Malam ini semilir sepoi-sepoi angin menerpa wajahku. Aku berdiri di sebuah
halte bis, memandangi setiap orang yang hilir mudik dihadapanku. Dingin
memang angin malam ini, tetapi aku tidak peduli karena aku akan bertemu
dengan seseorang yang selama ini memang ingin aku temui. Aku melihatnya
disebuah surat kabar. Dia seorang penulis namanya Nania Yustisiana. Fotonya
terpampang disebuah majalah ibu kota yang iseng aku beli ketika aku sedang
makan siang di sebuah fast food. Saat itu aku langsung terpana dengan sebuah
foto, diatasnya adalah sebuah hasil karyanya sebuah cerpen yang menceritakan
tentang sebuah kisah percintaan lewat dunia maya. Aku tertarik untuk membaca
ceritanya, karena foto itu. Entahlah,..ada apa dengan aku ini, belum pernah
kurasakan sebelumnya, yang pasti foto itu terlihat sangat menarik bagiku.
Dibagian akhir tulisannya ada alamat emailnya. Iseng saja pikiranku saat
itu, aku ingin mengenalnya dan hal pertama yang aku lakukan setelah kembali
ke kantor adalah mengirimkan email sederhana kepadanya

*Selamat siang mbak,..
Saya baru saja membaca tulisan anda di majalah friend,..
Tulisan mbak bagus,..
Terus berkarya mbak,..
Salam kenal*

Aku tidak berharap dia membalas emailku, tetapi ternyata di luar dugaanku, 5
menit kemudian sebuah email masuk

*Terima kasih telah membaca tulisan saya,..
Salam kenal kembali*

Itulah awal mula aku mengenalnya. Kami mulai berbalas email, chating bahkan
aku mulai berani menelponnya. Dia wanita yang sangat mandiri, tegas, smart,
lucu dan enak diajak ngobrol, sangat sempurna bagiku sehingga ketika dia
berkata dia akan pergi ke kotaku aku berniat untuk menemuinya. Dia akan
berada di kotaku selama 3 hari, dia akan menghadiri suatu pertemuan penulis
di sebuah mall terkenal di kotaku. Dan inilah hari itu..

Aku masih saja berdiri disini. Aku melongok ke atas sambil mencari sesuatu
yang aku juga tidak tahu, indah sekali malam ini, bulan bersinar dengan
sempurna. Sesempurna pertemuanku dengannya nanti. Aku mendesah panjang,
kutenangkan hatiku yang resah, kupejamkan mataku sebentar. Detak jantung ini
mulai tak beraturan, sungguh benar-benar meresahkan. Segala pikiran
berkecamuk diotakku hilir mudik tidak teratur yang membuat perasaanku
menjadi tak tenang. Aku bahkan tidak berani membayangkan seperti apa
pertemuan kami nanti. Ku longok jam ditanganku, ¾ jam lagi waktu pertemuan
itu tiba. Fuh,.. Ya Allah tenangkanlah hatiku. Kuayuhkan tanganku untuk
mencegat taksi yang melintas dihadapanku. "Plaza Semanggi, Pak" kataku
kepada sopir itu. Diapun mengangguk, mulai menjalankan argo taksinya dan
melaju sedang. Ku lihat dari balik jendela taksi kulihat gedung-gedung
diluar bertaburan lampu. "Masih ada juga yang bekerja" pikirku. Taksi
perlahan-lahan berhenti, macet, yah..begitulah kira-kira. Detak jantungku
semakin tak beraturan bukan karena kemacetan itu tetapi karena 10 menit lagi
aku akan sampai ditempat itu. Aku mulai resah, tanganku dingin sekali,
perutku jadi terasa sakit. Benar-benar menyiksaku sekali. Kulihat gedung
plaza itu mulai tampak didepan mataku. Aku tidak bisa berpikir jernih. "Ya
Allah, tenangkanlah hatiku" doaku. Semakin mendekat dan mendekat. Akhirnya
sopir taksi itu menghentikan laju mobilnya. "Sudah sampai, Pak" katanya. Aku
kaget, aku sedang sibuk menenangkan diri sehingga tanpa kusadari taksi sudah
berhenti. Aku berikan selembar uang 50 ribuan kepada pengemudi taksi itu.
Aku langsung keluar dari taksi itu. "Pak, kembaliannya" kata sopir taksi
itu. "Udah ambil saja, Pak" kataku. Aku memasuki plaza itu, kuraih Hp-ku dan
mulai menghubunginya. "Halo" sapa dari seberang. "Halo, aku dah nyampe, kamu
dimana?" kataku. "Sebentar lagi aku nyampe, tunggu sebentar" katanya. "Ok,
aku tunggu didepan Bank Swastika ya" kataku. "Ok" jawabnya. Aku memutuskan
untuk jalan-jalan dulu sambil menenangkan hatiku.

