*Fakta Sejarah PRRI*
*Oleh : Yoseph Tugio Taher | 02-Des-2007, 20:14:58 WIB*

Sumber : http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&dn=20071202041451

*Kabar Indonesia* - Lima puluh tahun yang lalu, tepatnya 20 Desember 1957,
di sebuah kota kecil di pesisir barat pantai Sumatera yang bernama Salido,
berlangsung suatu sidang reuni para militer pejuang yang tergabung dalam
Resimen IV Divisi Banteng Sumatera Tengah. Reuni tersebut menghasilkan dan
membentuk suatu badan organisasi yang dinamai "Dewan Banteng" dengan
tokoh-tokoh militer seperti Kolonel Achmad Husein, Kolonel Dahlan Jambek,
Kolonel M. Simbolon dan lain-lain sebagai para atasan dan penggeraknya.

Tidak diketahui oleh umum, apa maksud dan tujuan para pejuang militer
tersebut mengadakan reuni dan membentuk suatu badan yang bernama "Dewan
Banteng" itu. Namun, seseorang yang mengetahui, menceritakan bahwa sidang
reuni tersebut "dihadiri" oleh "tokoh pusat" dan dianggap sebagai sesepuh
atau "ninik mamak" yang berasal dari ranah Minang, yang dalam sidang itu
memberikan sambutan dan petuah: *"Pandai-pandai membao diri, bapijak di
tanah nan sabingkah, manari di lapiak nan* *sahalai! "* (Pandai-pandai
membawa diri, berpijak di tanah yang sebungkal, menari di tikar yang
sehelai!).

Ada apa? Apa maksud dan arti petuah yang diberikan oleh orang yang dianggap
sebagai sesepuh Minangkabau itu? Ada maksud apa dengan dibentuknya "dewan
militer" itu? Apa yang akan terjadi? Tidak ada yang tahu!

Namun, pada 15 Pebruari 1958, atas prakarsa "Dewan Banteng", organisasi yang
dilahirkan dari hasil reuni militer yang dikepalai oleh Letkol. Achmad
Husein, Kol. Dahlan Jambek dan Kolonel Maludin Simbolon, "diproklamirkan"
sebuah pemerintahan baru yang bernama "Pemerintahan Revolusioner Republik
Indonesia" yang disingkat dengan sebutan PRRI, dengan kota Padang sebagai
"ibukota negara" dan Mr. Syafrudin Prawiranegara sebagai "Presiden PRRI".

Proklamasi PRRI ini, menjadi titik awal perlawanan secara terbuka terhadap
kepemimpinan Presiden Sukarno dan keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia! Ranah Minang dikuasai oleh oknum-oknum, baik militer maupun
sipil, yang "tidak merasa puas" dengan kepemimpinan Bung Karno, dan membawa
rakyat Minangkabau untuk memberontak melepaskan diri dari ikatan persatuan
NKRI.

Sementara itu, dalam waktu yang sama, di bagian Timur tanah air, juga timbul
satu pemberontakan yang senada, perlawanan terhadap NKRI di bawah pimpinan
Letkol. Ventje Sumual, dengan membentuk pemerintah tandingan yang bernama
PERMESTA. Pemerintah Rakyat Semesta.

Para tokoh dan pentolan PRRI maupun PERMESTA mendapat bantuan dan sokongan
kuat dari Imperialis Amerika Serikat yang memang tidak suka atas
kepemimpinan Bung Karno. AS memberi support dan bantuan apa saja untuk
PRRI/PERMESTA.

Persenjataan-persenjataan modern dari Amerika, seperti LMG 12,7 MM,
penangkis serangan udara, Bazooka, Granat-semi automatis, persenjataan
Infantry, dan lain-lainl didrop dari kapal terbang pengangkut AS di
hutan-hutan Sumatra untuk melengkapi persenjatan militer PRRI guna melawan
Pemerintahan NKRI (Pengakuan almarhum Jenderal A.H. Nasution dalam film
dokumen ABC: Riding The Tiger).

Disamping itu, Amerika juga memberikan pelatih-pelatih militer AS, yang
berkedok sebagai "employee Caltex" yang bertugas melatih para militer
pemberontak PRRI untuk melawan Pusat, dan memberikan indoktrinasi buat
mengikuti kemauan dan keinginan Imperialis AS.

Semua persenjataan serta alat komunikasi modern ini disalurkan kepada
gerombolan pemberontak melalui Singapura, yang dikendalikan dan diorganisir
oleh seorang tokoh politik dan ekonomi yang terkenal Professor Dr. Sumitro
Djojohadikusumo. Bahkan di Pekanbaru, rakyat sering mendapati dan melihat
masuknya senjata-senjata gelap dari kapal-kapal yang datang dari Singapura.

Semenjak 15 Pebruari 1958 itu, di setiap kota di Sumatra Tengah (nama
propinsi kala itu) dilangsungkan demonstrasi-demonstrasi massa dan pelajar
yang diatur dan diorganisir oleh pemberontak untuk "mendukung pemerintahan
baru" PRRI!

Namun, ada satu hal yang tidak diketahui umum yang terjadi pada saat itu!
Yaitu, semenjak deklarasi "Dewan Banteng", pada akhir 1957, pihak militer
telah melakukan operasi dan menangkap serta menahan anggota serta
pimpinan-pimpinan organisasi berhaluan kiri, terutama PKI, sejalan dengan
garis dan keinginan Pentagon Amerika yang memang anti komunis!

Namun demikian pihak PRRI dalam hal ini tidak pernah mau mengakui bahwa
mereka sebenarnya menerima dan mengikuti arahan Imperialis AS, dan
menyatakan bahwa *isu yang sebenarnya terjadi adalah dugaan bahwa
PRRI/PERMESTA memberontak sebagai wujud protes terhadap Presiden Sukarno
yang terlalu memanjakan PKI sehingga banyak kebijakan Pemerintah yang berbau
ideologi PKI. Hal ini terlihat dari penyerangan** PRRI/PERMESTA terhadap
massa PKI di kedua propinsi tersebut di** atas *(dikutip dari KI 1 Oktober
2007- PRRI/PERMESTA, dialog untuk persaudaraan).
[Pertanyaan timbul: "Kalau hanya untuk mewujudkan protes terhadap Presiden
Sukarno, mengapa mesti bersekutu dengan Imperialis AS untuk menghancurkan
NKRI?"]

Akibat dari penangkapan dan penahanan para anggota dan pimpinan PKI oleh
PRRI tersebut, ribuan manusia-manusia tak berdosa, mati dibunuh, diberondong
oleh PRRI di tempat tahanannya! Mayat-mayat mereka  dibakar, dibulldozer,
ditolak  ke dalam lobang-lobang yang telah dipersiapkan untuk kuburan
massal.

Di setiap sudut negeri di Sumatera Tengah, di Simun, Atar, Situjuh, Gunung
Sago, dan lain-lain. Di setiap pelosok dan penjuru "kampuang jo nagari"
menjadi kuburan-kuburan massal orang-orang yang dituduh PKI, sementara
keluarga mereka dianiaya, diperkosa! Tak heran kalau pada tahun-tahun
sesudah itu timbul nyanyian Minang untuk mengingat para korban ini yang
salah satu baitnya  berbunyi: *......"Lah ditembak dibaka pulo. Digiliang
luluh** binaso" *(Barangkali ada teman-teman yang masih ingat akan
keseluruhan lagu ini, mohonlah dikirimkan kepada saya. Terima kasih).

Karena "*dugaan*" bahwa Bung Karno memanjakan PKI, maka PRRI membunuh ribuan
anggota PKI! Mereka tidak mau melihat sejarah dan takut akan kenyataan yang
ada bahwa PKI telah tumbuh menjadi sebuah partai besar di antara 4 partai
besar lainnya setelah Pemilihan Umum untuk DPR dan Konstituante di
Indonesia  tahun 1955! Dan sesungguhnya, yang paling merasa ketakutan adalah
Imperialis AS yang menjadi tulang punggung dan penggerak pemberontakan
PRRI/Permesta!

Kota Pekanbaru-Riau..........
Saat itu, aku adalah seorang pelajar pada SMA Negeri, dan duduk dikelas II.
Satu-satunya sekolah menengah atas negeri yang ada pada saat itu. Ada juga
lain SMA, namun bersifat Swasta dan bernama SMA Setia Dharma. Sebagai
seorang pelajar di sekolah, aku  menjabat sebagai Ketua Ikatan Siswa SMA
kala itu. Namun, sebagai seorang pemuda, di luar sekolah, aku juga tergabung
dalam organisasi massa-pemuda yaitu Pemuda Rakyat.

Pada petengahan bulan Pebruari 1958 itu, menurut penanggalan kalender, kami
menghadapi hari raya Islam, yaitu  perayaan peringatan hari Israk dan Mikrad
Nabi Muhammad SAW. Dan sebagai seorang "Ketua Pelajar", aku telah
membicarakan dan membuat perencanaan  untuk pelajar SMA merayakan hari yang
mulia itu pada tanggal 18 Pebruari 1958.

Para guru juga telah setuju dengan tanggal yang direncanakan itu, dan
undangan kepada para pejabat dan guru-guru lain juga telah disampaikan.
Untuk pemberi ceramah acara Isra' dan Mi'raj Nabi, telah kami undang dan
disetujui oleh Bp. M.Yatim.D., Kepala Kantor Urusan Agama Islam (KUA)
Pekanbaru. Semua persiapan telah dibuat, dan hanya tinggal menunggu harinya.


Namun, sungguh tidak dinyana, tidak diduga samasekali! Sehari sebelum acara
kami langsungkan, di saat meja dan kursi telah diatur dan disusun, begitu
pun mikrofon telah dipasang untuk para pembicara, dan sekedar jedah telah
dipersiapkan untuk acara esok hari, tiba-tiba datang perintah dari "komandan
militer" bahwa semua pelajar besok harus ikut demonstrasi mendukung PRRI,
karena Letkol. Achmad Hussein dan Kolonel Dahlan Djambek akan datang dan
berpidato di Pekanbaru!

Aduh! Apa yang mesti kami perbuat? Aku benar-benar menjadi bingung. Mana
yang mesti kupilih? Akan membatalkan perayaan untuk Nabi, dan ikut
demonstrasi mendukung PRRI, ataukah tidak ikut berdemonstrasi dan tetap
melangsungkan perayaan/peringatan Isra' dan Mi'raj Nabi, mengingat segala
persiapan telah sempurna.

Aku menjadi ketar-ketir, apakah hal ini tidak bakal membahayakan diriku
mengingat situasi dan kedudukanku sebagai seorang anggota pimpinan muda
organisasi massa Pemuda Rakyat?  Kucoba berunding dengan Kepala Sekolah dan
lain-lain guru, namun tiada mendapat jawaban! Akhirnya, jam pelajaran hari
itu pun selesailah tanpa ada pemberitahuan ataupun perubahan acara untuk
esok. Dan para pelajar pun pulang ke rumah masing-masing.

Tanggal 18 Pebruari 1958........
Hari itu kami melangsungkan upacara peringatan hari Isra' dan Mi'raj nabi
Muhammad SAW di sekolah, yang dihadiri oleh Bapak M.Yatim D, yang selain
sebagai Kepala Kantor Urusan Agama Islam juga adalah anggota DPRD Pekanbaru,
juga Hasyim Arsjad, seorang ulama Islam, serta para guru dan para undangan
lainnya.

Sementara itu, di saat kami berkumpul di sekolah merayakan hari peringatan
untuk Nabi, kudengar dari lain-lain Sekolah, dimulai dari SD sampai Sekolah
Menengah Atas, para murid dan pelajar berbaris berbondong-bondong menuju dan
mengisi lapangan di mana tokoh-tokoh PRRI akan memberikan pidatonya. Hanya
sekolahku, SMA Negeri Pekanbaru beserta sebagian besar para pelajarnya yang
absen!

Malam harinya..............
Di rumahku, di Jalan Riau yang kemudian bertukar nama menjadi Jalan Dr. Sam
Ratulangi, satu regu anggota polisi  militer datang dan menggedor rumah
kami. Rumah kami diobarak-abrik, semua buku-buku pelajaranku dan arsip-arsip
berserakan. Aku dan ayahku ditangkap dan dibawa oleh Militer dan ditahan di
sebuah gedung yang digunakan buat olah raga yudo dan karate serta gym yang
bernama Inkorba, yang terletak tidak jauh dari kantor Kodim Pekanbaru, di
simpang Jalan Jawa dan Bangkinang (kala itu!). Di situ telah ada beberapa
orang yang kukenal, teman-teman para pimpinan organisasi Pemuda Rakyat dan
juga para Pimpinan organisasi Perbum dan Sobsi Pekanbaru.

Aku menjadi sadar, bahwa penangkapanku ini, bukanlah karena kami tidak
mengikuti acara demonstrasi, atau karena kami merayakan Isra' dan mi'raj
Nabi Muhammad, namun karena memang sudah jadwal dan rencana PRRI untuk
menangkapi semua aktifis golongan kiri, guna melicinkan, membersihkan dan
meluruskan jalan pemberontakan dan pengkhianatannya dalam menghancurkan
NKRI!

Beberapa hari kami ditahan di situ, kemudian kami dipindahkan pada malam
hari menuju ke Padang, dan ditempatkan dalam rumah tahanan di Simpang Haru.
Di situ telah ada ratusan orang yang ditahan, yang berasal dari seluruh
Sumatra Tengah, termasuk dari Pekanbaru, yang ditangkap sebelum kami oleh
Dewan Banteng/PRRI.

Sementara itu, di dalam tahanan kami mendengar bisik-bisik bahwa Pemerintah
NKRI telah mengirimkan kesatuan-kesatuan militer yang loyal untuk menumpas
dan menghancurkan gerombolan pemberontak PRRI. Kota Pekanbaru telah dikuasai
oleh "Tentara Pusat" di bawah pimpinan Letkol. Kaharudin Nasution. Begitu
pun kota-kota dan tempat-tempat lain yang "dikuasai" PRRI mendapat serangan
dari Militer yang loyal kepada NKRI yang tergabung dalam "Komando Operasi 17
Agustus" di bawah pimpinan Letkol. Achmad Yani, yang kemudian diteruskan
oleh  Letkol. Pranoto Reksosamudro.

Para tahanan yang dianggap sebagai lawan bagi PRRI dipindahkan, dibawa lari
dari satu tempat ke tempat lain oleh PRRI, seolah-olah seperti suatu "aset
kekayaannya". Apabila tempat di mana kami ditahan, didekati oleh Kesatuan
Tentara Pusat, maka para tahanan dipindahkan lagi, dilarikan!

Para tahanan yang demikian banyak, dibagi-bagi ke beberapa tempat atau
kantong-kantong PRRI, seperti Simun, Atar, Situjuh dan tempat-tempat lain.
Dan ketika gerombolan PRRI terdesak, mereka membunuh dan memberondong,
menembak mati  semua tahanan itu!

Akan diriku beserta ayah dan teman-teman lain, dari Penjara Simpang Haru
Padang, dipindahkan, atau dilarikan, dari satu tempat ke tempat lain,
seperti ke penjara Solok, Muara Labuh. Bahkan kami ditahan di Timbulun, di
suatu bangunan usang di hutan belukar, sebuah  bekas rumah sakit tua
peninggalan zaman Belanda.

Hanya sehari semalam kami berada di sana, kemudian pihak PRRI memerintahkan
kami untuk berangkat berjalan kaki di dalam hutan lebat di lereng gunung
Kerinci menuju ke Sungaipenuh, melalui Tangkil, Air Putih dan Kayu Aro.
Sekitar 250 orang tahanan yang dianggap muda, dianggap masih kuat, dipaksa
ber'long march' menuju Kabupaten Kerinci, sedang mereka yang dianggap tua,
sekitar 67 orang tinggal di bangunan tua di Timbulun itu.

Dalam hujan dan gelap hutan melalui jalan rintisan di pinggang gunung
Kerinci yang penuh onak dan duri, becek dan berlumpur serta nyamuk, pacet
dan lintah dan ular, kami dipaksa berjalan, digiring menuju ke Sungai Penuh,
tanpa diberi jatah makanan! Dan setelah beberapa hari dalam perjalanan
hutan, sampailah kami ke Kerinci, dan dimasukkan ke dalam penjara di
Sungaipenuh!

Apa yang kemudian terjadi? Bagaimana aku dan 25 orang kawan-kawan setahanan
bisa menjebol penjara Sungaipenuh dan lari menempuh hutan belantara Sumatra
sampai ke Muko-Muko dan seterusnya ke Palembang di Sumatra Selatan? Dan apa
yang terjadi sesudah itu?

Bagaimana ketika terjadi Peristiwa 1965 di mana Soeharto, meneruskan dan
melanjutkan praktek-praktek PRRI secara global dan menyeluruh, tanpa
perikemanusiaan menangkap dan menahan serta membunuh semua orang yang
dituduh sebagai anggota PKI, bahkan  membunuh Presiden Soekarno dan merebut
kekuasaannya, serta menjadikan NKRI sebagai anteknya Imperialis? Berapa
jumlah orang-orang yang menjadi tapol di Pekanbaru semenjak 1965 dan
siapa-siapakah mereka? Berapa orang yang diambil paksa malam hari dari
tempat tahanan dan dibunuh?

Kemudian, bagaimana aku yang ditahan selama 12 tahun oleh Rezim Orde Baru di
Pekanbaru, bisa "meloncat"  ke bumi Australia, meninggalkan "Riau Berdarah"
dan  persada tanah air tercinta yang bersiram dan bermandi darah karena
kekejaman, kebiadaban dan kebrutalan Jenderal zalim tak berperikemanusiaan?

Semua itu akan dapat anda baca dari buku "Riau Berdarah" yang diterbitkan
oleh Hasta Mitra Jakarta, yang peluncuran dan perkenalannya akan
dilangsungkan di dalam  acara peringatan hari HAM Internasional pada 10
Desember 2007 di Jakarta, di mana Bapak-bapak: Dr. Asvi Warman Adam, Hilmar
Farid, Ir. Stanley dan Sumargo akan memberikan sambutannya.

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/

Reply via email to