mak Dutamardin sarato angku, mamak, bundo jo adi dunsanal sapalanta RN

iko ambo copy-pastekan link nan sabuik Mak Darwin, semoga bermanfaat amin ya 
Rabbal alamin.

***   
Sepak Bola dan Katarsis Sosial-Politik
Jumat, 24 Desember 2010 | 03:00 WIB
Azyumardi Azra
Tidak diragukan lagi bahwa salah satu kekuatan pendorong tersembunyi di balik 
pertarungan final Piala AFF 2010, Indonesia melawan Malaysia, adalah semacam 
nasionalisme yang menyala-nyala.
Sepak bola lebih daripada sekadar olahraga. Ia tak luput mengandung dan 
sekaligus merupakan ekspresi kebangsaan dan nasionalisme ketika tim nasional 
berhadapan dengan tim negara lain yang pernah terlibat kisruh sosial-politik 
dengannya.
Richard D Mandell benar ketika beragumen dalam karya klasiknya, Sport: A 
Cultural History terbitan Columbia University Press (1984), bahwa sepak bola 
sebagai olahraga modern meski sangat mengutamakan merit, demokrasi, dan 
prestasi 
yang teruji, juga sarat muatan ideologis-politis.
Ekspresi nasionalisme dalam pertandingan final Piala ASEAN Football Federation 
(AFF) 2010 antara Indonesia dan Malaysia terlihat lebih daripada persaingan 
sepak bola Indonesia dengan negara-negara lain di Asia Tenggara, katakanlah 
Filipina atau Thailand atau Vietnam.
Banyak pendukung mengatakan bahwa Tim Nasional Indonesia ”boleh kalah” dari 
Filipina atau Thailand atau Vietnam, misalnya, tetapi tidak boleh sekali pun 
dengan Tim Nasional Malaysia. Karena itu, ekspresi nasionalisme Indonesia lewat 
sepak bola melawan Malaysia kini jauh lebih liat daripada persaingan dalam 
masa-masa sebelumnya.
Peningkatan kontestasi dan semangat kebangsaan sekarang ini terkait tidak hanya 
dengan persaingan kekuatan sepak bola, tetapi juga dengan dinamika politik, 
sosial, dan ekonomi di antara kedua negara: Indonesia versus Malaysia.
Kejengkelan politik
Begitu kentaranya sentimen politik—khususnya dari para pendukung Tim Nasional 
Indonesia—seperti terlihat dalam imbauan-imbauan yang beredar di Twitter dan 
Facebook, bahkan juga beberapa media cetak dan elektronik di negeri kita, yang 
tak habis-habisnya memberitakan dan mengulas berbagai sisi kedua tim nasional 
dan lingkungan lebih luas yang mengitarinya.
Misalnya saja ada imbauan yang cukup meluas agar para penonton Indonesia, baik 
di Stadium Nasional Bukit Jalil, Kuala Lumpur, maupun Gelora Bung Karno, 
Senayan, Jakarta, ramai-ramai memakai baju batik. Pesan di balik imbauan ini 
sudah jelas: batik adalah milik dan kekayaan asli Indonesia dan, karena itu, 
tidak patut didaku Malaysia. Padahal, tak banyak warga Indonesia yang 
sebenarnya 
tahu persis batik atau aspek perbatikan mana saja yang didaku Malaysia itu.
Daftar keributan dan kejengkelan baik terbuka maupun tersembunyi dalam psike 
banyak warga Indonesia bisa diperpanjang. Sumbernya jelas bukan hanya batik, 
tetapi juga mencakup kehebohan mengenai lagu ”Rasa Sayange”, reog Ponorogo, 
tari 
piring, dan lebih parah lagi tentang penderitaan dan kenestapaan sejumlah 
tenaga 
kerja Indonesia dan tenaga kerja wanita di tangan para majikannya di Malaysia.
Kacamata gelap yang dikenakan banyak warga Indonesia membuat kelamnya 
perspektif 
dalam melihat kasus-kasus ini. Cara pandang itu kian gelap dengan kasus-kasus 
yang lebih politis semacam Ambalat, pembalakan liar di perbatasan Kalimantan 
utara, tengah, dan timur, atau penangkapan ikan secara ilegal di perairan 
kawasan perbatasan yang masih merupakan wilayah saling klaim.
Padahal, jika publik Indonesia mau memakai kacamata lebih bening, khususnya 
menyangkut kasus nyanyian, tarian, dan tradisi budaya lain, terlihat bahwa 
semua 
