Saya copykan tanggapan dari Buya Mas'oed Abidin ttg tulisan ini,

 

Masoed Abidin wrote: "Ananda Rina, yang ditulis Rang Gaek atau Pak Natsir
itu adalah saran kepada Pemerintah RI pimpinan Soekarno melalui Jendral
Abdul Harris Nasution tentang bagaimana menyelesaikan bekas anggota PRRI
secara nasional, agar tidak menjadi beban sosial masyarakat Indonesia.
Hebatnya beliau (Rang Gaek, panggilan kami terhadap Pak Natsir, sebab ada
beberapa panggilan terhadap beliau itu, ada dengan panggilan 'Pak Imam'
(bagi pencinta Masyumi), Abah (bagi anak anak beliau di Jabar), 'Pak Natsir'
(umum panggilan kekerabatan), ada 'Abu Fauzie' ini panggilan khusus yang
hanya diketahui beberapa anak anak beliau tertentu saja, sekali lagi
hebatnya beliau tidak menulis bagaimana semestinya pemerintah memperlakukan
beliau agar bebas, tetapi beliau menyarankan bagaima seharusnya pemerintah
menyelesaikan kemelut PRRI agar tidak menjadi beban sosial masyarakat
Indonesia. Yang ditulis Pak Natsir itu banyaknya 42 halaman diketik oleh Pak
Buchari Tamam, Mazni Salam dan juga Buya sekali sekali, diketik, dikoreksi,
diketik lagi, dikoreksi lagi, berkali-kali sampai pas untuk konsumsi
penguasa, tanpa harus mengemis merendah diri, inilah khasnya konsepsi Pak
Imam itu. Judulnya adalah "Mengumpulkan Kerikil Kerikil Terpelanting", yang
kelak dimasukkan kedalam Capita Selecta 3 sampai hari ini ... Buya juga
mengutip kembali tulisan itu di dalam Buku yang sedang Buya ulangi
mengeditnya dengan judul "Hidpkan Da'wah Bangun Negeri (HDBN), Taushiyah
Da'wah Mohamad natsir", buku ini sudah diberi pengantar oleh Prof.Madya
Siddiq Fadzil dari UKM Malaysia sejak Ramadhan 1330 H yang lalu, sayang
masih belum dapat Buya terbitkan sampai hari ini ... Pak Natisr selama di
Padang Sidempuan Sept 1961 itu ditempatkan di sebelah rumah Kolonel Bahari
Effendi Siregar (Komandan Koren 22 Kawal Samudera), tersimpal maksud
tersembunyi dengan halus mengawasi sekaligus membatasi gerak beliau, karena
beliau tinggal dalam kompleks Korem itu, walau bebas didatangi siapapun.
Disinilah beliau ditemui oleh Mas Hardi dan utusan Jenderah Abdul harris
Nasution, dan juga oleh teman teman dari Masyumi dari seluruh tanah air.
Begitu bbanyaknya tamu beliau setiap harinya, akhirnya beliau selesai
merampungkan pesan untiuk pemerintah RI itu, maka beliau dipindahkan ke Batu
Malang dan berakhir di Wisma Keagungan di Jakarta sebelum semua tahanan
politik ini dibebaskan 1967, yang beliau mulai dengan mendirikan Dewan
Da'wah Islamiyah Indonesia pada Pebruari 1967 di Masjid Al Munawwarah,
Kampung Bali II, Tanah Abang Bukit, Jakarta Pusat itu. Pelajaran berharga,
bagi pejuang tidak ada masa yang disebut berhenti. Termakasih ananda Rina ..
Wassalam Buya HMA" 

Saya coba bertanya kembali ke Papa tentang keterangan Buya ini dan diterang
beliau sebagai berikut :

 

Waktu di Gang Kenanga di dalam Rimba Sumatera itu, Papa sering menyaksikan
Pak Imam (Buya Moh. Natsir) mendiktekan isi buku Capita Selekta 3 ini ke
seorang anak muda yang berkulit putih bersih berasal dari Sunda, tapi Papa
lupa nama anak muda tersebut. Naskah yang telah diselesaikan di Rimba itulah
yang kemudian kembali di edit oleh Pak Bukhari Tamam, Pak Mazni Salam dan
juga oleh BUya sendiri. Kebetulan Papa kenal dengan ketiga editor ini yang
semuanya Urang Awak. Papa ketemu Buya ketika Buya ke Rumah Sakit Achmad
Muchtar Bukittinggi. 

 

Sebelum ke Padang Sidempuan itu, ketika Pak Imam turun, Beliau ditempatkan
di rumah Inyiak Datuak Palimo Kayo di daerah Jambu Aia yang mana rumah itu
terbuat dari kayu dan berkandang di bawahnya juga terdapat kolam ikan
(tabek).

