Bab III Menghadapi Perang Global (3) G. Tantangan Kaum Dajal Allah SWT telah memperingatkan kita di dalam Al-Qur'an bahwa seluruh umat Islam, bangsa Indonesia, bahkan seluruh umat beragama lainnya, harus mewaspadai pengaruh kaum Dajal yang akan menjadikan masyarakat dan bangsa Indonesia tercerai-berai agar memudahkan mereka menyebarkan "racun-racun" ideologinya. Dalam suasana kita sedang mengupayakan pelaksaan program reformasi (ishlah), serta upaya untuk membuat berbagai perbaikan dan menghancurkan segala yang rusak (f'asad) dan yang merusak (ifsad), jangan sampai ada pihak-pihak yang mengatas-namakan reformasi, padahal di lubuk hati mereka sedang mempersiapkan sebuah rencana besar untuk mempersiapkan kehancuran kaum beragama, sebagaimana disinyalir Al-Qur'an: "Dan bila dikatakan kepada mereka, 'janganlah membuat kerusakan di muka bumi.' Mereka berkata, 'Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.' Ingatlah sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar." (al-Baqarah:11-12). Reformasi bukanlah upaya musiman, bukan pula sekadar "mode busana", melainkan merupakan bagian dari misi dan visi setiap pribadi muslim dan bangsa Indonesia. Sebagaimana kita memahami makna upaya jihad untuk mengubah diri dari kegelapan menuju cahaya (minadz dzulumaati ilan-nuur). Sebab itu, reformasi merupakan sebuah upaya yang berkesinambungan, sebuah kontinuitas, dan dia tidak pernah akan berhenti, kendati para pejuangnya telah mati. Manusia boleh mati, lembaga dan partai boleh bubar, tetapi cita-cita dan upaya ishlah atau reformasi tidak pernah mengenal kata berhenti apalagi mati. Dalam kaitan itu, janganlah terlalu terpaku, seakan-akan bahwa Dajal itu hanya melulu dibuat oleh tangan kaum zionis. Ketahuilah bahwa siapa pun dapat menjadi pengikut dan menjadi anggota masyarakat Dajal, selama dia tidak lagi berpihak kepada kebenaran Al- Qur'an dan Sunnah. Masyarakat Dajal adalah masyarakat yang telah kufur dan selalu berusaha melaksanakan program kafirisasi dalam segala bidang. Pokoknya, siapa pun dapat menjadi masyarakat Dajal, selama mereka melepaskan tali persaudaraan dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Selama mereka melepaskan segala ikatan moral dan etika yang telah lahir dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia yang panjang, sejak benih-benih negara modern ditanamkan oleh gerakan kebangkitan nasional yang pertama yang dipelopori oleh kaum Serikat Dagang Indonesia, H.O.S. Tjokroaminoto pada tahun 1911, lalu dilanjutkan oleh Budi Oetomo pada tahun 1920. Sebab itu, generasi demi generasi harus selalu menunjukkan sikap keberpihakannya kepada persatuan, persaudaraan di atas landasan cinta. Ke manapun kita pergi, cinta adalah bahasa universal. Dia adalah bahasanya umat beragama, bahasanya suku, dan bangsa-bangsa di muka bumi. Cinta berarti semangat jiwa untuk saling menghargai, saling menolong, dan saling memberikan cahaya. Semangat ini harus menjadi pijakan utama bangsa Indonesia. Terlebih dalam menghadapi abad baru yang penuh dengan keterbukaan, benturan budaya dan ideologi, serta cara berpikir yang semakin global. Dalam cinta itulah, kita semua bergantung, tanpa cinta bangsa Indonesia akan terpuruk dalam kepingan-kepingan derita yang teramat panjang dan menjadi "budak" dari Amerika Serikat sebagai sentralnya gerakan zionis yang memang selalu ingin menunjukkan kedigdayaannya di muka bumi ini. H. Tantangan Tiada Henti
