Aku Dimangsa Mertua...


Adam dan Hawa memang manusia yang paling berbahagia di dunia. Sebab mereka
tak pernah punya mertua.



SEBELUM menikah, aku acap mendengar betapa susah hidup bersama mertua. Itu
salah, ini salah. Mertua dan menantu adalah dua pihak yang tak mungkin
menyatu. Cerita semacam itu bahkan sudah jadi konsumsi umum. Sebab itulah,
kakakku ketika menikah pun langsung segera memisahkan diri dari mertuanya.
Adikku, yang juga menikah duluan dariku, memilih mengontrak rumah kecil
hanya untuk dapat berpisah dari mertuanya.



Aku berencana tidak  begitu. Sebab, calon mertuaku sangat baik. Sebelum
menikah, aku sudah terbiasa bersama dia, berbelanja, masak, kadang berkebun
bersama. Kekasihku memang keluarga yang cukup berada, tapi posisi itu tak
membuat mertua menjaga jarak denganku. Apalagi Doni anak lelaki terakhir,
mereka sayangi lebih dari kakak-kakaknya, aku pun kecipratan rasa sayang
itu. Calon iparku acap menggoda dengan mengatakanku akan menjadi menantu
tersayang. Aku hanya tersipu, malu.



Aku pun menikah. Dan memang tak ada cerita mertua galak. Tinggal bersama
mertua, dan dua iparku di rumah besar mereka, semua berjalan lancar. Sebelum
ke kantor, aku akan membantu mertua masak. Atau kalau tidak masak, kami akan
membaca koran bersama sembari minum teh di teras, menyirami kebun, atau
bahkan berbincang tentang kehamilanku yang belum datang. Mertua seperti
orangtuaku saja, bebas berbicara, tak berjarak. Aku jadi percaya, kalau
mertua dan menantu bukan dua kutub magnet yang selalu bertolak belakang.



Aku pun hamil, dan melahirkan. Anakku lelaki, tampan. Mertua kian sayang,
tak pernah ada pertengkaran. Mertua lelaki yang amat sibuk di kantor, selalu
masih menyempatkan "mengganggu" anakku setiap pagi. Dia memang acap
memintaku berhenti kerja, tapi selalu kutampik. Memang mereka akan mampu
memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga kami, seperti juga beberapa iparku yang
tak bekerja, tapi aku merasa bekerja adalah harga diriku di depan mereka.



Setahun berlalu. Anakku mulai bisa berjalan, ketika kurasakan perubahan itu.
Dari tabunganku, juga sisa gaji suami yang kutabung, kami berencana membeli
rumah. Bukan apa-apa, tinggal bersama tiga keluarga lainnya, membuat hal-hal
yang pribadi hilang di rumah ini. Meski punya kulkas sendiri, makanan di
dalamnya jadi bisa disentuh siapa saja. Meski bisa masak sendiri, tapi
nyaris selama dua tahun, selera kami menjadi selera bersama. Kadang, waktu
yang ingin kami habiskan berdua di kamar harus hilang karena tak nyaman
kalau tak tampak di ruang keluarga. Nah, hal-hal kecil tapi penting itu,
membuat kami ingin punya rumah sendiri. Kami pun membicarakan ini dengan
mertua, tentu dengan alasan yang halus tak menyinggung mereka. Mertua lelaki
setuju. Mertua perempuan diam saja.



Rencana itu berubah jadi "bencana".



Setelah itu, aku mulai mendapatkan sikap yang berbeda dari mertua. Mertua
mulai nyinyir, "Kalau sendiri, apa Doni suka masakan kamu? Kamu kan tidak
bisa masak? Oh pasti mau disuguhi masakan pembantu, ya?" ketus mertua.



Aku semula hanya tertawa. Agak aneh mendengar mertua memanggilku "kamu",
padahal biasanya dia memanggil namaku langsung. Tapi itu belum seberapa.
Mertua bahkan dengan sinis mulai menghina, "Kalau ngontrak atau beli, paling
kamu hanya bisa dapat rumah tipe 45. Apa nyaman tinggal di rumah sekecil
itu? Doni itu dari lahir sampai kawin, pasti tak pernah membayangkan akan
tinggal di kandang bebek."



Aku menjelaskan, bahwa keinginan itu bukan datang dariku, tapi dari suami.
Mertuaku, ibu Doni, tak percaya. Maka kuminta Doni bicara. Hasilnya ribut
besar. Doni dikatakan tunduk di bawah kendaliku, mulai berani pada ibunya.
Lucunya, sikap bermusuhan juga mulai ditunjukkan ipar-iparku. Anakku tak
lagi mau mereka jaga kalau aku ke kantor. Mertua pun mulai menolak dan
mengatakan dia bukan pembantu yang bisa dititipkan anak sesukaku. Aku mulai
emosi. Anakku akhirnya dijaga pembantu. Keinginan pindah kupercepat.



Dua bulan sebelum pindah, karena rumah yang kami beli harus diubah dan
direnovasi sendiri, adalah penderitaan terberatku. Mertua mulai memberikan
tagihan listrik. "Dibayar berempat, jadi masing-masing dapat bagian
seperempat," katanya. Padahal aku tahu ipar-iparku tak ditagih semacam itu.
Aku mengalah dan membayar. Tapi apa jawaban mertua, "Ohh, kamu sudah mulai
mampu ya membayar?"



Aku hanya mengelus dada. Akhirnya tagihan air juga mereka mintakan. Pembantu
yang dipaksa meminta sampai gemeteran ketika menyampaikannya.



Aku seperti anak kos. Makan mulai aku beli dari luar, demikian juga minum.
Mencuci aku pakai pembantu sendiri. Semua kujalani. Untunglah suami
mendukungku terus. Dia tahu bahwa ibunya memang ingin selalu berada di
belakang kami. Tapi iya juga tahu bahwa hidup mandiri akan lebih berarti
bagi kami.

Ketika akan pindah, cobaan itu bertambah. Mertua mengatakan kepada suami dia
ingin ikut. Ikut ke rumah kecil kami yang dia hina. Ikut ke rumah kecil kami
yang dia katakan seperti kandang bebek. Dia memaksa, karena tak ingin pisah
dari cucunya. Padahal, telah dua bulan cucunya itu tak dia sentuh. Dia
berkata dapat mengajariku memasak, karena dia tahu aku tak mampu memasak.
Suamiku jadi bingung. Rasanya tak sopan kalau menolak keinginan ibunya. Tapi
aku bertahan mengatakan tidak. Aku bilang ingin mandiri. Aku berjanji, kalau
tak mampu hidup sendiri, akan kembali ke keluarga itu. Tentu, itu
basa-basiku saja. Tapi mertua mendesak. Aku pun panas. "Mama, aku tak akan
sanggup menggaji Mama...." kataku.



Dia tersentak. Aku tambah lagi, "Lagipula, nanti Mama harus bayar listrik
sendiri, juga air, dan makan. Rasanya pasti Mama tidak akan nyaman kalau
beli makanan di luar, kemudian membayar pembantu untuk mencuci pakaian
sendiri. Coba Mama bayangkan."



Kurasakan tubuh mertuaku oleng, limbung. Mungkin dia tidak bayangkan aku
akan berkata begitu. Ipar-iparku sampai ternganga melihat keberanianku
berbicara. Suamiku diam saja. Tapi mertua lelaki marah besar. Dia bertanya
mengapa aku tega mengatakan hal semacam itu. Lalu aku ungkapkan semuanya,
bahwa selama dua bulan ini, aku membayar pembantu untuk mencuci pakaian
sendiri, membayar listrik sendiri, membeli makan di luar, membayar air,
bahkan membayar baby sitter untuk anakku. Mertua lelakiku panik. Dia
bertanya pada istrinya, menantu-menantunya, dan semua tak dapat membantah,
bahwa hal itu memang terjadi padaku. Aku ingat, wajahnya amat pucat saat
mendengar kenyataan itu. Tapi mertua lelakiku memang lelaki hebat. Dia
meminta maaf saat itu juga, kepadaku dan kepada Doni, dan dengan segera
mengikhlaskanku pindah. "Papa nanti yang akan datang ke rumah kalian. Jangan
kalian yang datang ke sini, karena di rumah ini saudara dan Mama kalian
telah menjadi iblis semua," raungnya. Aku menangis ketika memeluknya dan
berpamit. Papa memang tak pernah mengecewakanku.

Begitulah, telah setengah tahun ini aku hidup sendiri. Tentu ada pembantu di
rumah kecil kami. Papa, seperti janjinya, setiap Sabtu-Minggu, datang ke
rumah, bermain bersama cucunya. Tapi Mama dan ipar-iparku, jangankan datang,
menelpon pun tidak. Tapi aku memilih diam saja, juga Doni. Papa juga
memintaku tak usah memikirkan hal itu. Papa ingin yang salahlah yang meminta
maaf lebih dulu, yang mulai berkomunikasi. Apalagi, sampai kini, tak pernah
mertua perempuan meminta maaf atas apa yang mereka lakukan pada kami.



Sebentar lagi Lebaran. Aku pasti sungkem kepada mertua, entah apa pun
tanggapan mereka. Sebagai anak, meski pedih mengingat perlakuan mereka, aku
harus belajar mengalah, menerima. Apalagi kini semua telah jadi masa lalu.



Cerita ibu Citra.


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke