*Dan Lelaki Kecil Itu Menikah Sudah : Catatan Kecil untuk Direktur LBH
Padang*

* *

*Andiko Sutan Mancayo*



Sepuluh tahun lalu, ketika dingin berlari menuruni lereng perbukitan yang
menyangga Gunung Talang, aku pernah berdiri, dilapangan kecil ini, dimana
jalannya berujung pada sebuah rumah, disitulah kuantar seorang lelaki kecil
kepada Ibunya. Malam ini, setelah memintas palunan kabut, jalan mendaki dan
berliku, kemudian menurun dikelokan, dengan segala kabut menyergap, pada
tiap tikungan antara Sitinjau Lauik, Sukarami, Guguak dan akhirnya mobil itu
berhenti di “Lapau” tua yang lengang di ujung jalan itu. Dadaku
bergemuruh. Yach….mungkin
sepuluh tahun sudah kenangan terbentang dan ia tunggangi waktu berlari dan
aku kembali. Seorang laki-laki kecil dulu itu telah ada di pintu dewasanya.
Aku gugup. Dia menikah hari ini dan aku terlambat datang!.



Aku tidak tahu, bagaimana masa mempertemukan kami. Kemudian malam-malam
panjang terlewati ditengah ladang-ladang tanah sengketa atau berkaparan di
sebuah bilik yang juga ruang kerja yang didindingnya terpajang potret
orang-orang desa yang berjuang untuk tidak kalah dan seperti mendoktrin
hingga kebatas kesadaran dimana mimpi tentang keadilan kemudian terbangun.



Bertahun kami bertanya pada sejarah kecil yang tergoreskan, siapakah kami
diantara hiruk pikuk bangsa ini. Pada suatu masa, ketika negeri ini
tergagap-gagap dengan gempa yang menggelincirkan manisnya kekuasaan pada
ketelanjangan segala ketidak adilan, hingga batas antara kebenaran dan
kesalahan demikian absurd dan kerapkali harap akan kebenaran yang didamba
semakin menjauh, di situlah, beberapa kepompong mulai menetas, menetas dan
menetas lagi dan ia percaya, harus ada yang berubah untuk generasi suatu
hari nanti. Seperti hantu segala kemarahan dan kesedihan merasuk dan
membolak-balikkan duka menjadi perlawanan, diantara barisan para petani yang
murka. Lelaki kecil itu ada di antara langkah berderap dan kami sumringah
melangkah.



Ketika itu, sungguh tak kami mengerti tentang apa itu aktivis dan kami
jengah. Karena sebagaimana Gramschi katakan, suatu waktu nanti akan sampai
ketika bahasa menghegemoni, hingga terbentanglah jarak antara sipejuang dan
sikorban, karena hegemoni membangun posisi, sementara kami, lahir dari
kesederhanaan harapan yang terpancar di tatapan suram orang-orang yang
kehilangan tanahnya dan pada sisi serta level yang berbeda, kami semua
adalah juga korban.



Pernah ada masa, ketika mimpi berlari diantara orang-orang yang di teorikan
akan menumbangkan kelas elit yang ada diujung pedang sejarah, karena begitu
dalamnya penghisapan seperti yang Marx katakan, meskipun pada akhirnya,
kitalah penyaksi ketika kelas yang dimimpikan menumbangkan para elit,
kerapkali justru merangkak naik dan berusaha menjadi bagian dari mereka,
sebagaimana apa yang dikatakan oleh Thorstein Veblem sejak lama dan berkali
igauan tentang itu merusak mimpi.



Masih teringat olehku, disuatu malam di padang pengorganisasian, ketika
spirit telah mengabaikan keterbatasan fisik dan kami tumbang. Diantara
gumaman mantera para tabib desa, diantara baluran segala dedaunan tepi hutan
yang mulai dirambah dan diantara batas kesadaran kita berdialog tentang
Tuhan, apakah ia ada diantara kita ?. Apakah segala apa yang telah kita buat
akan berimbal pahala yang mengantarkan ke surge ataukah itu sebuah pamrih
yang akan melemparkan kita pada lobang-lobang penuh api, jauh di kedalaman
neraka ?. Dan dalam igauan yang makin menjauh, seperti angin dingin sebait
kalimat mengalir, kita berbuat karena kita cinta, cinta pada kemaha agung
yang menebarkan kasihnya pada manusia dan segala mahluk dan kita ada pada
barisan orang-orang yang mencoba menghadirkan bias cahaya keberadaannya
diantara peradaban bangsa.



Sepuluh tahun masa telah habis, dan lelaki kecil itu sampai sudah pada titik
ketakutan paripurna tetapi sekaligus menawarkan berbait-bait sajak indah
tentang cinta yang menemukan perhentian, dan ia telah memutuskan.
Sebagaimana para pendahulu, barangkali kita telah dipalun kebingungan pada
teka-teki ketuhanan tentang perjanjian pertama di rahim ibunda, tentang
sebuah pertemuan, jodoh, rizki dan kematian dan kita lompati segala gamang
dan menyibak sampai kemudian di pintu ketika sesuatu yang selama ini dihukum
haram kemudian segera menjadi halal dengan sebait kalimat yang mengikat dua
insan di sebuah mahligai, begitu para pujangga merawikan.



Hari ini setelah sepuluh tahun yang lalu, aku urai segala kesadaran dan
kenangan, tentang seorang lelaki kecil yang kini telah dewasa dan lelaki
kecil itu, menikah sudah !.



Jakarta, 7 Juni 2011

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/

Kirim email ke