Dalam waktu yang dekat, ideologi Dajal akan segera merasuki seluruh denyut kehidupan. Dia akan diawali dengan cara berpikir, yang disebut dengan istilah berpikir bebas (free- thinking), melepaskan segala rujukan dan dasar pijakan dari agama. Menurut orang-orang yang berpikir bebas ini, selama masih merujuk kepada agama sebagai dasar argumentasinya, maka belumlah bebas. Merujuk kepada agama berarti masih diperbudak dan masih dalam perangkap tirani pemikiran. "Bebaskan pikiranmu dari segala ikatan, barulah engkau dapat merasakan kebebasan itu sendiri," demikianlah, seakan-akan moto berpikir mereka, yang sekaligus akan menjadi tantangan baru bagi kaum agamawan. Berpikir bebas berarti benar-benar bebas dari segala spekulasi, segala sesuatunya harus bersifat empiris. Bagaimana mungkin kita percaya dengan surga dan neraka, sedangkan tidak ada satu pun peristiwa empiris yang memberitakan kebenarannya. Lepaskan dirimu dari segala ikatan dogma. Lihatlah kenyataan, berpadulah dalam realitas, bukan dalam khayal dan impian. Kami ingin memberikan satu contoh untuk kalian wahai kaum agamawan. Tanpa merujuk pada satu ayat pun; kita akan merasakan bahwa "kemanusiaan" adalah bahasa yang universal. Ini lebih logis, lebih membumi, dan menyentuh realitas yang sebenarnya. Selama manusia masih merujuk pada agama, maka konflik tidak pernah akan lindap di muka bumi ini. Lihatlah sejarah, berapa banyak sumber konflik, diawali dari keyakinan dogma-dogma agama yang memenjarakan kebebasan berpikir dan tidak manusiawi. Dunia telah mengglobal, tidak mungkin lagi ada isolasi atau sekat-sekat kehidupan manusia atas dasar agama, bangsa, atau budaya. Di muka bumi ini sudah menjadi hukum alam (sunnatullah) bahwa yang kuat itulah yang akan menang. Aksioma survival for the fittest (siapa yang kuat, dia yang akan bertahan, ed.) akan berlaku sepanjang zaman. Maka lepaskan segala fanatisme, nasionalisme, agama, dan kesukuan. Meleburlah menjadi satu "warga dunia" (planetary citizens), bergabunglah dalam satu pemerintahan global yang perkasa, ikatkan dirimu dalam satu budaya, satu agama, satu cita-cita, dan satu warna peradaban dunia yang baru novus ordo seclorum. Lihatlah realitas. Berapa banyak manusia kelaparan di belahan bumi selatan: Afrika, Asia, India, Bangladesh, dan negara-negara lain di luar Barat. Mereka tidak berdaya tanpa pertolongan kemanusiaan dari dunia Barat yang sekuler, tanpa embel-embel agama. Negara mana yang dengan fanatisme agamanya, ia mampu mengulurkan tangannya untuk membantu sesamanya, sebagaimana yang diajarkan oleh agama? Janganlah melarikan diri dari kenyataan. Hukum alam telah membuktikan bahwa budaya yang kuat akan mengungguli budaya yang lemah. Tidak lama lagi, seluruh dunia akan mengikuti budaya kami, budaya zionis. Budaya yang paling unggul dan yang akan meninggikan derajat manusia di muka bumi ini. Inilah realitas yang tidak terbantahkan. Kami mempunyai teknologi, juga pengalaman dari sebuah peradaban yang telah lama berkembang, dan kini sedang berproses mencapai titik yang tidak pernah akan terbayangkan oleh peradaban manusia sebelumnya. Berhentilah bermimpi dengan segala omong kosong. Reguk dan nikmatilah dunia nyata. Negeri kami bisa tegak, sejahtera, dan berkembang bukan karena dogma agama, tetapi karena intelektualitas, hukum yang menjadi primadona kehidupan dan hak azasi, di mana setiap orang dihargai sebagai manusia yang merdeka --inilah cita-cita Dajal beserta zionisnya Inilah pula cita-cita para zionis dengan perkataannya, "Kami datang untuk melebarkan sayap budaya unggul kami, dan janganlah dicurigai. Kami ingin mengangkat martabat manusia untuk menjadi manusia yang sebenarnya. Manusia yang bebas dan mengetahui hak asasinya sebagai manusia. Kami ingin melepaskan Anda dari segala tirani gereja dan lembaga agama apa pun yang tidak memberikan hak demokrasi serta kebebasan bagi manusia. Itulah sebabnya, demi hak dan martabat manusia, kami membuka pintu bagi kaum lesbian, homo seksual, dan intergender serta lainnya. Mereka semua adalah manusia, dan kita harus memperlakukannya sebagaimana seharusnya manusia merdeka dan bebas." I. Pekerjaan Besar Untuk Para Ulama, Mubaligh, dan Agamawan Dunia bertambah global dengan segala implikasinya yang merupakan sebuah realitas. Dan pertanyaan serta tantangan masyarakat Dajal tidak bisa dipandang dengan sebelah