assalamualaikum, posting ambo barikuik ko ambo sadur dari

benderahitamjakarta.wordpress.com/

Jangan Cuma Jadi Kelas
Penggerutu<http://benderahitamjakarta.wordpress.com/2011/12/12/jangan-cuma-jadi-kelas-penggerutu/>
Posted on December 12,
2011<http://benderahitamjakarta.wordpress.com/2011/12/12/jangan-cuma-jadi-kelas-penggerutu/>
13<http://benderahitamjakarta.wordpress.com/2011/12/12/jangan-cuma-jadi-kelas-penggerutu/#comments>

Apakah anda warga Jakarta sering menggerutu soal buruknya layanan
pemerintah? Apakah anda suka memasang status blackberry messenger atau
memaki-maki di social media soal macet, banjir, sampah, korupsi dan lain
sebagainya? Kami sarankan anda berhenti menggerutu dan memaki. Sebab hanya
akan merusak jiwa namun tidak menghasilkan perbaikan apa-apa.

Memaki dan menggerutu adalah bagian dari keseharian kita. Banyak yang
merasakan kepuasan saat menjadi bagian dari arus para penggerutu dan
pemaki. Sebagian besar pemaki dan penggerutu ini adalah kelas menengah,
orang-orang yang memiliki pengetahuan lebih dan masih memiliki waktu untuk
mencibir sinis karena sudah lepas dari himpitan ekonomi.

Sayangnya, para penggerutu ini hampir tidak sadar bahwa apa yang dilakukan
itu hanya mengotori ruang publik di dunia maya dan ruang kesadaran di otak
mereka masing-masing. Protes dengan kata-kata, mulai dari yang paling sopan
sampai dengan sumpah-serapah mereka tumpahkan setiap hari. Tapi hanya
sampai di sana saja. Mereka akan sembunyi atau menggeleng saat diminta
untuk terlibat dalam gerakan perubahan. “Ah, biar orang lain saja. Saya
partisipasi dengan doa saja. Pada prinsipnya saya mah setuju-setuju saja
asal demi kebaikan”.

Para penggerutu ini adalah kelas sosial yang tidak bertanggung jawab.
Mereka lahir dari kelas menengah yang seharusnya menjadi penggerak sebuah
perubahan sosial, namun di sini menjadi kelas penakut, yang hanya berani
menggerutu di dunia maya, itu pun sebagian dengan nama samaran. Bahkan ada
juga yang hanya berani menggerutu di dalam hati. Padahal, perubahan sosial
tidak akan lahir melalui gerutuan. Sama saja seperti teriakan pertapa di
puncak gunung. Niat hati hendak menggetarkan alam, namun hanya menggetarkan
gendang telinganya sendiri, atau paling jauh oleh beberapa gelintir hewan
gunung yang sibuk dengan urusan masing-masing. Sisanya hanyut dibawa lari
angin gunung.

Sekarang coba tanya, apa yang dilakukan oleh kelas penggerutu ini untuk
memperbaiki Jakarta? Apakah mereka terlibat mengorganisir diri untuk
menekan pemerintah agar melayani warga dengan baik? Apakah mereka melakukan
sesuatu untuk memaksa political leader menghasilkan public policy yang
berdasarkan kebutuhan masyarakat?

Kesadaran kelas menengah kita, selain menggerutu, baru sampai pada taraf
kerumunan hewan pemamah biak, solidaritas dangkal, dan sama sekali tidak
menyadari kekuatan yang sesungguhnya. Ini mirip dengan ratusan kerbau liar
yang lari kocar-kacir karena dikejar oleh 5 sampai 10 ekor cheetah saja.
Padahal, jika kesadaran itu sedikit saja ditingkatkan tarafnya, mereka
tinggal membuat benteng hidup dengan deretan tanduk menjorok ke luar
kerumunan sehingga pemangsa bertaring dan bercakar itu tidak akan bisa
berbuat apa-apa.

Ya, memang baru sampai di sana. Kita belum memiliki kesadaran bersama
sebagai warga kota. Tidak ada yang paham bahwa warga kota berhak protes dan
memaksa pemerintah memenuhi keinginan mereka. Tidak ada yang tahu bahwa
kota bisa lumpuh saat warganya marah dan tidak setuju dengan apa yang
sedang dilakukan oleh para elit politik. Yang ada hari ini baru kesadaran
pribadi-pribadi yang kebetulan memiliki persoalan yang sama, yaitu soal
macet, banjir, sampah, dan lain-lain. Itu pula sebabnya pemerintah hari ini
cuek. Mereka tahu ada ketidakpuasan, namun tak ada satu pun yang manifes
dan teroganisir. Ditekan sedikit saja bisa kocar-kacir.

*Apa Yang Harus Kita Lakukan?*
Jakarta ini bisa benar jika dipimpin oleh orang yang benar pula. Maksudnya,
orang yang benar-benar paham persoalan, benar-benar punya seribu akal untuk
memperbaiki kota, benar-benar bisa memimpin, dan benar-benar bisa lepas
dari oligarki ekonomi-politik yang selama ini menyandera pembangunan
Jakarta.

Untuk mendapatkan pemimpin yang benar, maka masyarakat tidak bisa begitu
saja berserah diri kepada partai politik. Undang-undang memang memberi hak
kepada partai politik untuk melakukan seleksi dan nominasi calon kepala
daerah, tetapi bukan berarti kita pasrahkan seluruh hak itu kepada mereka.
Partai politik harusnya hanya menjadi cermin yang memantulkan keinginan
masyarakat.

Nah, agar kita punya pemimpin yang benar, dan agar pemerintahan dijalankan
dengan benar, maka masyarakat harus terlibat aktif dalam dua hal penting,
yaitu proses pencalonan pemimpin, dan proses pemilihan pemimpin. Jika tidak
bersedia, lebih baik telan dalam-dalam kenyataan pahit yang akan anda
hadapi. Percuma marah-marah dan menggerutu tetapi di saat yang sama tidak
mau berbuat sesuatu agar kita memiliki pemimpin yang benar.

Bermula dari soal nominasi calon pemimpin, sebab disinilah persoalan itu
berawal. Kita seringkali mengabaikan bahwa proses seleksi dan nominasi
calon pemimpin itu menjadi monopoli kekuatan yang bernama partai politik.
Dan sangat sering kita mengalami bahwa kepentingan partai politik ternyata
berseberangan dengan kepentingan publik yang mereka wakili. Jika ini yang
terjadi, di ujung jalan kita cuma menerima pilihan-pilihan yang sudah
mereka sediakan.

Ketika pilihan-pilihan itu tidak ada yang sesuai dengan keinginan kita,
maka Golput menjadi keniscayaan. Padahal, Golput sejatinya adalah tindakan
pengecut dan tidak bertanggungjawab. The silent majority yang tidak ubahnya
seperti gajah tidur, raksasa yang tidak menakutkan bagi siapa pun, bahkan
bagi seekor pelanduk kecil dan lemah. Dalam, hal ini diam sama sekali tidak
berarti emas.

Tidak usah terlalu muluk membayangkan sebuah gerakan sosial yang gegap
gempita dan melumpuhkan sebuah kota. Sebenarnya cukup dengan memperlihatkan
sebuah protes yang terorganisir, simpel, tetapi juga menyentak. Yang
penting pesan itu sampai dan menggoyang tempat duduk para penguasa dan elit
politik. Kita cukup memberi tahu mereka, bahwa ketidaksenangan publik bukan
lagi sekedar berkecamuk di dalam hati, atau hanya tumpah di dunia maya,
namun sudah menjadi protes yang manifes, muncul di dunia nyata.

Kami tidak sedang mengajak anda turun ke jalan dan berdemonstrasi. Bagi
kami itu ide kuno yang hanya memperlihatkan kebuntuan berpikir. Kami justru
ingin mengajak anda menggunakan simbol protes yang seragam. Sebuah simbol
yang menunjukkan bahwa hari ini kita sangat kecewa dengan keadaan Jakarta
dan ingin perubahan agar kualitas hidup menjadi lebih baik. Simbol ini juga
mewakili keinginan dan ancaman bagi para elit politik, terutama pimpinan
partai politik agar tidak main-main dalam menentukan calon pemimpin
Jakarta. Ini juga simbol yang menuntut partai politik hanya memberikan
kesempatan kepada putera-puteri terbaik mereka untuk memimpin dan membenahi
Jakarta.

Kami ingin mengajak anda menggunakan simbol kain hitam sebagai tanda protes
sekaligus tuntutan. Tanda yang digunakan secara sukarela oleh warga kota
yang sadar dan ingin perubahan, bukan hanya di dalam hati, tetapi berani
menyatakannya. Simbol hitam itu bisa berbentuk banyak hal. Beberapa anggota
komunitas kami sudah menggunakan bendera hitam di kendaraan mereka, baik
kendaraan roda dua maupun roda empat. Sebagian lagi berupa bendera atau
pita hitam yang diikat di tas mereka. Simbol hitam itu bisa berbentuk apa
pun, meskipun kami menamakan solidaritas warga kota ini dengan nama
“Bendera Hitam Jakarta”.

Bendera hitam inilah yang akan menyatukan kita. Dia akan tetap kita kenakan
selama partai politik tidak betul-betul serius menyediakan calon pemimpin
terbaik. Mata kita semua harus dibuka lebar-lebar, bahwa di luar orang yang
selama ini memburu kekuasaan, kita memiliki cukup banyak figur-figur yang
memiliki kualifikasi terbaik untuk memimpin Jakarta dengan benar.
Orang-orang yang bersih, berintegritas tinggi, dan punya seribu akal
membenahi Jakarta.

Protes damai semacam ini tentu tidak akan menimbulkan dampak apa-apa jika
hanya diikuti oleh 100 atau 200 orang saja. Bahkan mungkin hanya akan jadi
tertawaan. Namun kami yakin, ada ribuan orang yang bersedia untuk tidak
berpangku tangan. Kami cuma perlu menyediakan wadah yang universal sehingga
bisa diikuti oleh semua orang. Simbol kain/bendera hitam adalah alat
terbaik yang bisa menyatukan kesadaran warga Jakarta.

Ini terlihat sangat sepele, tapi percayalah akan mengguncang Jakarta,
menggoyang pendirian para elit politik yang selama ini mungkin sudah sangat
berjarak dengan masyarakat. Bayangkan saja jika ribuan atau puluhan ribu
bendera hitam berseliweran di Jakarta. Mereka akan sadar, di dalam
kedamaian dan kewajaran hidup warga sehari-hari, tampak jelas sebuah protes
sedang diutarakan. Percayalah bahwa mereka akan paham jika kita semua
memasang simbol yang sama. Dan jika sudah dibenturkan dengan bayangan
sendiri, yaitu ketakutan akan kehilangan kepercayaan masyarakat, partai
politik akan “terpaksa” berbuat sesuai keinginan publik. Mereka akan
berikan putera terbaik untuk dipilih sebagai calon pemimpin Jakarta.

Dalam satu atau dua bulan yang akan datang, partai-partai politik akan
menentukan orang-orang yang akan mereka usung sebagai calon gubernur
Jakarta. Kita akan tetap pasang kain/bendera hitam selama tidak ada itikad
baik dari partai politik untuk mengusung orang-orang yang benar. Namun kita
akan menggantinya dengan bendera warna warni sebagai tanda suka cita ketika
partai politik mengusung calon-calon terbaik untuk Jakarta.

Jadi apa yang akan Anda lakukan? Apakah akan berdiam diri dan menikmati
status sebagai kelas penggerutu yang tidak bertanggungjawab, ataukah akan
bergabung bersama warga Jakarta menyampaikan protes yang menghentak? Bagi
kami pilihannya sudah jelas. Kami akan bertahan dengan simbol kekecewaan
itu sampai partai-partai menyediakan calon pemimpin terbaik bagi Jakarta.
Berdiam diri dan menggerutu di dunia maya bagi kami adalah tindakan
mubazir. Kami juga tidak ingin menjadi makhluk anti-sosial yang hanya
berkutat untuk soal-soal yang berbau ego pribadi, kerja dari pagi, pulang
sore, dan tiap bulan menerima gaji. Karena kesadaran tanpa perbuatan bagi
kami adalah selemah-lemahnya iman.

Sekian dulu yah, nanti kita lanjutkan dengan “Gerakan Tinta Hitam Jakarta”,
ini partisipasi tahap kedua yang jauh lebih manifes dan menghentak. Namun
ini hanya dilakukan jika partai politik tetap bandel mengusung calon
gubernur Jakarta seenak udelnya. Gerakan ini merupakan alternatif dari
Golput. Sebab Golput itu sama seperti begadang, karena tiada gunanya .


semoga menginspirasi,

wassalam, Amir maulana Batupahat, 27 tahun, depok

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/

Kirim email ke