Bab IV : Jamaah dan Essensi Persatuan Umat (1) 
 
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu 
bercerai-berai…" (Ali Imran:103). 
 
Menghadapi tantangan zaman yang semakin mengglobal serta jaringan Dajal yang 
telah 
merasuki seluruh denyut kehidupan manusia, seharusnya ada semacam tekad yang 
sungguh-sungguh diantara kita. Yaitu, tekad bahwa gerakan kaum kafir tidak 
mungkin 
dihadapi secara individu, kecuali dalam satu tatanan persatuan umat 
(ittihadul-ummah) 
yang hanya berpihak kepada Allah dan Rasul-Nya. 
 
Kekuatan, kekompakan, kecerdasan, serta ambisi kaum Dajal matrialistis tersebut 
bukan 
sebuah ilusi, tetapi benar-benar nyata. Bukan hanya dapat dibuktikan secara 
faktual, 
tetapi diperingatkan dalam Al-Qur'an dan hadits. Sehingga, tidak ada satu cara 
pun untuk 
menghadapi mereka kecuali membangun akidah dan pemahaman agama secara 
komprehensif bagi generasi muda agar mereka mampu menghadapi tantangan global 
dan 
memenangkannya, sebagaimana termaktub dalam surat at-Taubah:33, al-Fath:28, dan 
ash-Shaff:9.
 
Sebagaimana diketahui, agama-agama formal di dunia Barat telah kehilangan 
nilainya 
sebagai pegangan hidup. Hal ini dimanfaatkan olehnya dengan membuat agama-agama 
palsu dengan memperkenalkan berbagai aliran-aliran okultisme mistik yang 
direkayasa 
dan dipromosikan melalui berbagai media sebagai agama baru yang bersifat menipu 
dan 
hanyalah sebuah angan-angan belaka (deceptive).
 
Pengaruh aliran filsafat neo-Platonisme (paham Plato, ed.) yang banyak 
mempengaruhi 
agama Kristen telah memperkuat kecenderungan dunia Barat untuk melahirkan 
berbagai 
aliran mistik okultis yang dikemas dan dipropagandakan dengan bahasa rasional 
dan 
penuh dengan janji-janji. Sehingga, kemudian orang-orang yang dalam keadaan 
depresi 
sangat mudah terpengaruh untuk menerimanya. Di satu pihak, falsafah aliran 
Aristoteles 
yang banyak mempengaruhi agama Yahudi lebih menekankan pada pendekatan yang 
menonjolkan rasio telah menafsirkan berbagai ayat Bibel (Alkitab) dengan 
semangat 
Judaisme zionistik, di mana ada semacam misi imperialistik untuk menguasai 
dunia 
dalam bentuk yang lebih rasional. Sebagaimana diketahui, agama Yahudi bukanlah 
agama misionaris sehingga semangat ekspansi zionisnya bukan atas dasar berapa 
banyak orang harus beragama Yahudi, tetapi berapa banyak orang dikuasai oleh 
paham-
paham rasionalitasnya, sebagaimana telah dibahas sebelumnya, yaitu melalui 
penguasaan teknologi, moneter, dan konspirasi global. Inilah sebenarnya yang 
dimaksud 
dengan daabatam minal ardhi (binatang melata dari dalam bumi), yaitu sosok 
bangsa 
yang selama ini berada di bawah tanah, yang melakukan gerakan rahasia. Dan pada 
milenium ketiga ini, sosok tersebut akan menampakkan wujudnya secara 
terang-terangan 
untuk menguasai dunia serta menyingkirkan umat beragama, terutama umat Islam.
 
Kunci untuk membendungnya tidak lain adalah memperkokoh seluruh tatanan sistem 
dan 
derap kehidupan, sesuai dengan Sunnah Rasul, sebagaimana firman-Nya:
 
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka 
berteguh hatilah dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu 
beruntung." (al-Anfal: 45).
 