mata. Karena ideologi ini sudah dapat kita saksikan beberapa fragmentasinya di panggung kehidupan dunia Barat yang sekuler. Mereka mengembangkan dan mencoba meningkatkan propagandanya dengan pendekatan total dan multidimensional. Gerakan: kemerdekaan manusia (libertian), orang-orang kiri (leftist), pemikir bebas (freethinkers), sosialisme baru, neo-komunisme, sekularisme matrialistik, termasuk pseudo agama dalam bentuk mistik dan okultisme. Itu semua tidak dapat dihadapi hanya dengan pendekatan hitam-putih maupun halal-haram. Akan tetapi, itu membutuhkan sebuah format intelektual yang membuka wawasan serta mampu menjawab seluruh argumentasi ideologi baru ini melalui kapasitas intelektual logis --yang saat ini menjadi mode di kalangan para kawula muda. Kaum agamawan tidak cukup hanya dengan menguraikan nilai-nilai normatif dalam menghadapi objek dakwah yang kebetulan telah bersentuhan dengan informasi global. Mereka menguji kita dengan pendekatan komparatif (perbandingan). Mempertanyakan norma-norma yang disajikan dengan deskriptif-empiris. Kita telah menyaksikan betapa gerakan dakwah sangat sedikit, baik dari segi kuantitas maupun kualitas, apabila dibandingkan dengan propaganda budaya sekuler tersebut. Dakwah bagaikan deret hitung, sementara godaan kenikmatan hedonistik bagaikan deret ukur. J. Solusi Atakah Ilusi Apakah ilusi bisa menjadi solusi, ataukah sebaliknya penawaran sebuah solusi hanyalah ilusi belaka yang akhirnya tidak memberikan apa pun kecuali kembali kepada kebiasaan- kebiasaan dan membiarkan diri "telanjang" di hadapan bidikan "kamera" kaum Dajal. K. Bidang Ekonomi Kalau saja saat ini, umat Islam mempunyai pemimpin sebenar-benarnya pemimpin, seperti Rasulullah saw, niscaya ekonomi menurut syariat Islam bisa dikomandokan agar seluruh umat Islam melaksanakannya. Dan niscaya umat Islam akan mempunyai kekuatan yang sangat dahsyat dan sulit utuk ditembus oleh infiltrasi paham zionis, walau mereka bersekutu dengan kaum Dajal lainnya di muka bumi ini. Setiap pengusaha atau masyarakat mempunyai keterpanggilan untuk hanya menyimpan uang mereka di bank Islam. Melakukan sistern ekonomi dan perbankan dengan sistem yang ditetapkan secara halal menurut konvensi syariat. Tentunya, bank Islam tersebut akan mengalami likuiditas yang tinggi, dana tunai yang sehat, dan pada saatnya mampu mengalirkan kembali dana tabungan tersebut untuk membantu kaum muslimin. Jaringan dunia perbankan Islam akan menyebar ke semua pelosok dan memperkuat fondasi ekonomi umat. Akan tetapi, jauh dari lubuk hati kita masing-masing, tentunya ada semacam pesimisme, selama umat Islam tidak berada dalam satu komando kepemimpnan umat yang berwibawa. Selama kepemimpinan dan jamaah belum dianggap sebagai persyaratan kehidupan umat Islam, maka imbauan apa pun akan tetap kalah bersaing dengan hingar bingarnya sistem zionis yang secara duniawi sangat memikat manusia. Pantaslah Rasulullah saw menjawab bahwa umat yang banyak, tetapi berkualitas buih. Kita telah kehilangan daya inovasi dan lebih senang menari dengan iringan musik kaum kafir yang tidak pernah mengenal lelah ingin mengadu domba sesama umat Islam. L. Zakat, Infaq, dan Sedekah Kalau saja umat Islam mempunyai "imam" yang mampu mengomandokan agar beberapa bagian dari penghasilan umat Islam dikeluarkan untuk dizakatkan, diinfakkan, dan disedekahkan kepada mereka yang memerlukannya (kaum dhuafa) niscaya tidak akan ada lagi proposal yang beredar atau surat-surat edaran yang meminta sumbangan, tidak akan ada lagi para saudara kita yang mengulur-ulurkan tangan diiringi loudspeaker di pinggir jalan untuk biaya pembangunan masjid baru. Karena pengelolaan dana dizakatkan, diinfakkan, dan disedekahkan umat dilakukan dengan profesional dengan satu imamah, tentunya. Pembangunan masjid dievaluasi oleh satu tim. Apakah diperlukan membangun masjid baru sedangkan di sebelahnya ada masjid yang sepi