Hati yang Selesai, Hidung Pesek dan Marijuana Politik

Oleh: Emha Ainun Nadjib



Ada seorang tamatan SMA yang menjadi tukang becak namun hatinya tidak pernah
ikhlas dengan pekerjaannya, sehingga satu kali kakinya menggenjot pedal
becak, satu kalimat gerutuan nongol dari bibirnya. Setiap berpapasan dengan
orang lain, ia merasa di ejek. Kalau ada orang tak sengaja menatapnya, ia
langsung bereaksi dengan memelototkan matanya. Ia merasa setiap orang yang
naik mobil dan motor, atau bahkan setiap penumpangnya, adalah
bangsat-bangsat yang memperhinakan hidupnya, yang bisa beli motor dan mobil
dan punya ongkos naik becak karena korupsi, mencopet, atau perbuatan tidak
bermoral lainnya.


Hatinya dirundung penyakit. Hatinya tak pernah selesai.


Ia menyangka bahwa menjadi tukang becak adalah suatu kehinaan hidup. Ia
beranggapan bahwa menjadi presiden, menjadi orang kaya, menjadi orang
terpandang, menjadi direktur perusahaan, itulah hidup yang mulia. Itulah
kamukten.Adapun kuli, pemulung, satpam, pengasak, tukang becak - adalah
secelakanya-celakanya orang hidup.


Tentu karena ia adalah produk dari suatu masyarakat feodal yang memelihara
kebodohan nilai berabad-abad. Ia adalah anak dari jaman dungu yang tidak
pernah menggali akal dan rasionalitas, sehingga tidak pernah mengerti bahwa
menjadi hidup yang mulia adalah hidup yang benar dan baik. Bahwa menjadi
sales yang profesional dan santun dan jujur lebih mulia dibanding menjadi
direktur yang curang dan korup. Bahwa menjadi tukang yang setia, tekun dan
amanah, lebih tinggi derajatnya dibanding menjadi presiden yang culas,
licik, tak tahu malu dan egois.


Maka hatinya penuh kerewelan yang mubazir. Hatinya tak kunjung selesai.


Maka energi pikiran dan hatinyapun dikuras tidak untuk menapak kedepan:
bagaimana mencari kemungkinan pekerjaan lain yang menurutnya lebih bergengsi
dan berpendapatan lebih tinggi. Bukan untuk melatih ketrampilan baru atau
rajin mencari peluang-peluang yang bisa mengembangkan hidupnya. Ia
menghabiskan daya hidupnya untuk mengutuk kenyataan hidupnya sendiri, dan ia
mandeg dalem kenyataan yang ia kutuk sendiri itu.


Yang paling celaka adalah bahwa dibalik kecamannya atas kemalingan orang
lain yang karena itu bisa membeli mobil dan motor, si penarik becak in
diam-diam mencita-citakan suatu peluang untuk juga bisa maling, sehingga
juga bisa beli motor. Atau sekurang-kurangnya dia bermimpi kapan ada
kesempatan ia bisa menyekat entah motor siapa dan membawanya lari.


Kalau setelah sekian tahun ternyata cita-cita rahasia itu tidak tercapai,
maka dialektika antara impian dengan grutuan akan membengkak seperti bola
salju. Pelan-pelan ia akan mengalami kekalahan dan keausan. Baik mentalnya
maupun mungkin juga fisiknya. Wajahnya tidak bercahaya. Cepat berkerut.



Dan satu kali ia menggerutu, maka sehelai rambutnya memutih.


Tukang becak itu bisa juga seorang politisi, seorang pengusaha, seorang
pejuang karier pribadi, bisa juga seorang seniman, penyanyi, pemain
sinetron, ustadz, ulama, atau kiai, atau siapa saja. Hidung pesek adalah
realitas dan kewajaran hidup mereka masing-masing. Sementara motor dan
mobilnya adalah kemenangan politik, kedekatan dengan konglomerat, keunggulan
jurus berbuat licik, pemilikan masa atau apa saja. Dan jika kumpulan
pemimpin negara dan masyarakat kita adalah orang-orang yang hatinya belum
selesai, maka sudah kita alami bersama- bencana demi bencana menimpa,
termasuk menimpa para pemilik hidung pesek kepemimpinan nasional kita.


Hatinya tak pernah selesai.



Sebagaimana ada juga seorang lain yang hidungnya kalah mancung dibanding
orang lain. Sampai tua hatinya tak pernah selesai. Hatinya dipenuhi hidung.
Hatinya buram oleh tema hidung dari pagi sampai pagi. Hatinya ruwet oleh
ukuran hidung. Banyak urusannya terganggu oleh hidung, bahkan diam-diam
banyak rejekinya yang tidak jadi bersentuhan dengannya karena ia sibuk
dengan harga diri yang menyangkut hidung.


Demikian juga ketika 'hidung-hidung' itu berupa pemilikan barang, obsesi
kedudukan, cita-cita yang tidak rasional, egoisme atas sesuatu hal, baik
dalam wilayah pergaulan kecil sehari-hari, maupun perpolitikan besar
nasional. Hidung itu bisa bernama konstitusi, demokrasi, pansus, x-gate,
saham diperusaan, akses modal, dan apa saja. Salah satu puncak dari
psikologisme itu adalah si pemilik hidung pesek berfatwa bahwa hidung yang
indah dan diterima oleh Allah bukanlah hidung mancung melainkan hidung
pesek. Dan akhirnya kalau ada pihak yang membantah fatwa, yang sudah
dicari-carikan ayatnya itu akan diserbu oleh pasukan hidung pesek.


Negara ini tidak pernah tentram karena hati para pemimpin dan warganya penuh
keruwetan dan tak kunjung selesai. Hatinya rakus tuntutan, haus ketidak
relaan. Hatinya shakauw : menagih, menagih, menagih. Kalau yang itu naik ke
kursi puncak, yang ini juga harus mendapatkan gilirannya. Nanti kalau yang
ini naik kepuncak Ia juga akan ditimpa ketidak relaan berikutnya: Yang lain
juga harus naik kepuncak.


Kita semua diborgol oleh irama tagihan-tagiham dari kedalaman diri kita
sendiri. Kita mengidap narkoba, sabu-sabu, uap lem, marijuana politik, dan
kekuasaan.


Kitab Ketentraman, Emha Ainun Nadjib


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke