Solidaritas Sosial Kita Dipertanyakan

sumber, http://mubarok-institute.blogspot.com


Kontroversi nampaknya terjadi dimana-mana. Di dunia, citra Indonesia 
sangat kurang begitu baik. Korupsi, anarki, pelanggaran HAM, 
kemiskinan, salah urus, fundamentalisme, terorisme dan banyak lagi 
stempel buruk, banyak dialamatkan kepada bangsa Indonesia. Benarkah 
semua berita itu? atau hanya rekayasa media Barat yang memang 
mempunyai agenda tersendiri ?

Terlepas dari benar tidaknya citra itu, memang banyak dijumpai 
kontroversi pada masyarakat kita. Disebutkan bahwa Indonesia sedang 
dalam keadaan krisis hebat, dan sudah berada di ambang kebang¬krutan, 
tetapi jemaah haji Indonesia ternyata mencapai angka duaratus ribu, 
atau terbesar di dunia, dan banyak diantara mereka yang pergi haji 
untuk yang kedua, ketiga, ke empat dan seterusnya... Meningkatnya 
jumlah jemaah haji semestinya merupakan indikator peningkatan ekonomi 
rakyat, karena hanya yang memiliki istitha`ahlah yang bisa pergi 
haji. Di Makah dan Madinah, kesan Indonesia sedang berada dalam 
krisis berat justeru tidak nampak, karena jemaah haji Indonesia 
termasuk pembelanja berat. Para pedagang di dua kota suci itu sangat 
senang kepada jemaah haji Indonesia karena kegemaran belanjanya itu.

Kontroversi juga nampak di dalam negeri. Di Jakarta dan kota-kota 
besar lainnya, mobil mewah yang berharga diatas satu milyard rupiah 
berseliweran. Mobil built up yang berharga di atas duaratus juta 
tidak lagi dianggap mewah. Restoran mewah di pusat hiburan dengan 
menu diatas Rp. 400.000,-/per porsi (setara dengan 80 bungkus nasi 
padang) juga dipenuhi dengan pengunjung. Pada hari libur, hotel dan 
villa di Puncak misalnya, juga penuh terisi, bukan oleh turis asing, 
tetapi oleh turis domestik. Pesta pernikahan di kota besar lebih lagi 
tidak mencerminkan krisis ekonomi. Makanan lezat, pakaian mewah dan 
jumlah tamu undangan yang mencapai ribuan mengindikasikan kemakmuran.

Di sisi lain, angka pengangguran sangat tinggi, pengemis, pengamen, 
pedagang asongan kecil,pak ogah dan "polisi" cepe "menghiasi" 
pemandangan di setiap keramaian. Gagal panen dan gagal memasarkan 
produksi pertanian juga sudah tidak lagi menjadi berita, tetapi 
kenaikan harga-harga, termasuk harga BBM, tarip listrik dan telpon 
secara sistematis terus berlanjut, menyebabkan menurunnya secara 
drastis daya beli masyarakat. 

Penurunan daya beli masyarakat luas ini membawa imbas pada 
terhambatnya pendidikan generasi muda karena ketidakmampuan orang tua 
membayar biaya pendidikan yang bermutu. Keadaan ini diperparah dengan 
bencana alam yang datang secara beruntun, tanah longsor dan banjir, 
ditambah problem daerah konflik Aceh, Ambon, Kalimantan, Maluku Utara 
dan Poso yang belum selesai kemudian menempatkan banyak masyarakat 
dalam posisi economic need. Boro-boro mikir masa depan anak, makan 
hari ini dan tempat berteduhpun masih menjadi problem.

Hujan dan banjir meluas dan berkepanjangan sedikit banyak menumbuhkan 
gerakan solidaritas sosial dari pelbagai pihak. Tetapi lagi-lagi, 
aksi solidaritas sosial kita belum menyentuh pemecahan masalah. Pasca 
musibah, problem masyarakat kecil sangat mendasar, baik menyangkut 
dasar-dasar ekonomi mereka maupun pendidikan bagi anak-anak dan 
generasi mudanya, sementara nilai aksi solidaritas sosial masyarakat 
yang hanya bersifat konsumtif tak ubahnya sekedar terapi Reumason, 
sebentar memberi rasa kehangatan, tetapi sebenarnya belum menyentuh 
permasalahan. Proposionalkah orang menjalankan ibadah haji ke tiga, 
ke empat, ke lima dan seterusnya? Sementara di tanah air, ratusan 
ribu saudara-saudaranya membutuhkan bantuan strategis. 

Proposional kah orang makan di restoran yang sekali makan saja 
biayanya setara dengan kebutuhan 80 perut orang miskin, dan ketika 
bencana terjadi ia hanya sekedar mengirimkan sekian truk Indomie ke 
daerah bencana? Proposionalkah orang yang menikmati "keberkahan" 
negeri ini secara melimpah ruah, tetapi ia tak berfikir nasib masa 
depan orang lain yang jauh berada di bawah garis kemiskinan ? 
Tidakkah sudah waktunya memikirkan bagaimana sistem sosial kita agar 
kesenjangan sosial tidak terlalu lebar ? Moralitas al Qur'an 
berbunyi; bahwa di dalam harta si kaya terdapat hak bagi orang yang 
meminta dan yang tidak sempat meminta, wafi amwalihim haqqun lissa 
ili wal mahrum (Q/51:19), bahwa orang miskin memiliki saham pada 
harta si kaya. Menjadi tugas para negarawan yang juga khalifah Allah 
untuk mengetrapkan nilai moralitas ini dalam sistem sosial.

Dari segi agama, adalah juga sangat ironis, seseorang berderma dengan 
uang sisa dan pakaian bekas, tetapi ia berdoa untuk dimasukkan ke 
sorga. Ia membayar dengan sesuatu yang tak bernilai, tetapi mohon 
kepada Alloh SWT sesuatu yang tak ternilai. 

Siapakah kita sebenarnya? 




sumber, http://mubarok-institute.blogspot.com

Salam Cinta,
agussyafii

Sekiranya berkenan mohon kirimkan komentar anda melalui
[EMAIL PROTECTED] atau http://mubarok-institute.blogspot.com



Kirim email ke