http://www.indrapiliang.com/2010/12/01/monarki-yogyakarta-apanya/
 
Sindo, Tuesday, 30 November 2010  
Monarki Yogyakarta: Apanya?
oleh
Indra J Piliang
      

Ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebut istilah monarki,Sultan 
Hamengku Buwono X langsung bereaksi. Apakah Presiden SBY mengetengahkan sebutan 
monarki itu kepada Yogyakarta ataukah kepada ratusan utusan kerajaankerajaan 
lama yang sedang berkumpul di Palembang, Sumatera Selatan? 
Pemberitaan media menyebut berkaitan dengan Rancangan Undang-Undang tentang 
Keistimewaan Yogyakarta. Presiden SBY membawa persoalan ini terlalu jauh yakni 
membenturkan antara demokrasi dan monarki.Seolah-olah monarki bertentangan 
dengan demokrasi. Padahal, dari data yang dikeluarkan oleh Freedom House, 
sebagian besar negara di Eropa, Amerika Serikat,Amerika Latin, termasuk 
Indonesia dan India di Asia,adalah negara yang masuk kategori bebas atau free 
dengan warna hijau (www.freedomhouse.org). 
Dengan kategori itu, negara-negara monarki di Eropa adalah juga negara 
demokratis. Perdebatan sejumlah politisi membuka tabir yang sebenarnya dari 
ucapan Presiden, yakni menyangkut penetapan atau Pemilihan Gubernur Daerah 
Istimewa Yogyakarta (DIY). Selama ini jabatan itu langsung diberikan kepada 
Kesultanan Yogyakarta,dalam hal ini Sultan Hamengku Buwono (HB) IX dan Sultan 
HB X. Pemikiran yang muncul dalam rapat Kabinet Indonesia Bersatu II 
menyimpulkan bahwa penetapan itu membawa kepada sistem monarki dan 
antidemokrasi.
Lima Sistem 
Dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia, kita mengenal lima sistem atau model 
pemerintahan daerah. Kelimanya adalah: (1) Daerah Istimewa Yogyakarta serta 
Aceh di masa lalu; (2) Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta; (3) Daerah Otonomi 
Khusus Papua dan Papua Barat; (4) Daerah Self Government Aceh, dan (5) Daerah 
Otonom yang berdasarkan UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah terdapat 28 
provinsi. 
Tujuh provinsi meminta disebut sebagai Provinsi Kepulauan,namun masih negosiasi 
dengan pemerintah pusat. Dengan model itu, Jakarta, Aceh, Papua, Papua Barat, 
dan Yogyakarta diatur dengan undangundang yang berbeda dengan UU No 
32/2004.Untuk Aceh,misalnya, diterapkan syariat Islam bagi kaum muslim dan 
keterlibatan partai politik lokal dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) dan 
pemilu nasional. Untuk Papua dan Papua Barat,gubernur hanya boleh berasal dari 
ras Melanesia, serta dibentuk Majelis Rakyat Papua yang tidak ada di provinsi 
lain. 
Jakarta tidak memiliki DPRD Kota, begitu juga wali kota ditetapkan tidak 
melalui proses pilkada. Beragam variasi itu menunjukkan bahwa Indonesia memang 
menganut paham Bhinneka Tunggal Ika. Bukan hanya dalam budaya, melainkan juga 
sistem pemerintahan daerahnya. Karena itu, banyak pihak sepakat bahwa penetapan 
Sultan HB X sebagai Gubernur DIY tidak bertentangan dengan demokrasi dan 
konstitusi. Penetapan itu bagian dari sejarah bangsa dan negara Indonesia yang 
memang tidak seragam. Dengan keberadaan UU yang mengikat Yogyakarta selama 
ini,sebutan terjadi monarki sungguh tidak biasa. 
Strategi Budaya 
Keindonesiaan tidak dibangun dalam semalam. Almarhum Nurcholish Madjid menulis, 
betapa Indonesia diimpit oleh minimal empat gelombang kebudayaan,mulai dari 
zaman batu, agraris, industri, sampai zaman teknologi informasi. Ibarat 
anak-anak dan manusia dewasa, Indonesia bukan berasal dari umur yang sama. Kita 
belum lama menyaksikan kemerdekaan Timor Timur menjadi Negara Timor Leste, 
sembari melihat konflik bersenjata berakhir di Aceh. 
Maka, alangkah ahistorisnya kalau perdebatan menyangkut status pemilihan atau 
penetapan Gubernur DIY dibawa ke dalam konsep monarki atau bukan.Yogyakarta 
adalah sedikit dari provinsi yang terkenal atau dikenali oleh rakyat Indonesia. 
Selain kota atau daerah pelajar, Yogyakarta memiliki banyak seniman. Sejumlah 
kajian menunjukkan bahwa yang menjaga Yogyakarta tetap seperti Yogyakarta 
sekarang adalah menyatunya Sultan HB IX dan Sultan HB X dengan posisi sebagai 
Gubernur Yogyakarta. 
Perlindungan terhadap kebudayaan lokal terjadi dengan baik. Kalau diperhatikan, 
kerajaankerajaan lama masih hidup di berbagai daerah. Presiden SBY dan Ibu 
Negara Ani Yudhoyono bahkan mendapat gelar yang sering disebut sebagai simbol 
feodalisme itu. Persoalan utamanya, seringkali pengaruh kerajaan-kerajaan lama 
itu tidak sampai ke masyarakat, hanya di seputar Istana. Sementara pengaruh 
Sultan HB IX dan HB X sampai di masyarakat Yogyakarta.
Tahun 1998, misalnya, Sultan HB X berhasil menenangkan masyarakat Yogyakarta 
sehingga kerusuhan tidak terjadi.Di DKI Jakarta, toserba bermerek Yogya banyak 
hangus terbakar. Sekalipun kerajaan-kerajaan lama itu kurang berpengaruh secara 
politik dan pemerintahan,namun di bidang kebudayaan sangat penting 
artinya.Tidak semua pimpinan daerah memahami kebudayaan dengan baik,apalagi di 
zaman demokrasi ultraliberal dewasa ini. 
Sejumlah kepala daerah dari kalangan pengusaha, misalnya, dengan serta merta 
hanya berorientasi kepada ekonomi daerah.Tarian dan nyanyian adalah acara yang 
dianggap membosankan. Jadi, momentum untuk menyusun UU Keistimewaan Yogyakarta 
ini selayaknya digunakan untuk sesuatu yang lebih besar yakni bagaimana 
pemerintah pusat mengedepankan kebudayaan Indonesia.Apakah pemerintah memiliki 
strategi dan agenda kebudayaan? Ataukah kita mau kembali terjebak sebagai 
mangsa kebudayaan- kebudayaan luar yang terus masuk ke Indonesia?(*) 
Indra J Piliang 
Dewan Penasihat 
The Indonesian Institute             


      

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe.

Kirim email ke