Mamak JB jo Sanak Palanta

Entah mengapa, Gunuang Marapi jo Singgalang, Tandikek Jo Talak Mau, barikuik
Sago jo Singgalang, telah melahirkan banyak putra-putra terbaik, salah
satunyo di bidang diplomasi. Mungkin ado banyak nan jadi diplomat, sahinggo
ambo pernah mandangan Pejambon hanyo dikuasoi oleh duo etnis yaitu
Minangkabau jo Sunda, antahlah. Kalau di sisir pangalaman anak Minang di
panggung diplomasi, tantu akan menimbulkan pertanyaan akademik, kenapa
mereka berbakat dalam bidang itu. Apakah sudah bakat bawaan lahir atau
justru situasi sosial, adat istiadat yang berkembang yang menjadikan mereka
demikian. Salah satu adolah mamak JP Rajo Jambi yang jadi anggota palanta
ko. Tantu banyak pangalaman humanis yang mamak temui di sepanjang karir.
Jikoklah pangalaman itu ditulis, akan menjadi "trigger" bagi anak-anak mudo
Minang manantang zaman.

Kami menunggu buku mamak sebelum hari sanjo barangkek ka malam. Di bawah
ambo kutipkan stek tentang seorang putra terbaik Minangkabau yang melegenda
:

Tokoh
14 Oktober 2008 | 19:26 wib
Diplomat Minang Berlidah Pedang [image: image]
<http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/layar/2008/10/14/339/Diplomat-Minang-Berlidah-Pedang#>

Di panggung rapat Sarekat Islam itu, Muso –kelak menjadi tokoh Partai
Komunis Indonesia– berdiri, kokoh. Dia melihat para anggota rapat,
tersenyum.

“Saudara, saudara, seperti apa orang yang berjanggut itu,” tanyanya.

Para peserta seperti kaget. Tapi, mereka menjawab juga. “Kambing!”

“Lalu, seperti apa orang yang memasang kumis,” tanya Muso lagi.

“Kucing!”

“Terimakasih.” Muso tergelak, lalu turun dari podium.

Kemudian, seorang lelaki kecil, berjanggut panjang, berkumis, naik podium.
Dia tersenyum sebentar pada peserta rapat. Mengelus janggutnya, berdehem,
dan bertanya, “Tahukah Saudara, seperti apa orang yang tidak berkumis dan
berjanggut?”

Koor jawaban pun bergema. “Anjing!”

Lelaki berjanggut itu tersenyum. Kemudian meneruskan pidatonya, menjelaskan
agenda Sarekat Islam dalam menghadapi politik kolonialisasi Belanda.

Lelaki berjanggut dan berkumis panjang itu adalah Haji Agus Salim, pentolan
Sarekat Islam. Sejak awal, dia memang agak berbeda sikap dengan Muso. Tapi,
Agus Salim selalu menanggapi semua perdebatan dengan Muso, bahkan sampai
menyentuh hal yang amat pribadi. Bagi Agus Salim, setiap perdebatan harus ia
hadapi, dan mesti ia menangi.

“Jarang ada yang mau menghadapi Agus Salim dalam berdebat. Ia amat ahli
berkelit, bernegosisi, dan lidahnya amat tajam kala mengecam,” jelas Mohamad
Roem, rekan Agus Salim semasa aktif di Jong Islamieten Bond.

*Menolak Bea Siswa*

Agus Salim lahir di kota Gedang, Bukittinggi, Sumatera Barat, 8 Oktober
1884. Ia anak keempat dari Haji Moehammad Sali, jaksa di pengadilan negeri
setempat. Karena kedudukan ayahnya itu, Agus kecil yang bernama asli
Mashudul Haq, dapat bersekolah Belanda. Hebatnya, lelaki yang memang sedari
muda suka memelihara janggut ini, amat pintar. Waktu lulus dari Hogere
Burgerschool (HBS) di usia 19 tahun, ia meraih predikat sebagai lulusan
terbaik untuk wilayah tiga kota: Surabaya, Semarang, dan Jakarta. Karena
itu, Agus kemudian mengajukan permintaan beasiswa pada pemerintaan Belanda.
Tapi, permintaan itu ditampik. Agus Salim patah arang.

Sementara itu, di Jawa, tepatnya di Jepara, Kartini yang mendapat beasiswa
tapi tak diizinkan orang tuanya, mendesak pemerintahan Belanda untuk
menghibahkan beasiswa itu pada Agus Salim. Pemerintah Belanda menyanggupi.
Tapi apa kata Agus Salim?

“Jika beasiswa itu diberikan kepadaku karena desakan Kartini, dan bukan
karena penghargaan atas diriku sendiri, lebih baik tidak akan pernah
kuterima,” kecamnya.

Sebagai sikap pembangkangan, Agus Salim bahkan hengkang ke Jeddah, dan
belajar pada ulama di sana, sambil bekerja di konsulat Belanda.

Karier politik Agus Salim bermula saat dia pulang ke Indonesia, dan
bergabung dengan HOS Tjokroaminoto dan Abdul Muis di Sarekat Islam. Waktu
kedua tokoh SI itu mundur dari Volksraad (dewan rakyat), Agus
menggantikannya. Tapi, karena Belanda tak juga mengubah kebijakanannya pada
Indonesia, Agus pun akhirnya mundur.

SI kemudian pecah, antara golongan Semaun dan Muso yang condong ke garis
kiri, dan Agus Salim-Tjokro yang tetap di jalur agama. SI Semaun-Muso
berkembang menjadi partai komunis, sedangkan Agus Salium kemudian aktif di
Jong Islamieten Bond.

Di organisasi baru ini, Agus pernah dituduh memecah belah pemuda berdasarkan
sentimen keagamaan. Tapi Agus menolak, dan mengajak berdebat, dan dia
menang.

Di lembaga ini Agus kemudian melakukan gebrakan. Dalam kongres Jong
Islamieten Bond di Yogyakarta 1925, peserta lelaki dan wanita duduk terpisah
dan berbatas tabir, sesuai syariah Islam. Tapi, dua tahun kemudian, dalam
kongres di Solo, Agus atas nama pengurus membuka tabir itu, setelah
menjelaskan penafsirannya. Semangat pembaruan Islam ini terus berkembang.

“Ajaran dan semangat Islam, memelopori emansipasi perempuan. Itu pasti,”
ucapnya, berapi. Kisah ini sering diucapulangkan Seokarno dalam tiap
pidatonya, untuk menerangkan perlunya memandang Islam dan berbagai agama
dengan dada terbuka.

*Tak Hirau Harta Dunia*

Setelah Indonesia merdeka, bakat debat dan ketajaman lidah Agus Salim
dimanfaatkan untuk menyokong politik luar negeri Indonesia. Agus menjadi
diplomat, yang bahkan atas lobinya, Mesir mau mengakui kemerdekaan Indonesia
pertama kali. Dalam perjanjian dengan Belanda dan negara lain pun, Agus
pasti disertakan. Tapi, sebagai pejabat negara, hidup keseharian Agus tak
ubahnya rakyat jelata.

Hidupnya berpindah dari satu rumah kontrakan ke kontrakan lain. Kadang,
rumah itu hanya satu kamar, di gang becek, dan dia huni bersama 8 anaknya,
serta ribuan buku koleksinya.

Tapi, menjadi miskin tak membuat keluarga itu murung. Penampikan Agus pada
harta tak membuat anaknya kehilangan kegairahan dan keceriaan hidup. Mohamad
Roem yang acap bertandang, menjadi saksi: “Kegembiraan berada di tengah
keluarga Agus Salim, membuat kita acap lupa, sungguh betapa melaratnya
keluarga ini,” katanya.

Agus Salim memang tak dendam pada kemiskinannya. Yang ia dendami adalah
perlakuan Belanda yang menolak beasiswa dia. Karena itu, sedari lahir, tak
pernah anaknya ia sekolahkan formal, kecuali yang bungsu. Agus mendidik
sendiri anaknya dengan cinta dan pengertian. Bermain bagi Agus adalah
belajar, belajar juga adalah permainan.

Hebatnya, sistem pendidikan informal ini cukup berhasil. Anak tertuanya,
Jusuf Taufik, telah mampu membaca *Mahabrata* berbahasa Belanda di usia 13
tahun, dan yang lainnya, di usia belasan telah mampu menghapal syair
Belanda. Perlu diketahui, tata bahasa Belanda amat sulit, sehingga butuh
ketekunan yang luar biasa untuk bisa menguasainya.

Bagi Agus Salim, keberhasilan dirinya dia ukur dengan kemampuannya
mengantarkan jiwa merdeka dan mandiri bagi anak-anaknya, tak menggantungkan
hidup pada orang atau bangsa lain.

Jiwa yang merdeka ini, lidah yang amat tajam ini, dan otak yang luar biasa
cemerlang itu, akhirnya rebah, 4 November 1954, di usia 70 tahun, sambil
tersenyum. Dia tak pernah berhutang pada dunia.

(*Aulia A Muhammad* dari http://rumahputih.net)

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/

Kirim email ke