EDITORIAL Media Indonesia, Sabtu, 25 Juni 2011 00:00 WIB     

http://www.mediaindonesia.com/read/2011/06/25/237205/70/13/Dua-Wajah-Kemiski
nan

PEMERINTAH seperti sudah kehabisan akal menumpas kemiskinan. Tak tahu lagi
bagaimana cara mengurangi jumlah orang miskin, pemerintah mencari jalan
pintas dengan mengamuflase angka kemiskinan.

Salah satunya dengan mengutak-atik patokan yang dijadikan acuan untuk
menghitung jumlah orang miskin. Versi pemerintah, yang disebut orang miskin
adalah mereka yang berpenghasilan Rp7.000 per hari atau sekitar Rp210 ribu
per orang per bulan.

Patokan itu jauh di bawah acuan yang digunakan kebanyakan lembaga
internasional yang menetapkan garis kemiskinan di US$1-US$2 atau
Rp8.500-Rp17.000 per orang per hari.

Patokan itu juga jauh di bawah upah minimum regional (UMR) atau upah minimum
kabupaten (UMK) terendah Rp660 ribu per bulan yang sudah sangat terbatas
untuk memenuhi kebutuhan pokok.

Tidak mengherankan kalau pemerintah dituding tidak realistis. Patokan untuk
menghitung orang miskin terkesan lebih banyak mempertimbangkan aspek politis
ketimbang hitung-hitungan ekonomi yang rasional.

Garis kemiskinan sengaja dibuat rendah agar jumlah orang miskin tidak
melonjak. Sebab, menaikkan parameter kemiskinan dengan menyesuaikan kondisi
saat ini dikhawatirkan menaikkan jumlah orang miskin.

Pemerintah yang mementingkan citra pasti alergi dengan hal itu. Membuka
angka valid kemiskinan dianggap sama saja dengan menyeret turun popularitas
di mata rakyat.

Kalau menggunakan acuan angka kemiskinan internasional, jumlah orang miskin
pasti melonjak drastis dari angka yang diklaim pemerintah.

Pemerintah mengatakan saat ini jumlah orang miskin di Indonesia 31,023 juta
atau 13,3% dari total jumlah penduduk Indonesia.

Angka tersebut menjadi alat propaganda politik sekaligus alat ukur
keberhasilan kinerja. Realitas kemiskinan pun menjadi nomor dua.

Termasuk realitas itu ialah terus membeludaknya tenaga kerja Indonesia (TKI)
ke luar negeri kendati harus menyabung nyawa. Kelak, jika langkah moratorium
penempatan TKI benar-benar diterapkan, jumlah pengangguran pun kian
membengkak.

TKI itu bakal menghadapi situasi kemiskinan yang akut karena tidak diurus
negara. Bagaimana mungkin pemerintah bisa menyusun program yang tepat
sasaran dan mampu menyejahterakan kalau potret nyata kemiskinan
disembunyikan? Padahal, tolok ukur sebuah negara disebut naik kelas dalam
tataran global adalah sejauh mana negara itu mengatasi kemiskinan. Itu
karena kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam
pendidikan, kesulitan mengakses pelayanan kesehatan dan pelayanan publik,
serta kurangnya lapangan pekerjaan yang dapat memberdayakan mereka.

Nasib orang miskin di negeri ini seperti dua sisi mata uang yang sangat
kontras. Dalam pidato politik, mereka jadi alat untuk menaikkan citra,
tetapi di satu hari lain, mereka disembunyikan dan dianggap aib karena bakal
menjatuhkan kinerja.

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/

Kirim email ke