Iko di Kopian kasiko mak TA :

RAGAM : Romusha dari Sijunjung: Tragedi Sejarah yang Terlupakan
Gatra : 52 / XVII 9 Nov 2011

Dalam kurun masa seumur jagung menduduki wilayah Indonesia, tentara
Jepang menorehkan sejarah hitam tentang kekejaman. Puluhan ribu rakyat
dijadikan romusha dan dikirim ke kamp-kamp kerja paksa. Puluhan ribu
warga dari Pulau Jawa dikirim ke Sumatera Barat untuk menerabas hutan
dalam pembangunan jalur kereta api dari Muaro Sijunjung ke Pekanbaru.
Entah berapa ribu romusha yang tewas di sana. Yang cukup menyedihkan,
banyak warga yang paham tragedi bangsa yang tak kalah dibandingkan
kisah romusha di jalur kereta api Burma-Thailand.

Dengan langkah pelan dan agak tertatih, lelaki gaek itu datang
mendekat. Senyum terus mengembang dari bibirnya yang tipis dan
dipenuhi kerut. Dari raut wajahnya, tampak jelas bahwa ia bukanlah
warga asli daerah ini. Paling banter, ia pendatang yang sudah lama
tinggal di Jorong Silukah, Kecamatan Durian Gadang, yang masuk wilayah
Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat.

Benar saja. Ketika dikorek, ia mengaku berasal dari Wonosobo, Jawa
Tengah. Tepatnya dari Desa Somogede, Kecamatan Wadaslintang. Sudah
hampir 70 tahun ia tinggal di Silukah dan beranak-cucu di desa itu.
Matanya yang bulat kecil pun tampak berbinar begitu diberitahu bahwa
kami datang dari Jawa. Ia hanya mengangguk-anggukkan kepala sambil
terus menebar senyum.

Suratman, kakek yang kini berusia hampir 87 tahun itu, bukanlah bekas
pekerja tambang batu bara yang memang banyak didatangkan dari Pulau
Jawa pada masa penjajahan Belanda. Ia eks romusha yang masih hidup di
kawasan Durian Gadang. Ia termasuk sedikit orang yang menjadi saksi
kejamnya kerja paksa pada masa singkat penjajahan Jepang. Ia seorang
dari puluhan ribu romusha yang bekerja membangun jalur kereta api dari
Muaro Sijunjung hingga ke Pekanbaru.

Walau telah banyak lupa tentang detail berbagai peristiwa itu,
Suratman masih bisa menuturkan garis besar pengalaman teramat pahit
yang dialaminya sebagai romusha. Alkisah, sewaktu berumur 18 tahun, ia
direkrut tentara Jepang dari desanya. "Janjinya, saya akan
disekolahkan," katanya mengenang kejadian sekitar tahun 1943 itu.

Sekolah? Tentu saja menarik hatinya, lantaran ia memang ingin sekali
mengenyam pendidikan. Bersama seorang kawannya bernama Dullah
--berusia dua tahun lebih muda-- ia meninggalkan desa dan pekerjaannya
sebagai petani. Suratman dan Dullah diangkut ke Ambarawa bersama
rombongan dari desa-desa lainnya. Dari Ambarawa, mereka diangkut
dengan kereta api ke Jakarta.

Janji untuk bersekolah ternyata cuma bujuk rayu tentara Jepang.
Sesampai di Jakarta, Suratman dan rombongan dari Ambarawa langsung
digiring ke Pelabuhan Tanjung Priok. Di sana, mereka bergabung dengan
ribuan orang dari berbagai daerah di Jawa yang siap diberangkatkan
dengan kapal laut. Tujuannya: Sumatera. Mereka ternyata akan
dipekerjakan sebagai romusha. Suratman kemudian tidak tahu lagi nasib
Dullah karena mereka terpisah. "Mungkin dia sudah lama meninggal,"
katanya.


