OM GUMARANG dan SEKELUMIT SEJARAH MUSIK
MINANG<http://soetansyah.multiply.com/journal/item/167/OM_GUMARANG_dan_SEKELUMIT_SEJARAH_MUSIK_MINANG>Mar
19, '08 7:42 AM
untukOrkes Gumarang - Kampung Nan Djauh Di Mata - Irama LPI 17510

Side 1
a. Oi Kampuang (Asbon) - Juni Amir
b. Nasib Sawah Lunto (n.n./Badrun) - Anas Jusuf
c. Badju Kuruang (Asbon/Madjid) - Sjaiful Nawas
d. Djikok Bapisah (Asbon) - Nurseha
e. Laruik Sandjo (Asbon) - Suara Bersama
f. Takana Adiak (Januar Arifin) - Anas Jusuf

Side 2
a. Jo Baitu (Sjaiful Nawas) - Sjaiful Nawas
b. Denai Sansai (Sofjan Naan) - Anas Jusuf
c. Kato Rang Sisuak (Asbon) - Anas Jusuf
d. Buruak Pinto (Asbon) - Nurseha
e. Sempaja (n.n./Asbon) - Pakih
f. Randah Oi (Anas Jusuf) - Juni Amir





orkes Kumbang Tjari dipimpin oleh Nuskan Syarif, Teruna Ria oleh Oslan
Husein, dan Zaenal Combo oleh Zaenal Arifin. Tiga orkes ini memasukkan
rock’n’roll pada lagu-lagu Minang dan non-Minang, seperti Kampung Nan Jauh
Di Mato, Tirtonadi, dan Bengawan Solo. Menjelang akhir tahun 1953 dan awal
1954, ada beberapa anak muda asal Sumatera Barat yang, antara lain, bernama
Alidir, Anwar Anif, Dhira Suhud, Joeswar Khairudin, Taufik, Syaiful Nawas,
dan Awaludin yang di kemudian hari menjadi Kepala Polri. Bersama beberapa
orang lainnya mereka berkumpul di rumah Yus Bahri di Jalan Jambu, Menteng,
Jakarta Pusat. Mereka sepakat mendirikan sebuah grup musik untuk meneruskan
kiprah orkes Penghibur Hati yang mendendangkan lagu-lagu Minang. Mereka
menamakan grupnya orkes Gumarang. Nama itu diambil dari cerita legendaris
Minang, Cindue Mato, yang tokoh utamanya memiliki tiga binatang kesayangan.
Tiga binatang itu adalah Kinantan si ayam jantan yang piawai, Binuang si
banteng yang gagah perkasa, dan Gumarang si kuda sembrani berbulu putih yang
larinya bagaikan kilat sehingga menurut legenda tersebut bisa keliling dunia
dalam sekejap. Anwar Anif pun didaulat menjadi pemimpin. Mula-mula yang
dibicarakan adalah bagaimana konsep musik yang akan dibawakan untuk
lagu-lagu Minang yang sudah dipopulerkan oleh Penghibur Hati melalui Radio
Republik Indonesia (RRI) Jakarta. Lagu-lagu Penghibur Hati yang disiarkan
radio itu, antara lain, Kaparinyo, Dayung Palinggam, Nasib Sawahlunto, dan
Sempaya. Pengaruh lagu-lagu Latin (seperti Melody d’Amour, Besame Mucho,
Cachito, Maria Elena, dan Quizas, Quizas, Quizas) yang sedang digemari tak
mampu mereka tepis. Oleh sebab itulah musik Latin tersebut menjadi unsur
baru dalam aransemen musik Gumarang.  Pada masa itu tidaklah mudah bagi
seorang penyanyi atau sebuah grup untuk tampil di RRI. Mereka harus lulus
tes di depan sejumlah juri, sebagaimana layaknya peserta sebuah lomba.
Walaupun Anwar Anif hanya memimpin selama sembilan bulan, ia berhasil
membawa Gumarang lulus tes RRI. Alidir yang menggantikannya ternyata
bertahan lebih singkat lagi dan kemudian menyerahkan pimpinan Gumarang
kepada Asbon, bulan Mei 1955.

