iko bukan artikel baminang - minang, tapi mudah2-an bermanfaat.

wasslam,
harman st.idris

UNTUK ADIK KELASKU, GAYUS (Catatan Mafia Pajak) 





Oleh HERI PRABOWO 





(Alumnus STAN 1996, penulis buku "Catatan Harian Seorang Mafia Pajak")





Ada anekdot yang beredar saat reuni akbar Sekolah Tinggi Akuntansi Negara


(STAN-Prodip) pada Oktober 2010. 





Yakni, anekdot tentang pemberian award untuk sejumlah alumnus dengan


berbagai kategori. Kategori tersukses jatuh kepada Hadi Purnomo, Ketua BPK


(Badan PemeriksaKeuangan). Kategori karir tercepat diperuntukkan Haryono


Umar, wakil ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Kategori


terkontroversial jatuh kepada M. Misbakhun, anggota DPR, inisiator hak


angket Bank Century yang akhirnya jadi tersangka kasus yang sama.





Sedangkan kategori terpopuler dipegang Gayus Tambunan. Dia menyingkarkan


Helmi Yahya yang jadi selebriti top. Gayus bahkan lebih populer daripada


bosnya, M. Tjiptardjo, Dirjen Pajak yang juga alumnus STAN. 





Memiliki sejumlah kesamaan dengan tokoh populer ternyata cukup menggelitik


hati saya. Ada beberapa kesamaan saya dengan Gayus. Sama-sama alumnus


STAN-Prodip yang lantas terjerembap mafia pajak dan berujung menghadapi


proses hukum. Di usia yang sama, 30 tahun. Usia yang seharusnya kita mulai


untuk menapak puncak karir, tapi justru kami terperosok dalam. Saya tidak


seberuntung Gayus, yang masih kaya walau hartanya Rp 100 miliar disita.





Tapi Gayus juga tidak seberuntung saya. Dia bersusah payah merintis karir di


luar Jawa, sedangkan saya sejak awal ditempatkan di kota besar (Surabaya).


Muda, berduit dan berkuasa. Itulah gambaran untuk kami, para mafia pajak !


Meski hanya pegawai rendahan, toh kami berperan besar atas urusan pajak


sejumlah perusahaan. Sebab, kami punya lobi. Bisa dibayangkan betapa kami


sering memandang kecil sebuah masalah. Sembrono dan ugal-ugalan. 





Bahkan saat kami telah ditahan, saya ikut mencicipi fasilitas lebih di


tahanan. Walau tidak seekslusif Tante Ayin (Artalyta Suryani) dan kawan


kawan, fasilitas itu juga dinikmati pejabat tinggi, politisi, dan


orang-orang kaya yang ditahan disana. Saya berbangga. Saya bisa selevel


dengan mereka. Kebanggaan yang semu di tengah hujan cercaan. Tidak heran


Gayus dengan enteng keluar masuk rutan. Toh, tahanan lain yang jabatannya


jauh di atasnya melakukan hal serupa. 





Saya yakin bahwa Gayus pun bangga melakukannya. Padahal, dia bukan mereka.


Uang boleh sama, tapi mereka cerdik, berpengalaman dan punya network luas.


Gayus boleh bernyanyi, tapi mereka sekejap tiarap, lalu tertawa lagi. 





Dengan latar belakang kurang beruntung secara ekonomi dan broken home, Gayus


telah berjuang untuk menjadi bernilai lebih. Tidak mudah bisa duduk jadi


mahasiswa STAN. Tidak mudah juga bisa lulus. Sebab, berlaku sistem DO


(dropout) yang ketat. Kampus dipenuhi mahasiswa dari golongan menengah ke


bawah. Kebanyakan di antara mereka berasal dari desa-desa. Kesedershanaan


selalu tampak. Jangan heran jika ada seorang asisten dosen berangkat ke


kampus dengan naik sepeda mini yang juga cocok untuk anaknya. 





Kampus juga menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dan religiusitas.


Masjid-masjid tidak hanya dipenuhi mahasiswa sejak azan Subuh berkumandang.


Tempat itu juga dimakmurkan oleh berbagai kegiatan agama. Mulai mengajar TPA


(taman pendidikan Alquran) hingga diskusi keagamaan, semuanya dimotori


mahasiswa STAN. 





Lalu kenapa saya dan Gayus bisa lahir ? Lalu, mengapa kami bisa jadi pecinta


kemewahan ? Pengaruh dimulai saat bertemu dengan para senior yang telah


bekerja. Bertemu dengan rekan kerja dan atasan saat bekerja. Dengan


gambling, mereka gambarkan tempat basah dan tempat kering. Dengan nyata,


mereka jadi orang kaya baru. Semua terjadi begitu terbuka dan aman-aman


saja. Hanya segelintir yang bisa bertahan dengan idealisme masing-masing.


Sisanya lagi miskin karena tidak memperoleh kesempatan. 





Saat lulus STAN pada tahun 2000, Gayus berjibaku di lahan kering Kalimantan


. Setiap mudik ke Jakarta, dia dan rekan-rekan lain ngiler kala melihat


teman-teman seangkatannya begitu makmur. Membeli mobil seperti membeli


gorengan ayam. Jakarta adalah surga para mafia pajak. Perusahaan besar walau


berkantor di daerah harus melaporkan pajak ke Jakarta. Besarnya putaran uang


berbanding lurus dengan gemuknya gurita korupsi. Maka, saat bertugas di


Jakarta, Gayus tidak menyia-nyiakan kesempatan. 





Gayus hanya mencontoh apa yang dilihat sehari-hari di kantornya. Dia


beruntung. Puluhan miliar rupiah dia kumpulkan dalam sekejap. Keserakahan


yang ada dalam diri manusia pada umumnya, tapi tidak manusiawi. Gayus pasti


juga mendengar gosip yang pernah saya dengar. Yakni, sejumlah pejabat pajak


pernah diperiksa karena menerima aliran dana tidak wajar di rekeningnya dan


umumnya mereka aman-aman saja. Maka, wajar Gayus percaya diri. 





Tapi, takdir bicara lain. Dia diadili lagi dengan tumpukan dakwaan, Seakan


hanya dialah mafia pajak di negeri ini. Pada masa genderang perang melawan


korupsi ditabuh siapa pun, termasuk para mafia hukum dan koruptor, wajar


tekanan media menghantam. Wajar olok-olok sarkastis menghajar bukan hanya


kami, tapi juga keluarga. Bahkan, anak-anak yang masih suci. Stres sehingga


berujung linangan air mata. Kejengkelan muncul saat para bos, mafia-mafia


besar justru nyaris tidak tersentuh hukum. 





Gayus lantas bermanuver, bernyanyi. Banyak pihak ikut menabuh gendang untuk


menggiringnya. Banyak pihak ikut bising mendengarnya. Saat nyanyian tidak


lagi merdu, Gayus bagai pion yang digerakkan untuk menjepit raja para lawan.


Gerakan pion hanyalah bagian kecil dari manuver untuk langkah utama, menuju


skakmat! Orang tidak peduli jika pion akhirnya tersungkur dari papan catur. 





Gayus, adik kelasku ! 





Hadapilah sidang dengan hati baja. Ketakutan adalah hal wajar. Maka,


berjalanlah hingga ujung papan catur. Ubah dirimu. Berhentilah jadi pion.


Walaupun, tidak mungkin jadi raja. Bahkan, keadilan mungkin tidak berpihak


kepadamu. Mungkin para raja, menteri dan lainnya melenggang dengan tidak


tersentuh hukum. Biarlah Tuhan yang menghukum mereka. Kelak ada hikmah dari


semua masalah itu. Apa yang terjadi kepadamu bukanlah cobaan Tuhan. Sebab,


itu berawal dari kesalahan kita.





Meskipun kini engkau merasa menjadi kambing hitam. Jika saya boleh


memberikan nasihat, ceritakanlah kepada dunia setelanjang mungkin. Mengapa


terjerembap dalam mafia pajak. Bagaimana caranya, metodenya, siapa saja


teman-temannya. Dengan demikian, hal tersebut jadi bahan pembelajaran bagi


aparat hukum, adik-adik kelas kita sealmamater, serta pegawai-pegawai pajak


yang baru berkarir. Adakalanya kita terpeleset karena kebegoan kita. Tapi,


juga selalu ada kesempatan untuk kembali bangkit. 





Harian Jawa Pos, tgl. 21 Nopember 2010





http://forum.detik.com/untuk-adik-kelasku-gayus-catatan-harian-seorang-mafia-pajak-t228544.html



      

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe.

Kirim email ke