Tragedi di Ngalau Cigak
Setelah lebih-kurang 20 hari berlayar di bawah pengawasan ketat
tentara kolonial Jepang, sampailah rombongan itu di Pelabuhan Teluk
Bayur, Padang. Tak berhenti sampai di situ. Penumpang asal Jawa ini
lalu dibagi lagi dalam kelompok-kelompok. Sebagian dinaikkan ke kereta
api yang membawa mereka ke Muaro Sijunjung. Suratman masuk dalam
kelompok ini.

Di Muaro, ia lalu disatukan dengan ribuan orang yang dikerahkan untuk
membangun jalur rel kereta api di ruas Silokek sampai Silukah. Mereka
dipaksa menerabas hutan dan mengikis bukit cadas berbekal alat
seadanya. Adakalanya tentara Jepang menggunakan dinamit untuk
menghancurkan bukit yang akan diratakan. Cara itu banyak pula makan
korban. "Kami bekerja siang-malam, seperti tak kenal waktu. Belum ada
jalan untuk sampai ke sini," katanya.

Suratman menuturkan pengalaman mengerikan yang masih melekat di
benaknya hingga kini. Pada waktu itu, mereka sudah bekerja sampai ke
sebuah tebing terjal di kawasan bernama Ngalau Cigak. Pada suatu
malam, selagi ratusan orang masih bekerja di kaki tebing, tiba-tiba ia
mendengar ledakan dinamit yang berasal dari atas.

Hanya dalam hitungan detik, tebing di atas mereka runtuh. Suratman
berhasil menyelamatkan diri, sedangkan banyak sekali romusha lain yang
tak sempat menghindar. Mereka tertimpa reruntuhan tebing. Di malam
buta itu, ia hanya dapat mendengar teriakan dan rintihan memilukan
rekannya senasib sepenanggungan.

Keesokan paginya, ia menyaksikan mayat berserakan. Sebagian ada yang
tewas tertimpa pohon. Bau anyir mayat merebak di sana-sini. Sebagian
korban ledakan ada yang dikubur, sebagian lagi dihanyutkan begitu saja
ke Sungai Kuantan yang merentang di dekat lokasi tersebut. "Bau
bangkainya tidak hilang sampai dua bulan," katanya. Sorot mata kakek
renta itu pun berubah menunjukkan perasaan ngeri.

Selama lebih-kurang dua tahun menjadi romusha, hanya satu tahun ia
dipekerjakan di jalur menuju Silukah. Ia sempat mengenyam pengalaman
yang sama getir dan mengerikan di kawasan Lipat Kain, yang masuk
wilayah Riau.

Selama menjalani kerja paksa, menurut dia, para romusha hanya diberi
makan seadanya: sekepalan nasi dengan garam. Pakaian yang mereka
kenakan pun hanya karung goni yang dibentuk untuk menutupi badan dan
torok --sebutan warga setempat untuk kulit kayu. Kalau sakit,
pilihannya hanya dua: mencari obat sendiri dari tumbuhan yang ada atau
mati. "Kami tidak boleh saling menolong. Kalau ketahuan, bisa-bisa
mendapat hukuman pukulan atau tidak dikasih makan oleh tentara
Jepang," tuturnya.

Sekitar setahun setelah Jepang menyerah, Suratman kembali ke Silukah
untuk menata kehidupan baru menjadi petani seperti dilakoninya di Jawa
dulu. Di Silukah ini pula, kemudian ia menikah dengan perempuan
bernama Sinem, warga asli Jorong.

Kisah Romusha Pelarian
Dalam kondisi seperti itu, masuk akal bila banyak romusha yang
berusaha kabur. Tapi risikonya harus kehilangan nyawa bila ketahuan.
Di antara mereka yang berani mengambil risiko itu dan selamat setelah
kabur adalah Turijan. Romusha ini pernah mengerjakan jalur kereta api
yang sama yang digarap dari arah Pekanbaru. Pekerja paksa asal Jawa
itu ditempatkan sebagai pekerja di sekitar kawasan Sungai Singigi,
yang masuk wilayah Kuantan, Riau.

