasi/setting-an 
keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe.

Kirim email ke