Jumat, 26 Agustus 2011 03:31 Lewat pemberitaan media online, seperti detik.com (20 Agustus 2011), terdapat pernyataan bahwa Kota Padang menunggu waktu saja untuk gempa berkekuatan 8,9 skala richter (SR). Pemberitaan itu segera masuk ke banyak saluran, antara lain sosial-media dan mailing-list. Dan tentu juga tak lupa blackberry-massenger. Tentu saya mengikuti informasi itu. Sejak awal berita itu muncul, beberapa akun sudah memention akun saya: @IndraJPiliang. Namun, karena info soal ini sudah lama saya ketahui, saya berusaha menahan diri. Lama-kelamaan, masalah menjadi berkembang ketika tanggapan muncul dari Sumatera Barat, khususnya dari pembaca berita informasi itu. Makanya, saya merasa perlu membuat sejumlah twit dengan hashtag: #8,9.
Dalam acara Seminar Kebudayaan Minangkabau di Padang tempo hari, saya mendengarkan keterangan dari Walikota Padang Fauzi Bahar tentang potensi gempa dan tsunami di Kota Padang. Informasi serupa sudah pernah juga saya dengar, ketika gempa terjadi di Sumatera Barat tahun 2009 lalu, ketika Walikota Padang Fauzi Bahar dan Gubernur Sumbar Gamawan Fauzi presentasi di depan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Pada intinya, aparatur pemerintahan sudah memiliki informasi yang cukup, lengkap dengan citra satelit dan segudang rencana mitigasi bencana. Bagi saya, info soal 8,9 SR ini lebih dari sekadar informasi akademis, tetapi sekaligus politik dan pemerintahan. Yang menjadi persoalan bukanlah seberapa akurat informasi itu, melainkan seberapa jauh langkah-langkah mitigasi bencana yang sudah dilakukan oleh aparatur pemerintah? Hal ini yang menjadi pokok dari persoalan 8,9 SR itu. Saya kira, persoalannya bukan lagi terletak kepada dari siapa angka itu muncul, tetapi bagaimana menanggapinya secara objektif. Selain itu, bagaimana kita sama-sama melakukan edukasi dengan melibatkan beragam kalangan. Ya, barangkali sebagian kecil elite sudah mengetahui “jadwal bencana” di Indonesia, sebagaimana tergambar dalam film 2012. Film “Kiamat” 2012 itu memperlihatkan betapa persiapan pembuatan “Kapal Nabi Nuh” hanya melibatkan pimpinan delapan negara. Dan bahkan sampai bencana benar-benar datang, masyarakat sama sekali tidak diberi-tahu. Hanya keputusan “moral” Presiden Amerika Serikat dalam film itu yang lalu memberi-tahu rakyat, dengan harapan mereka saling meminta maaf dan memaafkan. Bahkan Presiden AS turut jadi korban “kiamat” itu, karena tidak ikut naik kapal. Masalahnya masyarakat Indonesia, terutama Sumbar, sudah terlanjur mengetahui bahwa akan ada gempa bumi skala besar yang pusatnya di Siberut atau area yang dekat dengan pantai. Yang akan terjadi bukan saja patahan dan pergesekan kulit bumi, namun juga gelombang tinggi berupa tsunami akibat pancaran energinya. Pantai-pantai akan tersapu ombak, berikut apapun yang ada di atasnya. Bangunan-bangunan runtuh. Tebing dan ngarai terurai. Apakah cukup persiapan menghadapi itu? Sebetulnya, tanpa diminta atau disebut pemerintah pun, masyarakat Sumbar sudah terbiasa hidup bergempa-gempa. Ketika bencana gempa Kobe di Jepang tahun 1995, misalnya, masyarakat langsung mengubah fondasi rumahnya setelah membaca informasi lewat media. Juga bencana-bencana sebelum itu, termasuk dendang gempa di Padang Panjang pada tahun 1926. Korban terbanyak gempa bumi tahun 2009 adalah di kota Padang, terutama di bangunan hotel. Jadi, terdapat ilmu pengetahuan dan kearifan lokal (local genius and local wisdom) yang kuat. Pengetahuan-pengetahuan sederhana sampai rumit itulah yang perlu disampaikan ke masyarakat, yakni bagaimana membuat rumah dengan fondasi tahan gempa, bagaimana menghadapi gempa di area perkantoran, apa yang dilakukan seandainya berada di pesisir pantai dan lain-lain. Ada sekitar 1,5 Juta jiwa penduduk Sumbar yang terhubung dengan laut, sehingga langkah-langkah edukasi harus disampaikan langsung kepada mereka. Karena dana dari pemerintah terbatas, mau tidak mau dana dari pihak ketiga dibutuhkan, yakni swasta atau bantuan dari lembaga non pemerintah dan asing. Masalahnya, dengan gencarnya pemberitaan soal potensi gempa di Padang, semakin enggan investor datang menanamkan modalnya. Bahkan, penduduk yang berpunyapun mulai pindah dari Kota Padang dan area pesisir lainnya ke tempat lain, termasuk ke luar Sumatera Barat. Rumah-rumah menjadi kosong. Harga-harga tanah turun. Acara-acara yang berskala nasional juga semakin sulit diadakan di Kota Padang. Di samping infrastruktur hotel dan akomodasi lainnya tidak memadai, orang-orang takut berkunjung. Alangkah mirisnya mendengar stigma bahwa Padang adalah daerah yang sewaktu-waktu terkena gempa dari masyakarat luar Padang, ketika orang-orang yang tinggal di Padang sendiri tidak lagi ambil peduli. Stigma itu menyebabkan orang-orang lebih memilih kota di luar Padang untuk kegiatan konferensi atau rapat atau kunjungan wisata. Padang, khususnya, dan Sumbar, umumnya, teralienasi akibat pemberitaan yang intensif soal gempa itu. Padahal, segala upaya sudah dilakukan oleh masyarakat Sumatera Barat untuk menunjukkan kenormalan keadaan. Acara-acara yang bersifat internasional diselenggarakan, seperti Tour de Singkarak. Masyarakat menyambut secara antusias, sekalipun tidak di setiap kota tim peserta bisa menginap, akibat miskinnya infrastruktur di Sumbar. Anggaran masuk ke pemda belum tentu ada, sementara anggaran keluar sudah pasti. Jadi, persoalannya bukan pada angka 8,9 SR yang akan melanda kawasan Sumbar, tetapi lebih kepada ketersediaan dana yang lebih dari Rp8,9 triliun untuk menghadapinya. Kalau pemerintah pusat sama sekali tidak memikirkan itu, ya sebaiknya tidak perlu juga menakut-nakuti rakyat terus menerus soal bencana demi bencana yang akan terjadi. Pada gilirannya, hanya pihak-pihak tertentu saja yang bisa menarik keuntungan dari berita itu, sementara kebanyakan rakyat Sumbar tetap hidup seperti biasanya. Walau keadaan tidak lebih baik, seperti terlihat dari bangunan-bangunan yang runtuh di area bencana, namun kebutuhan dasar masyarakat untuk makan dan beribadah sudah cukup. Itu sudah sempurna. INDRA J PILIANG (Ketua Dewan Pendiri Nangkodo Baha Institute) http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=8120:isu-gempa-89-sr-sekadar-informasi-akademis&catid=12:refleksi&Itemid=82 -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet http://groups.google.com/group/RantauNet/~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. =========================================================== UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi: - DILARANG: 1. E-mail besar dari 200KB; 2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 3. One Liner. - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1 - Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting - Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti subjeknya. =========================================================== Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/