Hari kamis esok,
si kecil kami yang ditunjuk sekolahnya untuk ikut serta lomba World Geografi 
atar sekolah menengah ingin tampil dengan pakaian adat Minang semalaman istriku 
sibuk membongkar pakaian adat Minang yang kami bawa dari Indonesia. Seharian 
pula dia meyakinkan gurunya bahwa warna Merah pakaian minang sama dengan warna 
merah lambang sekolahnya. Mantan anak SMP negeri pingiran kota Jakarta akan 
tampil esok di hotel berbintang  di negeri paman Sam jadi duta Minangkabau 
mandiri.

Ia bukan Natsir, mungkin tak tahu siapa Natsir tapi yang pasti punya keinginan 
yang hampir sama dengan Natsir.  Semoga dia mampu mengikuti jejak Natsir 
memenangi perlombaan.
 
Zulkarnain Kahar

Di saat kemampuan bercakapnya bertambah, ia ikut lomba deklamasi bahasa Belanda 
yang digelar sekolah pada akhir tahun. Mengambil satu syair karangan Multatuli 
berjudul "De Bandjir", ia berlatih dengan kawannya, Bachtiar Effendy. Kawannya 
satu kampung yang duduk di kelas IV-B (khusus eksakta) ini berbahasa Belanda 
dengan baik. Dia juga dikenal pandai berdeklamasi.
Saat hari lomba tiba, Natsir se-ngaja memakai baju adat Minang. Sepuluh menit 
berdeklamasi, tepuk tangan riuh menyambut. Di mukanya tampak Meneer gurunya. 
Tetap dengan senyum dan tepuk tangan sinis.
Natsir mendapat juara I lomba itu. Hadiahnya buku karang-an Westenenk, Waar 
Mensen Tigger Buren Ziyn (Manusia dan Harimau Hidup Sejiran). Natsir puas 
karena 
sudah membayar kesumatnya. "Setidaknya nama MULO Padang yang selama ini diejek 
sudah tertebus," tulis Natsir dalam suratnya kepada anak-anaknya, 50 tahun 
lampau.
Meski begitu, hati Natsir masih sedikit "panas" jika melihat gurunya itu. Di 
kelas V-A (kelas II sekolah menengah atas), ia bertemu lagi dengan si Meneer. 
Kali ini ia mengajar ilmu bumi ekonomi. Di tengah pelajaran ia suka menyindir 
pergerakan politik kaum nasionalis. Maklum, siswa AMS pada tahun itu, 
1927-1929, 
suka ikut bicara soal politik. Dan si Meneer tak suka.
Suatu kali, Meneer memberikan pelajaran pengaruh penanaman tebu dan pabrik gula 
bagi rakyat di Pulau Jawa. Ia menyuruh muridnya menulis makalah. Butuh dua 
pekan 
bagi Natsir untuk menyelesaikan tugas paper-nya itu. Tiap hari ia membenam-kan 
diri di perpustakaan Gedung Sate, mencari literatur tentang pabrik gula itu. 
Dikumpulkannya jurnal terbitan kaum pergerak-an. Juga notula perdebatan dalam 
Volksraad-semacam Dewan Perwakilan Rakyat.
Pada harinya, Natsir mempresentasikan analisisnya di muka kelas. Ia menyodorkan 
bukti bahwa tidaklah benar Jawa menerima keuntungan dari pabrik gula di Jawa 
Tengah dan Jawa Timur. Yang untung, kata dia, tetap saja kaum kapital dan 
pejabat bupati yang memaksa rakyat menyewakan tanahnya kepada pabrik dengan 
harga rendah.
________________________________
From: Darwin Bahar <dba...@indo.net.id>
To: Palanta Rantaunet <rantaunet@googlegroups.com>; su...@yahoogroups.com
Sent: Wed, March 2, 2011 6:29:22 AM
Subject: [R@ntau-Net] MOH NATSIR, Menunggu Beethoven di Homan

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/

Kirim email ke