Assalamualaikum ww.

Allahu Akbar. Terima kasih, Pak Saf atas tulisannya tentang LKAAM. Walau 
sebelumnya sudah ada, tapi karena anggota baru, jadi ini pertama kali saya 
membacanya. Tulisan itu semakin memperjelas bagi saya, kenapa Pak Saf begitu 
ngotot ingin mengadakan KKM. 
Saya teringat pesan kakek saya, orang yang ber syak wasangka/iri dengki adalah 
orang yang dalam berpikiran tidak nyaman. Mudah-mudahan dengan jabaran tentang 
tulisan ini, bisa membuat banyak orang nyaman. Insya Allah.
Saya berdoa, semoga Allah selalu memberi kesehatan pada Pak Saf untuk meujudkan 
cita-cita ini. 

Wassalam

H. Denni Risman
47, suku Melayu
tinggal di Pekanbaru


--- Pada Kam, 16/9/10, Dr.Saafroedin BAHAR <saaf10...@yahoo.com> menulis:

Dari: Dr.Saafroedin BAHAR <saaf10...@yahoo.com>
Judul: [...@ntau-net] Khittah LKAAM 1966-1972
Kepada: "rantaunet rantaunet rantaunet" <rantaunet@googlegroups.com>
Cc: "Armen Zulkarnain" <emeneschoo...@yahoo.co.id>, "andi ko" 
<andi.ko...@gmail.com>
Tanggal: Kamis, 16 September, 2010, 1:52 AM

Sanak Andiko,
 Terima kasih atas pertanyaan. Saya rasa memang sejarah kelahiran LKAAM -- yang 
pada saat ini sudah berusia 44 tahun lebih -- perlu dijernihkan, khususnya oleh 
karea terdapat kesimpangsiuran keterangan tentang lembaga yang penting ini.
Walau Sanak Armen Zulkarnain telah bermurah hati mengirimkan naskah tersebut 
kepada Sanak, mungkin baik jika saya posting langsung di Rantau Net ini, 
sehingga dapat dimanfaatkan oleh para sanak yang berminat. Sekedar catatan, 
naskah yang saya tulis enam tahun yang lalu ini sudah saya posting di Facebook.
Wassalam,
Saafroedin Bahar Soetan Madjolelo(Laki-laki, Tanjung, masuk 74 th, 
Jakarta) Taqdir di tangan Allah, nasib di tangan kita.




KHITTAH LKAAM, 1966-1972

Dr. Saafroedin BAHAR

     

Seluruhnya terasa bagi saya
bagaikan terjadi kemarin sore. Awal tahun 1966 sebagai kapten berusia 29 tahun
saya baru saja mengalami mutasi dari Korem 031 Riau Daratan di Pekanbaru ke
Kodam III/17 Agustus di Padang.  Saya
menemukan daerah Sumatera Barat pasca gagalnya kudeta 1 Oktober 1965 di Jakarta
itu bagaikan mengalami euforia – kegembiraan luar biasa --  karena telah 
terbebas dari tekanan Pemuda
Rakyat (PR) dan Partai Komunis Indonesia (PKI), yang membonceng pada Kodam
III/17 Agustus untuk menguasai daerah perdesaan. Beberapa orang perwira teras
Kodam III/17 Agustus, termasuk beberapa orang komandan korem dan komandan
kodim,  kemudian ternyata adalah memang
pengikut PKI. Saya mengetahuinya kemudian sewaktu bertugas sebagai hakim
perwira.

Dalam suasana euforia itu, yang
kemudian menjadi bagian dari Orde Baru ‘jilid satu’, seperti juga terjadi di
daerah-daerah lainnya, massa  rakyat yang
dipelopori oleh para pelajar dan mahasiswa, telah melakukan demonstrasi 
menghujat
tokoh-tokoh Orde Lama, baik sipil maupun militer, yang kemudian secara
diam-diam meninggalkan daerah Sumatera Barat, yang memungkinkan dibangunnya
kembali daerah yang sudah porak poranda dalam hampir segala bidang ini.

Memang, selama hampir  satu windu, 1958-1965, semua hal yang berbau
Minangkabau dan Islam telah dicurigai oleh jajaran Kodam III/17 Agustus karena
keterlibatannya dalam mendukung pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik
Indonesia, PRRI, yang di-‘proklamasi’kan di Bukittinggi bulan Januari 1958.
Walaupun secara militer, PRRI ini telah dikalahkan pada tahun 1961, namun
dampak kekalahan tersebut ke dalam jiwa orang Minangkabau berlarut-larut dalam
tahun-tahun sesudahnya. 

Dalam kurun yang mencengkam ini, kaum
adat ditekan, para da’I dan alim ulama diinteli, istana Pagaruyung dibakar.
Seluruh daerah perdesaan, tempat diam sebagian besar warga Minangkabau, telah
kehilangan gairah. Anak-anak yang lahir dalam kurun ini diberi nama-nama Jawa,
agar mereka bisa bertahan hidup di masa depan dalam suasana yang sangat
memusuhi etnik Minangkabau itu. 

Kelihatannya saat itu orang Minangkabau
sama sekali tidak menduga, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
dibelanya dengan penuh kegigihan dengan mendukung Pemerintahan Darurat Republik
Indonesia (PDRI) pada saat Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta
ditawan Belanda setelah jatuhnya Ibukota Yogyakarta, sampai hati dengan
demikian tegar menginvasi  dan menduduki
Minangkabau, justru atas perintah Presiden Soekarno sendiri. Otobiografi Drs
Harun Zain merekam pengalaman traumatik tersebut dengan sangat rinci dan sangat
mengharukan. Namun seluruhnya itu telah terjadi, dan mereka harus hidup dalam
suasana yang sangat mencengkam itu.

Secara pribadi, sebagai perwira pewajib
militer darurat yang direkrut dari 60 orang pegawai Kementerian Dalam Negeri
yang baru saja menyelesaikan pendidikan pada Universitas Gadjah Mada di
Yogyakarta, saya merasa beruntung berada pada posisi yang memungkinkan saya
mengikuti dan mengamati dari dekat transformasi sosio-kulural Minangkabau dalam
kurun sejarah daerah Sumatera Barat  yang
amat traumatik itu. 

Dalam kurun sejarah yang demikian pendek,
Minangkabau telah berubah dari suatu masyarakat yang penuh percaya diri dan
telah memberikan andil besar dalam pergerakan kebangsaan serta dalam membangun
suatu Negara Kesatuan  Republik Indonesia
yang merdeka, menjadi suatu etnik yang merasa dikalahkan dan dihina oleh negara
yang dibangunnya sendiri itu,  dan karena
itu  menjadi patah semangat.  

Mereka bukan saja harus menghadapi suatu
komando operasi gabungan yang sebagian besar anggotanya terdiri dari etnik Jawa
yang tidak faham dengan kultur Minangkabau, tetapi juga orang-orang Minangkabau
sendiri, para pengikut komunis yang beringas, yang selain memegang senjata
sebagai anggota Organisasi Perlawanan Rakyat (OPR) juga  mempunyai kekuasaan 
sebagai wali nagari, yang
saat itu bagaikan mampu menentukan hidup matinya orang di desa-desa.   

Syukurnya, tidak seluruh perwira teras
Kodam III/17 Agustus yang berasal dari etnik Jawa setuju dengan ‘kebijakan
operasional’ menekan etnik Minangkabau ini, dan dalam bidangnya masing-masing
berusaha keras menetralisir kebijakan yang bertolak belakang dengan tradisi TNI
itu. 

