Pak Dasriel Noeha sarato angku, mamak, bundo jo adi dunsanak sapalanta RN nan 
ambo muliakan, 


Memang itu nan ambo mukasuikan, sabab ado semacam hal "berani bermain resiko" 
menimbang-nimbang blok timur & barat (baca : komunis &kapitalis) yang dilakukan 
Ir Soekarno wakatu itu, dimano tahun 1956 kalau ambo indak salah alm. Bung 
Hatta 
mengundurkan diri dari pemerintahan sebab berseberangan pendapat dengan 
pemimpin 
besar revolusi nan ko. Wakatu itu baru sajo dilakukan pemilu 1955 & hanya 
berselang 7 tahun sejak KMB yang dipimpin oleh Bung Hatta sendiri sebagai 
pengakuan kedaulatan Indonesia secara de jure.

Tantunyo angku, mamak jo bundo nan dituokan bagi kami mudo matah ko labiah 
mengetahui perkembangan zaman kutiko itu, paliang indak masih takana jo 
rentetan 
peristiwa ataupun tulisan-tulisan yang berhubungan dengan hal iko.

Ambo pernah mambaco, kutiko PRRI akan memulai perlawanan, Bung Hatta pernah 
mengingatkan agar hal ini dicegah. Beliau mengirim utusan ke Palembang, 
Pekanbaru & Padang. Hanya pasukan pendukung PRRI yang berkedudukan di Palembang 
saja yang mendengar pesan dari Bung Hatta, sehingga tidak ada perlawanan yang 
berarti pada masa itu.

Selanjutnya - seperti yang dituliskan dalam sejarah - Masyumi sebagai salah 
satu 
partai terbesar waktu itu, dibekukan karena dianggap terlibat dalam PRRI. 
Kemudian di tahun 1960 tulisan Demokrasi Kita yang dipublikasikan oleh Panji 
Masyarakat pimpinan Buya Hamka dinilai sebagai tindakan subversif yang 
menyebabkan majalah itu dibredel.

Saya belum bisa mengambil sebuah analisa, mengapa seorang founding father Ir. 
Soekarno, yang sejak puluhan tahun menceburkan diri dalam pergerakan 
kemerdekaan 
Indonesia, diasingkan & ditangkap berkali-kali terjebak dalam hal seperti ini. 

Kebetulan saya ada menyimpan arsip dari Republika yang mempublikasikan tulisan 
pak Israr Iskandar mengenai mundurnya Bung Hatta dari pemerintahan, semoga 
bermanfaat, amin ya Rabbal alamin.   

wasalam

AZ / lk / 33 th           
Padang

tahun 1948 komunis melakukan pemberontakan diantara Agresi Militer Belanda 
I & Agresi Militer Belanda II
begitu cepatnya kembali dapat berkiprah di tahun 1950 & mengikuti pemilu tahun 
1955 dengan 39 kursi DPR dan 80 kursi Konstituante (16,4 persen)    


__________________________________________________________________________________________________________


Republika, Opini
Sabtu, 02 Desember 2006

Mengenang Mundurnya Bung Hatta 
Israr Iskandar
Dosen Sejarah Politik Universitas Andalas Padang

*****
Setengah abad lalu, Mohammad Hatta (Bung Hatta) mundur dari kursi wakil 
presiden 
(wapres). Itulah momen krusial dalam sejarah perjalanan Republik 
Indonesia. Momen 1 Desember 1956 bukan saja peristiwa mundurnya seorang wapres 
dari kursi empuk kekuasaan, tetapi di atas itu menandai sebuah perubahan 
penting 
dalam perjalanan sejarah Republik Indonesia. 

Mundurnya Hatta dari kursi wapres merefleksikan kekecewaannya dengan 
perkembangan yang mengarah pada kemunduran pelaksanaan demokrasi dan 
cita-cita kemerdekaan. Sekalipun menjabat wapres, tetapi Hatta tak bisa 
melakukan apapun untuk memperbaiki keadaan tersebut, sementara ia sangat taat 
pada konstitusi yang memosisikan jabatan wapres sebagai 'simbol' belaka.