itu justru mencerminkan hegemoni budaya Indonesia atas Malaysia.
Jika cara pandang ini yang dipakai, Indonesia tidak perlu ribut dengan 
Malaysia, 
malah seharusnya berbangga. Akibatnya, pada tahap ini, masuknya sentimen 
politik 
yang mengambil bentuk semacam nasionalisme yang kasar di kalangan masyarakat 
Indonesia ke dalam pertarungan sepak bola seolah-olah tidak lagi terelakkan.
Meski secara legal—sesuai dengan ketentuan FIFA—dan etis hal ini tidak bisa 
dibenarkan, arus deras sentimen itu sangat sulit terbendung. Menghadapi gejala 
ini, antisipasi perlu dilakukan PSSI dan aparat keamanan untuk menjamin dan 
memastikan agar sentimen dan emosi itu tidak berubah menjadi hooliganism, 
khususnya pada pertandingan final kedua di Gelora Bung Karno, Senayan.
Antisipasi dan kewaspadaan kian perlu ditingkatkan ketika jangan-jangan Dewi 
Fortuna tidak berpihak kepada Tim Nasional Indonesia karena ”bola itu bundar”.
Katarsis sosial-politik
Jika banyak pendukung tim sepak bola negara tertentu, seperti Indonesia 
sekarang 
ini, sudah mengalirkan kejengkelan budaya, ekonomi, dan sosial-politiknya ke 
dalam sepak bola, tidak bisa lain ia telah menjadikan olahraga ini sebagai 
katarsis.
Katarsis, istilah Yunani yang berarti ’membilas’ atau ’menyucikan’, mengandung 
gagasan bahwa orang-orang memerlukan kesempatan untuk membilas, melepaskan, 
sekaligus menyucikan emosi, sentimen, dan bahkan kemarahan yang terpendam. 
Keadaan psikologis ini bisa berbahaya bagi kondisi mental dan psikologis yang 
bersangkutan jika semua itu tetap terpendam, tidak terlepaskan.
Memang, seperti argumen Andrew Lambert dalam The Evolution of the Football Fan 
and the Way of Virtue (2010), sepak bola bisa menjadi katarsis positif di 
tengah 
berbagai sentimen, emosi, kemarahan, dan rasa frustrasi terkait berbagai 
kesulitan dan masalah—khususnya ekonomi, sosial dan politik—yang ditemui para 
pendukung dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks ini, menurut Lambert, 
katarsis adalah suatu cara untuk membuat kita sendiri tetap sehat secara mental.
Bagi kalangan warga Indonesia, tumpukan emosi, sentimen, kemarahan, dan rasa 
frustrasi itu tidak hanya terkait dengan kasus-kasus menyangkut Malaysia, 
tetapi 
juga dengan realitas domestik, baik berkenaan langsung dengan sepak bola 
Indonesia itu sendiri maupun dengan realitas ekonomi dan sosial-politik lebih 
luas.
Karena itu, meski Tim Nasional Indonesia selalu menang dalam tiga pertandingan 
penyisihan dan dua kali semifinal di Gelora Bung Karno, Senayan, 
teriakan-teriakan yang menghujat dan menuntut supaya Nurdin Halid mundur dari 
kedudukannya sebagai Ketua Umum PSSI tetap muncul dari waktu ke waktu. Inilah 
sebuah katarsis: walaupun katarsis yang lebih langsung terkait dengan politik 
nasional tidak muncul terbuka.
Akan tetapi, kehidupan modern yang telah begitu teregulasi—termasuk juga sepak 
bola dan para pendukungnya—hanya menyisakan sedikit ruang untuk meletupkan 
sentimen, emosi, dan kemarahan menjadi katarsis secara semaunya.
Pengungkapan katarsis secara sembrono mengandung risiko sangat besar, khususnya 
terhadap dunia persepakbolaan Indonesia, yang kini sudah terlihat kembali 
menjanjikan.
Tantangan bagi para pendukung Tim Nasional Indonesia hari-hari ini adalah 
mengungkapkan katarsis secara relatif bebas, tetapi tetap dengan tidak 
melakukan 
pelanggaran serius terhadap norma-norma etik dan keadaban publik.
Azyumardi Azra Guru Besar Sejarah; Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas 
Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta  

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe.

Kirim email ke