Nama empat orang perwira yang saya kenal
dari dekat perlu saya sebutkan di sini. Pertama Mayor CKH Iman Suparto,S.H.
dari Dinas Hukum Kodam III/17 Agustus, yang berusaha keras  agar mereka yang 
terlibat dalam pemberontakan
PRRI tersebut diperlakukan dengan adil. Kedua, Mayor Infanteri Wardjono, Kepala
Penerangan Kodam III/17 Agustus, yang berusaha menjembatani Kodam III/17
Agustus dengan masyarakat Minangkabau, dan sebaliknya. Ketiga, Kolonel
Infanteri Poniman, Panglima antara tahun 1966-1968, yang mendukung pencalonan
Drs. Harun Zain, Rektor Universitas Andalas, menghadapi Suputro Brotidiredjo,
pejabat gubernur saat itu. Poniman juga memberikan dukungan kuat terhadap
Strategi Harga Diri yang dilancarkan Harun Zain sebagai gubernur. Keempat,
Brigadir Jenderal  TNI Widodo, Panglima
yang menggantikan Poniman, dan menjabat antara tahun 1968-1970, yang selain
mengizinkan dilselenggarakannya Seminar islam di Minangkabau di gedung Sasana
Karya, balai pertemuan milik Kodam III/17 Agustus, juga merestui Sendratari
Imam Bonjol sebagai bagian dari pembinaan tradisi korps Kodam III/17 Agustus,
dua hal yang tidak dapat dibayangkan dapat terjadi dalam tahun-tahun sebelum
itu..

Orde Baru, yang didirikan sebagai
pengganti Orde Lama, harus membangun kembali daerah Sumatera Barat yang sudah 
amburadul
itu, bukan hanya dalam bidang sosial politik dan sosial ekonomi, tetapi
juga – dan terutama – dalam bidang sosial budaya. Tantangan paling berat dalam
bidang sosial budaya ini adalah membangun kembali kepercayaan masyarakat kepada
diri mereka sendiri, yang telah hancur lebur di bawah tekanan oknum-oknum Kodam
III/17 Agustus yang pro PKI. 

Tugas merehablitasi kembali kepercayaan
kepada diri sendiri ini mustahil ditugaskan kepada jajaran Kodam III/17
Agustus, yang dari segi kejiwaan mempunyai jarak sosial yang masih lumayan jauh
dengan masyarakat Minangkabau. Tugas tersebut, mau tidak mau, harus diemban
oleh kepemimpinan masyarakat, yang sedihnya telah dihancurleburkan oleh Kodam
III/17 Agustus sendiri. 

Namun, prakarsa untuk memulai
rehabilitasi tersebut harus diambil oleh Panglima Kodam III/17 Agustus yang
baru, yang terbebas dari psikologi imperialistik yang menghinggapi jajaran
Kodam III/17 Agustus sebelumnya. Tanggungjawab ini terletak di atas pundak para
panglima komando teritorial, untuk seluruh pulau Sumatera dijabat oleh Letnan
Jenderal Ahmad Junus Mokoginta, dan di Sumatera Tengah dijabat oleh Kolonel
Infanteri Poniman, yang kemudian digantikan oleh Brigadir Jenderal TNI Widodo.
Dua kata kunci dari kebijakan para panglima teritorial dalam era awal Orde Baru
ini adalah ‘rehabilitasi’ dan ‘pembangunan’.

Saya pindah ke Padang dari Pekanbaru
dalam saat-saat transisi ini. Sebagai perwira pertama yang belum mendapat
tugas, saya segera diminta oleh Mayor Infanteri Wardjono untuk membantu beliau
membuat draft pidato-pidato panglima, yang walaupun dengan penuh kekakuan
karena belum terbiasa, saya laksanakan dengan tekun. Saya juga kemudian diminta
oleh Mayor CKH Iman Soeparto,S.H. untuk duduk sebagai anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Gotong Royong (DPRD GR) Propinsi Sumatera Barat. Dan – akhirnya –
saya diminta oleh Mayor Infanteri Ahmad Syahdin, Kepala Dinas Sejarah Militer,
untuk membantu beliau sebagai sekretaris menyiapkan Musyawarah Besar (Mubes)
Ninik Mamak Pemangku Adat Minangkabau dalam bulan Maret 1966. Seluruh
tugas-tugas sampingan ini mempengaruhi perkembangan karir saya dalam
tahun-tahun sesudahnya.

Saya masih ingat bahwa tidaklah mudah
untuk meminta kesediaan tokoh-tokoh pimpinan masyarakat Sumatera Barat sendiri,
baik untuk duduk dalam kepanitiaan Mubes tersebut, maupun untuk kemudian duduk
dalam kepengurusan Badan Kontak Perjuangan Ninik Mamak (BKP-NM), yang kemudian
secara informal menjadi Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM).
Mungkin mereka masih merasa trauma dengan sikap Kodam III/17 Agustus sebelumnya
terhadap adat dan suku bangsa Minangkabau.

Akhirnya seorang tokoh bersedia tampil
sebagai ketua, yaitu Chaidir Nien Latief, S.H. yang saat itu menjabat sebagai
Kepala Eksploitasi Jawatan Kereta Api Sumatera Barat. Beliau adalah seorang
tokoh Tentara Pelajar (T.P) dalam masa revolusi dahulu. Setelah mutasi beliau
ke Bandung, beliau digantikan oleh Baharuddin Datuk Rangkayo Basa, B.A, Kepala
Jawatan Penerangan Propinsi Sumatera Barat. Seperti Chaidir Nien Latief, beliau
adalah juga mantan pejuang kemerdekaan. 

Dapat dikatakan bahwa beliau berdua
inilah yang meletakkan ‘khittah’ LKAAM antara tahun 1966-1972, yang saya
dampingi sebagai sekretaris ‘non-adat’ bersama dengan Saudara Arief Azis,  
seorang staf Mayor Ahmad Syahdin pada Dinas
Sejarah Militer Kodam III/17 Agustus.

Sebagai seseorang yang tidak dilahirkan
dan dibesarkan di nagari,  masalah adat
Minangkabau dan ‘korps’ ninik mamak ini 
praktis merupakan dua hal yang terasa asing bagi saya. Persepsi saya
tentang adat dan para ninik mamak ini terbentuk oleh bacaan saya sebelumnya,
antara lain oleh dua karangan Buya Hamka, Tenggelamnya Kapal van der Wijk
dan Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, dan novel Ali Akbar Navis, Robohnya
Surau Kami. Tema tiga bacaan ini tidaklah terlalu positif bagi adat
Minangkabau dan para ninik mamak yang menjadi eksponennya. 

Namun, bagaimanapun saya telah
diperintahkan dinas untuk membantu penyelenggaraan Mubes tersebut, dan sesuai
dengan kebiasaan saya sejak kecil, saya melakukannya secara all out.  Saya 
harus mencoba memahami sungguh-sungguh
bidang-bidang yang selain tidak demikian saya kenal, juga sudah lama saya
curigai. 

Demikianlah, secara pelahan-lahan dalam
mendampingi dua Ketua LKAAM pertama, Chaidir Nien Latif S.H dan Baharuddin
Datuk Rangkayo Basa,  dalam kunjungan
mereka yang amat padat ke nagari-nagari di Sumatera Barat,  saya bukan saja 
mulai mengerti masalah adat
dan ninik mamak ini, tetapi juga mulai bisa menghargai kandungan kearifan yang
terdapat dalam demikian banyak pepatah petitih yang bukan main indahnya.

Sampai sekarang saya yakin, bahwa home
base yang paling penting bagi warga Minangkabau memang adalah nagari, yang
dengan sedih saya saksikan pada saat itu bukan saja sebagian besar warganya
telah patah semangat, tetapi juga secara ekonomis bergelimang dengan
kemiskinan.  Oleh karena itulah saya
sangat menghargai kebijakan Panglima Ahmad Junus Mokoginta serta Panglima
Poniman, agar nagari-nagari ini dibangun kembali, dengan  mengaktifkan peranan 
ninik mamak pemangku
adat, yang secara normatif mempunyai wewenang dalam penggunaan tanah ulayat,
dan karena itu dalam bidang sosio-ekonomi.

Banyak yang dapat saya kerjakan sebagai
sekretaris LKAAM, dibantu oleh Saudara Arief Azis, antara lain dengan
menyiapkan rancangan keputusan-keputusan Mubes LKAAM, untuk memudahkan dan
memperlancar pembahasan dalam sidang-sidang yang berlangsung kemudian. Selain
itu saya juga memperoleh pemahaman yang lebih dalam tentang makna
pepatah-petitih Minangkabau, serta mengenal dari dekat beberapa tokoh ninik
mamak, yang karena keluasan dan kedalaman pengetahuannya saya pandang sebagai
tokoh luar biasa. Tanpa mengecilkan peranan dari para  tokoh ninik mamak 
pemangku adat lainnya, nama
tiga orang tokoh dapat saya sebut di sini. Saya merasa amat berhutang budi
kepada ketiga beliau.

Gagasan tentang organisasi LKAAM yang
bersifat federatif saya terima dari S.J. Datuk Marajo, orang sekampung saya
dari Padang Panjang, yang secara informal memberi saran kepada saya, sewaktu
saya sedang ter-bengong-bengong menjelang Mubes bulan Maret 1966,
tentang bagaimana  caranya menyusun
organisasi BKP NM yang nantinya  menjadi
LKAAM tersebut. Beliaulah yang pertama kalinya menyadarkan saya, bukan saja
tentang bagaimana pentingnya nagari di Minangkabau, tetapi juga tentang
psikologi orang Minangkabau yang tidak suka diperintah oleh siapa pun juga.

Melalui kontak pribadi yang intensif
antara ketua umum dan sekretaris umum, pandangan Baharuddin Datuk Rangkayo
Basa, ketua umum LKAAM kedua, sangat mempengaruhi wawasan saya, bukan hanya
tentang kedalaman makna adat Minangkabau, tetapi juga tentang kehidupan
berbangsa dan bernegara. Dengan sangat cerdas dan indah, beliau menempatkan
adat Minangkabau, yang sebelum itu mempunyai citra yang sangat konversatif
bahkan reaksioner, ke dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Berikutnya, Idrus Hakimi Datuk Rajo
Penghulu, mantan Walinagari Sungayang, Batusangkar, yang juga alumnus Parabek,
yang tanpa bandingan mampu mengintegrasikan norma adat Minangkabau dengan nash
Al Quran dan Hadist, menyuarakannya selama puluhan tahun di depan corong
RRI Padang, serta mengarang dan menerbitkan demikian banyak buku, yang sekarang
telah menjadi bagian dari rujukan tentang Minangkabau kontemporer. Beliau
kemudian tumbuh menjadi penceramah masalah adat Minangkabau yang andal, bukan
hanya di Indonesia, tetapi juga sampai ke Malaysia.

Pengalaman pribadi yang amat intensif
dalam upaya membangun kembali nagari setelah keterpurukan berlarut itu
merupakan modal yang amat kaya dalam tugas saya membangun Sekretariat Bersama
Golongan Karya (Sekbergolkar), yang kemudian menjadi Golongan Karya (Golkar)
‘jilid satu’ di  daerah Sumatera Barat,
yang fokus kegiatannya juga terletak pada membangun kembali nagari-nagari.
Dalam kegiatan ini saya mendukung penuh dan mendampingi kepemimpinan Gubernur
Harun Zain, 1966-1976.

Dalam kurun transisi yang penting itu
jugalah saya mengenal tokoh-tokoh ninik mamak daerah yang amat aktif dalam
kegiatan LKAAM, seperti Datuk Sati nan Balapieh dan Ketua Umum LKAAM yang
sekarang, Kamardi Rais Dt Panjang Simulie dari Payakumbuh; Datuk Tumbijo Dirajo
dari Padang Panjang, dan Haji Zakaria Nur dari Padang Sibusuk. Memberikan
dukungan secara diam-diam dari belakang, Oei Ho Tjeng, seorang veteran pejuang
kemerdekaan R.I. dan rekan dari mantan Komandan Front Padang, Letnan Kolonel
Kemal Mustafa.

Dengan pengalaman itu, secara pribadi
saya berpendapat bahwa para ninik mamak pemangku adat di nagari serta
organisasi  LKAAM  dari tingkat kecamatan ke atas, dapat kembali
memainkan peranan bersejarah untuk masa kini dan mendatang, khususnya untuk
mendukung program pembangunan manusia (human development)  seperti yang dibahas 
dalam Seminar Pembangunan
Manusia di Padang tanggal 23 dan 24 Agustus 2004 yang lalu. 

Dari berbagai data yang tampil dalam dua
kali seminar mengenai Minangkabau pada bulan Agustus 2004, di Padang dan di
Bukittinggi,  kita ketahui bahwa kondisi
dan taraf hidup masyarakat Minangkabau yang berdiam di nagari-nagari masih
tetap jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang berdiam di kota-kota, padahal
di nagari-nagari itulah terletak ajang berkiprahnya para ninik mamak dan LKAAM.
Dalam seminar di Bukittinggi tanggal 27-28 Agustus itu saya amat terkejut
sewaktu mengetahui kenyataan  bahwa
sebuah keluarga petani Minangkabau hanya rata-rata memiliki lahan  seluas 0,2 
HA saja, sehingga menjadi petani
termiskin di pulau Sumatera!  Artinya ‘khittah’
LKAAM pada tahun 1966 belum sepenuhnya terpenuhi setelah 40 tahun waktu
berlalu. Tidaklah berkelebihan jika dikatakan bahwa mau tidak mau kondisi
kehidupan yang buruk di nagari-nagari bisa dipandang sebagai angka merah pada
‘rapor kepemimpinan’ para ninik mamak dan LKAAM.

Oleh karena itu, melalui artikel ini
izinkanlah saya menganjurkan kepada seluruh ninik mamak pemangku adat se
Minangkabau pada umumnya, dan kepada jajaran kepengurusan LKAAM di segala 
tingkat
pada khususnya, untuk semakin banyak memberikan perhatian kepada pembangunan
ekonomi nagari. Keberhasilan – atau ketidak berhasilan – para ninik mamak dan
LKAAM ini, bukan saja penting bagi eksistensi lembaga ninik mamak dan LKAAM itu
sendiri, tetapi juga untuk masa depan Sumatera Barat, yang 71% dari penduduknya
masih berdiam dan memperoleh nafkahnya di nagari-nagari.

Akhirulkalam, agar bisa selalu tersedia rujukan otentik
mengenai keruntuhan dan kebangkitan kembali adat Minangkabau serta para ninik 
mamak
pemangku adatnya dalam membangun nagari di daerah Sumatera Barat dalam zaman
kontemporer, izinkanlah saya mengusulkan untuk disusunnya secara lengkap buku 
Sejarah
Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau, LKAAM, 1966-2006.  

Program penyusunan sejarah ini saya rasa
urgen, bukan saja mengingat  telah
berpulangnya satu demi satu mereka yang mendirikan  dan memimpin LKAAM ini, 
tetapi juga mengingat
bahwa sukses tidaknya renaisans Minangkabau dalam menjawab tantangan abad ke 21
ini bergantung pada sukses tidaknya upaya para ninik mamak dan LKAAM dalam
mereformasi diri. Bagaimanapun, basis sosiokultural Minangkabau masih tetap
terletak di nagari, dan di dalam nagari, para ninik mamak pemangku adat, yang
dalam konteks Sumatera Barat berorganisasi dalam LKAAM.

Sumbangan saya sendiri sebagai pribadi
dalam upaya membangun kembali Minangkabau dan daerah Sumatera Barat yang saya
cintai ini, terletak dalam bidang konseptual, yang telah saya rangkum dalam
buku saya, Masih Ada Harapan: Posisi Sebuah Etnik Minoritas dalam Hidup
Berbangsa dan Bernegara, yang bedah bukunya akan dilakukan pada tanggal 18
Oktober mendatang di Studio TVRI Padang, jam 14:00 – 16:00 WIB, yang akan
disiarkan langsung oleh TVRI Studio Padang. Insya Allah.

Jakarta, 10 Oktober 2004. SB:sb.









-- 
.
Posting yang berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan di tempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini dan kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur dan Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer dan seluruh bagian tidak perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat e-mail baru, tidak me-reply e-mail lama dan 
mengganti subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali serta ingin mengubah konfigurasi/setting-an 
keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe.

Kirim email ke