Yth. Pak Eka, Tepat sekali pernyataan Bapak bahwa diskusi discretionary vs. regulatory systems secara legal-historis diantaranya berasal dari akar sistem hukum: common vs. civil law. Ini pun mengemuka di beberapa tulisan P. Booth. Namun, aspek legal historis hanyalah salah satu faktor yang mempengaruhi bentuk sistem perencanaan di suatu negara. Masih banyak aspek institutional-kultural lain yang mempengaruhinya. Kebetulan saja Inggris & Eropa daratan memiliki landasan historis yang sangat panjang sehingga sistem legal bisa banyak merefleksikan sistem kultur politik dan ketatapemerintahan dalam arti luas. Jika dirunut pun sistem legal kita sebenarnya warisan Belanda (& Eropa daratan pada umumnya), sehingga itu pun belum tentu yang paling cocok dengan tradisi kultur dan ketatapemerintahan khas Indonesia. Tentu hal ini perlu diteliti lebih lanjut.
Di Indonesia masih terjadi dualisme antara tataran sistem/ kerangka (termasuk perencanaan) yang cenderung regulatory vs. praktek yang msh bernuansa discretionary. Sistem perijinan yang selama ini berjalan di Indonesia pada tingkat tertentu, dalam prakteknya, memiliki kemiripan dengan development control-nya Inggris yang notabene discretionary. Di mana rencana bukan sesuatu yang sakral, bahkan rencana bisa diubah untuk mengakomodasi investasi. Sementara PZ berupaya memberi lebih banyak ruang regulatory system untuk berjalan. Namun, sejauh mana PZ dapat efektif di tengah 'tradisi' sistem perijinan yang sudah 'melembaga' di berbagai daerah? Salam, Delik - ekadj <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Pak Akbar dan Pak Delik ysh, Sebenarnya saya juga ragu ketika tahun lalu istilah discretionary vs regulatory ini disampaikan oleh Pak Akbar, sehingga saya perlu menanyakannya terlebih dahulu. Istilah ini tidak umum dan tidak lazim digunakan dalam hukum perbandingan antar sistem hukum, dan ternyata memang istilah ini dikeluarkan dari suatu komunitas perencana secara terbatas. Dari sedikit penjelasan, saya menangkap bahwa istilah ini dimaksudkan untuk membedakan perilaku otoritas pembuat keputusan terhadap suatu penetapan zoning. Dalam discretionary system, pembuat keputusan harus memperhatikan berbagai konsideran terkait, yang memberinya suatu ruang pertimbangan. Dalam regulatory system, pembuat keputusan diberikan pilihan terbatas berdasarkan kriteria yang lengkap di dalam suatu peraturan tentang zoning. Dengan demikian discretionary vs regulatory sebenarnya masuk dalam domain masalah-masalah hukum perbandingan administrasi negara dan bukan the system of law dan juga bukan the system of planning. Diharapkan Pak Nandang memberikan penjelasan mengenai hal ini. Izinkan saya menyampaikan sedikit the long-term memories mengenai hal ini. Sebuah tulisan mengenai perbandingan sistem hukum ini dapat ditemukan dalam buku Hukum Pidana karya Prof.Dr. Romli Atmasasmita. Romli mengidentifikasi dua sistem hukum utama di dunia, yaitu common law system dan civil law system. Common law system merujuk kepada sistem hukum yang berlangsung di Inggris, dapat dilihat ketika undang-undang dibentuk berdasarkan kesepakatan, dan bilamana diubah atau diperdalam, tinggal membuat amandemen, dan undang-undang yang lama masih berlaku pada ketentuan-ketentuan yang belum tergantikan. Istilah amandemen sebenarnya tipikal common law system, dan kita latah menggunakan istilah ini pada amandemen UUD 1945 dan kemarin amandemen UUPR. Seharusnya kita memang tidak boleh menggunakan istilah UUPR 1992 dan UUPR 2007, karena ini tipikal common law system. Sistem hukum ini digunakan terutama pada negara-negara persemakmuran, hingga hybrid-nya di Hongkong dan USA. Karenanya kelompok sistem hukum ini sering disebut sistem Anglo-Saxon. Saya pernah dibekali 2 buku dari Prof Djoko, dan sayang sekarang sudah hilang. Pertama adalah An Outline of Planning Law karya Sir Desmond Heap, dan kedua adalah The Ideologies of Planning Law karya