Nak, Ingat, aku ini Mamamu... Aku percaya, untuk terus bertahan hidup manusia harus bertarung, merebut nasibnya. Jika kelak hasilnya tidak sesuai yang diharapkan, hanyut, berenang, atau tenggelam, kuterima itu sebagai garis yang telah ditakdirkan. Karena itu, ketika hidup mempertemukanku dengan seorang anak kecil, aku tak mengelak untuk mengadopsinya. Dan, tak pernah kusangka, kelak, anak kecil ini, membayar lunas semua jasaku, memberikan kebahagiaan yang tak pernah kuperoleh dari orang yang paling aku cintai, Mas Bram.
Tiga tahun berumah tangga, tanda-tanda kehamilan belum juga menghampiri diriku. Mas Bram tak pernah khawatir, juga aku. Tapi, keluarga Mas Bram, yang selalu menanyakan, terutama ibu mertuaku --Mas Bram anak pertama mereka-- membuat aku kadang panik. Saat-saat menunggu haid --datang tidak, datang tidak-- adalah waktu yang paling mendebarkan, nyaris setiap bulan. Untunglah, dalam kondisi itu, Mas Bram selalu mendampingiku, dan membesarkan hatiku. "Hush, jangan berpikir yang bukan-bukan. Anak itu titipan Tuhan. Jika Dia belum memberi, itu artinya kita belum siap," katanya, selalu menenangkanku. Tapi, di tahun keempat pernikahan, sindiran ibu mertua nyaris membuat aku tidak kuat. Aku pun pisah rumah dari mereka, dan mengontrak rumah kecil sendiri. Atas saran ibuku, untuk "memancing" kehamilan, mereka menganjurkan aku memungut anak. Aku tentu tak percaya atas mitos itu. Tapi, Mas Bram pun mendesak, dia ingin aku ada teman di rumah, di saat dia bekerja. Akhirnya, aku mengambil anak dari panti, 3 tahun. Anaknya lucu, tampan, dan cerdas. Aku senang kala pertama melihatnya. Mas Bram juga. Dia bernama Yusuf. Setelah itu, hari-hariku adalah mengasuh Yusuf. Aku mulai menyekolahkannya di TK, mengantar dan menjemputnya. Semula aku merasa hal itu sangat berat. Tapi, ketika memasuki bulan kedua, aku menikmati sekali panggilan, "Mama" yang diucapkan mulut kecilnya. Mengantar dan menjemputnya dari sekolah pun menjadi begitu menggairahkan. Kadang, aku nyaris tak sabar menunggu jam jemput, dan meluncur hanya untuk menunggu dia keluar kelas, dan berlari sambil berteriak memanggilku, "Mama..." Aku nyaris lupa dengan keinginanku untuk punya anak sendiri. Apalagi, mertua pun sudah bisa menerima kehadiran Yusuf, dan tak lagi menyindirku. Namun, justru ketika aku tak berharap itu, di saat Yusuf masuk SD, aku justru hamil! Ya, hamil! Aku bagai mendapat keajaiban. Nyaris tak ada yang aku dan Mas Bram lakukan selain mengamati pertumbuhan perutku, yang kian membuncit. Yusuf pun acap aku abaikan. Tapi, Mas Bram menyadarkanku, kehadiran Yusuflah barangkali yang memang membuat Tuhan memberi kami bayi. Yusuf adalah ujian, apakah kami mampu atau tidak. Maka, kasihku kepada Yusuf pun kian berkembang, tak ada perubahan, seperti aku belum hamil dulu. Yusuf kelas 2 SD, anakku lahir, perempuan. Kami memberinya nama Rindu Ayu Nastiti. Nastiti adalah namamu, sedangkan Ayu nama mertuaku. Rindu adalah ungkapan kerinduan kami atas kehadirannya. Bayiku cantik, dan yang paling utama, Yusuf pun sangat sayang padanya, rajin menjaganya. Hebatnya lagi, hanya dua tahun berselang, aku hamil lagi, kembali seorang perempuan lahir, kami beri nama Ratna Jiwa Nastiti. Aku kemudian ber-KB, atas saran Mas Bram. Ketiga anakku itu membuat kehidupanku berubah. Status ekonomi kami pun meningkat pesat, seiring karier Mas Bram yang kian memuncak. Akhirnya kami membeli sebuah rumah, agak di pinggir kota, tapi besar, berkamar 5. Aku pun mulai mempekerjakan seorang pembantu untuk membantu mengurus Rindu dan Yusuf, juga rumah. Saat Ratna berumur dua tahun, Mas Bram bahkan sudah membelikanku mobil, selain mobil kantor yang biasa dia pakai. Rasanya, kebahagian kami klop-lah sudah, sempurna. Kemapanan kami secara ekonomi berdampak pada tubuh kami. Ratna dan Rindu tumbuh subur, gemuk. Barangkali mengikuti gen Mas Bram yang memang gemuk, dan kian gemuk seiring "kemakmuran" kami. Hanya Yusuf yang tetap ramping, meski tidak seramping aku, yang memang tidak punya bakat gemuk. Karena itu, untuk membuat anakku tidak obesitas, setiap akhir pekan aku mengajak mereka berenang. Hasilnya lumayan, saat masuk SD, kedua anakku sudah tak lagi kegemukan. Berbeda dari anakku, Mas Bram sulit sekali untuk kurus. Berbagai cara kami coba, malah dia kian gemuk. Bahkan kadang, ia acap sesak napas jika kelelahan kerja. Dan ketika si kecil naik kelas 5, Rindu kelas 1 SMP, dan Yusuf kelas 3 SMA, petaka kecil menimpa keluargaku: Mas Bram positif kena diabetes. Dia harus diet. Aku pun pontang-panting menjaga makannya. Tapi, dampak diabetes itu ternyata lebih menyerang aku daripada keluarga kami. Pelan tapi pasti, kusadari, Mas Bram mulai sulit ereksi. Bahkan, kami sering gagal berhubungan intim. Setahun kemudian, nyaris kami tak pernah dapat bersetubuh. Mas Bram impoten! Puluhan dokter, puluhan orang pintar telah kami coba, hasilnya nol. Aku sendiri tak begitu memasalahkan, apalagi di usia perkawinan nyaris 18 tahun, kebutuhan seks itu sudah tidak semenggairahkan dahulu. Namun, ketidakmampuan seksual itu berdampak luas bagi psikologis Mas Bram. Dia jadi gampang sekali marah, dan lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah, dan kalau pun di rumah, dia lebih banyak diam, dan atau mengajak putri-putriku keluar rumah, makan. Aku acap dia tinggalkan sendiri. Sementara itu Yusuf sudah kuliah. Dia tumbuh jadi lelaki yang matang, sangat menyayangi adik-adiknya, dan mandiri. Dia nyaris tidak pernah meminta uang kalau tidak kuberikan. Dia juga selalu membantu apa pun di rumah, sehingga sering kumarahi, karena tingkahnya itu kadang membuat dia nyaris seperti pembantu. "Mama tidak usah merasa seperti itu. Yusuf senang kok mencuci mobil. Masa semua harus menunggu Pak Yan?" begitulah selalu belanya, tiap aku larang mencuci mobil atau memotong rumput dan merapikan pagar tanaman. Sedari awal, kami memang telah memberitahu Yusuf tentang statusnya sebagai anak angkat. Dan anak-anak pun tahu, kalau Yusuf bukan saudara sekandung mereka. Dan syukurlah, hal itu tidak membuat hubungan mereka jadi renggang. Yusuf selalu siap menemani adik-adiknya, membantu belajar, dan mengantar aku berbelanja. Seiring "penyakit" Mas Bram, komunikasi aku jadi terganggu dengannya. Pertengkaran pun acap terjadi. Dan kadang, pertengkaran itu didengar anak-anak. Setelah tak mampu ereksi, tiap ada masalah, Mas Bram selalu mengungkit ketidakmampuannya itu sebagai awal pertengkaran. Dia menjadi begitu sensitif. Bahkan, kalau aku menonton film yang ada adegan romantis saja, dia bisa merasa marah dan tersindir. Akibatnya, aku nyaris tak pernah nonton teve atau film, kebiasaan yang dulu sangat sering aku dan Mas Bram lakukan. Pertengkaran-pertengkaran itu membuat aku nyaris tak punya teman. Jika sehabis bertengkar Mas Bram selalu pergi dan mengajak putri-putriku, aku nyaris tak punya siapa pun. Yusuf selalu pergi tiap kali mengetahui kami bertengkar. "Aku *nggak* bisa mendengar Mama dan Papa saling memaki," begitulah katanya. Dia bahkan berencana kos di dekat kampusnya. Tapi aku larang, meski dia jarang ada, tapi setidaknya aku merasa punya teman, setelah kedua anakku lebih dekat kepada ayahnya. Dua tahun setelah Mas Bram tak mampu ereksi, kami nyaris tak pernah bertegur sapa. Sarapan pagi pun kami lakukan terpisah. Aku bersama Yusuf, Mas Bram bersama Rindu dan Ratna. Anak-nak pun tanpa disadari terpisah jadi dua kubu, dekat dengan ayahnya, dan dekat dengan aku. Tapi, hebatnya, mereka bertiga tetap akur. Mungkin mereka mengatur fungsi untuk menjaga kami berdua. Kedekatan aku dan Yusuf ternyata berdampak bagi sisi emosionalku. Pelan, tanpa kusadari, aku mulai menyukai keadaan berdua dengan Yusuf, berbelanja atau makan di luar. Ada rasa nyaman karena diperhatikan. Tapi, aku selalu istighfar, jika gelora rasaku mulai menguasai akal sehatku. Yusuf sendiri tetap tampil sebagai anak, anak yang sangat baik. Ia bahkan terkesan memanjakan aku. Acap menelpon jika siang, memastikan aku sudah makan, dan selalu menemani aku sebelum tidur malam, meski hanya untuk bermain catur. Untuk hobi itu kami berdua sangat cocok. Suatu siang, aku dan Mas Bram bertengkar hebat. Sebabnya satu, aku bercerita tentang haidku yang terlambat datang. Maksudku untuk bertanya, apakah masa menopause sudah mulai mendatangiku. Eh, dia malah tersinggung, dan marah besar. Memaki-maki, sambil menggebrak meja. Dia merasa tersindir. "Jika memang kamu haus, aku izinkan kamu beli lelaki! Puaskan dirimu!" katanya. Kemarahan yang tak pernah aku dengar selama ini dalam pernikahan kami. Tuhan, dia salah paham, dia salah paham. Mas Bram lalu pergi, meninggalkan aku yang menangis sendirian, menyesali nasibku. Di saat itulah, aku merasa butuh sekali Yusuf. Bagai berlari, aku ke kamarnya, dan berharap dia ada. Dan memang dia ada, aku langsung memeluknya, menangis. Dia memelukku, dan menyabarkanku. "Sabar Ma, Papa cuma emosi. Sudah, tidak usah diingat, Papa cuma emosi, nanti juga minta maaf.." katanya, sambil mengusap-usap punggungku. Usapan di punggungku itu sangat menenangkanku. Tapi, tindakan Yusuf yang lain, membuat aku kaget. Dia tiba-tiba mencium keningku, dan memelukku ketat sekali. Aku sendiri tak tahu kenapa, mendiamkan perlakuannya. Aku bahkan diam saat dia mencium mataku, mengisap air mataku. Aku juga masih diam ketika dia mencium bibirku. Tuhan, kenapa ini? Kenapa aku diam saja? Aku, aku bahkan membalasnya, aku membalas ciuman anakku, membalasnya. Ohh... Batinnku berontak, tapi kenapa fisikku menurutkan perlakuan anakku. Aku bahkan bagai kesurupan, membalas dengan beringas ciuman Yusuf, aku bahkan menindihnya di kamar itu, menggelutinya. Aku seperti bendungan jebol, menggigiti lebernya, dengan napas yang terengah-engah. Aku bahkan nyaris memperkosanya, jika saja Yusuf tidak menolakkan tubuhku, yang membuat aku tersadar, dan bengong. Tuhan, apa yang telah aku lakukan? Kenapa aku kehilangan kendali? Bergegas aku kembali ke kamarku, sambil menyumpahi diriku yang telah "menggeluti" anakku. Gila! Setelah peristiwa itu, malammnya Yusuf datang dan meminta maaf padaku. Aku hanya menepuk pundaknya, "Mama yang salah, Mama khilaf," kataku. Tapi, tampaknya perkataan kami itu hanya basa basi. Keesokan harinya, saat duduk berdua menonton teve, entah bagaimana, kami telah berciuman, saling merangsang diri. Kami bahkan pindah ke kamarku, dan saling bermesraan di situ, habis-habisan, seperti dua orang yang kesurupan. Cuma, kami tak melakukan hubungan intim. Tepatnya, Yusuf tidak mau melakukan hal itu. Dia tetap tidak mau, meski aku mengiba memintanya. "Tidak Mama, jangan... Aku tidak berani... Aku mencintai Mama..." Ya, Yusuf mengakui mencintaiku. Dia acap mengatakan itu. Katanya, sejak aku mulai bertengkar dengan Papanya, ia mulai merasa terlibat denganku. Dan mulai mencintaiku, seperti seorang lelaki mencintai wanita dewasa. Aku sendiri tak tahu dengan perasaanku. Entahlah, apakah aku mencintainya seperti seorang pria dewasa, atau hanya sebagai anak, aku tak tahu. Yang aku tahu, aku cuma haus, dan tak pernah mampu menolah, bahkan acap meminta dia mesrai. Aku terbiasa bermasturbasi saat dia mesrai, meski dia tak pernah mau melakukan seks sempurna denganku. Ya, aku memang bisa orgasme, aku mendaptkannya, setelah 4 tahun tidak pernah lagi mendapatnnya. Ya, aku bisa lagi menikmati seks, menikmati wajah orgasme lelaki, meski itu anak angkatku sendiri. Memang, kami tak pernah berhubungan seks. Tapi, kami tahu cara untuk mendapatkan orgasme bersama. Apakah aku tak ingin ke luar dari keadaan ini? Ya, tentu, sebagai wanita normal yang masih punya moral, aku ingin keluar, ingin bebas dari hubungan tidak lazim ini. Tapi, aku acap tak berdaya. Kesendirianku, anak-anak yang lebih memihak ayahnya, membuat aku jadi takut sekali kehilangan Yusuf. Aku juga telah berkali-kali meminta dia berpacaran, apalagi dia akan tamat kuliah, tapi Yusuf tidak pernah mau. "Aku mencintai Mama, cukuplah. Soal pacar, tidak usah kita bicarakan. Aku hanya ingin Mama bahagia..." begitulah elaknya. Kini, dua tahun sudah aku "berpacaran" dengan Yusuf, tanpa seorang pun yang tahu. Sudah berkali-kali juga aku mencoba berubah, tapi acap tak bisa. Barangkali, kalau dia punya pendamping, aku akan dia lupakan. Aku toh sudah tua, tidak seperti gadis muda. Tapi, tiap kali niatku untuk menolak atau menjauhi Yusuf muncul, ketakutan akan kesendirian menggagalkannya. Aku hanya berkata, "Ingat, aku ini Mamamu..." tiap kali dia mulai memesraiku. Aku cuma tak ingin kami sampai berzinah, sepertia yang juga awalnya tidak pernah dia inginkan. Sumber: SM-CN [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/wnIolB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Ditunggu selalu kontribusinya baik lewat website maupun mailing list. Cara kirim cerita di website Sarikata.com : http://www.sarikata.com/index.php?fuseaction=home.kirim_cerita Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/sarikata/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/