MEREKA pulang berbondong-bondong dari satu pertemuan jang di beri nama 
halal-bihalal, awal bulan ini, seolah-olah satu parade jang sunji dan pandjang 
disaat-saat lewat tengah malam. 

Bermula dari Istora Senajan lalu menjusuri djalan Djenderal Sudirman terus ke 
djalan Thamrin, orang-orang Minang itu dari sana mementjar keseluruh pendjuru 
Kota. Tak ada jang istimewa dalam peristiwa ini. Ketjuali satu hal: bahwa itu 
terdjadi di Djakarta. Dengan arak-arakan jang demikian, untuk sesaat kehidupan 
kota besar ini diberi tjorak lain. Orang-orang Minang, sadar atau tidak, 
sebelumnja telah ikut serta memberi tjorak dibanjak bidang kehidupan Djakarta. 
Sampai berapa djauh, itu satu hal jang masih bisa diperdebatkan. Tapi 
seandainja kehidupan kota adalah satu pentas jang besar, maka orang-oran Minang 
- diantara oran-orang lain - sebagai para pelaku jang penting atau tidak, 
selalu kelihatan "hadir". Mengapa? Mungkin sekali karena sosok keuletan jang 
selalu mereka kenakan. Keuletan, jang dapat ditemukan dalam pantun ini: 
* Putus tali lajan-lajang Robek kertas tentang bingkai Hidup djangan mengepalan 
Tidak kaja, berani pakai * 

Garam & Bunga. 
Tanpa itu agaknja orang Minang dalam kehidupan masjarakat Djakarta, atau 
diseluruh Nusantara, tak akan tjukup menarik untuk dipermasalahkan. Dan dengan 
itu pula para avonturir Minang dari golongan avonturir Indonesia jang relatif 
ketjil djumlahnja menjebar kemana-mana. Menurut satu sumber Pemerintah Daerah 
DCI, sebanjak 400.000 orang menumpuk di Djakarta merupakan 10% dari djumlah 
seluruh penduduk. Mereka menggarap apa sadja jang sesuai dan bisa digarap, 
dengan satu tekad: harus sukses. Akan tetapkah di masa jang akan datang mereka 
djadi "garamnja masjarakat" seperti jang di kemukakan Dr Hamka, ataukah akan 
tumbuh sebagai "bunga dalam taman Indonesia" -- jang mungkin punja warna 
sendiri seperti jang tjoba diramalkan oleh Prof. Bahder Djohan? Itu hanja sang 
waktu jang bisa membuktikan. 

Sudah tentu Djakarta bukanlah satu-satunja sasaran para perantau Minang Mochtar 
Naim, jang mengadakan penjelidikan mendalam tentang perantau-perantau Minang 
sedjak lama, sekarang Direktur Centre for Minangkabau Studies di Sumatera 
Barat, mengutip pendapat seorang kepala daerah Djawa Barat jang memperkirakan 
bahwa didaerahnja terdapat 300.000 orang Minang, tersebar dibanjak kota seperti 
Tjirebon. Tasikmalaja, Tjiamis, Garut, Purwakarta Sukabumi dan djuga Banten. 
Beberapa ribu orang lagi dapat ditemukan di Djawa Tengah & Djawa Timur, sedang 
300.000 orang diperhitungkan menetap di Sumatera Utara, dan 100.000 dari 
djumlah ini mendjadi penduduk kota Medan. Sumatera Selatan kebagian 100.000 
perantau Minang, sementara kota-kota Djambi dan Pekanbaru jang disebut sebagai 
satelit, padat dengan para perantau dari daerah jang sama. 

Naim menjimpulkan bahwa gelombang perantauan Minang, iang dapat dirasakan 
efeknja hingga sekarang, mulai bergerak sesudah Perang Dunia I. Mereka melintas 
melalui 4 poros: Deli dan Sumatera Utara, Riau dan Djambi, pulau Djawa dan 
tanah Semenandjung (Malaysia). Beberapa ratus tahun sebelum gelombang 
perantauan besar-besaran itu terdjadi, kira-kira diudjung abad 14 (1390) 
seorang pangeran dari Minangkabau, Radja Baginda, mendjeladjah sampai ke Sulu. 
Disana ia dinobatkan sebagai radja Sulu I. Pada achir abad ke-15, orang-orang 
Minang menjusup kepantai-pantai timur Sumatera, bahkan menjeberang ke Melaka 
dan mungkin djuga mendjadi tjakal-bakalnja pendatang-pendatang Minang jang 
sekaran mendiami Neeri Sembilan, Malaysia. Kabarnja sudah ditahun 1512 
Albequerque menjebut-njebut tentang daerah daerah kota bagian pedalaman Malaka 
jang telah didiami pendatang-pendatang Minang. Diawal abad ke--17 konon ada 
tiga orang datuk asal Minangkabau, Datukri Bandang, Datukri Pattimang dan 
Datukri Tiro jang aktif menjebarkan gama Islam di Sulawesi Selatan. Prof. 
Zainal Abidin dari Universitas Hasanuddin menjatakan bahwa jang disebut sebagai 
orang "Melaju" di Sulawesi Selatan adalah djuga orang-orang Minangkabau jang 
membuat koloni di Makassar dan sampai kini masih memakai gelar Sutan. Patut 
djuga diikut-sertakan keterangan Prof. Jaspan: kalangan bangsawan Serawak 
berasal dari keturunan Minangkabau dan menurut dugaan, mereka datang kedaerah 
ini pada zaman kedjajaan Malaka. 

Dalam masa-masa sesudahnja mereka menjebar ke Pontianak, Bandjarmasin, 
Samarinda, Tarakan, Menado, bahkan samapi ke Nusa Tenggara, Maluku dan Irian 
Barat. Maka Mochtar Naim sampai pada kesimpulan: tak ada satu kelompok ethnis 
di Indonesia jang pindah keluar daerah asalnja setjara demikian menjolok 
seperti orang Minangkabau. Timpang. Tanpa memperhitungkan sifat perpindahan, 
Naim membandingkan djumlah orang-orang jang keluar dari Djawa kepulau-pulau 
lain di Indonesia: antara tahun 1938-1965 djumlah merekahanja sekitar 1 djuta. 
Ini berarti kurang dari � dari seluruh penduduk Djawa. Dengan rumus Pn = Po 
(1+r)n Mochtar Naim sampai pada angka bahwa djumlah seluruh orang Minangkabau 
jang di Sumatera Barat plus jang dirantau mentjapai 7.591.309. Bila menurut 
sensus terachir djumlah penduduk Sumatera Barat hanja 2.784.623 orang, maka 
sudah dapat dibajangkan bagaimana timpangnja perbandingan djumlah para Minang 
jang merantau dengan jang tetap tinggal didaerah asalnja. Bahwa seorang 
pangeran Minangkabau bisa sampai ke Sulu di Filipina di masa jang bersamaan 
dengan berkuasanja Hajam Wuruk dipuntjak kedjajaan Madjapahit (1350--1380), 
kiranja bukan suatu hal jang terlalu penting untuk di perbintjangkan. Tapi 
bukan tidak menarik untuk sekedar direnungkan. Begitu pula halnja bagaimana 
orang Minang bisa tertjampak ke Maluku dan Irian, tempat-tempat jang terlalu 
djauh jang walaupun tertera dalam peta tapi tidak pernah mengundang mereka, apa 
pula menawarkan djandji dan harapan. 