Patrick McAuslan. Buku-buku ini merupakan suatu kompilasi perundang-undangan di Inggris pada tahun 1970an, sehingga saya sedikit mengenal common law system untuk perencanaan kota di Inggris. Perundang-undangan sektor ternyata sangat dominan, seperti Sanitary Act dan Building Act, ter-amandemen berkali-kali. Sehingga bisa wajar aspek discretionary menjadi menonjol dalam pembuatan keputusan terhadap suatu zona. Civil law system merujuk pada sistem hukum yang berlangsung di Perancis dan daratan Eropah umumnya, atau sering juga disebut dengan sistem Eropah Kontinental. Sistem ini sebenarnya diwariskan sejak masa Romawi dan telah mengalami berbagai kodifikasi hukum, sehingga relatif matang. Semula kodifikasi ini hanya menyangkut ius civile (hukum perdata) dan ius gentium (hukum publik), namun seiring dengan perkembangan masalah, kodifikasi ini berkembang ke bidang-bidang lain seperti code lurbanisme (undang-undang tentang kota) di Perancis. Civil law system mempengaruhi Belanda melalui code Napoleon pada masa kekuasaan Napoleon Bonaparte, dan kemudian diterapkan di Indonesia hingga hari ini. Seperti contoh, KUH Perdata yang terdiri hampir 2000 pasal itu hanya disusun dalam waktu 6 bulan pada pertengahan abad 19, karena sekedar menjiplak edisi Belanda-nya, dan hebatnya masih berlaku sampai detik ini di Indonesia. Dengan demikian bila Pak Akbar bertanya tentang sistem hukum apa bagi perencanaan tata ruang kita, maka jawabannya adalah pasti civil law system, dengan tipikal regulatory system. Saya ingin menjelaskan sedikit istilah tipikal ini. Sistem perencanaan kita sebenarnya sangat dipengaruhi oleh para scholar dengan berbagai latar belakang pendidikannya dan mengajarkan mazhab dan aliran-nya di berbagai tempat. Mohon maaf secara kasar saya membuat penggolongan seperti: kelompok Anglo-Saxon yang cukup dominan di ITB serta kelompok Eropah Kontinental yang cukup dominan di Departemen Pekerjaan Umum. Dalam penilaian dangkal saya pada masa itu, Permendagri 2/1987 adalah tipikal Anglo Saxon, dan Kepmen PU 640/1986 adalah tipikal Eropah Kontinental. Maaf sekali lagi atas simplifikasi ini. UUPR 1992 sebenarnya cenderung Eropah Kontinental. Namun terdapat ketentuan aneh pada Pasal 22 (hirarki kabupaten/kota), saya sebutkan saja: 1 Ayat (3) c dan (4), menunjukkan RTRW Kab/Kota merupakan final document untuk membuat keputusan-keputusan tentang ruang; ini sangat khas sebagai tipikal regulatory system. 2 Ayat (3) d, ketika ada peluang untuk rencana rinci, maka hal ini menyebabkan confuse untuk ketentuan di atas, dan hal ini terkesan Anglo. Cukup lama perdebatan mengenai rencana rinci ini, dan bagusnya memang produksi RDTR/RBWK mulai berkurang hingga terhenti sama sekali. Namun hal ini ternyata menciptakan kreatifitas baru dalam sistem/hirarki perencanaan, sehingga kita mengembangkan model-model RTR Kapet, Kadal, dll yang bertipikal discretionary system. Hal ini pernah saya singgung bila Sutiyoso bisa kebingungan mendapatkan ada 6-7 RTR yang mengatur suatu titik di Jakarta ini, mending bila arahan pemanfaatan ruangnya sama. Bagaimana UUPR 2007 menyelesaikan masalah itu serta apa tipikal sistem perencanaan kita, sebaiknya Pak Andi dkk yang bercerita, karena sungguh saya tidak pernah ikut berdiskusi pada bagian itu. Memang ada satu pertimbangan yang pernah disampaikan, yaitu mengenai kedudukan RDTR dan Peraturan Zonasi dalam sistem perencanaan tata ruang. Sebenarnya saya menimbang hanya ada salah satu, supaya terjalin konsistensi dalam suatu sistem perencanaan tata ruang. Akhirnya tercapai kompromi bila RDTR ditempatkan dalam perencanaan tata ruang, dan PZ ditempatkan dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Dan masing-masing, baik RUTR, RDTR, dan PZ ditetapkan melalui Peraturan Daerah; dengan ketentuan: setiap bentuk perencanaan itu harus siap operasional, setidaknya untuk PZ. Suatu pilihan bagus, yang mengakibatkan PZ bisa steril dari suatu bentuk penilaian tentang sistem perencanaan. Satu hal yang pasti, karena itu PZ tidak bisa disetarakan dengan model zoning regulation/code manapun di dunia ini; sehingga menjadi tipikal Indonesia. Suatu waktu saya harapkan Pak Har berkenan untuk menceritakan asal-muasal PZ ini. Sementara demikian dulu pak. Salam. -ekadj <[EMAIL PROTECTED]> Re: apa sih itu Regulatory vs Discretionary,pak? Re: [referensi] Re: peraturan zonasi - ilmu konsultan Ketika saya mengerjakan tesis 1,5 th lalu, saya tidak menemukan artikel yg secara khusus/ detail menjelaskan perbedaan discretionary dgn regulatory (=binding) systems. Mungkin saja saya kurang cermat menelusurinya. Namun, barangkali bisa berguna, saya mencoba mengumpulkan dari beberapa literatur yang saya tuangkan dalam tesis saya (hal 16-17): .... The next element of planning system is concept, which is often focused on comparing discretionary system versus binding/ zoning system (Healey, 1997; European Commission, 1997). Discretionary system is associated with the British approach to land use regulation that centres on capacities of politicians, administrators, as well as professionals in making decision (Healey, 1997). Planning officials advise the local politician to judge the development application case by case. In this system, the role of planning document is very limited and is not absolute because the ultimate decision highly depends on the personnels judgement, not the regulation. Planning document is only one of considerations that should be taken into account when making decision. It is not binding because there are many other materials or considerations they use in making decision (Booth, 2002). Therefore, planning document is not necessary to be made in detail and can merely prescribe the general structure of desired future development. Since decision upon land and property development lies on case by case judgement, discretionary system is known for its flexibility. However, it is also recognized that it also causes some degree of uncertainty of the decision particularly in longer term. It is because there is no binding assurance. Desirable development proposal in the current situation can be no longer relevant in the future. In contrast, binding or zoning system focuses on the ability of regulations or codes to tie up all actors in deciding their development proposals. In continental Europe, this system was originated from the Napoleon codes introduced to improve public administration in eighteen century (Healey, 1997). This system demands the completeness of regulations to guide the development. In one hand, it provides more certainty in a longer term. On the other hand, however, it is often criticized as a rigid concept that is difficult to be implemented in a rapid changing situation. As responses to the weaknesses in both systems, there is growing attempts to combine their advantages into a moderate system (European Commission, 1997). Besides, beyond the above classification, there are also other concepts that are difficult to be included in the two main directions. Dutch system is a relevant example for this. Although binding system is more apparent in Dutch planning system, it does not characterize the strength of the system. This system and others can be more clearly explained by elaborating other elements of planning system, particularly the structure of the system.... Sumber: Hudalah, D. (2006). Institutions, Culture, and Neo-liberalism: Planning System in the Transitional Indonesia. Master Thesis. Groningen: University of Groningen. Salam, Delik . --------------------------------- Walla! Mail - get your free 3G mail today Delik Hudalah http://www.planningstudies.blogspot.com http://www.rug.nl/frw/faculteit/medewerkers/dhudalah/index --------------------------------- Building a website is a piece of cake. Yahoo! Small Business gives you all the tools to get online.