 

Tambahan yang sangat berharga

Terima kasih banyak untuk Buya HMA.

 

Wassalam

Rina

 

 

 

 

From: rinapermadi [mailto:rinaperm...@gmail.com] 
Sent: Tuesday, January 11, 2011 4:54 PM
To: 'rantaunet@googlegroups.com'
Subject: KETIKA PAPA BERCERITA 3 By Ritrina (Rina Permadi)

 

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh,

Para pembaca budiman,

 

Tulisan ini saya buat untuk bahan cerita bersambung dengan Da Andiko Sutan
Mancayo, mudah-mudahan bisa menjadi karya sastra yang diminati sebab
berlatar belakang sejarah kehidupan di masa lampau para pejuang kebenaran di
masa orangtua kami masih muda gagah sebagai (Tentara) Pelajar. Izin untuk
membuat cerita ini menjadi cerbung atau novel sekalipun telah saya dapatkan
dari Papa. Saya sangat beruntung memiliki Papa yang selalu menyaport anaknya
terutama saya si Bungsunya.

 

Selamat menyimak...

 

KETIKA PAPA BERCERITA 3

By : Ritrina (Rina Permadi)

 

 

Nama Papa H. Djasri Sjamsuddin yang lahir 03 September 1937 yang kata2
Sjamsuddin diambil dari nama ayah beliau, H. Sjamsuddin seorang tokoh ulama
di daerah Tilatang Kamang. Baliau adalah Angku Imam di Musajik di kampung
kami di Desa Kaluang Kenagarian Tilatang Kamang Kab. Agam yang mana  kini
masuk wilayah Kota Bukittinggi. Sahingga banyak yang berkainginan basuamikan
beliau sahingga nenek kami berjumlah empat  orang. Istri yang tertua adalah
Ibu dari Papa yang bernama Kinan. Kalo ditambah 'ti' maka jadi nama yang
keren ala jaman sekarang menjadi Kinanti J.

 

Papa  masuk SR (Sekolah Rakyat) di desa Kaluang tamat tahun 1952 salama 6
tahun trus melanjutkan ke SMP swasta Simpang Ampek Pekan Kamis setahun trus
berhenti sebab beliau ingin membuat ijazah negeri SR dengan ikut ujian ke
Padang Gamuak Tarok Bukittinggi. Setelah lulus dan ijazah didapatkan,
dilanjutkan ke SMP 6 Simpang Lambau di depan SMA 1 Gajah Tongga selama 2
tahun trus pindah ke Batusangkar ke SMP 2  Negeri Batusangkar tamat di tahun
1955. Melanjutkan ke SMA Negeri Batusangkar trus pindah ke Bukittinggi.
Masuk SMA 'B' Bukittinggi yang tempatnya di SMA 2 Bukittinggi sekarang di
seputaran lapangan kantin. Nah ketika di SMA itulah sekitar kelas 2 pecah
perang PRRI. Sewaktu itu Papa hanya mendengar tentang kondisi yang bagolak
tu dari radio yang pake batere besar sepuluh biji. Jadi untuk sekedar
mendengar radio jadi mahal di masa itu.

 

Sebagaimana para pelajar seusia Papa di masa itu, kebanyakan mereka langsung
bergabung menjadi tentara dibawah komando Kolonel Ahmad Husen. Sekitar tahun
1958 dan Papa bergabung dengan Brimob 5149 Padang Panjang yang bermarkas di
Kampung Katiagan di lereng Gunung Merapi yang mengarah ke Kota Padang
Panjang. Papa masih ingat senjata yang dipegang dia waktu itu adalah Jungle
Pop Or US. Mereka bergerilya masuk ke dalam kota Padang Panjang mengincar
markas Tentara Soekarno.

 

Bila terlihat musuh di selisip rumah orang maka akan sama-sama sembunyi,
tidak ada perang yang membabi buta. Sepertinya mereka segan menembak dan
pihak Tentara Pelajar inipun segan untuk menembak. Sungguh perang yang
santun. Jikapun ada terjadi pembantaian atau tembak menembak biasanya musuh
tidak terlalu jelas atau balasan serangan yang menyebabakan korban. Bila
sama-sama jelas terlihat yang satu dipojok rumah yang satu dan yang lain di
pojok rumah satunya lagi, maka akan sama-sama mundur. Kompi Papa waktu itu
adalah Brigadir Muchtar Djamal. Berada di Padang Panjang itu mulai dari
akhir 1958 sampai 1959.