Lekaki yang kini berusia 80 tahun itu mengaku berasal dari Desa Lubang
Kidul, yang masuk wilayah Kecamatan Boto, Purworejo, Jawa Tengah.
Seperti Suratman, pada saat direkrut tentara Jepang bersama 25 warga
desanya, ia diiming-imingi jadi anggota heiho alias tentara. Ketika
itu, usianya masih sangat muda: baru menginjak 12 tahun. "Saya
dilarang pamit kepada orang tua," katanya.

Persis seperti cerita Suratman, Turijan dan kawan-kawannya kemudian
disatukan dengan ribuan calon romusha di Tanjung Priok. Mereka
diberangkatkan ke Teluk Bayur dan langsung pula diangkut dengan kereta
ke Muaro Sijunjung. Kerjanya setiap hari adalah menggali bukit hingga
membuat terowongan dan menimbun lembah untuk landasan jalur rel kereta
api.

Ulah tentara Jepang pada waktu itu memang buruk sekali. Para pekerja
yang tampak berpangku tangan didera tanpa belas kasihan. Apalagi,
penyiksaan itu dipertontonkan di hadapan romusha lain. Tak tahan
menerima perlakuan seperti itu dan karena setiap hari dipaksa
menyaksikan penyiksaan, bahkan sempat tidak diberi makan, Turijan
akhirnya memutuskan kabur. Ia ternyata dapat meloloskan diri. Bersama
enam romusha lainnya, ia lari masuk hutan belantara. Ia lepas dari
pengawalan ketat tentara Dai Nippon.

Selama dalam pelarian, ia mengaku terus dihantui rasa takut. Sebab
tentara Jepang terus memburu mereka yang kabur. Ia tidak berani pula
muncul ke dusun-dusun yang ada karena khawatir dilaporkan penduduk
setempat. Untuk dapat bertahan hidup selama pelarian, ia dan
rekan-rekannya memakan apa saja yang ada di hutan, termasuk
daun-daunan yang layak makan.

Pada saat-saat terakhir menjelang Jepang menyerah, Turijan bersembunyi
di wilayah sekitar Logas. Petulangan dalam hutan itu mengantarkan dia
sampai ke wilayah Loge, sampai akhirnya tiba di Nagari Paru, Kecamatan
Sijunjung. Kemudian ia memilih bermukim di Jorong III, tempat
tinggalnya hingga kini bersama anak-anak, menantu, serta cucu-cucunya.

Kesaksian Tahanan Perang
Menurut kesaksian Suratman, para romusha yang bekerja dalam
kelompoknya semua berasal dari Jawa. Ia tidak tahu bahwa Jepang juga
mempekerjakan orang bule ketika membangun jalur kereta api, terutama
dari arah Pekanbaru, sejak medio 1944. Jumlah mereka lebih dari 5.000
orang. Sebagian besar romusha kulit putih itu terdiri dari para
tahanan perang berkebangsaan Belanda.

Menurut data yang dikumpulkan George Duffy, sekitar 4.000 tahanan
Belanda dipekerjakan sebagai romusha dalam proyek pembangunan jalan
kereta api itu. Lalu serdadu Inggris berjumlah sekitar 1.000 orang.
Sisanya, 200 serdadu Australia dan 15 tentara Amerika yang dijadikan
romusha di jalur Pekanbaru. Jumlah yang tewas sekitar 700 orang.
Sebagian besar karena terserang wabah penyakit.

Namun kerja paksa seperti dialami Suratman dan Turijan untuk membangun
jalur kereta dari Muaro Sijunjung ke Pekanbaru itu jelas bukan isapan
jempol. Sejumlah studi yang dilakukan beberapa pakar asing menguatkan
cerita kekejaman tersebut. Saking menyeramkan perlakuan tentara
Jepang, sampai ada yang menyebutnya sebagai pembangunan jalur kereta
api maut menembus hutan belantara.