Fokus keprihatinan Hatta pada periode 1950-an berkaitan dengan pelaksanaan 
demokrasi parlementer yang 'kebablasan', ancaman disintegrasi nasional, 
dan bayangan otoriterianisme di depan mata. Sejarah mencatat, pascapemilu 
demokratis 1955 Indonesia justru berada dalam keadaan krisis politik yang 
dilematis. Eksperimen demokrasi parlementer menghadapi ujian terberatnya ketika 
terjadi pertengkaran antarelite dan partai yang akhirnya bermuara pada 
kebuntuan 
di Konstituante.

Sementara itu di daerah-daerah, tuntutan desentralisasi serta keadilan ekonomi, 
sosial, dan politik, mengeras. Tuntutan lokal tersebut bahkan bermuara pada 
pemberontakan PRRI/Permesta di Sumatera dan Sulawesi dengan melibatkan sejumlah 
partai utama dan tokoh politik. Pada bagian lain, Presiden Soekarno yang sejak 
awal 1950-an kurang leluasa memainkan peranan politiknya (karena penerapan 
demokrasi parlementer) justru makin menunjukkan kecenderungan otoriternya. Dia 
terus mengintroduksi sistem demokrasi terpimpin dan mengusulkan 'penguburan' 
partai-partai.

Sejak semula Hatta mengritik Soekarno yang cenderung menjalankan perannya ke 
arah sistem diktator. Ia tentu tak hanya menyalahkan Soekarno, tetapi 
juga partai-partai. Khusus terhadap kecenderungan egoisme partai-partai, Hatta 
mengingatkan, "Demokrasi hanya berjalan kalau disertai rasa tanggung jawab. 
Tidak ada demokrasi tanpa tanggungjawab. Dan demokrasi yang melewati batasnya 
dan meluap menjadi anarkhi akan menemui  ajalnya dan digantikan sementara waktu 
oleh diktator."

Dwitunggal ke Dwitanggal
Apa yang dikhawatirkan Hatta itu menemukan realitasnya ketika Presiden Soekarno 
yang didukung PKI dan militer pelan-pelan merealisasikan konsepsi 
demokrasi terpimpin memasuki paruh kedua 1950-an. Mundurnya Hatta akhir 1956 
malah makin memuluskan langkah Soekarno menerapkan sistem yang 
antidemokrasi tersebut. Didukung kekuatan retorikanya yang hebat, Soekarno 
selalu mengobarkan slogan bahwa revolusi belum selesai dan harus terus 
diperjuangkan. Dalam berbagai kesempatan ia pun menyerang balik Hatta sebagai 
sosok yang 'mengawang-awang'.  

Namun Hatta berulang kali pula mengingatkan sahabat seperjuanganya sejak masa 
muda itu. Terhadap ungkapan revolusi belum selesai Hatta menyatakan, "Salah 
benar orang yang mengatakan bahwa revolusi kita belum selesai. Revolusi adalah 
letusan masyarakat sekonyong-konyong yang melaksanakan Umwerung aller Werte. 
Revolusi mengguncang lantai dan sendi; pasak dan tiang longgar semuanya. Sebab 
itu saat revolusi tidak dapat berlaku terlalu lama, tidak lebih dari beberapa 
minggu atau beberapa bulan. Sesudah itu harus dibendung, datang masa 
konsolidasi 
untuk merealisasi hasil daripada revolusi itu. Yang belum selesai bukanlah 
revolusi itu, melainkan usaha menyelenggarakan cita-citanya di dalam waktu, 
setelah fundamen dibentangkan."

Akibat kritik-kritiknya, hubungan politik Dwitunggal pun retak. Dwitunggal 
akhirnya menjadi dwitanggal. Sebenarnya tanda-tanda keretakan itu sudah 
terlihat sejak awal paruh kedua 1950-an. Dalam pelbagai kesempatan mereka 
saling 
kritik. Mundurnya Hatta dari kursi wapres pada 1 Desember 1956 merupakan 
rangkaian dari perbedaannya yang makin tajam dengan Soekarno. Sejak mundur dari 
pemerintahan itulah Hatta mengambil peran sebagai oposisi yang rajin melakukan 
kritik kontruktif terhadap pemerintah, partai-partai, dan perkembangan bangsa 
secara keseluruhan.

