Pemimpin : Pilar Budaya Masyarakat Bermartabat


sumber, http://mubarok-institute.blogspot.com

Saya pernah mengantar seorang guru spiritual dari Siprus,yaitu Syeh
Nazim `Adil al Qubrusy menemui Presiden Abdurrahman Wahid pada
bulan-bulan terakhir masa kepresidenannya. Banyak sekali joke yang
disampaikan oleh Gus Dur, panggilan akrab Presiden- di depan tokoh
spiritual itu. Sesekali Syekh Nazim memang terkekeh mendengar joke
itu, tetapi nampak sekali sorot mata keprihatinan beliau dalam
bercanda dengan Presiden Gus Dur itu. <span class="fullpost">

Ketika keluar dari istana, rombongan kami berpapasan dengan  demo
mahasiswa dalam jumlah yang cukup besar. Dalam demo itu mahasiswa
menyanyikan lagu-lagu yang liriknya menuntut Gus Dur munduuuur  untuk
cukup menjadi gubernuuuur di Jawa Timuuuur. Yaahh mahasiswa melagukan
kalimat itu dengan penuh cemooh. Seperti kita ketahui Jawa Timur
memang basis dukungan fanatic kepada Presiden Gus Dur hingga Gus
Fawaaid dari Pesantren Asembagus Situbondo ke Jakarta memimpin sendiri
demo dukungan untuk Presiden Gus Dur. Syekh Nazim bertanya apa arti
lagu-lagu yang diteriakkan oleh demontran mahasiswa.  Tapi yang sangat
beliau perhatikan adalah ketika demonstran mengerek patung kertas
Presiden Gus Dur dan kemudian membakarnya.  Secara spontan Syekh Nazim
berkata dalam bahasa Inggris yang sangat fasih. Bangsa yang menurunkan
pemimpinnya secara tidak terhormat dijamin pemimpin yang
menggantikannya tidak akan lebih baik dibanding pemimpin yang diganti.
Ketika itu kami mendengarkan tetapi sekedar mendengar tanpa sempat
merenungkan kedalaman maknanya.. 

Belakangan ketika carut marut negeri tak kunjung berakhir barulah
kata-kata guru spiritrual itu seperti terngiang-ngiang di telinga.
Benar juga, kita semua sudah tahu kualitas pengganti Presiden Gus Dur.
Bukan hanya itu, yang sangat memprihatinkan adalah pelecehan kepada
pemimpin di semua tingkatan terus berlangsung hingga hari ini,bukan
hanya dilakukan oleh demonstran mahasiswa, tetapi juga oleh
orang-orang yang sesungguhnya sudah masuk dalam deretan pemimpin
nasional. Mereka tidak sadar bahwa seorang pemimpin  politik yang
melecehkan pemimpin negara, pada gilirannya nanti sang pemimpin
politik menjadi pemimpin negara juga akan dilecehkan oleh lawan-lawan
politiknya. Mahasiswa yang suka melecehkan pemimpin pun nanti ketika
menjadi ketua BEM akan dilecehkan oleh sesama mahasiswa.

Melakukan pelecehan kepada pemimpin negara yang sedang menjabat,
bukanlah perbuatan orang terhormat apalagi jika pemimpin negara itu
produk dari sistem konstitusi yang sah, Kehormatan seorang pemimpin
melekat pada dirinya, baik ketika ia sedang menjabat (karena
terpilih),maupun ketika menjadi oposisi (karena tidak terpilih).
Memang tidak semua pemimpin yang kita hormati adalah orang terhormat.
 Sebaliknya seorang pemimpin yang terhormat, ia tetap terhormat
meskipun tidak dihormati.

Jika kita tengok sejarah pemimpin puncak negeri kita,  hati menjadi
masygul ketika melihat nasib semua Presiden kita setelah tidak
menjabat. Ketika bencana tsunami melanda Aceh, Amerika yang sering
dituduh sebagai masyarakat sekuler mengirim dua mantan
Presidennya,Clinton dan Carter ke Aceh sebagai wakil resmi dari negara
dan bangsa Amerika. Sungguh satu apresiasi yang sangat bermartabat
dari bangsa Amerika kepada pemimpinnya, meski sudah tidak menjabat. 
Bangsa Indonesia yang sering disebut sebagai bangsa yang beragama
ternyata tidak bisa mengapresiasi pempimpin bangsanya secara
bermartabat.  

Lihat saja,Bung Karno diturunkan secara emosional oleh MPR, Pak Harto
yang ketika naik dielu-elukan   juga disikapi secara emosional oleh
MPR yang mengangkatnya, hingga jatuh. Baik Bung Karno maupun
Suharto,keduanya setelah tidak menjabat sebagai presiden tidak lagi
menerima penghormatan. Mereka berdua "dikurung" secara politik dan
sosial hingga akhir hayatnya. Pak Habibi pun diturunkan secara
emosional oleh MPR, dan setelah tidak menjabat,beliau membutuhkan
beberapa tahun untuk  "bersembunyi" di Jerman. Hanya Presiden Gus Dur
yang meski juga diturunkan secara emosional oleh MPR yang
mengankatnya, ia tetap tidak berubah,baik ketika menjadi Presiden
maupun setelah menjadi mantan, karena beliau selalu mensikapi dengan
kalimat cuek; Gitu aja kok repot.

Ketika SBY terpilih menjadi presiden ke VI menggantikan bu Megawati,
nampak sekali SBY ingin mengakhiri kebiasaan tidak menghormati mantan
Presiden. Beliau menunggu ucapan selamat dari Bu Mega agar bangsa ini
tercerahkan oleh sikap legowo pemimpin yang kalah dalam pemilihan,
tapi Bu Mega tidak hadir, bahkan hingga hari ini beliau tak pernah
berkenan menghadiri upacara 17 Agustus di istana. Pak Hamzah Haz,
mantan wakil presidennya Bu Mega yang diingatkan oleh wartawan untuk
mengucapkan selamat kepada Presiden terpilihpun lebih memilih
solidaritas kepada bu Mega daripada memulai dengan sikap elegan. Pak
Hamzah Haz malah menjawab, kan tidak ada aturannya yang kalah harus
mengucapkan selamat kepada yang menang. 

Ketika  TV setiap hari  menayangkan berita pelecehan kepada
pemimpin,baik di daerah maupun di pusat,bahkan mahasiswa yang dalam
demonya selalu mengusung issue kepentingan rakyat kecil juga melakukan
tindak anarkis dan melecehkan pemimpin termasuk membakar foto Presiden
dan Wakil Presiden (SBY-JK) pilihan rakyat langsung dan  masih
menjabat. Bagaimana jadinya nanti setelah tidak menjabat ? 
Keprihatinan ini kembali mengingatkan saya kepada Syekh Nazim, guru
spiritual dari Siprus. 

Malam hari setelah kunjungan ke Presiden Abdurrahman Wahid, ketika
beliau beristtirahat setelah mengikuti zikir khataman Khawajagan
jamaah Tarikat Naqsyabandi Haqqani di Jl. Brawijaya, di depan
kami-kami yang duduk disekelilingnya,beliau berkata; Pilar budaya
masyarakat bermartabat itu ada tiga, menghormati orang tua,
menghormati guru dan menghormati pemimpin. Jika yang satu dilecehkan,
maka ketiganya akan terlecehkan. Ternyata kata-kata Syeh Nazim benar.
Kini ketika semua pemimpin dilecehkan, gurupun sudah tidak bisa
dipercaya untuk mengawasi Ujian Nasional murid-muridnya sehingga harus
dikawal polisi. Betapa sedihnya kita semua, ketika nanti tiba giliran
orang tuapun sudah tidak didengar nasehatnya oleh anak-anaknya,
apalagi oleh cucunya. 

Sungguh sangat menarik apa yang sedang berlangsung sekarang di
Amerika, Hillary Clinton dan Barack Obama bersaing dengan amat sangat
sengit, terkadang tak terhindar keluarnya kata-kata yang saling
merendahkan. Tetapi begitu sampai finish bahwa Barack Obamalah yang
menang sebagai kandidat,langsung Hillary berteriak mendukung Obama,
menyatu untuk tujuan bersama yang lebih besar. Nah.... pemimpin2
kita....?, selama lima tahun masa kepresidenan , yang kalah tak pernah
memberi dukungan kepada presiden terpilih demi untuk tujuan yang lebih
besar yaitu tujuan nasional. Sepanjang lima tahun para pemimpin yang
kalah tetap konsisten melecehkan yang menang, seperti persaingan
abadi, dan tak mengingat tujuan bersama hidup berbangsa dan bernegara.
  Sungguh.... perlu segera ada gagasan terobosan untuk mengembalikan
martabat bangsa ini dengan menempatkan orang tua, guru dan pemimpin
pada tempat yang dijamin terhormat dan dihormati dalam sistem hidup
berbangsa dan bernegara. 

sumber, http://mubarok-institute.blogspot.com



Salam Cinta,
agussyafii

Sekiranya berkenan mohon kirimkan komentar anda melalui
[EMAIL PROTECTED] atau http://mubarok-institute.blogspot.com



Kirim email ke