Kulihat sekali lagi jam ditanganku, sudah 10 menit aku menunggunya. Pasti
dia sudah datang, aku harus ke tempat kita janjian, didepan Bank Swastika.
Saat aku sedang berjalan menuju kesana, aku melihatnya sedang menuju
kearahku. "Nani" aku memanggilnya. Diapun menoleh kearahku. Tampak padaku
senyumnya, kuulurkan tanganku. "Sani" ucapku. "Oh,..ini ya mas Sani"
katanya. Aku tersenyum. "Ayo kita cari tempat buat ngobrol" ucapku. Aku
berusaha setenang mungkin. Kamipun menemukan tempat yang cocok untuk
berbicara. Ditempat paling tinggi gedung itu, di tempat yang paling romantis
disini. Ada alunan musik yang mengiringi percakapan kami. Ada lilin yang
menerangi meja kami. Ada angin berhembus semilir. Ada bulan yang memancarkan
pesonanya. Hatiku bergetar hebat, tak pernah berani kupandang wajahnya.
Bukan tak ingin, sungguh aku ingin sekali memandangnya, tapi aku yakin bila
itu ku lakukan, aku akan terlihat seperti orang bodoh yang kehilangan
kendali. Dan aku tak ingin bertingkah seperti itu dihadapannya. Aku tau yang
aku lakukan akan membuatnya merasa tidak diperhatikan. Tetapi itulah yang
bisa aku lakukan.

Jam semakin larut, sudah pukul 10 malam. "Ayo kita pulang, Mas, sudah malam"
katanya. "Aku masih ingin disini" kataku. "Kapan-kapan kita bertemu lagi
saja" katanya. Akupun menurutinya. Kami menuruni gedung itu. "Kayaknya besuk
kamu ulang tahun ya Mas" katanya. "Iya" jawabku. Dia diam dan kamipun
menaiki lift tanpa berbicara. "Aku antar kamu pulang" kataku. "Iya, Mas"
jawabnya. Aku melambaikan tanganku pada taksi yang melintas didepanku.
"Monas, Pak" kataku. Dia terkejut dan memandangiku. "Kenapa kita ke monas,
Mas?" katanya. "Aku masih pengen ngobrol sama kamu, lagian besok kan libur"
katanya. "Nggak ah, pulang aja" katanya. "Kenapa sih? Besuk aku ultah lho"
kataku. "Emangnya kenapa? Aku kamu suruh jadi seseorang yang mengucapkan
pertama kali selamat gitu" candanya. "Hehehe,..iya" kataku sekenanya. Aku
terdiam sambil memandang keluar jendela. "Hmm" aku menghela napas yang
ternyata tertangkap olehnya. "Napa, Mas?" katanya. "Eh,..ga papa" kataku.
Pikiranku masih sama, masih kacau balau tak beraturan. "Tuh monasnya dah
keliatan" katanya. Aku menoleh kearahnya. Lalu mataku tertuju pada wajahnya.
Cantik sekali diterangi lampu jalanan yang sedang kami lewati, diantara
remang-remang cahaya, dia terlihat sama mempesonanya. Dia menoleh kearahku.
Aku pura-pura melihat luar jendela. Kamipun telah memasuki areal monas.
Memang disini selalu ramai disaat weekend seperti ini, ada yang main futsal,
ada hanya jalan-jalan, ada yang sedang duduk-duduk, ada yang sedang
lari-lari. Kamipun memilih untuk duduk disebuah bangku yang kosong. Kami
mulai bercerita tentang diri kami, apa yang kami lakukan, serta beberapa
kesukaan kami. Sambil sesekali kumeliriknya karena sampai saat inipun aku
belum berani memandangi wajahnya. Aneh,..aku memang aneh, untuk
memandanginya saja aku tidak mampu.