Oleh sebab itu, kalau memang iman sudah bersemayam di dalam hati dan penuh 
dengan 
kerinduan akan persatuan dan kekuatan umat, kiranya ada baiknya kita 
mentafakuri 
makna dari shalat berjamaah, yaitu shalat wajib yang dilaksanakan lebih dari 
satu orang, 
yang nilai pahalanya lebih dibandingkan dengan shalat sendirian atau munfarid. 
Beberapa 
isi kandungan etika yang dikaitkan dengan nilai dan prinsip shalat berjamaah, 
diantaranya 
sebagai berikut:
 
1. Apabila iqamat sudah dilaksanakan maka diwajibkan untuk segera menetapkan, 
menunjuk, dan memilih siapa yang akan menjadi imam dalam shalat berjamaah, juga 
kewajiban untuk meluruskan shaf (baris).
 
2. Dilarang untuk mendahului imam, baik dalam gerakan maupun bacaan.
 
3. Dilarang mengeraskan suara bacaan melebihi ucapan atau suara imam.
 
4. Kewajiban untuk melakukan gerakan yang kompak diantara sesama makmum, 
setelah 
terlebih dahulu mendapatkan isyarat sempurna dari imam.
 
5. Dilarang membuat jamaah baru, apabila jamaah yang awal belum selesai 
(menutup 
salam), bahkan kepada makmum yang tertinggal (masbuk) diharuskan untuk segera 
bergabung dengan jamaah.
 
6. Diwajibkan mengikuti seluruh gerakan imam tanpa "mencadangi-nya", kecuali 
apabila 
imam berbuat salah baik dalam ucapan maupun gerakannya, maka kewajiban makmum 
untuk menegurnya dengan mengucapkan, "Subhanallah."
 
Alangkah indahnya tujuh prinsip yang terkandung dalam tatanan shalat berjamaah. 
Di 
dalamnya tersirat suatu pesan yang teramat dalam untuk dijadikan bahan renungan 
bagi 
setiap pribadi muslim yang sedang berjuang untuk meraih keindahan dan kelezatan 
iman. 
Sehingga pantaslah ia untuk disebut sebagai seorang mukmin. Prinsip iqamat 
menunjukkan suatu simbolisasi bahwa mereka yang telah berkumpul untuk niat 
(shalat 
berjamaah) yang sama, harus segera mengumandangkan iqamat. Dengan panggilan 
iqamat tersebut, terputuslah segala urusan dengan dunia luar, tidak ada lagi 
yang 
melakukan pekerjaan lain, kecuali dengan penuh tanggung jawab memenuhi seruan 
iqamat untuk segera melaksanakan shalat berjamaah.
 
Iqamat adalah lambang yang menyerukan persiapan untuk menuju pada satu arah 
kiblat 
yang sama, yaitu Ka'bah Baitullah. Ruku yang sama, iktidal yang sama, bahkan 
ucapan 
serta niat yang sama. Dengan niat yang sama ini, mereka segera menunjuk imam 
shalat. 
Seakan-akan, hal itu merupakan suatu simbol agar kaum mukmin segera menunjuk 
siapa 
pemimpinnya, yang secara akrab, transparan dapat menuntun hidup dan 
kehidupannya 
yang maslahat dalam tatanan suara takbir yang indah. 
   Di dalam hubungan makmum dan imam ini, terlihat pula "prinsip demokrasi" 
(tanda 
kutip)  yang dilambangkan melalui suatu norma bahwa apabila imam berbuat salah, 
baik
dalam ruku maupun bacaannya, maka makmum dapat mengoreksinya dengan 
mengucapkan subhanallah atau meluruskan bacaannya yang benar. Demikian pula, 
apabila secara nyata imam telah batal maka irnam tersebut harus secara 
konsekuen 
segera mundur (untuk memperbaiki wudhunya) dan segera diganti oleh makmum di 
belakangnya untuk meneruskan shalat berjamaah.
 
Kewajiban untuk meluruskan shaf adalah suatu prinsip yang menunjukkan satu 
simbol 
manajemen serta pengelolaan jamaah yang berpadu dan bagaikan benteng yang kokoh-
seperti yang disebutkan dalam surat ash-Shaff: 4 --bahu bersentuhan dengan bahu 
yang 
lain, barisannya lurus, sehingga tidak satu pun ada ruang yang kosong yang 
memberi 
peluang kepada setan untuk merusak dan menggoda kekhusyu'an shalat berjamaah.
 
Rasulullah saw bersabda, "Imam itu untuk diikuti", sehingga kita pun mahfum 
bahwa yang 
dimaksudkan dengan "diikuti", tentunya berada di belakang, dan bergerak sesuai 
dengan 
komando sang imam. Kepatuhan inilah yang menyebabkan sempurnanya jamaah. 
Dilarangnya makmum mengeraskan suara melebihi imam, adalah suatu perlambang 
bahwa para makmum tidak diperkenankan untuk mengambil tindakan atau menyempal 
di 
luar apa yang ditetapkan oleh pemimpinnya. Karena dalam prinsip berjamaah ini, 
seluruh 
tatanan gerak harus di bawah satu kepemimpinan. Penyempalan atau tindakan lain 
hanya 
akan membatalkan makna dan kesempurnaan shalat itu sendiri.
 
Selama gerakan shalat berjamaah belum selesai, dan ada orang yang tertinggal 
atau baru 
memasuki ruang masjid, maka orang yang baru datang tersebut (makmum masbuk), 
wajib 
bergabung dan masuk diantara shaf yang ada, kemudian dengan khusyu' mengikuti 
seluruh gerakan imamnya. Prinsip ini seakan memberikan suatu simbolisasi bahwa 
seorang muslim tidak diperbolehkan untuk menyempal, membuat gerakan sendiri, 
padahal 
sudah ada shaf yang bergerak terlebih dahulu.
 
Inilah tatanan dalam shalat berjamaah yang ternyata mengandung nilai-nilai 
serta prinsip 
yang menunjukkan suatu perlambang agar umat Islam wajib berjamaah, apabila 
sudah 
berada dalam satu tempat, waktu shalat, dan telah mengumandangkan iqamat. Di 
dalam 
Al-Qur'an pun banyak disebutkan tentang wajibnya kita hidup berjamaah. Bahkan, 
pertolongan Allah hanya diberikan kepada setiap mukmin yang hidup berjamaah 
(yadullah 
fauqal jamaah), penuh persaudaraan, tidak pernah berbantah bantahan, saling 
mengasihi 
dalam suka dan duka yang dibalut oleh cahaya ukhuwah semata.
 
Sangat jelas, Allah memerintahkan agar kita hanya mengambil jalur petunjuk 
serta ikatan 
batin yang hanya didasarkan pada tali Allah, dan menghindarkan perpecahan 
(tafaruk), 
sebagaimana termaktub pada surat Ali Imran:103 dan ar-Rum: 32. Di mana pun 
seorang 
muslim berada, dia akan terus meningkatkan kualitas dirinya untuk menjadi 
bagian dari 
kelompok kaum mukminin, karena hanya dengan menjadi seorang mukminin, maka 
Allah 
akan memberikan pertolongan kepada dirinya. Seruan Allah di dalam Al-Qur'an 
yang 
merupakan petunjuk yang utama dan pertama bagi mereka yang telah berikrar 
syahadat, 
ditujukan hanya kepada mereka yang telah beriman (yaa ayuhaladzina amanuu).
 
Dengan demikian, yang dimaksud dengan jamaah, bukanlah hanya sekadar sekelompok 
orang, tetapi di dalamnya terikat satu "semen perekat" yang sangat kental, 
yaitu cita dan 
rasa, visi dan tindakan yang seragam, serta menyatu dalam kerinduan untuk 
meraih cinta 
dan ridha Allah (mahab'bah lillah) semata-mata. Oleh karena setiap anggota 
jamaah 
sangat sadar bahwasanya hanya orang-orang yang istiqamah, serta memiliki jiwa 
yang 
tenang sajalah yang akan mendapatkan kemuliaan di hari akhir kelak. Bagi setiap 
muslim 
yang mukmin, kehadiran jamaah merupakan pelabuhan hati, sekaligus sebagai 
terminal 
perjuangan hidupnya. Di dalam jamaah itulah, dia menimba butit-butir kebijakan 
hidup. Di 
dalam jamaah itu pulalah, ia mengasuh keimanannya sehingga setiap kali 
menambatkan 
hatinya, dia pun merasakan kedamaian Qur'ani.
 
Akan tetapi, tidak mungkinlah dia tenggelam atau terlalu asyik untuk 
menambatkan 
dirinya di pelabuhan ini. Sebab, selanjutnya dia harus segera berangkat 
mengayuh 
biduknya menerjang ombak samudra kehidupan yang penuh dengan liku-liku 
tantangan. 
Lalu dia menjelajahi samudra tersebut untuk mencari fadilah dan menaburkan 
jejak-jejak 
prestasi Qur'ani di se panjang perjalanannya, berdakwah, dan beruswah menyeru 
dan 
menjadikan dirinya sebagai manusia yang paling pantas menjadi teladan.
 
Tengoklah perilaku kita ketika mengikuti shalat Jumat, tidak ada khotbah dan 
shalat 
berjamaah yang terus berlangsung seharian, kecuali ditutup dengan salam. 
Kemudian 
setiap pribadi kembali ke tempatnya masing-masing untuk menyebar di muka bumi 
(f'antasiruu fil ardhi), lalu mempraktekkan apa yang telah diingatkan khotib, 
sebagimana 
disebutkan dalam surat al-Jumu'ah:10 dan al-Mulk:15. Maka jelas sudah bahwa 
jamaah 
bukan sekedar kumpulan manusia (as a crowd). Oleh karena di dalarn jamaah, ada 
satu 
prinsip yang mutlak harus dijadikan landasan pokoknya, ialah berpautnya cinta.
 
Dengan cinta sebagai dasar persaudaraan dan kegiatannya, maka hati setiap 
anggota 
akan terlihat transparan (tembus pandang). Tidak ada yang satu mencoba 
menyembunyikan cita rasanya kepada anggotanya yang lain. Karena hal ini jelas 
bertentangan dengan prinsip persaudaraan muslim, sebagaimana Nabi bersabda 
bahwa 
setiap muslim dengan muslim lainnya bagaikan satu bangunan tubuh, yang satu 
mengokohkan yang lainnya. Ke dalam pun saling mengoreksi atau menasihati dan ke 
luar 
dia saling mengokohkan dan membelanya dari jebakan kekafiran maupun bujukan 
kekufuran.
 
Hal ini berarti bahwa esensi jamaah bukanlah terletak pada wujud, tetapi lebih 
penting lagi 
adalah ikatan emosional dan keterikatan jiwa. Sebab, Al-Qur'an menegaskan bahwa 
tipikal 
jamaah bukanlah sekelompok manusia yang sekadar berjumpanya sejumlah manusia, 
sedangkan hatinya berpecah, itikad anggotanya berbeda satu dengan lainnya. Hal 
ini 
sebagaimana firman Allah SWT, "...Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati 
mereka 
berpecah-belah...." (al-Hasyr: 14).
 
Hati yang dimaksudkan adalah aspirasi, ide, serta kerangka acuan dan tujuan 
dari para 
anggota jamaah yang sifatnya harus sama dan sebangun; yaitu hidup dalam jalan 
dan 
pengawasan Al-Qur'an serta Sunnah. Bagi kita yang telah mengaku diri sebagai 
seorang 
muslim, tentunya seluruh sikap hidup kita hanya didasarkan pada Al-Qur'an dan 
Sunnah, 
sebab apabila dia mengambil ajaran atau panduan hidup yang lain, maka gugurlah 
nilai 
dan kualitas dirinya sebagai seorang muslim.
 
Adapun sikap dirinya hanyalah berserah diri atau taslim, seraya berkata, "kami 
dengar 
dan aku taat" (sami'na wa atha'na) tanpa dislogani kecuali mengharapkan ridha 
Allah 
semata-mata. Apabila Al-Qur'an dan Sunnah sudah disepakati sebagai satu-satunya 
petunjuk utama dan pertama serta dijadikan sebagai dasar aspirasi dan tindakan 
kita, 
maka bolehlah kita bersiap diri untuk menuju pada tingkat yang berikutnya, 
yaitu meraih 
gelar sebagai seorang pribadi mukmin, sebagaimana disebutkan pada surat at-
Taubah:111-112.
 
Bersambung ke bab 4.1.2
 
Wassalam
 
St. Sinaro
 

 

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/

Kirim email ke