Natsir membiasakan keluarganya hidup bersahaja. Dia sendiri memberikan
teladan.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/07/14/LK/mbm.20080714.LK127
663.id.html

Dari balik lemari yang menjadi sekat ruang tamu, Sitti Muchliesah bersama
empat adik dan sepupunya mencuri dengar pembicaraan ayahnya, Mohammad
Natsir, dengan seorang tamu dari Medan. Hati remaja-remaja itu berbunga
ketika mendengar si tamu hendak menyumbangkan mobil buat ayah mereka.

Lies-panggilan Sitti-menyangka mobil Chevrolet Impala yang sudah terparkir
di depan rumahnya di Jalan Jawa 28 (kini Jalan H.O.S. Cokroaminoto), Jakarta
Pusat, itu akan menjadi milik keluarganya. Sedan besar buatan Amerika ini
tergolong "wah" pada 1956. Saat itu Natsir, yang pernah menjadi Menteri
Penerangan dan Perdana Menteri, hanya punya mobil pribadi bermerek DeSoto
yang sudah kusam.

Aba-demikian anak-anaknya memanggil Natsir-ketika itu masih anggota parlemen
dan memimpin Fraksi Masyumi. "Dia ingin membantu Aba karena mobil yang ada
kurang memadai," kata putri tertua Natsir yang saat itu baru masuk usia 20
tahun.

Harapan anak-anak naik mobil Impala buyar saat ayah mereka menolak tawaran
dengan amat halus agar tidak menyinggung perasaan tamunya. "Mobil itu bukan
hak kita. Lagi pula yang ada masih cukup," Lies menirukan ucapan ayahnya
ketika mereka bertanya.

Nasihat itu begitu membekas di hati Lies, kini 72 tahun. Aba dan Ummi
Nurnahar-ibunda Lies-selalu berpesan kepada anak-anaknya, "Cukupkan yang
ada. Jangan cari yang tiada. Pandai-pandailah mensyukuri nikmat."

Ketika sang ayah menjadi Menteri Penerangan pada awal 1946, Lies mengenang
mereka tinggal seadanya di rumah milik sahabat Natsir, Prawoto
Mangkusasmito, di Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Sewaktu pusat
pemerintah pindah ke Yogyakarta, keluarga Natsir menumpang di paviliun milik
Haji Agus Salim di Jalan Gereja Theresia, sekarang Jalan H Agus Salim.

Periode menumpang di rumah orang baru berakhir ketika mereka menempati rumah
di Jalan Jawa pada akhir 1946. Rumah tanpa perabotan ini dibeli pemerintah
dari seorang saudagar Arab dan kemudian diserahkan untuk Menteri Penerangan.
"Kami mengisi rumah itu dengan perabot bekas," kata Lies.

Selama menjadi menteri, Natsir jarang bertemu dengan keluarga karena lebih
banyak berdinas di Yogyakarta. Di sana pula dia pertama berjumpa dengan guru
besar dari Universitas Cornell, George McTurnan Kahin. "Pakaiannya sungguh
tidak menunjukkan ia seorang menteri dalam pemerintahan," tulis Kahin dalam
buku memperingati 70 tahun Mohammad Natsir.

Dia melihat sendiri Natsir mengenakan jas bertambal. Kemejanya hanya dua
setel dan sudah butut. Kahin, yang mendapat info dari Haji Agus Salim
mengenai sosok Natsir, belakangan tahu bahwa staf Kementerian Penerangan
mengumpulkan uang membelikan pakaian supaya bos mereka terlihat pantas
sebagai seorang menteri.

Penampilan Natsir tidak berubah saat menjadi Perdana Menteri Negara Kesatuan
Republik Indonesia pada Agustus 1950. Keluarga Natsir menempati rumah
Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur (sekarang Tugu Proklamasi), Jakarta
Pusat. Rumah di Jalan Jawa yang sempit dan kusam dinilai tidak layak buat
pemimpin pemerintah. Rumah di Jalan Proklamasi itu lengkap dengan perabotan
sehingga Natsir dan keluarganya hanya membawa koper berisi pakaian dari
Jalan Jawa.

Pada masa ini kehidupan keluarga Natsir sudah dibatasi protokoler. Rumah
dijaga polisi dan sang Perdana Menteri selalu didampingi pengawal.
Pemerintah juga menyediakan pembantu yang membenahi rumah, tukang cuci dan
masak, serta tukang kebun. "Semua fasilitas tidak membuat kami manja dan
besar kepala," ujar Lies.

