http://www.indrapiliang.com/2011/09/28/pasar-dan-restorasi-ranah-minang/

Harian Haluan, 28 September 2011

Pasar dan Restorasi Ranah Minang
oleh
Indra J Piliang

Salah satu faktor yang turut mempengaruhi penu­runan income per kapita rakyat 
Sumbar adalah ter­bakarnya pasar Tanah Abang 
pada tanggal 19 Februari 2003. Waktu itu Gubernur DKI Jakarta masih 
Sutiyoso. Kebakaran itu memunculkan aksi-aksi demonstrasi yang kemudian 
kalah. Kalangan pedagang asal ranah Minang pelan-pelan tersingkir. 
Pembangunan yang baru tak terjangkau dana, saking besarnya harga per 
unit. Investor dan pihak perbankan memang tak berpihak kepada 
pedagang-pedagang Minang.


Kebakaran itu dan nasib para pedagang asal Ranah Minang menyisakan 
trauma di benak saya. Saya sempat bertemu dengan para pedagang dalam 
satu acara di DPRD DKI Jakarta. Bahkan saya mempertanyakan secara 
terbuka pemberian gelar adat kepada Sutiyoso di Ranah Minang, terkait 
dengan minimnya perlindungan terhadap para pedagang.

Belum lagi waktu itu Bang Yos juga sedang gencar-gencarnya mem­perbaiki 
lapangan Monas, termasuk dengan memagarinya.

Ada perbedaan penilaian terhadap kinerja Bang Yos itu. Lapangan Monas dianggap 
sebagai satu keber­hasilan, sekalipun dilakukan dengan “tangan besi”. Sementara 
pasar Tanah Abang, sekalipun tidak memunculkan gejolak lagi,  lebih banyak 
dinilai menying­kirkan sebagian pemilik lama. 
Me­nurut informasi yang saya peroleh, ten­tu tanpa riset empiris, hanya 
seb­a­gian kecil saja pedagang-pedagang asal Minang, Purwokerto dan 
Tasik­malaya yang bisa memperoleh kios-kios yang bagus. Sisanya 
berpindah tangan.

Pasar Tanah Abang itu yang saya ingat ketika terjadi “bentrok” antara pedagang 
Pasar Raya Padang dengan aparat, pada tanggal 1 September 2011 lalu. Saya tidak 
terlalu mema­hami masalahnya dengan detil. Hanya saja, secara umum, pemerintah 
daerah Kota Padang perlu dengan hati-hati 
melakukan penataan terha­dap lokasi Pasar Raya ini. Bukan saja Pasar 
Raya mengandung makna historis yang penting, sebagai salah satu ikon 
Kota Padang, melainkan juga memiliki makna kultural yang kuat. 
Bentrokan, misalnya, bukanlah khas Ranah Minang dalam menye­lesaikan 
persoalan.

***

Ketika gempa di Sumatera Barat terjadi pada 30 September 2009 lalu, 
kawasan yang juga ikut runtuh adalah pasar-pasar tradisional. Saya 
teringat dengan Pak Jusuf Kalla yang menyampaikan agar pasar-pasar ini 
mendapatkan prioritas. Teori yang digunakan Pak JK adalah apabila 
transaksi berjalan di pasar-pasar, maka secara perlahan kehidupan lain 
akan ikut bergerak. Pak JK bukan hanya memahami bahwa pasar merupakan 
sarana penting di Mi­nang, melainkan dalam praktek penyelesaian konflik 
(dan perang) juga demikian. Selain pasar, tentu yang diusahakan terus 
beroperasi adalah sarana perbankan.

Sekalipun sudah mulai pulih dari sisi trauma gempa bumi 2 tahun lalu 
itu, pasar-pasar ternyata masih seperti apa adanya. Saya kebetulan suka 
berkeliling di Sumbar untuk mem­perhatikan wilayahnya yang menga­gumkan. Di 
hari-hari pasar, terlihat sekali penumpukan aktivitas yang meluber 
ke jalanan. Truk bongkar muat parkir sembarangan. Arus lalu lintas 
selalu padat merayap atau macet dalam istilah Jakarta yang menular ke 
daerah. Bukan saja pasar-pasar di jalur jalan lintas provinsi, melainkan juga 
pasar di jalan lintas kabupaten dan kecamatan.

Padahal, di pasar-pasar itulah transaksi ekonomi dalam skala kecil 
dan menengah terjadi. Yang terbanyak tentu pasar-pasar kecamatan. Kalau 
di tahun 1980-an pasar-pasar di tingkat nagari masih terlihat ramai, 
terutama karena minimnya sarana transportasi, maka pada abad 21 ini 
pasar-pasar kecamatan mengambil peran. Pasar nagari pelan-pelan berubah 
menjadi pasar biasa yang tak lagi banyak dikunjungi.