dari jamaah. Bagaimana rasio populasinya, dari manakah dananya, dan lainnya. Karena kita tidak mempunyai imamah maka umat Islam mencicit seperti anak ayam kehilangan induknya yang bergerak di lapangan terbuka tanpa perlindungan dari mata tajam elang rajawali yang siap menerkamnya. Bagaimana membuat satu fatwa atau gerakan dakwah agar dapat meramaikan masjid. Memakmurkannya dengan shalat berjamaah adalah sama besar pahalanya dengan membangun masjid. Apalah artinya masjid dibangun di setiap RT atau RW, tetapi sepi dari orang-orang yang meramaikannya dengan shalat fardu berjamaah. M. Membelanjakan Uang Kita tidak ingin berdebat soal khilafiah bahwa ibadah seseorang tidak akan diterima selama empat puluh hari apabila di dala perutnya ada makanan haram, tetapi kiranya harus direnungkan bagaimana dan kepada siapa kita harus membelanjakan uang ini. Dengan perekonomian global yang kita hadapi saat ini, berapa banyak perusahaan asing menanamkan modalnya di negara yang mayoritas penduduknya umat Islam. Mereka melakukan kerja sama (joint venture) dengan pembagian keuntungan yang lebih besar profitnya kepada para penanam modal dan pemilik royalti. Misalnya, sistem komposisi sahamnya adalah 80:20, di mana 80 persen untuk pemilik modal mayoritas dan pemilik royalti, dan 20 persennya untuk pemodal dalam negeri. Maka sudah dapat kita ketahui berapa milyar rupiah mengucur ke para pemodal asing tersebut, lalu dibawanya keuntungan tersebut ke negeri asalnya. Uang yang kita belanjakan ternyata membantu pengembangan usaha mereka, karena mayoritas keuntungannya dinikmati di negara asalnya yang notabene merupakan bagian dari jaringan zionis. Dan mereka tidak mendapatkan kewajiban berzakat, sehingga mustahil mereka menyisihkan keuntungan perusahaan dalam bentuk zakat. N. Keberpihakan Kepada Islam Bagaimana mungkin ajaran dan syiar Islam akan merebak dan menjadi kuat, sedangkan umat Islam sendiri tidak mempunyai keberpihakan terhadap ajaran Islam secara kaffah (keseluruhan). Untuk itu, harus ada semacam reformasi besar di kalangan para pemimpin Isram untuk melepaskan segala egonya dan membiarkan dirinya hanya dipandu oleh semangat Islam dalam sebuah gerak langkah yang indah, yaitu persatuan umat (ittihadul ummah). Semua persoalan dan kehidupan umat dapat kita kembalikan kepada program (manhaj) yang sesuai dengan syariat-Nya, dikarenakan umat dapat dengan jelas dan mudah pula ke mana mereka harus "mengadukan" nasib dirinya. Peran lembaga-lembaga Islam yang ada saat ini seharusnya berada dalam satu payung para pemimpin ahli (ahlul hal walaqdi) yang berhimpun penuh integritas dan kredibilitas untuk menjadi pengawal umat. Akan tetapi, rasa skeptis seakan menerpa diri kita. Mungkinkah kita mempunyai cukup keberanian untuk menyatakan diri berhimpun dalam satu "dewan imamah"? Duduk di dalam dewan tersebut para ulama, tokoh, dan cendekiawan yang 24 jam memikirkan nasib umat Islam? Nurani berbisik dari lubuk hati, benarlah apa yang disabdakan Rasulullah saw. bahwa umat Islam yang banyak ini bagaikan semangkok makanan yang diperebutkan kaum Dajal yang kelaparan, karena umat dilanda penyakit wahan (terlalu cinta dengan dunia). Bersambung ke bab (3.3.2) Wassalam St. Sinaro -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet http://groups.google.com/group/RantauNet/~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. =========================================================== UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi: - DILARANG: 1. E-mail besar dari 200KB; 2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 3. One Liner. - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1 - Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting - Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti subjeknya. =========================================================== Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/