Putri tertua Natsir yang saat itu duduk di kelas II sekolah menengah pertama
tersebut tetap naik sepeda ke sekolah karena jaraknya dekat. Adik-adiknya
antar-jemput dengan mobil DeSoto yang dibeli dari uang sendiri. Ibunya masih
melanjutkan belanja ke pasar dan kadang masak sendiri. Lies mengatakan
keluarganya tidak pernah memanfaatkan fasilitas pemerintah, misalnya
perjalanan dinas.

Contoh lain kejujuran Natsir selama menjadi pejabat negara didengar pula
oleh Amien Rais, bekas Ketua Umum Muhammadiyah. Ketika masih mahasiswa, ia
mendengar cerita Khusni Muis yang pernah menjadi Ketua Muhammadiyah
Kalimantan Selatan.

Syahdan, Khusni menuturkan, ia pernah datang ke Jakarta untuk urusan partai
(saat itu Muhammadiyah merupakan anggota istimewa Masyumi). Ketika hendak
pulang ke Banjarmasin, ia mampir ke rumah Natsir. Tujuannya meminjam uang
untuk ongkos pulang. Tapi Natsir menjawab tidak punya uang karena belum
gajian. Natsir lalu meminjam uang dari kas majalah Hikmah yang ia pimpin.
"Bayangkan, Perdana Menteri tidak memegang uang. Kalau sekarang, tidak masuk
akal," ujar Amien.

Tatkala Natsir mundur dari jabatannya sebagai perdana menteri pada Maret
1951, sekretarisnya, Maria Ulfa, menyodorkan catatan sisa dana taktis.
Saldonya lumayan banyak. Maria mengatakan dana itu menjadi hak perdana
menteri. Tapi Natsir menggeleng. Dana itu akhirnya dilimpahkan ke koperasi
karyawan tanpa sepeser pun mampir ke kantong pemiliknya.

Dia juga pernah meninggalkan mobil dinasnya di Istana Presiden. Setelah itu,
ia pulang berboncengan sepeda dengan sopirnya. Keluarganya pindah lagi ke
rumah di Jalan Jawa setelah Natsir turun dari jabatan perdana menteri. "Kami
kembali ke kehidupan semula," kata Lies.

Pola hidup sederhana itu pula yang membuat anak-anak Natsir mampu bertahan
saat suratan takdir mengubah hidup mereka dari kelompok "anak Menteng"
menjadi "anak hutan" di Sumatera ketika meletus pemberontakan Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta.

Setelah periode hidup di hutan dan Natsir mendekam dari satu penjara ke
penjara yang lain selama 1960-1966, keluarga mereka kehilangan rumah di
Jalan Jawa, termasuk mobil DeSoto. Harta itu diambil alih seorang kerabat
seorang pejabat pemerintah.

Mereka menjalani "kehidupan nomaden," terus berpindah kontrakan, dari
paviliun di Jalan Surabaya sampai rumah petak di Jalan Juana, di belakang
Jalan Blora, Jakarta Pusat. Rumah itu cuma terdiri atas satu kamar tidur,
ruang tamu kecil, dan ruang makan merangkap dapur.

Setelah Natsir bebas dari Rumah Tahanan Militer Keagungan Jakarta pada 1966,
ia membeli rumah milik kawannya, Bahartah, di Jalan Jawa 46 (sekarang Jalan
H. O.S. Cokroaminoto), Jakarta Pusat. Rumah itu sebetulnya dijual dengan
"harga teman", tapi Natsir tetap tidak mempunyai uang. Alhasil, ia harus
mengais pinjaman dari sejumlah kawan dan dicicil selama bertahun-tahun.

Teladan kesederhanaan tetap ia tunjukkan saat memimpin Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia pada masa Orde Baru. Bekas Menteri-Sekretaris Negara
Yusril Ihza Mahendra, yang ketika itu pernah menjadi anggota staf Natsir,
menuturkan betapa bosnya acap ke kantor mengenakan kemeja itu-itu saja.
Kalau tidak baju putih yang di bagian kantongnya ada noda bekas tinta,
kemeja lain adalah batik berwarna biru.

Saat ulang tahun ke-80, Natsir memberikan wasiat kepada anak-anaknya supaya
menjaga rumah keluarga di Jalan Cokroaminoto 46 dan buku-buku karyanya. Lima
tahun kemudian ia menutup mata selamanya. Setahun sepeninggalnya, kelima
anaknya, Lies, Asma Faridah, Hasnah Faizah, Aisyahtul Asriah, dan Fauzie
Natsir, sepakat menjual rumah peninggalan almarhum: mereka tidak sanggup
membayar pajaknya.

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/

Kirim email ke