Salah satu rujukan yang menguatkan cerita mereka adalah karya
sejarawan Henk Hovinga, The Sumatra Railroad: Final Destination Pakan
Baroe 1943-1945. Menurut dia, penelitian mendalam yang dilakukan
Pemerintah Belanda menemukan bukti bahwa lebih dari setahun sebelum
kedatangan para tahanan itu, terdapat romusha yang mengerjakan
pembangunan jalur kereta tersebut yang didatangkan dari Jawa. Sekitar
80% dari mereka hilang, tidak kembali ke kampung halamannya, dan tewas
di lokasi kerja.

Memang belum ada angka resmi berapa jumlah sesungguhnya romusha yang
dikerahkan untuk membangun jalur kereta api sepanjang lebih-kurang 220
kilometer itu. Tapi diperkirakan setidaknya 30.000-50.000 orang yang
menggarap penebangan pohon dan meratakan tanah untuk tempat bantalan
dan bentangan rel kereta api. Dari jumlah tadi, tidak diketahui benar
berapa seungguhnya romusha yang menemu ajal karena dibunuh, mengalami
kecelakaan, atau terserang penyakit.

Penerapan Strategi Kolonial
Sejatinya, jalur kereta itu sudah akan dibangun Pemerintah Belanda di
negeri terjajah ini. Badan perkeretaapian milik pemerintah, Staats
Spoorwegen, malah sudah membuat peta rencana pembangunannya. Tapi,
konon, karena tak ada dananya akibat krisis yang melanda Negeri
Belanda, pembangunan jalur kereta itu terpaksa dibatalkan.

Jepang yang menemukan dokumen Belanda itu melanjutkan rencana untuk
tujuan strategis perang. Ada yang menyebutkan, sekitar 85% jalur yang
dibangun Jepang di bawah pengawasan Angkatan Darat ke-25 itu mengikuti
rencana induknya. Rute dibangun untuk menghubungkan Padang dengan sisi
timur Sumatera, terutama sambungan rel dari pusat batu bara di
Sawahlunto ke Pekanbaru.

Menurut sejarawan dari Universitas Andalas, Gusti Anan, pembangunan
jalur kereta api itu benar-benar diperlukan Jepang. Selama perang
berkecamuk, Jepang membutuhkan logistik dalam jumlah sangat besar dan
bisa dikirim dalam waktu cepat untuk memenuhi kebutuhan serdadunya.
Batu bara dan minyak jarak juga merupakan komoditas amat penting untuk
mendukung perang. "Sijunjung di mata Jepang adalah wilayah penghasil
batu bara," ujar dia.

Gusti Anan bercerita, Jepang secara khusus mengapalkan rel-rel yang
dibutuhkan dari Jawa. Batangan rel yang dinilai tak diperlukan lagi
kemudian diangkut ke Padang, lalu sebagian diangkut ke kawasan Muaro
Sinjunjung. Demikian pula lok dan gerbongnya dibawa dari Medan dan
Semarang. "Wajar saja bila rel-rel itu sulit diidentifikasi
asal-usulnya," katanya.

Untuk mewujudkannya, Jepang menerapkan konsep yang sama dengan
pembangunan jalur kereta yang diterapkan di jalur Burma-Thailand.
Jalur kereta di "negeri gajah putih" itu selesai dibangun dalam tempo
kurang dari dua tahun dan mengerahkan puluhan ribu romusha.
Belakangan, kisah memilukan yang melintas tapal batas dua negara itu
diangkat ke layar lebar lewat film berjudul The Bridge of River Kwai.

Kepiluan yang berlangsung di jalur kereta api Muaro Sijunjung ke
Pekanbaru itu tak kalah ketimbang yang tergambar dalam film tadi.
Selain itu, romusha boleh dibilang merupakan strategi kolonial yang
diterapkan Jepang dengan menempatkan pekerja non-lokal di kawasan yang
ia duduki. Tujuannya, untuk mengantisipasi agar mereka tidak kabur.

Begitu pula sebaliknya, penduduk lokal direkrut dan dikirimkan untuk
bekerja di daerah lain. Mereka dipindahkan ke Bukittinggi, Bangkinang,
Padang, atau Pariaman. Dengan begitu, kecil kemungkinan mereka lari
secara perseorangan.

Siasat lain yang dijalankan Jepang adalah merekrut penduduk setempat
untuk dijadikan romusha. Walau berstatus sama dengan mereka yang
berasal dari Jawa, tentara Jepang memperlakukan romusha lokal secara
lebih baik. "Sikap mereka umumnya lebih manusiawi," katanya lagi.

Tragedi Sejarah yang Terlupakan
Dalam banyak catatan yang tersebar di internet disebutkan, pembangunan
jalur kereta api itu selesai seluruhnya pada 15 Agustus 1945.
Lokomotif dan gerbong-gerbongnya belum sempat digunakan untuk tujuan
semula: mengangkut batu bara ke Pekanbaru. Walhasil, kereta api itu
dipakai untuk membawa para tahanan perang dari kamp-kamp kerja paksa
ke Pekanbaru. Setelah itu, sejak September 1945, bentangan rel itu
menjadi jalur mati alias tak terpakai sama sekali.

Amat disayangkan, kini jejak sejarah kelam romusha itu sebagian besar
sudah lenyap. Yang tersisa kini hanya beberapa saksi hidup, seperti
Suratman dan Turijan. Sedangkan bukti fisiknya kini tinggal lokomotif
yang dijadikan monumen sejarah: satu di Silokek dan satu lagi di
Pekanbaru.

Jalur rel kereta yang dibangun dengan keringat dan darah para romusha
telah lenyap. Batangan relnya yang memanjang sejauh 220 kilometer
menguap entah ke mana. Ini semua membuat tragedi sejarah yang
membentang dari Muaro Sijunjung hingga Pekanbaru seakan ikut
terlupakan.

Yang lebih menyedihkan adalah kesan yang diguratkan penulis Belanda,
Rudy Kousbroek, yang pernah datang ke monumen bersejarah di Pekanbaru.
Ketika ia datang, tak seorang pun warga setempat yang tahu asal-usul
lokomotif yang ada di tengah-tengah mereka. "Andaikan tak ada bekas
tahanan perang Eropa yang datang dan menyadarkan, boleh jadi tidak
seorang pun dari mereka mengenang drama yang terlupakan ini," tulis
dia.

Erwin Y. Salim, dan Joni Aswira Putra (Sijunjung)

Saksi Bisu yang Merana
Sekilas, lokomotif uap yang teronggok di sisi kiri salah satu ruas
jalan Jorong Silukah itu tampak seperti besi rongsokan. Yang tersisa
tinggal bagian kepala dan ruang pembakarannya, sedangkan ruang
masinisnya telah lenyap sama sekali. Dari yang ada, beberapa bagiannya
pun sudah termakan karat.

Kalaulah tak ada papan peringatan di dekatnya, boleh jadi tidak ada
yang menyangka, loko uap itu menyimpan seribu misteri tentang romusha
dan kekejaman tentara Jepang di masa silam. Dari warna hijau yang
samar terlihat, loko itu tampaknya kendaraan angkut militer. "Saya
menduga, jalur kereta api Muaro Sijunjung ke Pekanbaru ini juga
digunakan untuk mengangkut senjata," ujar Paldi Muhendra.

Lelaki yang kerap disapa Mak Pado ini boleh dibilang sosok yang paling
gigih menjaga keberadaan benda bersejarah itu. Berawal dari kabar yang
beredar di kalangan penduduk soal loko yang ditemukan warga ketika
bergotong royong membangun jalan pada 1980-an. "Sekitar tahun 1990,
saya sering memancing di sana. Pada saat itulah saya diberitahu
tentang penemuan mereka," katanya.

Awalnya, ia tidak percaya. Bagaimana ceritanya ada lokomotif terkubur
di tanah Silokek. Jalur rel keretanya tidak ada. Tapi, karena
penasaran, ia lantas menelusuri kebenarannya. Bersama beberapa
kawannya sesama penggiat teater, ia mendatangi lokasi itu untuk
mengecek kondisi benda kuno tersebut. "Ternyata cerita warga benar.
Lokomotif itu terkubur di kedalaman hingga dua meter. Yang kelihatan
baru kepalanya saja," ujar Kepala Seksi Budaya di Dinas Pariwisata,
Seni, Budaya, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten (Parsenibudpora)
Sijunjung itu.

Sejak membuktikan penemuan itu, Paldi mulai proaktif. Ia khawatir,
benda bersejarah itu hancur atau diganggu tangan-tangan jail. Ia pun
berusaha meyakinkan pemerintah daerah untuk mengangkat dan melindungi
benda tadi. "Gagasan saya dianggap gila, kayak tidak ada pekerjaan
lain mengangkat baja seberat itu," katanya, disusul derai tawa.

Gagasannya baru mulai terwujud pada tahun 2000. Pemerintah daerah
mulai memberi perhatian. Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala
Batusangkar pun mulai mengkaji keberadaan loko itu lima tahun
kemudian, bekerja sama dengan Dinas Parsenibudpora Sijunjung. Selang
setahun, Pemda Sijunjung menggelontorkan dana Rp 45 juta untuk biaya
pengangkatan loko itu, sekaligus pembuatan landasannya.

Setelah terangkat, sempat muncul perdebatan soal penempatan. Ada
rencana menempatkan loko tua itu sebagai monumen di simpang Logas,
yang berjarak sekitar 17 kilometer dari lokasi penemuan. Rencana lain,
menjadikannya sebagai monumen di lokasi penemuan. "Walhasil, benda itu
tidak dipindahkan, mengingat aspek sejarah dan faktor besarnya biaya
jika dipindahkan ke Simpang Logas," katanya lagi.

Rupanya, cerita penemuan loko itu mengawali perjumpaannya dengan
Suratman, mantan romusha saksi sejarah pembangunan jalur kereta api di
kawasan itu. Setiap kali singgah di Silokek, ia kerap berpapasan
dengan lelaki gaek tadi. Ia curiga, raut mukanya tidak memperlihatkan
wajah orang asli Silokek. Selidik punya selidik, ternyata benar. Pak
Suratman adalah orang Jawa yang pada zaman Jepang dipaksa bekerja di
situ.

Klop. Dari perbincangan dengan lelaki tua asal Desa Somogede,
Wonosobo, itu, Mak Pado bisa merangkai cerita tentang keberadaan loko
uap tadi. Benar, rupanya Silokek pernah dilewati rel kereta api yang
menghubungkan Muara Sijunjung dengan Pekanbaru. "Sayang, seluruh
relnya sudah musnah," kata Pado.

Menurut kabar yang beredar, pengangkatan rel itu diborongkan kepada
pengusaha dari Jakarta pada 1970-an. Loko berukuran panjang 8,83
meter, lebar 2,35 meter, dan tinggi 2,94 meter itu kini berdiri di
atas landasan beton tanpa rel. Saksi bisu kekejaman Jepang itu tampak
masih agak merana, walau sudah ada atap seng yang melindunginya dari
sengatan sinar matahari dan terpaan hujan. Seluruh tubuhnya bisa kian
termakan karat karena tak dilapisi pelindung.

Pampasan Perang untuk Rakyat
Ada satu harapan yang sangat didambakan Suratman, seorang dari sekian
banyak mantan romusha di negeri ini. Tidak seperti kasus para jugun
ianfu, yang biasa disebut perempuan penghibur, ia merasa hak-hak para
romusha pun pantas diusahakan. "Saya mohon perhatian dari pemerintah,
tolong perjuangkan hak-hak kami juga," ujarnya lirih sesaat sebelum
kami berpisah.

Entah berkaitan entah tidak dengan harapan Suratman, sekitar 50 tahun
silam, Pemerintah Jepang meneken kesepakatan untuk membayar pampasan
perang kepada Indonesia. Ada beberapa poin penting yang tertuang dalam
perjanjian itu. Jepang bersedia membayar pampasan senilai US$ 223,080
juta dalam jangka 20 tahun, di samping membatalkan tagihannya kepada
Indonesia senilai US$ 117 juta. Selain itu, pemerintah Tokyo
mengusahakan pinjaman jangka panjang US$ 400 juta.

Dalam butir kedua catatan tambahan pelaksanaan persetujuan pampasan
yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1958 itu, ada
hal yang menarik disimak. Disebutkan, pemerintah mengakui tekanan
penderitaan yang merata pada seluruh bangsa Indonesia selama
pendudukan Jepang.

Lalu, dikatakan pula, hasil pampasan perang dan kerja sama ekonomi itu
bukan merupakan penggantian yang diderita rakyat secara terperinci.
Yang terakhir menyebutkan, hasil pampasan perang dan kerja sama
ekonomi digunakan sebaik-baiknya untuk kepentingan kehidupan seluruh
rakyat Indonesia secara merata.

Realisasinya kemudian, sebagian hasil pampasan tadi dimanfaatkan untuk
membangun sejumlah proyek. Yang paling terkenal adalah pembangunan
Hotel Indonesia di Jakarta, Hotel Samudra Beach di Pelabuhan Ratu,
Jawa Barat, dan Hotel Bali Beach di Bali. Bangunan lain yang menjadi
saksi bisu hasil pampasan perang juga berlokasi di Jakarta, yakni
Toserba Sarinah.

Di Sumatera, tercatat beberapa proyek yang dibangun dengan dana
pampasan perang itu. Sebut saja Jembatan Ampera di Palembang, yang
selesai dibangun pada 1965 dengan biaya US$ 11,72 juta. Sedangkan di
Jawa Timur, tercatat pembangunan terowongan pengendali air di
Tulungagung, yang selesai dibangun pada 1961 dengan biaya US$ 1,97
juta.

Masih banyak lagi proyek lain yang dibiayai dengan hasil pampasan
perang. Diperkirakan ada sekitar 36 proyek. Tapi, pertanyaannya,
apakah kemanfaatan seluruh proyek itu kemudian menyentuh kepentingan
para korban kekejaman tentara Jepang dalam masa pendudukan? Tampaknya
harapan yang lama terpendam dalam dada Suratman akan tetap terkubur
selamanya.

http://wap.gatra.com/majalah/artikel.php?pil=23&id=150447

Pada 14 November 2011 09:59,  <tasrilmo...@banuacitra.com> menulis:
> Assalamu'alaiku Wr Wb,
> Sadang mambaco majalah Gatra nan babali minggu lalu, dirubrik ragam halaman 
> 41 - 48 tulisan nan bajudul: Romusha Dari Sijunjunh.  Tragedi Sejarah yang 
> Terlupakan.
> Mancaritokan baa kajamno Japang, puluhan ribu rakyat dijadikan romusha untuak 
> mambangun jalur kereta api dari Muaro Sijunjuang ka Pakanbaru.
>
> Indak talok mambayangkan baa penderitaan nan dialami pendahulu2 awak ko.
>
> Wasalam
> Tan Ameh (53)
-- 



Wassalam
Nofend/34+ CKRG

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/

Kirim email ke