Kasus Mesuji Berpotensi di Sumbar

Padang Ekspres • Sabtu, 17/12/2011 10:29 WIB • (mg8/jpnn) • 265 klik

http://padangekspres.co.id/?news=berita&id=19225

Tim Pencari fakta: Menkopolhukam Joko Suyanto (kanan) dan Wakil Menkum
Ham Denny

Padang, Padek—Pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di Desa Sungai
Sodong, Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumsel,
berpotensi terjadi di Sumbar. Apalagi, sekitar 80 perusahaan yang
menggunakan lahan hak guna usaha (HGU) di Sumbar, kejelasan izinnya
perlu dieveluasi.


Bila pemerintah mengabaikan persoalan ini, bukan tak mungkin memicu
konflik mengingat proses penyerahan lahan HGU kerap mengabaikan
kepemilikan hak ulayat.


”Kita bisa melihat kasus Maligi, Pasaman Barat.
Akibat pemerintah lambat bertindak, memicu terjadinya konflik,” kata
Direktur Perkumpulan Qbar, Nurul Firmansyah kepada Padang Ekspres
kemarin (16/12). Nurul melihat, menguatnya kasus-kasus semacam itu
disebabkan ketidakjelasan pemerintah memberikan batasan-batasan mana
tanah untuk masyarakat (petani), dan mana investasi. Juga, kejelasan
tanah-tanah ulayat. Kadang pemerintah malah memberikan kemudahan pada
investor dengan mengabaikan kepentingan masyarakat.


Untuk meminimalisir persoalan ini, Nurul berharap, aparat netral
menangani sengketa lahan. Pemerintah perlu segera mencari terobosan
penyelesaian lahan-lahan di masyarakat. ”Harus jelas posisi tanah
ulayat, dan bagaimana menjaga tanah ulayat ini tetap bertahan dengan
statusnya meski bisa dimanfaatkan untuk investasi. ”Saya khawatir RUU
Pengadaan Tanah untuk Pembangunan justru akan semakin memperbesar
potensi konflik lahan di Sumbar,” katanya. Sebab, sistem kepemilikan
lahan di Sumbar mengenal tanah ulayat yang tidak disertifikatkan.
Sehingga, klaim tanah negara juga bisa dilakukan pemerintah.


Staf Divisi Pendampingan Kasus dan Paralegal Lembaga Bantuan Hukum
(LBH) Padang, Era Purnamasari menambahkan, konflik lahan di Sumbar
dipicu ketidakjelasan kontrak, hingga pelanggaran kesepakatan oleh
pihak ketiga (perusahaan perkebunan) terhadap masyarakat. Celakanya
lagi, kata Era, aparat kerap berpihak pada pihak perusahaan.

”Itu bukan aset negara. Itu kan punya perusahaan. Berarti aparat
dibayar perusahaan, di mana netralitasnya,” tegasnya. Karena itu, LBH
meminta pemerintah Sumbar menyelesaikan sengketa lahan sampai ke akar-
akarnya agar tidak terus berulang.


Kepala Dinas Perkebunan Sumbar, Fajaruddin mengklaim maraknya konflik
perkebunan akibat kesalahan perusahaan dalam pencadangan lahan untuk
plasma. Akibatnya, perusahaan tidak bisa melakukan penanaman di lahan
itu. ”Seperti kasus di Pasaman Barat, lahan itu telah tersedia. Tapi
setelah mau ditanam, lahan itu menjadi masalah,” ujarnya mencontohkan.

Namun begitu, Fajar mengklaim sebagian besar perkebunan Sumbar adalah
perkebunan rakyat dibandingkan swasta. Mencapai 80 persen dari 10
komoditi perkebunan di Sumbar, sisanya milik swasta. ”Yang terbesar
hanya kelapa sawit. Persentasenya, perkebunan rakyat 47,7 persen dan
milik swasta 52,3 persen,” ujarnya.


Dosen Fakultas Pertanian Unand, Hery Bachrizal Tanjung melihat, pola
plasma inti berjalan baik sepanjang dilaksanakan sesuai kesepakatan
sebelum tanah-tanah itu disulap menjadi kebun plasma. Biasanya,
permasalahan muncul jika aturan tidak dijalankan dengan baik.
”Penyebabnya, apakah ketika inti (perusahaan, red) terlalu banyak
mengeluarkan modal, sehingga tidak lagi merealisasikan aturan itu.
Ataukah, saat aturan dibuat, harga di pasaran tinggi. Mungkin saja,
ketika plasma hampir jadi, harga sawit turun,” katanya.


”Atau sebaliknya, bisa saja masyarakat tidak patuh terhadap konsep
teknis dari budidaya yang ditetapkan inti sehingga kualitas sawit
rendah. Makanya, untuk pengembangan berikutnya, inti enggan memberikan
lagi. Atau bisa jadi inti tidak mau memberikan atau merealisasikan
janjinya, walau masyarakat sudah memberikan tanahnya,” ungkapnya. Tak
kalah penting, harus ada peran pemerintah.

Dalam perjanjian antara perusahaan dan masyarakat, harus melibatkan
pihak ketiga baik sebagai saksi maupun fasilitator. ”Pemerintah harus
berada di tengah-tengahnya. Jika aturan disepakati kedua belah pihak,
pemerintah sebagai pemegang regulasi harus menegakkan aturan.
Pemerintah juga berkewajiban membimbing masyarakat untuk patuh
terhadap aturan inti yang diberlakukan,” paparnya.


Lain lagi pandangan Sukardi Bendang dari Serikat Petani Indonesia
(SPI) Sumbar. Dari data BPS, untuk aset 18 juta petani hanya 8 juta
hektare lahan, sementara satu pengusaha sawit bisa memiliki lahan
seluas 300.000 hektare. ”Ini monopoli kalangan bermodal, harus ada
perhatian serius pemerintah,” katanya. Dia mencontohkan Pasaman Barat,
setiap tahun lahan masyarakat terus tergerus. ”Sebelum tahun 1990-an
lahan petani berkisar sekitar 27.000 hektare. Merosot tajam pada tahun
2007, sekitar 14.300 hektare. Harus ada peruntukan lahan-lahan abadi
untuk petani,” katanya.


Tim Pencari Fakta
Kemarin (16/12), Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) terkait kasus
pelanggaran HAM berat di Desa Sungai Sodong, Kecamatan Mesuji,
Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumsel resmi terbentuk. Wakil
Menteri Hukum dan HAM (Wamenkum HAM) Denny Indrayana yang ditunjuk
menjadi ketua tim berjanji segera menuntaskan kasus tersebut dalam
waktu yang tidak terlalu lama.


”Tidak sebentar, tetapi tidak terlalu lama. Apalagi Komnas HAM sudah
punya data awal. Jadi, sebenarnya bekerja bukan dari informasi nol,”
kata Denny di Kantor Presiden, kemarin (16/12). Komnas HAM yang pernah
menerima laporan terkait pembantaian di Mesuji memang ikut terlibat
dalam TGPF Mesuji.


Selain Komnas HAM yang diwakili ketuanya, Ifdhal Kasim, TGPF diisi
oleh beberapa unsur. Antara lain dari Kementerian Polhukam,
Kementerian Kehutanan, Polri, pemda Lampung dan Sumsel, dan tokoh-
tokoh masyarakat dari dua provinsi tersebut. Denny menuturkan,
mekanisme investigasi TGPF sama  dengan kerja Tim Delapan.


Menko Polhukam Djoko Suyanto mengatakan, selain menyelesaikan
persoalan hukum kasus Mesuji, TGPF juga memiliki tugas untuk jangka
menengah dan panjang. Hal itu terkait dengan seringnya terjadi
sengketa wilayah perkebunan atau kehutanan. Nantinya akan ada
rekomendasi yang dikeluarkan tim.


Bisa Merembet
Di bagian lain, konflik horizontal seperti di Mesuji berpotensi meluas
ke 16 juta hektare area perkebunan lainnya. Sebab, status area
perkebunan itu masih abu-abu. Antara klaim penduduk adat dan
kepemilikan pemerintah. Kepala Departemen Advokasi Wahana Lingkungan
Hidup (Walhi) Nasional Mukri Friatna di Jakarta kemarin (16/12)
menjelaskan, pemicu pembantaian di area perkebunan adalah
ketidakjelasan status kepemilikan tanah.


”Penduduk adat ini sudah turun-temurun mengelola area perkebunan tadi
untuk mata pencaharian sehari-hari. Dari silang sengkarut pertanahan
di area perkebunan tadi, Mukri mengatakan bisa memicu konflik
horizontal. Konflik ini melibatkan masyarakat adat, pekerja perkebunan
sawit, dan PAM Swakarsa,” tandasnya.


Dari investigasi Walhi, aparat kepolisian kerap tidak objektif
mengawal konflik tersebut. Aparat lebih condong memihak perusahaan
perkebunan sawit. Dalam menangani konflik, masyarakat adat kerap
menjadi korban kriminalisasi.

”Jika tanahnya diserobot perusahaan sawit, malah masyarakat yang
dijadikan tersangka. Alasannya, mereka telah menghalang-halangi usaha
dan perusakan aset perkebunan. Jadi masyarakat adat lapor, disusul
perusahaan juga lapor. Tapi, posisi yang diunggulkan selalu
perusahaan,” tutur Mukri. (mg8/jpnn)

[ Red/Redaksi_ILS ]

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/

Kirim email ke