Hanja Tuhan jang sudah tahu mengapa mereka kesana dan bagaimana - sebab 
ahli-ahli sedjarah belum. Sekedar bahan banding Prof. Bahder Djohan bertjerita 
tentang seorang pamannja jang pergi meninggal kan Minangkabau untuk djadi 
Demang dipulau Obi, Maluku. Waktu itu tahun 1930-an. Sang paman menganggur, dan 
pemerintah Hindia Belanda memerlukan seorang laki-laki jang berani dipekerdja 
kan sebagai Demang nun disana dipulau Obi. Tanpa terlalu banjak 
menimbang-nimbang, tawaran Belanda diterima. Hanja bedanja bila 
perantau-perantau lain dibekali ketupat, benang dan djarum, maka ia membekali 
dirinja setjara istimewa. Dia bukan sadja lebih dulu mempeladjari adat-istiadat 
penduduk setempat, tapi tak lupa mempeladjari tjara-tjara terbaik dalam 
menjambut kelahiran seorang anak. Beberapa tahun kemudian, paman itu mendjadi 
seorang Demang jang sukses dalam pekerdjaannja, dan sukses pula bertindak 
sebagai bidan dalam menjambut kelahiran anak-anaknja. Menangkap Kesempatan. 
Kisah paman ini bukan satu tjontoh klasik tradisi merantau orang Minang. Tapi 
dari situ dapat disarikan beberapa tjiri watak jang chas: tjepat menangkap 
kesempatan, berusaha tjepat menjesuaikan diri dimana dan dalam situasi apa 
sadja, tjerdas, dan jang paling utama: selalu sedia mengembara. Bahwa kesediaan 
itu kadang-kadang mentjapai bentuk jang ekstrim, selalu dapat ditemukan dalam 
pribadi-pribadi Minang jang "madjenun" dari dulu hingga sekarang. 

Satu kisah sederhana tentang kemadjenunan itu datang dari seorang wanita asal 
Koto Gadang. Seorang adiknja laki-laki (bukan adik sekandung) bersama dengan 
temannja telah menjusuri sungai sungai menudju pantai timur Sumatera. Dari sana 
dengan perahu sampai ke Djakarta. Itu terdjadi disaat perang kemerdekaan sedang 
berketjamuk. Rahmat apa jang diharapkannja dari kenekatan menjabung njawa 
seperti itu? Tak satupun. Anak laki-laki jang baru berumur 15 tahun itu telah 
pergi menjeberang laut, hanja untuk mentjari ilmu pengetahuan, satu harta karun 
jang sampai sekarang dinikmati setjara merata oleh orang-orang Koto Gadang. 
Kalau akan digali dan ditjeritakan kembali, mungkin akan tertjipta buku 
berdjilid-djilid tentang kisah rantau dari orang-orang Minang jang oleh 
Encyclopaedia Britaniea disebutkan sebagai powerful Malayan People", jang meski 
djumlahnja hanja 3 djuta (entah berdasarkan sensus jang mana) ditahun-tahun 
1960--an, tapi telah memainkan peran penting dalam perdjuangan kemerdekaan 
Indonesia. 

Keterangan ini tidak seluruhnja benar. Tapi agaknja orang-orang Barat punja 
perhatian jang berlebihan terhadap bangsa Indonesia dari puak jang satu ini. 
Thomas Stamford Raffles telah mendjeladjah ranah Minang dari Padang hingga 
djauh kepedalaman sambil mergumpulkan bahan-bahan ilmiah tentang berbagai 
tumbuhan jang terdapat disana. Banjak orang Belanda paling senang membuang 
waktu mereka dengan mengorek-ngorek hal-hal ketjil jang bisa mereka temukan 
dalam adat-istiadat Minang. Satu tjontoh mutachir adalah apa jang didengar 
Irdjenpol Awaluddin Djanin dari bekas dutabesar Marshall Green Duta ini 
mengatakan bahwa 40% dari anggota DPRGR ternjata adalaha orang orang kelahiran 
Minang Otentik-kah keterangan ini atau tidak masih perlu di buktikan. Jang 
djelas Green telah memperhatikan hal-hal jang orang Minang sendiri tidak 
memperhatikannja. Seminar Chusus. Sebaliknja akan tidak tepat kalau di katakan 
orang-orang Minang sama sekali tidak memperhatikan dan menilai diri mereka. 
Mereka telah tiga kali mengada kan seminar chusus mengenai sedjarah dan 
kebudajaan Minangkabau. Malangnja, sampai saat-saat terachir belum di temukan 
kesepakatan mengenai masalah: mengapa orang Minang terus-menerus merantau? 
Djustru masalah itulah jang mendjadi pusat pemikiran mereka selama ini. 

