PadangKini.com | Sabtu, 11/09/2010, 0:55 WIB
Oleh: Muharmein  Zein Chaniago

Kegagalan Acara KKM (Kongres Kebudayaan Minangkabau) 2010 yang digagas Gebu
Minang dikarenakan oleh derasnya arus penolakan dari beberapa kelompok di
Ranah sendiri merupakan sebuah catatan yang harus disikapi dan dicermati
dengan penuh kehati-hatian.

Dampak kegagalan tersebut akan memunculkan berbagai persepsi, tergantung
dari perspektif mana dan siapa yang melihatnya. Saya membahas kegagalan ini
lebih kepada perspektif kerangka fisik pelaksanaan, bukan pada substansi
materi kongres itu sendiri. Selain tidak ingin berpolemik pada benar atau
salahnya materi KKM, kami sendiri bukan ahlinya yang layak memberikan
komentar terhadap materi tersebut. 

Hal pertama yang harus ditelaah adalah gagasan yang diusung oleh Gebu Minang
secara organisasi (bukan kedaulatan semua anggota) benarkah telah mewakili
suara semua anggota Gebu Minang? 

Lantas apakah seluruh masyarakat perantau baik yang tergabung dalam
organisasi Minang lain (Bakor2) ataupun perantau lepas yang tak pernah
merasa sebagai anggota organisasi minang manapun, juga pernah mengerti dan
mendukung gagasan KKM yang diusung oleh Gebu Minang secara organisasi
tersebut? Jawabannya tentu lebih cenderung kepada TIDAK. Artinya gagasan KKM
tidak layak diklaim 'bulek-bulek' sebagai gagasan URANG RANTAU secara
kolektif.

Kalaulah benar jumlah perantau minang mencapai 16 juta orang, maka
sesungguhnya, bisa dirasakan dalam keseharian bahwa kesibukan pembahasan KKM
ini maksimal melibatkan beberapa puluh orang saja, itupun sebagian besar
berada di Jakarta (kurang dari 1 persen). 

Tanpa bermaksud menggiring pada opini sangat minoritasnya kelompok pengusung
KKM ini (walau secara individu pengusungnya pernah menjadi orang-orang besar
di negeri ini), kami ingin mengatakan dan menjernihkan bahwa kekalahan kubu
pro KKM jangan disalahartikan sebagai kekalahan urang rantau (istilah
kalah-menang antara ranah dan rantau itu tidak pernah ada). 

Ini penting sekali, banyak teori dan fakta yang dapat kita jadikan acuan
bahwa dalam setiap kompetisi , pro dan kontra, agree and against, fisik
maupun psikis, tidak jarang menyisakan sebuah euphoria bagi yang menang dan
frustrasi bagi yang kalah, yang kadang- kadang berkelanjutan pada persoalan
negatif berikutnya. 

Terkadang sang pemenang terus mempromosikan kemenangan yang tidak dengan
mudah diraihnya, cenderung menjadikan itu sebuah memori untuk terus
dipublish atau paling tidak 'dipakecekan' kepada kawan-kawan. Sekali lagi
hal ini wajar dan sangat alamiah. 

Hanya yang perlu dikendalikan oleh sang pemenang adalah batas-batas ekspos
dan cerita, jangan sampai menyeberang pada wilayah peremehan atau sampai
penistaan. Misalnya dengan menyebutkan, parantau is the looser, parantau jan
cubo-cubo maago galeh rang kampuang, parantau pikie selah diri sendiri,
parantau indak berhak mambao perubahan apopun di kampuang ko (saya kutip
dari berbagai posting yang saya percaya disampaikan dalam keadaan emosional)
atau statemen-statemen lain yang kurang bernuansa silaturahmi. 

Situasi ini sama saja dengan ungkapan "manembak pipik jo meriam" padahal
menembak pipik itu sendiri tidak baik, apalagi ditembak dengan meriam, malah
merusak dan membinasakan banyak hal di sekitar sang pipik. Apalagi sang
pipik indak kanai dan tabang jauah.

Di sisi lain, bila hal itu terjadi, mari kita menoleh pula pada fihak yang
kalah (penggagas). Rasa kecewa dan dongkol sudah pasti sempat bersemayam
dalam diri mereka, pengorbanan fisik, materi dan waktu cukup banyak yang
telah dikeluarkan. Yang paling besar adalah harga diri yang terusik. 

Sebagai tokoh-tokoh yang selama ini cukup diperhitungkan eksistensinya,
harus menerima kenyataan gagal hampir di tikungan terakhir sebut saja
sirkuit KKM. Bila pada akhirnya provokasi pihak yang menang terus muncul,
disengaja atau tidak, niscaya ini kembali bisa menambah minyak bensin amarah
fihak yang kalah. Kekalahan yang semestinya dimaklumi dan direnungkan dan
disadari, tidak mustahil berbalik menjadi upaya bertahan atau bahkan upaya
menyerang balik. 

Yang lebih menakutkan adalah bola liar ini bergulir kemana-mana. Kenapa liar
karena objeknya sudah tidak jelas lagi (KKM sudah dianggap final, gagal
dilaksanakan). Isu menang kalah bisa dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang
kurang bertanggung jawab untuk diperbesar, diperuncing, baik disengaja atau
tidak, dan akhirnya sekonyong- konyong membentuk sebuah perbedaan, jurang
dikotomi yang lebar, antara ranah dan rantau. Padahal friksi ini hanya
terjadi pada kelompok kecil saja secara kuantitas, mayoritas urang awak
minangkabau indak tahu bahkan tidak pernah peduli dengan KKM ini.

Kita sama-sama menyadari bahwa potensi rantau terhadap ranah secara riil
terutama dalam bidang ekonomi dan pendidikan sangat besar dan tiada yang
dapat menyangkal eksistensi tersebut. 

Hubungan mesra ranah dan rantau bukan sekedar kemasan minangkabau saja,
namun dapat dikatakan hubungan jantuang dengan hati di dalam tubuh manusia.
Bila hubungan itu terganggu maka binasa jualah badan ini. Bencana bagi
minangkabau. 

Oleh karenanya situasi itu janganlah sampai terjadi. Situasi dimana hubungan
rantau dan ranah tidak kondusif lagi, muncul keengganan, degradasi
loyalitas, perasaan saling cikarau yang terdelusi antara kedua belah pihak.

Padahal selama ini semangat pengabdian dan peduli kampuang bagi sebagian
besar masyarakat rantau adalah sebuah vision, bukan sekedar mision yang
dibatasi ruang dan waktu. Sebaliknya masyarakat ranah pun tidak akan pernah
bisa melepaskan diri dari peran serta, kontribusi yang dialirkan dari rantau
terutama dalam hal pembangunan ekonomi dan sumberdaya manusia. 

Maka, hentikan saja semua polemik dan pebincangan tentang pro-kontra KKM ini
dengan segala aspeknya, terutama pada masa-masa kini. Walaupun berat sangat
bagi sebagian orang atau kelompok, namun lupakan saja bahwa gagasan KKM
pernah ada.

Semua pihak sapakat menghindar bila ada tanda-tanda dimulainya kembali
diskusi, pembahasan, atau gelagat perdebatan yang berhubungan dengan KKM,
baik di forum forum nyata di darat maupun semua palanta dunia maya seperti
jejaring sosial. Cara ini akan menutup peluang terjadinya hal-hal yang tidak
baik paling tidak selama bulan suci Ramadhan dan Bulan Silaturahim Syawal.

Harapan kita lagi adalah peristiwa Kegagalan KKM ini, bisa dimaknai positif
oleh semua pihak, menjadi sebuah manifestasi kekayaan adat alam minangkabau
bahwa 'tiado kusuik nan indak ka salasai'. Ibarat pepatah, 'biduak lalu
kiambang batauik'. Seharusnya semakin menjadi 'parakek arek antara ranah jo
rantau'. 

Karena masih sangat banyak pekerjaan rumah lain yang harus diselesaikan oleh
kolaborasi ranah dan rantau pada saat ini, terutama membangkitkan
perekonomian dan level hidup masyarakat minangkabau pasca bencana dan pasca
terpilihnya pemimpin baru hampir di setiap wilayah minangkabau.

Minal aizin wal faizin, mohon maaf lair dan batin, selamat idul fitri 1431
H.

)* Muharmein Zein Chaniago adalah Ketua DPP PKDP (Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Keluarga Daerah Piaman).

http://padangkini.com/opini/single.php?id=6626

-- 
.
Posting yang berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan di tempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini dan kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur dan Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer dan seluruh bagian tidak perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat e-mail baru, tidak me-reply e-mail lama dan 
mengganti subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali serta ingin mengubah konfigurasi/setting-an 
keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe.

Kirim email ke