Asbon tidak hanya mempertegas dominasi musik Latin dalam lagu-lagu yang
sudah biasa dibawakan Gumarang, tetapi juga pada lagu-lagu baru ciptaannya
maupun ciptaan personel Gumarang lainnya. Pada masa Asbon inilah bergabung
pianis yang memiliki sentuhan Latin, Januar Arifin, serta penyanyi Hasmanan
(kemudian menjadi sutradara), Nurseha, dan Anas Yusuf. Kebesaran Gumarang
tidak bisa disangkal berkat seringnya grup ini tampil di RRI dan memeriahkan
acara Panggung Gembira. Sukses Gumarang merebut hati masyarakat menyebabkan
penampilan orkes itu berlanjut di tempat-tempat lainnya, seperti Istana
Negara, Gedung Kesenian, dan Istora Senayan. Pada masa kepemimpinan Alidir,
Gumarang sempat merekam sejumlah lagu di bawah naungan perusahaan negara,
Lokananta, di Solo. Rekaman dilakukan di Studio RRI Jakarta dan hasilnya
dibawa ke Lokananta untuk dicetak dalam bentuk piringan hitam (PH). Dalam
rekamannya yang pertama ini Gumarang bermain dengan gendang, bongo, maracas,
piano, gitar, dan bas betot. Mereka tetap mempertahankan rentak gamat dan
joget sambil memadukannya dengan beguine, rumba, dan cha-cha. Bunyi alat
musik Minang, seperti talempong, memang memberikan asosiasi pada irama
Latin, demikian juga saluang. Itulah sebabnya irama Latin mudah dipadukan
dengan lagu-lagu Minang.

Suyoso Karsono yang memimpin perusahaan rekaman Irama di Jakarta ternyata
diam-diam tertarik pada Gumarang. Sebagai seorang pengusaha, orang yang
dikenal dengan nama Mas Yos itu tahu bahwa irama yang dibawakan Gumarang
bukan saja mampu menyajikan lagu-lagu Minang sesuai dengan aslinya, namun
juga memiliki ramuan irama Latin yang amat disukai masyarakat.

"Sebenarnya irama Latin itu hanya dalam tempo, supaya lagu-lagu Minang bisa
diterima juga oleh masyarakat di luar Minang," kata Asbon ketika menerima
tawaran Irama untuk merekam sejumlah lagu. Gumarang merekam Ayam Den Lapeh
ciptaan A Hamid, Jiko Bapisoh dan Laruik Sanjo ciptaan Asbon, Yobaitu
ciptaan Syaiful Nawas, Takana Adiak ciptaan Januar Arifin, Baju Karuang, Ko
Upiek Lah Gadang, Titian Nan Lapuak, Nasib Sawahlunto, dan lagu lain-lain
yang jelas sekali dipadukan dengan irama cha-cha yang dikenal sebagai
pengiring tarian di Amerika Selatan.  "Cha-cha memang sedang menjadi favorit
masyarakat waktu itu, sebagaimana kami senang naik becak dari tempat indekos
menuju Studio Irama. Kalau selesai rekaman, Nurseha diantar Asbon dengan
becak ke rumahnya di Grogol. Soalnya, rekaman yang dimulai pukul delapan
malam biasanya selesai pukul dua dini hari," ujar salah seorang penyanyi
Gumarang, Syaiful Nawas, yang sempat menjadi wartawan harian Waspada,
Pedoman, Purnama, Trio, Aneka, Sinar Harapan, Abadi, Suara Pembaruan, dan
majalah Selecta. "Sayalah yang bertugas menulis semua kejadian karena ikut
di dalam proses rekaman. Mas Yos memberikan bahan-bahannya dan saya tulis di
berbagai surat kabar serta majalah Selecta dan Varia. Bahkan, harian Pedoman
menulis Gumarang dalam tajuk rencananya. Sementara Asbon langsung memberikan
PH yang baru dari pabrik ke RRI," ungkap Syaiful Nawas, kakek dari lima cucu
yang sekarang setiap hari berkantor di rumah makan miliknya, Padang Raya.

Hasilnya, Laruik Sanjo dan Ayam Den Lapeh berkumandang tidak hanya di RRI,
namun juga di toko-toko yang khusus menjual PH di Jakarta dan luar kota.
Pemutaran lagu-lagu Gumarang itu adalah atas permintaan masyarakat yang
mendatangi toko-toko itu dan membeli PH mereka. Laruik Sanjo yang berarti
larut senja dan Ayam Den Lapeh sebagai analogi kehilangan kekasih, menjadi
lagu-lagu populer secara nasional. Sedemikian populernya kedua lagu itu,
Laruik Sanjo dilayarputihkan oleh Perfini tahun 1960 dengan sutradara
kondang Usmar Ismail serta aktor Bambang Irawan dan aktris Farida Oetojo
sebagai pemeran utama. Sementara Stupa Film memproduksi Ayam Den Lapeh pada
tahun yang sama dengan sutradara H Asby dan Gondosubroto, sementara Asbon
dan Gumarang dipercaya mengisi ilustrasi musik film ini. Ceritanya diambil
dari lirik lagunya. Si kucapang si kucapai/ saikua tapang saikua
lapeh/Tabanglah juo nan ka rimbo/Oi lah malang juo. Artinya, yang dikejar
luput, yang dimiliki terlepas.

*Kumbang Tjari*

Sementara itu, di Padang tersebutlah seorang pemuda yang gila musik bernama
Nuskan Syarif. Saking besar keinginannya bermusik dan memiliki gitar, uang
untuk membeli baju Lebaran dibelikannya gitar bekas di tukang loak. Nuskan,
yang bangga dengan popularitas Gumarang, pada tahun 1954 sempat berlibur ke
Jakarta. Dia tidak menyia-nyiakan kesempatan selama berada di Ibu Kota dan
menawarkan lagu ciptaannya, Kok Upiak Lah Gadang, ke Gumarang. Ternyata
lagunya diterima dan dimainkan dalam acara Panggung Gembira di RRI. "Lagu
itu saya tulis notasi dan liriknya karena tape recorder belum memasyarakat
seperti sekarang. Saya kembali ke Padang dan meneruskan karier sebagai
penyanyi amatir sambil memperdalam pengetahuan saya bermain gitar," kata
Nuskan yang juga dikenal sebagai guru Pendidikan Jasmani di SMP Negeri I
Padang hingga tahun 1960. Pindah ke Jakarta, Nuskan meneruskan karier
sebagai guru olahraga, sementara kemampuannya bermain gitar dan mencipta
lagu semakin meningkat. Atas saran Anas Yusuf, Nuskan memutuskan bergabung
dengan Gumarang. Tetapi, Asbon yang sudah tahu kemampuan anak muda itu
justru menyarankannya membentuk grup musik sendiri.

"Itulah awal lahirnya orkes Kumbang Tjari pada tahun 1961. Meskipun saya
mengagumi Gumarang, saya berusaha membuat musik yang berbeda. Kalau Gumarang
dominan dengan pianonya, Kumbang Tjari mengedepankan melodi gitar," lanjut
Nuskan, ayah dari sembilan anak dan kakek dari 10 cucu. Di sinilah Nuskan
menunjukkan keperkasaannya sebagai pemain gitar, bukan hanya dalam soal
teknik, namun juga dalam soal eksplorasi bunyi. Petikan gitarnya
mengingatkan pendengarnya akan suara saluang, seruling bambu khas Minang.
Ciri khas ini belum ada duanya sampai sekarang. Hal ini diperjelas Hasmanan,
salah seorang penyanyi Gumarang yang menulis kesan-kesannya di sampul depan
PH. "Sebagai orkes baru jang masih harus berdjuang memenangkan simpatik dan
popularitas, menarik sekali nafas dan penghajatan jang diberikan ’Kumbang
Tjari’ terhadap lagu-lagunja. Hidangan2 mereka terasa masih dekat sekali
kepada tjara lagu2 rakjat asli Minang dibawakan. Petikan2 gitar Nuskan
Sjarif sering mengingatkan orang akan bunji alat2 musik asli Minang seperti
talempong, rebab, dan saluang," demikian tulisan di sampul depan PH itu.

PH Kumbang Tjari yang pertama ini berisi lagu-lagu Asmara Dara yang
dinyanyikan oleh Elly Kasim, Randang Darek dinyanyikan Nuskan Syarif,
Taraatak Tangga (Elly Kasim dan kawan-kawan), Mak Tatji (Nuskan Syarif), Apo
Dajo (Elly Kasim dan kawan-kawan), Tjita Bahagia (Elly Kasim dan Nuskan
Syarif), Cha Cha Mari Cha (Nuskan Syarif), Gadis Tuladan (Nuskan Syarif),
Kumbang Djanti (Elly Kasim), Langkisau (Nuskan Syarif dan kawan kawan),
Kureta Solok (Nusikan Syarif dan kawan-kawan), dan Oi, Bulan (Elly Kasim dan
kawan-kawan). Bersama Kumbang Tjari inilah Elly Kasim menjadi penyanyi
lagu-lagu Minang yang belum tergantikan sampai sekarang. Perempuan kelahiran
Tiku, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, tanggal 27 September 1942, itu
terkenal dengan lagu-lagu seperti Kaparinyo, Dayung Palinggam, Kelok
Sembilan, Barek Solok, Lamang Tapai, Sala-lauak, Si Nona, Lansek Manih, Main
Kim, Mudiak Arau, dan masih banyak lagi. Lagu-lagu itu telah dimuat dalam
puluhan PH, kaset, maupun VCD selama lebih dari 40 tahun.  Namun, Kumbang
Tjari kemudian terpaksa vakum ketika Nuskan sebagai guru olahraga menerima
untuk ditempatkan di Sukarnapura (sekarang Jayapura), Papua, pada bulan Juli
1963. "Saya sangat menikmati profesi sebagai guru olahraga. Dikirim ke Irian
Barat saya anggap sebagai amanat yang harus dilaksanakan. Setelah saya
pergi, sayang teman-teman tidak bersedia meneruskan Kumbang Tjari," ujar
Nuskan. Selama di Jayapura, ia sempat juga membina bibit-bibit penyanyi dan
menciptakan sejumlah lagu. Lahir di Tebing Tinggi tanggal 4 Januari 1935,
dalam usia menjelang 70 tahun sekarang ini, Nuskan masih rajin joging di
pagi hari dan tetap siap tampil bersama Kumbang Tjari-nya.  Walaupun hanya
dua tahun (1961-1963) di belantika musik, Kumbang Tjari menjadi grup pertama
yang tampil di TVRI ketika stasiun televisi pemerintah itu diresmikan tahun
1962. Orkes ini juga mengisi acara pembukaan Bali Room, Hotel Indonesia, dan
kemudian tampil bersama Gumarang serta Taruna Ria dalam pertunjukan bertajuk
"Tiga Raksasa" di Istora Senayan.

Nuskan kembali ke Jakarta 29 November dan Januari 1969 Kumbang Tjari
dibentuk lagi dengan personel yang berbeda dan tidak pakai embel-embel
"orkes" lagi. Kumbang Tjari pun kembali dipimpin Nuskan dan seperti
sebelumnya mulai masuk studio rekaman dan mengisi berbagai acara panggung
hingga tur ke Malaysia bersama Elly Kasim, Benyamin S, Ida Royani, serta
Ellya Khadam. Di samping Gumarang dan Kumbang Tjari, juga tidak bisa
dilupakan orkes Teruna Ria yang mempertegas irama rock’n’roll dalam
lagu-lagu Minang. Bubarnya Teruna Ria menyebabkan penyanyi utamanya, Oslan
Husein, mendirikan Osria. Sementara personel lainnya, Zaenal Arifin,
mendirikan Zaenal Combo, yang merajai penataan musik rekaman hampir semua
penyanyi pada akhir 1960-an sampai awal 1970-an. Penyanyi-penyanyi yang
diiringi Zaenal Combo, yaitu Lilies Suryani, Ernie Djohan, Alfian, duet Tuty
Subarjo/Onny Suryono, Retno, Patti Sisters, Tetty Kadi, Anna Mathovani,
Emilia Contessa, Titi Qadarsih, Angle Paff, atau Lily Marlene. Zaenal
Arifin, pencipta lagu Teluk Bayur, meninggal 31 Maret 2002. Asbon tutup usia
pada 16 Maret 2004, sedangkan Oslan Husein dan Nurseha mendahului keduanya
beberapa tahun sebelumnya.

Mereka memang sudah pergi, tetapi meninggalkan jejak berupa musik Minang dan
Indonesia modern. Gumarang dengan irama Latin dan Teruna Ria
me-rock’n’roll-kan lagu serta musiknya. Sementara gitar bersuara saluang ala
Nuskan Syarif masih bisa dinikmati sampai sekarang bersama Kumbang
Tjari-nya.

*Theodore KS* *Penulis Masalah Industri Musik*


**

*
http://soetansyah.multiply.com/journal/item/167/OM_GUMARANG_dan_SEKELUMIT_SEJARAH_MUSIK_MINANG
*

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/

Kirim email ke