Mochtar Naim dapat memastikan bahwa pergi merantau telah melembaga dalam 
kehidupan masjarakat Minang, sedang mengenai sebab-musababnja tjukup beragam, 
tidak hanja "kegelisahan" seperti jang ditekankan Miral Manan dan beberapa 
tokoh Minang di Djakarta. Dari data-data jang dikumpulkannja, Naim mentjatat 
bahwa faktor-faktor ekonomi seperti kesulitan hidup dikampung, kurangnja 
lapangan kerdja dan kurangnja djumlah sawah, telah merupakan faktor utama jang 
menjebabkan orang Minang merantau. Sesudah itu menjusul faktor pendidikan 
seperti dorongan untuk menambah ilmu pengetahuan lalu faktor psichologis, 
misalnja tertekan perasaan, mengikutkan darah merantau, ingin melihat negeri 
orang tidak kuat bertani, menghindarkan tjemooh dan sebagainja. Dan jang 
menarik dari kesempatan itu ialah: Faktor adat merupakan sebab jang paling 
ketjil jang bisa didjadikan alasan untuk merantau. Mengenai faktor ekonomi jang 
terbukti paling menentukan itu, dengan sangat keras dibantah oleh Dr Roesmali 
seorang tjendekiawan jang sedjak lama dipandang sebagai sesepuh Minang 
perantauan di Djakarta. Tokoh jang pengaruhnia terasa tidak sadja di Djakarta 
tapi djuga di Sumatera Barat ini tidak menganggap masuk akal kalau orang Minang 
merantau hanja karena kurang nja sawah. "Nonsense", katanja. "Memang kehidupan 
dikampung tentu sadja sukar. Kalau semuanja mau berdagang siapa lagi jang 
membeli?", ia balik bertanja. Setjara tidak langsung Dr Roesmali ingin 
mejakinkan, bahwa masalah pergi merantau itu dapat dikembalikan pada hal-hal 
jang lebih tersembunji: djiwa mengembara, djiwa mandor jang selalu ingin 
memimpin, selalu ingin tahu tapi selalu tjepat djemu, tidak tekun dan tidak 
betah disatu bidang jang sudah tidak mengandung rahasia lagi bagi djiwa jang 
gelisah itu. 

Minang Kompleks. 
Dr Hamka menanggapi masalah jang sama setjara lebih subjektif. "Bakat saja 
djadi orang Indonesia. Saja pergi merantau karena desakan djiwa". Lebih djauh 
ia mengakui bahwa sukar mendapatkan kebebasan individu dalam lingkungan 
masjarakat Minang. Baginja tak ada kebebasan bagi masing-masing orang untuk 
mengembangkan pribadi, bakat dan kemampuannja. "Untuk membuktikan saja adalah 
saja, orang Minang perlu pergi merantau. Diperlukan satu pengakuan dunia untuk 
mendapatkan pengakuan dari kampung sendiri", kata Hamka plastis. Ia mengkaitkan 
kondisi djiwa seperti ini dengan "Minang complex" istilah jang pernah 
diperkenalkan oleh Dr M. Amir dimasa-masa jang lalu. Persilangan pendapat 
melandjut tidak berkeputusan sementara orang-orang Minang terus membandjir 
keluar. 