Jam menunjukkan pukul 23.55, saat kulihat dia menarik tangannya untuk
melihat jam. "Kurang 5 menit lagi, Mas" katanya. "He em" sahutku. Udara
malam ini mulai dingin sekali, menusuk-nusuk tulang. Kulihat dia agak
kedinginan. Dia tutup resleting jaketnya. "Dingin ya" kataku. "Iya"
jawabnya. "Sayangnya hari ini aku tidak membawa jaket, kalo bawa pasti kamu
nggak sedingin ini" kataku. "Ah,..nggak papa, jaketku juga sudah hangat kok"
katanya. "Selamat ulang tahun, Mas" katanya. Aku tersentak kaget. "Eh udah
jam 12 ya, makasih ya, Nan" kataku. "Asyik,..Aku jadi orang yang pertama"
katanya girang. Aku mengangguk. "Udah pulang yuk, Mas" katanya. "Aku ngantuk
banget" lanjutnya. Aku menoleh kearahnya. Wajahnya sudah kepayahan menahan
kantuk. Aku sebenarnya nggak tega melihat wajahnya, tetapi aku benar-benar
ingin mengatakan sesuatu padanya malam ini. Sesuatu yang mungkin tidak
pernah terpikirkan olehnya sebelumnya. "Nan, aku mau ngomong sesuatu"
kataku. "Emangnya dari tadi kita nggak ngomong ya" candanya. "Ini serius,
Nan" kataku. "Iya deh,..ngomong aja" katanya. Aku bingung harus mulai dari
mana untuk mengawali pembicaraan penting ini. Sebenarnya akupun juga tidak
berani mengatakannya. Tapi ini harus aku lakukan karena aku tidak ingin
selalu tersiksa seperti ini. Inilah kesempatanku, kalau tidak sekarang kapan
lagi. "Nan, jawab yang jujur ya" kataku membuka pembicaraan. "Iya" katanya.
"Nan, mau nggak kamu jadi kado terindahku hari ini? Mau nggak kamu jadi
istriku?" kataku. Entahlah tiba-tiba saja aku mengucapkan kata itu dan
mempunyai keberanian untuk mengucapkannya. Seperti dugaanku Nani sangat
terkejut, wajahnya terlihat memandangiku dengan aneh. Dia terdiam, lama
sekali dia terdiam. "Nan, kamu marah ya?" kataku. Dia masih terdiam. "Nan,
ngomong dong" kataku. Dia menoleh kearahku. "Mas, aku kira selama ini kamu
menganggap aku sebagai adik, aku benar-benar terkejut kamu berkata seperti
itu" katanya. Tubuhku lemas seketika mendengar apa yang dia katakan. Aku tau
dia akan mengatakan seperti itu, karena selama ini aku memang tidak pernah
menunjukkan padanya mengenai rasaku ini. Aku tertunduk dan berpikir.
Tiba-tiba ada keberanian dalam diriku untuk mencoba meyakinkannya tentang
rasaku ini. Ya,..Aku harus menyakinkannya. "Nan, kamu percaya takdir nggak?"
kataku. "Percaya" katanya. "Maukah kamu menjalani dulu takdir kita ini"
kataku. "Kita coba jalani dulu, Nan" kataku. "Aku tau, Nan, Kamu juga sayang
sama aku" kataku. Terbesit keraguan di wajah Nani. Aku menatapnya, kulihat
matanya, sembari mengatakan "Nan, jika takdir sudah dilukiskan maka kita
tidak bisa menolak, apakah takdir itu kita berjodoh atau kita tidak
berjodoh, tetapi takdir kita hari ini adalah kita dipertemukan dan aku
diberi kesempatan untuk meminta hatimu. Apakah nanti kamu menerimaku atau
tidak itupun takdir untukku. Nan, hidup ini sudah ada yang mengatur. Kita
telah terpilih secara acak untuk berkenalan, bertemu dan mungkin berjodoh,
Nan. Jalanilah semua ini dulu, Nan. Karena aku percaya pasti ada alasan
kenapa kita sampai dipertemukan dan kenapa hari ini harus terjadi. Aku tau,
Nan, kamu, aku dan kita punya rasa sayang yang sama. Sekali lagi Nan, maukah
kau menjalani takdir ini bersamaku?" kataku. Dia memandangiku, tersenyum dan
mengangguk walaupun aku tau ada galau dihatinya yang meragukan pernyataan
dan perkataanku.

Hari ini memang indah bukan karena hari ini ulang tahunku tetapi aku
mendapat kado terindah yaitu Nania Yustisiana. Terima kasih Ya Allah,..

 *Hello, is it me you looking for?
I can see it in your eyes, I can see it in your smile
You're all I've ever wanted and my arms are open wide
Cause you know just what to say and you know just what to do
And I want to tell you so much, I LOVE U,..
(Hello, Lionel Richie)*

 "Sekedar imajinasi penulis"

-- 
Regards,
Hapsari Wirastuti Susetianingtyas

ViSiT My BLoG www.napasbidadari.multiply.com


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke