RUMAH KACA
ranah sastra merdeka

Selasa, 01 Juli 2008, 08:49:56 WIB

Elisa

Oleh: Hujan
(Untuk seorang perempuan, selamat ulang tahun)


Bagaimana pun, kau tetap tak bisa hilang begitu saja dari dalam kepalaku. 
Kadang-kadang, entah lah. Aku berpikir begitu. Meski sudah tak kusediakan lagi 
sebuah tempat di otakku yang menyimpan kenangan tentang mu, tapi…

Aku pernah berpikir untuk tidak berpikir tentangmu. Sering, selalu, acap kali 
pun, namun, kau hadir saja, seperti bayangan gelap dari masa laluku. 
Menyelimuti lantas membungkus diriku dengan ingatan-ingatan tentang kota tua, 
jalan-jalan sepi, dan tawa riuh rendah orang-orang di sebuah kafe. Sumpah mati 
aku tak pernah mengundangmu kembali ke dalam hari-hariku.

Sumpeh aje gile, aku tak pernah berniat mengingatmu lagi. Bahkan apapun yang 
berkenan denganmu, sudah kutanggalkan, seperti kau menanggalkanku layaknya 
pakaian usang.

Maka begitu pula, aku berusaha keras untuk mendinginkan hatiku dan melemparkan 
semua kenangan tentang kau ke dalam musium di kepalaku.

Betul, musium cinta di kepalaku yang dulu agaknya sudah jarang kujiarahi, namun 
entah kenapa belakangan ini jadi lebih sering kukunjungi. Yah entah untuk 
sekedar memuja-muja dan memberi sesaji untuk setiap ingatan akan hari-hari yang 
pernah kita lewati.

Asu! Dan kau akhirnya mengirimkan aku sebuah sms. Pada sebuah senja, di mana 
hujan turun dengan penuh keengganan.

“Hi, apa kbrmu sweety?”

Cuih! Setelah kau tanggalkan aku seperti pakaian usang, sekarang kau tanyakan 
kabarku? Kejam! Sadis! Kau adalah perempuan paling sadis yang pernah lahir di 
dunia. Dan sekarang? Dengan enteng kau tanyakan kabarku? Tanpa rasa bersalah?

Entah harus dengan perasaan apa aku membaca pesanmu. Yang jelas sekarang aku 
tengah berada berdiri kembali memandang ke dalam etalase yang mengawetkan sisa 
cintaku di dalam musium di kepalaku. Ah, pesanmu masih terbuka di handphoneku.

Aku kembali dari pikiran-pikiran yang mengingatkan tentangmu ketika handphoneku 
berbunyi kembali.
Bah, hantu blau! Kau kirimkan pesan lagi untukku.

“Jangan sering2 memerhatikan hujan.
Nanti kamu bisa hanyut tenggelam”

Kacang goreng! Kok bisa-bisanya dia tahu aku sekarang sedang duduk memandangi 
hujan? Mungkinkah dia di sini? Di sekitar kafe ini, tempat kami biasanya 
bertemu untuk kemudian merencanakan sesuatu? Ah, bukankah dia sudah tak di kota 
ini? Bukankah dia sudah kabur dengan jantannya yang kaya tapi bodoh itu? Ah, 
apa pula pedulinya? Dan buat apa aku pikirkan dia. Hambus saja kau!

Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Kafe ini adalah kafe empat tahun 
yang lalu. Dimana untuk terakhir kali aku melihat tirus wajahnya yang manis 
dengan lesung pipi yang tak terlalu dalam di kanan-kiri pipinya yang chubby.

Kafe ini memang tak begitu ramai. Tidak seperti kafe kebanyakan. Agaknya kafe 
ini memang disediakan hanya untuk pasangan yang akan merencanakan sesuatu. Yah, 
apa saja. Mungkin merencanakan untuk bertemu, mungkin untuk berkencan, atau 
mungkin merencanakan masa depan. Tapi yang jelas, di tempat terkutuk inilah aku 
dan Elisa merencanakan perpisahan.

Tapi kenapa? Setelah empat tahun lalu, aku jadi begitu senang dengan kedamaian 
tempat ini. Apakah karena pelayanannya? Menunya? Set dekorasinya yang akan 
selalu mengingatkanku pada kafe-kafe di tahun 20, dengan ornamen klasik dan 
properti yang terbuat dari kayu jati? Atau mungkin karena hanya di tempat ini 
aku masih bisa membayangkan sisa harum dari parfum favorit Elisa? Entahlah, 
yang jelas, alasan terakhir serasa-serasanya bagiku tidak mungkin. Ya tidak 
mungkin saja, sebab aku datang ke mari, tidak untuk mengingatnya. Terlebih 
semua kenanganku tentang Elisa sudah kuawetkan di dalam etalase di kepalaku. 
Kusimpan rapat-rapat, sampai aku sendiri tak bisa menemukannya.