Menurut tjatatan koresponden TEMPO Chairul Harun rata-rata setiap bulan 3000 
orang meninggalkan Sumatera Barat dengan kapal laut dan udara. Tak dapat 
dipastikan berapa banjak jang merantau-Tjino dan berapa banjak pula jang 
merantau-pipit, tapi umumnja jang naik pesawat sebagian besar pedjabat dan 
pedagang. Dalam pada itu setiap hari 10-15 bus umum mengangkut orang-orang 
Minang dari kota-kota Bukittinggi dan Padang kedjurusan Medan. 10--15 bus lain 
berangkat tiap hari mengangkut para Minang dari kota-kota Padang, Batusangkar, 
Bukittinggi dan Pajakumbuh ke Pekanbaru, disamping tiap minggu rata-rata ada 3 
bus jang menudju Djambi. "Pulanglah Waang". Berapa orang dari mereka jang 
setiap bulan mengalir ke Djakarta tidak dapat didjawab oleh St. Bachtiar, 
Kepala Kantor Urusan Penduduk DCI, hanja karena tidak ada tjatatan mengenai 
penduduk jang berdasarkan asal/kesukuan. Jang pasti, setiap waktu ada orang 
Minang baru memuntjulkan dirinja di Djakarta dan melebarkan matanja jang 
memendam 1001 rasa ingin tahu dan ingin mentjoba. 

Dapatkah dikatakan mereka berhasil? Bahder Djohan merasa tidak perlu 
menjembunjikan satu hal: bahwa belakangan ini ada beberapa pemuda Minang jang 
dapat dikategorikan gagal, jang minta bantuan kepadanja. Orang tua ini 
membantu, tapi djuga menasihatkan supaja mereka pulang sadja kekampung. Dan 
perantau Minang jang lain, jang sukses djuga akan bersikap sama: "pulanglah 
waang", lalu ongkos kapalpun diberikan. Pulang kekampung tanpa sukses adalah 
hukuman bagi mereka jang tidak lulus udjian hidup jang kian keras di Djakarta 
ini. Tapi mereka harus pulang. Dikampunglah tempat jang, paling damai untuk 
orang-orang gagal, sedang Djakarta adalah tempat chusus bagi mereka jang masih 
tahan untuk sukses. Dan siapa-siapakah jang sukses atau setidak-tidaknja 
sanggup bertahan di Djakarta? Bisa disebut pertama adalah para pedagang. Bukan 
sadja karena mereka paling banjak bisa ditemukan dan dihubungi langsung, tapi 
djuga karena gaja berdjualan mereka jang chas Minang seperti bisa disaksikan 
dikalangan pedagang kaki-lima. Karir sebagai pedagang adalah karir jang sangat 
banjak disenangi perantau Minang. Mungkin karena bakat mereka terletak disana, 
mungkin pula karena perdagangan jang dilakukan setjara lihai dapat lebih tjepat 
mendatangkan hasil dan keuntungan tanpa terlalu banjak tenaga jang keluar. 
Keuntungan bukan sadja menentukan naik turun nasib mereka selama dirantau, tapi 
djuga ikut menentukan tinggi rendah martabat perantau itu dikalangan 
keluarganja di kampung. Sesuai dengan tjara hidup Minang jang tradisionil, 
makin banjak bukti-bukti keuntungan dikirim kesana, makin berhargalah ia dimata 
kaum kerabat. Dan sesuai pula dengan tjara berfikir Minang jang turun-temurun, 
maka seperti sudah diakhir mereka membatasi barang-barang dagangan jang 
diperdjualbelikan. 

Kebiasaan ini dikenal dengan istilah "dagang halus" seperti jang dikatakan 
Alizam Almatsir, seorang pegawai tinggi Departemen Keuangan. Kamfer. Sekali 
pintas sadja dapat diketahui bahwa tidak ada dari mereka jang berdagang sajur 
seperti umumnja orang Sunda atau djualan bensin olie pinggir djalan, seperti 
jang biasa dilakukan orang-orang Batak. Jang mereka perdagangkan kalau tidak 
obat, kamfer, atau mainan anak, barang-barang konfeksi. Tentu sadja jang paling 
banjak adalah berdjualan tekstil kelontong dan barang petjah-belah. Puntjak 
dari semua itu adalah berdagang barang-barang antik, seperti jang dilakukan 
Djohan didjalan Sabang atau barang-barang keradjinan tangan seperti jang 
terlihat ditoko Kota Gedang. Belakangan ini ada dua pedagang emas asal Minang 
jang menempati kios ditingkat atas Pasar Blok M Kebajoran Baru. Djuga ada 
pedagang-pedagang Minang jang mendjual pelbagai alat listrik, satu barang 
dagangan jang selama ini hanja dimonopoli para pedagang Tjina. Kalau mau 
dibandingkan dengan Tjina suku Hoktjia jang dagang besi dan menghimpun modal, 
"nah, orang Minang belum sampai kesitu", kata Basir Ibrahim dalam nada kendor. 
Lalu sampai dimana mereka sudah? Dikalangan pedagang kaki-lima, maka orang 
Minang nomor satu disana. Kendati achir-achir ini para pedagang kakilima diuber 
kemana-mana, tak urung para Minang tetap bertahan, paling tidak disepandjang 
emper Pasar Baru. Dan sebaiknja djangan menganggap remeh mereka: hampir semua 
punja modal sendiri, walau katakanlah hanja berkisar sekitar Rp 5.000 sampai Rp 
20.000. Kalaupun ada jang bermodal dengkul, maka tjukongnja masih orang Minang, 
belum orang Tjina. 

Lalat. 
Punja atau tidak punja modal dalam satu hal mereka sama: tidak aman selalu 
diintjer polisi, selalu harus siap untuk bergerilja. Semua ini tidak mereka 
senangi, tapi keadaan keuangan belum mengizinkan untuk menempati satu kios 
setjara aman dan tarhormat, Bagaimana situasi dagang? Kalau ada barang baru, 
misalnja mainan anak-anak model terbaru "untuk tjari untung Rp 1.000 sehari 
gampang sadja", kata Arsjad seorang anggota kaki-lima. Bagaimana omzet tiap 
hari? Tak tentulah, kalau dekat hari-hari besar memang dapa pukulan hebat. 
Tjuma kadang-kadang lowong, bolos sama sekali, lalatpun tak mampir bisa djuga 
terdjadi". Tidak sedikit dari tingkat kaki-lima, para Minang jang ulet itu 
menandjak perlahan-lahan tapi pasti ketingkat jang lebih tinggi. Beberapa dari 
mereka dapat digolongkan pedagang menengah jang sekarang menempati kios-kios 
dipasar blok M, Djatinegara atau Menteng Pulo. 

Pedagang menengah Minang kegiatannja lebih beragam, dan djuga lebih berwatak. 
Mereka jang sudah bertahun-tahun berdagang dipasar Tanah Abang dan Senen tidak 
perlu diragukan lagi bonafiditasnja. Hanja mereka jang konon menempati 60% dari 
seluruh kios pasar Blok M sebegitu djauh masih belum mejakinkan. Mengapa? 
Mereka berdagang tanpa modal. "Konsinjasi, begitulah istilahnja", kata Chudri 
Muin, 32 tahun. "Barang laku terdjual, baru dibajar", djawabnja tak atjuh. 
Sudah 10 tahun berdagang di Djakarta maka deradjat bonafiditas jang beginilah 
jang baru ditjapainja. Adakah pedagang Minang lainnja denan textil jang 
ber-bal-bal itu djuga tidak lebih baik nasibnja dari dia? Ternjata demikian. 
Hanja satu dua jam benar-benar bisa disebut bonafid: bukan hanja punja kios 
tapi djuga punja modal. Lalu jang tidak bonafid siapa tjukongnja? 
Pedagang-pedagang Tjina dan Bombay di Pintu Ketjil Amboi! Bagaimana perasaan 
Chudri sekarang? "Lumajan". Adakah organisasi diantara sesama pedagang urang 
awak? "Tidak", djawabnja tjepat. "Pedagang bisa sukses kalau dia mulai dari 
bawah dan bergerak menurut kemauan sendiri. Saja tidak jakin seorang jang tidak 
punja kemampuan berdagang bisa berhasil sekalipun ada organisasi jang 
membiajainja". Sungguh beda pendapat Chudri dengan metode berfikir para 
pedagang Tjina. Dan bagaimana benar bedanja hanja pedagang Tjinalah agaknja 
jang lebih mengetahui. 

Lepau. 
Dalam pada itu bagaimana nasib pemilik modal besar asal Minang seperti Djohan 
Djohor, Tamin dan beberapa jang lain jang hampir besar tapi tidak pernah sempat 
besar? "Ketjakapan entrepeneur ada tapi tak bisa besar", kata Awaluddin Djamill 
bekas Menteri ahli administrasi asal Minang itu. Mengapa? Bila tokoh sentralnja 
hilang, berantakanlah semua. "Kelemahan organisasi", tambah Almatsir sang 
ekonom asal Kota Gadang. "Bisnis perorangan, sistim kerdja tidak melebihi 
sistim lepau". Betapapun ada sistim lepau, jang menjolok djustru suksesnja: 
lepau alias restoran "Padang". Restoran-restoran ini tidak bisa dikatakan 
mengalami boom di Djakarta, tapi kehadiran mereka tjukup manjala dan djumlahnja 
terus bertambah (mentjapai 200, besar ketjil). Menu Minang jang pedas-pedas, 
lemak berminjak telah merebut banjak penggemar, bahkan 70% daripadanja terdiri 
dari orang-orang Djawa, Tjina dan asing. Djuga servis ala Minang dalam tempo 
kurang dari 15 menit bukan tidak ada pengaruhnja pada orang-orang Djakarta jang 
lebih sadar waktu. Lagi pula mereka bebas memilih dari 20 djenis masakan, dan 
sudah rahasia umum kalau mau makan hanja dengan nasi berkuah tidak akan ada 
jang keberaan. Tjiri lain jang menondjol dari restoran Minang adalah 
nama-namanja: Saiyo, Puti Bungsu, Bundo Kandung, Sekato dan jang bunjinja 
mirip-mirip itu. Kebetulan sekali rumah makan Roda, jang tergolong terbesar dan 
termewah, tidak menggunakan nama Minang. Begitu pula Beringin jang seperti 
Saiyo, bagaikan sindikat punja banjak tjabang diseluruh Djakarta. Hasuda, 
pemilik Roda tidak terfikir untuk melakukan hal jang sama. Mungkin ia ingin 
mendjaga mutu, karena itu pulalah jang dibanggakan oleh nenek-mojangnja dulu 
dinegeri Kapau dekat Bukittinggi. 

Masih ada satu segi lain jang dipertahankannja, dan mungkin djuga ditrapkan 
oleh seluruh restoran Minang. "Karyawan kami banjak terdiri dari sanak keluarga 
sendiri, kalau masakan hari ini tidak habis, maka dimakan bersama", kata Hasuda 
terus terang. Tidak sjak lagi restoran Minang jang 200 itu merupakan lapangan 
kerdja jang lumajan untuk para perantau Minang, terutama jang masih dalam 
plontjo. Djuga mendjadi batu lontjatan kebidang usaha jang lebih baik. Lapangan 
kerdja jang lain terutama jang menawarkan djasa-djasa tjukup banjak djuga. 
Para tukang djahit, seperti Independence dan Bizar punja beberapa tjabang, 
disamping satu dua travel biro. Usaha jang lebih ketjil-ketjilan tapi masih 
memerlukan keahlian, banjak terserak disepandjang djalan seperti pembikinan 
stempel, service foto kilat ataupun memperbaiki djam rusak. Sebenarnja seperti 
para pedagang kakilima, dunia mereka bukanlah dunia jang aman. 

Terang & Gelap. 
Dunia jang aman, tidak terlalu gemuruh dan putih bersih seperti badju potong 
Tjina jang sekali-sekali dipakai, telah lama berhasil ditjiptakan kaum 
intelektuil Minang. Mereka meliputi lebih dari satu generasi, dan merasuki 
hampir seluruh sosial strata jang mereka bisa masuki. Tergolong dalam dunia 
aman tentram ini aalah para chatib Minang jang menurut tjatatan Mochtar Naim 
meliputi 60 dari 150 chatib jang terdaftar diseluruh mesdjid kota ini. 
Tergolong djuga kedalamnja para pegawai pemerintah, jang sudah mapan ataupun 
belum para ABRI jang luwes ataupun kurang luwes dokter, insinjur, ekonom, 
djaksa bahkan djuga wartawan, jang djempolan. Dan dimanakah tempat para 
politisi? Disana djuga, baik politisi Jang sudah veteran, maupun jang masih 
aktif dan segar-segar. Para mahasiswa? Sekali waktu diruang kuliah, lain waktu 
diklub diskusi, diatas mimbar didjalan-djalan berdemonstrasi atau diperkaderan 
HMI. Bagaimana prestasi mereka sebagai tjalon intelektuil? Menurut Sjahrir, 
Ketua IMADA "tjukup berhasil", dengan perhitungan bahwa jang tanggal alias 
drop-out lebih sedikit dari jang tamat. Pengaruh kehidupan universias dan 
dinamik kota besar dalam sikap hidup mahasiswa-mahasiswa perantau itu rupanja 
tak selamanja kuat. "Ikatan primordial djauh lebih kuat daripada kehidupan 
urban dan universitas", menurut pengamatan Sjahrir pribadi. Sjahrir djuga 
mengatakan: "Ketjenderungan kerdja dibirokrasi pemerintahan, 
perusahaan-perusahaan asing tampaknja djuga dipunjai mahasiswa-mahasiswa 
Minang, sedang entrepeneurship jang duh disangka ada, tampaknja sekarang 
menjusut". Berseberangan dengan dunia aman jang tidak gemuruh itu, adalah dunia 
jang gelap-gelap terang, milik para pentjopet Minang jang sering disebut-sebut 
tapi sukar untuk dibuktikan. Dunia itu konon memanglah ada, bukan sematjam 
Mafia ketjil, tapi lebih mirip sekelompok kriminil bertangan halus dengan 
tehnik permainannja jang djuga halus. Dan mereka tersohor karena kehalusan 
itulah, jang mungkin ketjipratan unsur-unsur tata-krama Minang jang 
menghalus-halus tutur-kata halus (meskipun tadjam), siasat halus (kendatipun 
perang). 

Karena itu pula agaknja bisalah dimengerti mengapa orang Djawa heran meliht 
orang Minang jang "koq bisa tidur dihotel. makan diwarung padahal kerdjanja 
tjuma ngobrol-ngobrol sadja". Apa jang diherankan ini tjuma satu resep dari 
sekian banjak resep hidup para perantau Minang jang kelihatannja tidak pernah 
kehabisan akal atau kehabisan tjara dalam mengatasi pelbagai tuntutan-dunia. 
Konon pula di Djakarta jang tanahnja dipidjak langitnja didjundjung, airnja 
disauk rantingnja dipatah. Disinilah para perantau Minang telah menemukan 
"rantau bertuah".

15 JANUARI 1972
Majalah.Tempoi, arsip/1972

-- 
.
Posting yang berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan di tempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini dan kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur dan Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer dan seluruh bagian tidak perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat e-mail baru, tidak me-reply e-mail lama dan 
mengganti subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali serta ingin mengubah konfigurasi/setting-an 
keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe.

Kirim email ke