Sejarah mencatat, kritik dan prediksi Hatta terbukti benar bahwa sistem 
otoriter 
akan menemui ajalnya karena tidak memiliki legitimasi dari rakyat. 
Rezim demokrasi terpimpin runtuh bersamaan dengan berakhirnya kekuasaan 
Soekarno. Sayangnya, Orde Baru yang diharapkan memperbaiki kondisi demokrasi 
malah melanjutkan pola rezim demokrasi terpimpin. Sejarah kemudian mencatat, 
Orde Baru pun runtuh karena kehilangan basis legitimasinya dari rakyat.

Menariknya, sekalipun perbedaan karakter pemikiran politik Soekarno dan Hatta 
begitu tajam, namun persahabatan kedua pemimpin tetap lestari. Dalam hubungan 
pribadi, mereka adalah dwitunggal dalam pengertian sebenarnya. Hatta sangat 
sedih dengan upaya desoekarnoisasi yang terjadi sejak Orde Baru. Hatta pernah 
marah ketika dikemudian hari ada usaha membelokkan sejarah kelahiran Pancasila 
sehingga seolah-olah bukan Bung Karno yang mencetuskan Pancasila pada 1 Juni 
1945.

Teladan Hatta
Banyak pelajaran penting dari kasus mundurnya Hatta. Tokoh ini tidak hanya 
seorang pemimpin yang cerdas dan cakap, tetapi juga seorang demokrat-religius. 
Bagi Hatta, jabatan dan kekuasaan bukanlah segala-galanya. Pengabdian kepada 
bangsa dan rakyat merupakan yang utama, dan itu bisa dilakukan di mana saja, 
termasuk di luar pemerintahan.

Di atas itu, Hatta adalah tipe pemimpin yang satu kata dengan perbuatan. Cucu 
Syekh Batuampar ini dikenal sebagai sosok jujur, bersih, hemat, dan 
sekaligus santun. Kejujuran Hatta sangat legendaris. Sejalan dengan itu, ia 
dikenal sebagai pemimpin hemat dan efisien dalam kehidupan pribadi maupun 
saat menjalankan pemerintahan.

Hatta juga politisi santun dalam mengutarakan pendapatnya. Setelah tidak 
menjabat sebagai wapres, ia tampil sebagai oposisi yang rajin menyampaikan 
kritik konstruktif terhadap pemerintahan Soekarno. Ia tak mau mengerahkan 
massa, 
memprovokasi, memberontak, dan sebagainya, karena Hatta bukanlah tipe agigator 
dan haus kekuasaan. Hatta dikenal sebagai pemimpin yang rajin mengampanyekan 
pentingnya mendidik rakyat secara rasional.

Bagaimanakah dewasa ini? Dalam banyak hal, situasi pasca-Orde Baru tak jauh 
berbeda dengan tahun 1950-an. Reformasi berjalan tertatih-tatih. Demokrasi 
minus demokrat. Egoisme partai, kelompok dan kedaerahan menonjol. Kekuasaan 
digapai dan dipertahankan dengan segala cara, termasuk politik uang dan 
kekerasan. Kekuasaan bukan manifestasi amanah dan pengabdian bagi kepentingan 
rakyat, melainkan pribadi dan kelompok.

Sikap ambivalen juga selalu menyertai elite masa kini. Di mana-mana elite 
bicara 
atas nama kepentingan negara dan publik, tetapi perilakunya sering tidak 
sesuai dengan aspirasi umum. Ketika rakyat diminta pengertiannya atas kebijakan 
pengurangan subsidi BBM, misalnya, elite penyelenggara negara justru 
berusaha menyiasati diri agar tidak terkena krisis. Kuatnya tuntutan anggota 
DPR 
untuk menaikkan gaji dan fasilitas menunjukkan bahwa mereka tak mau 
terkena krisis. Krisis biarlah menjadi milik rakyat banyak. Tipikal elite 
seperti itu tidak hanya terdapat di pusat, tetapi juga di daerah.

Ikhtisar
- Pengunduran diri Bung Hatta dari kursi wapres merupakan refleksi kekecewaan 
atas perkembangan yang menunjukkan terjadinya kemunduran demokrasi.
- Setelah mundur Bung Hatta menjadi oposisi yang sering memberi kritik 
konstruktif pada Soekarno.
- Perubahan posisi itu tak membuat hubungan personal Bung Hatta dengan Soekarno 
terganggu.
- Perjalanan Bung Hatta memberi banyak teladan bagi para elite politik yang 
kini 
berkuasa.

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/

Kirim email ke