Sekarang aku memandang ke arah pesan yang dikirimkan Elisa ke handphoneku. 
Sementara di luar hujan masih tetap enggan untuk jatuh. Kenapa perempuan ini 
selalu hadir justeru di saat-saat aku menginginkan kesendirian yang paling 
abadi? Apa maunya?

Perlahan-lahan dari arah panggung kafe ini terdengar langgam Juwita Malam.

…Sinar matamu, menari-nari
Sanggup menembus ke dalam jantung hati
Aku terpikat, masuk perangkap…


“Maaf ya, aku lupa mengembalikan hatimu”

Please! Berhentilah mengirimi aku sms! Kalau kau mau berbicara padaku, kenapa 
tidak hadir saja di hadapanku sekarang? Kenapa kau siksa aku? Pakai pura-pura 
ingat dengan hatiku pula? Lakon apa yang sebenarnya sedang kau perankan Elis?
Aku tak tahan lagi. Lantas bangkit berdiri. Berniat mengitari sekeliling kafe 
untuk mencari perempuan kejam itu. Tapi untuk apa sebenarnya aku mencari dia? 
Bukankah aku sudah tak lagi berpikir tentangnya? Apakah untuk sms usil ini? 
Atau untuk yang lain? Benarkah aku benar-benar sudah melupakan dia dengan 
benar? Atau apa yang menggerakkanku tiba-tiba sehingga mau bangkit dan mencari 
dia. Aku tak punya alasan kuat. Maka kugeser kembali tempat dudukku, dan 
memasrahkan pantatku untuk jatuh bebas ke sana.

Sekarang semuanya berputar-putar di udara yang pengap. Gelak tawa canda 
pengunjung kafe ini semakin membuat kepalaku berat dan penat. Kucoba legakan 
dada, menarik nafas dalam-dalam. Mencoba setenang mungkin. Rileks.

Tapi tidak bisa, sebab sms di handphoneku itu! Sms terakhir yang dikirim Elisa, 
malah membuat perutku terasa mual. Omong kosong. Tahu apa dia tentang hatiku? 
Dia kira aku benar-benar meminjamkan hatiku? Bah! Kau tertipu oleh 
kesombonganmu Elis!

Aku masih memainkan handphoneku di atas meja, sambil senyum girang sendiri, 
ketika akhirnya seseorang menghampiriku dan berdehem.

“Boleh aku duduk di sini?” sapanya.

Sial! Dia benar-benar muncul dari persembunyiannya.
“Masih suka ke sini ya?”

Aku masih diam. Tiba-tiba saja kafe ini jadi begini panas, dan kehilangan 
kesakralannya Aku tengadah ke atas, memandang wajah perempuan yang selama ini 
merusak pikiranku. Gagal sudah usahaku untuk mengenyahkannya sejauh mungkin di 
dalam hipotalamusku.

Elisa menarik kursi persis di hadapanku. Duduk dan melemparkan senyumnya yang 
paling gombal. Pfuih…

“Kau…” kataku. Suaraku tercekat, tenggelam dalam riak suasana sepi kafe. Dia 
mengangguk dan tertawa kecil. Hatiku tersayat kembali, seperti irisan cornet 
sapi, menu kafe ini. Hah, buat apa perempuan ini muncul mengganggu kesepianku 
yang paling khidmat? Rasa-rasanya biarlah aku yang mengalah, pergi dan angkat 
kaki dari tempat ini. Lantas ngacir di bawah hujan.

“Jangan berpikir apa-apa dengan kehadiranku di sini ya?” kata Elisa dengan 
senyum yang masih sama mautnya. Hatiku bergetar. Inginku maki saja dia. 
Memuntahkan segala kekesalanku selama empat tahun ini.

“Hujan yang turun masih hujan yang itu juga ya?” tanya dia. Kali ini dengan 
mimik serius, yang aku sendiri tak pernah melihatnya. Wah, hebat juga perempuan 
ini. Empat tahun tak bertemu, ternyata dia bisa juga menjadi orang yang serius.

“Kau mau apa?” tanyaku dengan ketus yang tak bisa disembunyikan lagi.
“Ehm, sorry…?”
“Kataku, kau mau apa?” aku mengulangi pertanyaan yang sama.

Dia tersenyum, sambil menyibak rambutnya yang kemerahan diterangi merkuri yang 
redup.
“Hei, jangan sinis begitu dong. Kamu pikir cuma kamu saja yang bisa sinis?”

Halah, dia pikir dia siapa, bisa bebas menyerangku.
“Siapa yang sinis, aku cuma menunjukkan kepadamu, bagaimana seharusnya menjadi 
manusia.”

“Kalau begitu kau egois,”
“Kau yang egois,” kataku lagi dengan suara yang kencang. Kali ini tanpa 
kusadar, seluruh perhatian pengunjung kafe tertuju kepada tempat aku dan Elisa 
duduk.

“Jangan kecewakan aku, please,” kata Elisa dengan suara setengah berbisik.
Cuih, dia pikir aku akan luluh dengan bujukannya. Tidak, sudah kuputuskan, 
untuk tidak lagi memberikan dia sebuah tempat di kepalaku.

“Beberapa hari ini aku merasa serba tidak mood. Tidak mood untuk makan, tidak 
mood untuk tidur, dan tidak mood untuk bekerja, so, please hear me for a 
while,” kata dia membujukku. Tidak Elisa, kau jangan berpikir, kalau aku akan 
iba dengan perasaanmu belakangan ini. Apa peduliku? Kau saja tak peduli ketika 
aku hancur. Tahankan kau sekarang.

“Jadi sekarang maumu apa?” tanyaku dengan nada penuh kemenangan. Hah, jelas, 
sekarang akulah yang menang. Dan kau, Elisa, sekarang boleh kau menanggung 
sendiri akibat keputusanmu yang keliru. Mungkin sekarang kau telah merasakan 
bagaimana rasanya ditanggalkan, seperti pakaian usang. Syukurin luh!

“Ya…” jawab dia terputus.

Yes! Sekarang kau mungkin akan minta maaf dan mengiba-iba di bawah kakiku. 
Sambil mengakui kesalahanmu. Hahaha, betul kataku ‘kan? Yang tertawa terakhir 
dia lah sang pemenang, buktinya sekarang kau…

“Ya, aku hanya ingin duduk di kafe ini, sambil memesan coklat panas,” kata 
Elisa menyambung.

Sial! Masih sombong juga kau. Kau pikir kau siapa? Kau ini adalah orang yang 
kalah, maka berlaku lah layaknya orang yang kalah. Tak usah lagi meninggi di 
hadapanku dengan alasan segelas coklat panas.

“Mungkin dengan coklat panas, aku akan kembali bergairah dalam mengisi hariku.” 
jawab dia lagi-lagi tanpa beban, sambil mengeluarkan bungkus rokoknya dari 
dalam tas.

Masih saja dengan lagumu! Mahluk angkuh. Yang tak pernah kupahami jalan 
pikirannya.

“Dan kamu, sedang apa duduk sendiri termenung sambil mesem-mesem memperhatikan 
handphone? Senang dengan sms ku ya?” tanya Elisa meledekku.

Sontak aku kaget. Dan mencibir ke arahnya. “Tidak lah, aku cuma mau menikmati 
hujan dari sini.” kataku. Dia tersenyum sambil mengepulkan asap rokoknya ke 
arahku.

“Kamu masih seperti yang dulu yah Jan?” kata dia sambil memperhatikanku 
dalam-dalam.

Sial, kenapa aku jadi begini kikuk di depan perempuan yang telah menyakiti 
perasaanku? Mengapa jantungku jadi berdegup kencang ketika dia mulai 
menunjukkan perhatiannya padaku? Dan apa pula ini? Kenapa keringat pelan-pelan 
muncul dari pori-pori kulitku.

“Kau juga. Kau semakin cantik,” kataku kelepasan. Oh my God, aku baru saja 
memuji dia. Aku terjebak sekarang. Elisa tersipu mabuk pujian.

Hujan di luar mulai mereda. Hari pun ikut senja. Lampu-lampu jalan mulai 
menyala. Dari depan kafe langgam sudah berganti, kali ini Selendang Sutra.

No, no. no, tidak. Ini tidak benar. Aku harus pergi sekarang. Dari pada 
nantinya aku terjebak lagi dalam situasi yang sulit. Cukup. It’s enaugh!

“Stop it! Please don’t back again,” kataku sambil bangkit dari duduk. Dengan 
penuh keheranan, Elisa menahanku. Pengunjung lain memperhatikan kami.
“Wait a minuet,” kata Elisa sambil buru-buru menggamit lenganku.
“Ada yang salah?” tanya dia.