Pasar diatur dalam kalender yang ketat. Terdapat penyebutan nama 
daerah berdasarkan “hari pakan” untuk pasar yang dilakukan secara 
bergiliran. Namun, ternyata, pasar jarang disebut dalam syarat-syarat 
yang (wajib) dipenuhi oleh (berdi­rinya) nagari di Ranah Minang. Yang 
banyak disebut adalah mesjid, tepian tempat mandi, pandam pekuburan, 
laga-laga (balai-balai) untuk musya­warah, dan gelanggang (medan nan 
bapaneh). Jarang dimasukkannya pa­sar dalam struktur tata-kelola nagari 
ini menunjukkan bahwa memang pasar terletak di luar batas nagari atau 
gabungan dari beberapa nagari.

Sawah dan ladang juga terletak di luar (batas-batas) nagari. Karena 
masyarakat Minang sebagian besar adalah petani dengan kultur agraris 
yang kuat, maka pasar hanya dija­dikan tempat untuk “bertukar 
kebutuhan”. Sayur dijual untuk mendapatkan beras. Beras dijual untuk 
mendapatkan daging. Sehingga, posisi sebagai pedagang di dalam ranah 
Minangkabau sendiri tidak termasuk dalam strata sosial yang terhormat, 
dibandingkan dengan jabatan-jabatan lain seperti Buya, Tuanku, Penghulu 
(Datuk) atau bahkan Muncak Buru bagi peburu babi.

***

Barangkali kita perlu melihat jauh ke negara orang untuk 
mem­bandingkan pentingnya para peda­gang. Restorasi Meiji yang terjadi 
di Jepang pada tahun 1866-1869 memunculkan perubahan struktur sosial 
masyarakat Jepang. Petani, pedagang dan nelayan, tiga profesi yang tidak 
terlalu penting sebelumnya dibandingkan dengan kaum samurai (parewa 
atau pandeka di Minang­kabau), malahan diberi posisi lebih tinggi. 
Kekuasaan tuan-tuan tanah (Daimyo) yang berasal dari kelompok samurai 
dibatasi. Restorasi Meiji berjejak dalam kemajuan dan moder­nisasi di 
Jepang, sampai hari ini.

Keberanian Jepang itu idealnya juga terjadi dalam proses “reformasi” 
di Indonesia, khususnya di Minang­kabau. Namun, seperti kita lihat, 
walau prinsip “Kembali ke Surau” dan “Kembali ke Nagari” ber­kem­bang, 
justru yang semakin semarak adalah bertambahnya jumlah mesjid dan surau, 
beserta jabatan datuk. Yang mem­prihatinkan, penambahan jumlah surau 
dan mesjid itu (di luar yang runtuh karena gempa), justru menam­bah 
beban kerja para Tuanku, Buya atau kelompok alim-ulama yang lain. 
Bahkan, sudah mulai muncul krisis di sejumlah daerah menyangkut 
keberadaan guru-guru mengaji di surau-surau.

Tentu saya tidak ingin berada dalam posisi menilai mana yang salah, 
mana yang benar. Hanya saja, saya melihat perlunya dilakukan semacam 
restorasi (terbatas) di Ranah Minang. Restorasi di sini tentu bukanlah 
pidato bersiponggang dari bukit ke bukit, lembah ke lembah atau tepian 
ke tepian. Restorasi ini hanyalah sebatas bagaimana mendu­dukkan kembali posisi 
tata-kelola nagari.

Salah satunya adalah memasuk­kan pasar sebagai salah satu syarat 
wajib (pendirian) nagari. Apalagi belaka­ngan ini muncul pemekaran 
sejumlah nagari di Sumbar. Kegunaan peme­karan itu terutama untuk 
“menyam­but” kemungkinan lahirnya Undang-Undang tentang Desa di 
Indonesia. Desa sebagai wilayah (administrasi) pemerintahan terba­w­ah 
jauh lebih kecil dari nagari. Sementara Sumbar tidak ingin kembali ke 
masa Orde Baru ketika desa jauh lebih berperan, ketimbang nagari.

“Restorasi kecil” ini tentulah memerlukan kesepakatan di kala­ngan 
masyarakat (adat dan budaya) Minangkabau. Apakah peraturan daerah di 
tingkat provinsi dan kabupaten atau kota bisa meme­nuhinya? Para ahli 
hukum peme­rintahan daerah perlu mengkajinya lebih luas dan dalam lagi. 
Saya hanya melihat betapa pasar perlu men­dapatkan tempat yang lebih 
baik dalam struktur ekonomi dan sosial di Minangkabau. Bukankah perantau Minang 
dikenal sebagai pedagang handal? Dari mana asal-muasal dari ilmu berdagang itu? 
Kalau selama ini hanya dipungut lewat pengalaman di 
rantau, sekarang (hendaknya) langsung ditanamkan di ranah. Akar yang 
kuat dalam “ilmu tentang pasar” ini tentu akan membuat kokoh 
pribadi-pribadi yang terjun ke dalamnya…
 
INDRA J PILIANG
(Ketua Dewan Pendiri Nangkodo Baha Institute)

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/
  • ... Indra Jaya Piliang
    • ... Ibnu Mas'ud
    • ... asfarinal, asfarinal, asfarinal, asfarinal nanang, nanang, nanang, nanang

Kirim email ke