 

Tahun 1960 Papa pindah ke Combad  Suayan di daerah Suliki Kab. 50 Kota dan
bertugas disana selama 4 bulan. Meneruskan tugas ke Aia Kidjang di daerah
Kumpulan perbatasan Bukittinggi dan Lubuak Sikaping Pasaman. Ketika bergerak
ke daerah Bonjo di Pasaman, Papa bertemu dengan Pak Imam (Buya Moh. Natsir)
dimana Papa tergabung dalam Pasukan Khusus yaitu Pasukan Teritorial Bonjol
yang berjumlah 10 orang.  Waktu itu yang menjadi wali Nagari di daerah
tersebu adalah Mamak Angku Yarnani yang berpusat di Koto Kaciak Kumpulan.

 

Saat inilah Papa bisa bertemu dengan Pak Syafruddin Prawiranegara yang pada
saat itu sebagai Presiden RPI (Republic Persatuan Indonesia) perubahan nama
dari PRRI. Bertemu di suasana Upacara Bendera. Pak Syafruddin waktu itu
tidak begitu faham upacara militer diiringi dan dipandu oleh Kolonel Dahlan
Djambek dimana Upacara Bendera itu benar-benar dibuat seperti layaknya
Upacara Bendera sebuah Negara yang berdaulat. Sewaktu itu Pak Syafruddin
tinggal di Koto Tinggi Suliki. Hampir semua kesatuan hadir di Upacara
Bendera Milter saat itu, Papa mengenang.

 

Pak Imam sewaktu bersembunyi di daerah itu membutuhkan staff untuk keperluan
kurir logistic.  Entah karena melihat Papa yang bisa dipercaya atau karena
track record Papa selama menjadi tentara pelajar dalam kurun waktu perang
itu, maka terpilihlah beliau untuk ikut di rombongan Pak Imam di Gang
Kenanga di dalam rimba di aliran Batang MAsang itu. Papa mulai bertugas di
bulan Januari 1961. Bertugas untuk keluar masuk rimba tanpa sedikitpun
meninggalkan jejak sehingga diperlukan ketelitian dalam perjalanan. Sedapat
mungkin tidak ada bekas jejak yang ditinggalkan. Bila di sungai harus
berjalan di dalamnya sehingga tidak ada jejak yang membekas baik di pinggir
sungai atau di batu-batu yg bertebaran di sungai-sungai pedalaman Sumatera
itu.

 

Perjalanan Papa terkadang harus dilakoni sendiri seperti membawa senjata
bantuan Amerika. Mengirim surat-surat yang ditulis Pak Imam untuk dikirimkan
ke Amerika sebagai Negara yang membantu perjuangan RPI kala itu. Sebab
sama-sama tidak setuju dengan komunis. Namun dikala itulah Papa bertemu suka
dukanya berjalan sendirian di Rimba Sumatera itu. Yang paling sering melihat
dua mata bersinar terang si Inyiak Rimba alias Harimau Sumatera. Pernah juga
dari atas pohon yang sangat lurus dan tinggi, turun seperti hendak mengejar
seekor Gorila hitam yang sangat besar ke bawah namun tepat tinggal beberapa
meter dari tanah, si Gorila telah lenyap tanpa bekas.

 

Begitu juga dengan nasib mujur bertemu beberapa pohon durian di tengah rimba
yang berbuah lebat dan di tanah penuh dengan durian yang berjatuhan karena
baru dilanda angin kencang. Beliau pilih yang besar dan bagus dan langsung
disantap ditempat, namun hanya sanggup menghabiskan delapan buah yang wangi
ranum. Akibatnya dia mabuk durian dan jadi kapok untuk makan durian sampai
saya beli durian ketika masa saya bersekolah di Bukittinggi. Dia makan
durian sambil bercerita tentang durian yang dia makan sewaktu di rimba
Kumpulan di zaman bagolak.

 

Saya tidak akan menulis banyak tentang Gang Kenanga dimana di tempat ini
Buya Moh Natsir bersembunyi bersama keluarga dan rombongannya. Hal ini sudah
saya ungkapkan detail di tulisan saya 'Ketika Papa bercerita bag. 1'. Hanya
sedikit saya singgung tentang keterangan Papa yang berusaha mengingat-ingat
waktu di Gang Kenanga ini antara januari 1961 s/d Sept 1961 Pak Imam menulis
naskah buku yang berjudul Capita Selecta 3, dimana saya lihat di sebuah Blog
Buya Mas'oed Abidin, naskah Capita Selecta 3 ini tidak diterbitkan.

Sebab apa alasannya tidak diterbitkan naskah tersebut tidak ada keterangan
di blog tersebut.

 

To Be Continued

 

Batam, 11-1-11

Rina Permadi

 

(Mohon pembetulan dari pembaca budiman apabila terdapat kesalahan penulisan
atau keterangan, sebab sumber di dapatkan via telpon-telponan dengan Papa,
terima kasih)

 

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe.

Kirim email ke