Aku tak menoleh lagi. Sakit benar hati ini bila mengingat semuanya. Maka ku 
hempaskan tangannya dari tanganku, lantas berlalu buru-buru.

“Jan, tunggu!” kata Elisa sambil mematikan rokoknya.

Sudahlah, kau tak perlu lagi panggil namaku. Aku mau pergi, meninggalkanmu dan 
semua kenangan tentangmu.

“Jan, hatimu,” teriak Elisa sambil menyongsongku.

Di depan pintu, aku berhenti menatapnya dan menunggu perintah dari otakku.

“Hei, sebentar, jangan buru-buru begitu dong,” kata dia sambil menarik nafas 
dalam-dalam. Aku mematung saja, menunggu dia mendekat. Sementara di luar kafe, 
hujan sudah tak turun lagi.

“Aku mau mengembalikan ini,” kata Elisa. Aku menunggu dia.
“setelah dari tadi aku mengawasimu, aku pikir-pikir yang membuatku tidak 
bersemangat dalam hidupku akhir-akhir ini…”

“Halah, sudahlah, aku tak bisa lagi,” kataku.
“Benarkah?”
“Benar lah,”
“Are you sure?”
“of course, I’m sure” jawabku enteng. Elisa terdiam, perempuan yang pernah 
kupuja itu terlihat berpikir.

“But I didn’t,” kata dia sepintas. Aku menahan senyum kemenangan.

“Aku tak yakin, akan bisa hidup tenang bila masih membawa serta hatimu. “ 
katanya. Aku tak mengerti maksudnya.
“Maka sekarang, aku akan mengembalikan hatimu,” kata Elisa dengan senyum paling 
manis, yang tak pernah diperlihatkannya kepadaku. Oh senyum itu.

“Belakangan ini aku teringat kamu Jan,” kata dia.
“rasa-rasanya ada yang kurang dari prosesi perpisahan kita empaat tahun silam,” 
kata dia.
Aku termangu, mengingat-ingat sesuatu. Bagiku, semuanya belum jelas betul.
“Tapi aku sudah mengembalikan hatimu,” kataku dengan sinis.
“Nah itu dia Jan masalahnya, kau memeang mengembalikan hatiku, tapi kau lupa 
meminta hatimu kembali.” sambar Elis. Aku berpikir, sambil merekonstruksi 
kejadian empat tahun silam. Dan, agaknya dia benar, aku memang lupa sesuatu.

“Sekarang aku kembalikan hati kamu,” sambung Elisa. Aku terperangah. Bagaimana 
mungkin barang orang yang telah lama kau simpan, sekarang mau kau kembalikan?

“Ah, tidak perlu lah, aku sudah tak memerlukan lagi,” timpalku.

“Tapi Jan, tidak bisa,” kata Elisa. Sekarang dia tengah merogoh ke dalam 
blasernya, mencari-cari sesuatu.
“Elis, cukup. Aku tak mau lagi menerimanya. Kalau kau tak sudi, kau tinggal 
buang. Di kali Ciliwung misalnya, atau kau boleh beri sebagai umpan ikan 
louhanmu,” kataku.

“Jan, tidak bisa. Aku harus mengembalikan hatimu. Biar aku bisa tenang,” kata 
dia mengiba. Aku beranjak ke teras. Tapi Elisa tetap mengejarku, seperti 
pengemis di lampu merah.

Ku acungkan jempol ke arah taksi yang melintas di depanku. Elisa berhenti. 
Lagi-lagi dengan senyumnya yang paling palsu, dia mencoba merayuku. “Benar kamu 
tak sudi menerima hatimu?”

Aku mengangguk. Taksi berhenti di hadapanku.
“Kalau suatu saat nanti kamu memerlukannya, kamu tahu harus mencarinya dimana,” 
kata Elisa sambil tersenyum. Perempuan itu melambai. Entah untuk apa.

“Palmerah,” kataku kepada supir taksi. Argo berjalan. Aku tak lagi mendengar 
suara sisa hujan yang satu-satu menetes.

Hari ini, aku kembali gagal. Entahlah. Entah bagaimana hidup nanti ke depan. 
Hampir mustahil menyerahkannya begitu saja kepada waktu. Tak tahu lagi aku 
bagaimana bila hatiku yang cuma satu-satunya itu, kuserahkan pada orang yang 
tak memerlukan.

Palmerah, 25 April 07

([EMAIL PROTECTED], www.hujanderas.wordpress.com)
       

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke