Suamiku Berkelainan Jiwa


Bukan hal yang mudah untuk meyakinkan orang tuaku bahwa Tomi adalah pria
yang baik dan bertanggung jawab serta layak menjadi suamiku. Sayang, tiga
tahun perkenalan batin itu, ternyata tak mampu menampakkan sisi iblis dari
Tomi. Aku merasa terpedaya.



Tomi berusia 29 tahun, sedangkan aku, Gita, istrinya, berusia setahun lebih
muda. Kami sama-sama bekerja di perusahaan swasta, Tomi sebagai tenaga
marketing sedangkan aku sebagai sekretaris. Berangkat dan pulang kerja kami
selalu berbarengan, namun adakalanya kami tidak bisa pulang bersama, karena
Tomi lembur atau sebaliknya, aku yang lembur.



Hubungan sebagai suami istri antara aku dan Tomi sangatlah harmonis, kami
jarang sekali bertengkar. Kami saling mempelajari karakter masig-masing dan
kemudian berusaha memahaminya. Tomi juga sangat sayang kepadaku, seringkali
rasa sayangnya ditunjukkan dengan mengirimi aku sms-sms mesra.



Hingga suatu hari, Ratna tetangga depan rumah, bertandang menemuiku untuk
mengajak berpatisipasi dalam arisan RT. Kami duduk di teras rumah, sementara
Tomi juga berada di sekitar kami, di halaman rumah sedang memotong rumput.
Tomi menyapa ramah Ratna dan mempersilakan untuk masuk dan duduk di ruang
tamu, tapi Ratna memilih duduk di teras bersamaku.



Selama berbincang dengan Ratna, kami tidak memperhatikan Tomi, tapi mendadak
Ratna kaget  dan berseru kecil seraya menarik roknya lebih ke bawah. Sontak
mataku melihat arah mata Ratna, ternyata Tomi suamiku sedang jongkok di
bawah tepat di depan Ratna dengan pura-pura menggunting rumput namun matanya
nanar melihat ke tengah-tengah paha Ratna. Ratna berdiri dan langsung
berpamitan kepadaku tanpa menoleh ke arah Tomi. Malu dan marah aku
dibuatnya. Kukatakan bahwa apa yang dilakukannya sungguh tidak sopan dan
kurang ajar sekali, Tomi hanya tertawa. "Aku minta tadi kalian masuk ke
ruang tamu, tapi tak mau. Sekarang, karena dia yang duduknya tidak sopan,
malah aku yang disalahkan," kilahnya.



Aku agak memahami juga alasannya. Mungkin dia tadi sudah tahu kalau Ratna
dan aku duduk di situ, dan dia memotong rumput di bawah, akan terlihat paha
Ratna. Ya, kami yang memang tak menyadari permintaannya tadi. Aku pun cepat
melupakan peristiwa itu.



Sebulan berselang, saat aku sudah melupakan kejadian memalukan itu, kami
berdua belanja di supermarket dekat rumah, kami pisah rak, aku berada di rak
daging sementara Tomi mencari minyak dan pewangi baju. Mendadak aku
dikejutkan oleh teriakan nyaring seorang perempuan disertai makian panjang
dan keras. Seisi supermarket menoleh untuk melihat apa yang terjadi termasuk
aku. Ternyata Tomi, suamiku, sedang ditampar seorang perempuan cantik yang
mengenakan pakaian tanktop seksi.



Kutanyakan pada perempuan seksi itu apa yang telah dilakukan Tomi. Ternyata
Tomi telah memandang nanar ke belahan dadanya dan terus mengikutinya
belanja, hingga  tiba-tiba Tomi mengulurkan tangan untuk memegang belahan
dadanya. Mendengar semua itu, langsung kutampar Tomi di hadapan perempuan
itu juga di hadapan para pengunjung supermarket dan segera kutinggal pergi.
Tomi menyusulku pulang dan duduk berdiam diri selama berjam-jam.di kursi
tamu, sedangkan aku hanya menangis dengan perasaan malu sedih, marah yang
semuanya bercampur aduk jadi satu.



Pada akhirnya aku menganggap Tomi mempunyai kelainan kejiwaan, karena
matanya memang tak pernah bisa lepas dari tubuh perempuan. Kemanapun kami
pergi Tomi tetap membelanjakan matanya dan hal itu tak bisa dicegah bahkan
olehku sekalipun. Lama kelamaan aku tidak kuat dengan kelakuan anehnyanya
tersebut. Aku merasa Tomi sudah tidak menghargaiku sebagai istrinya. Tetapi
di luar kebiasaan buruknya itu, sebenarnya Tomi adalah suami yang baik. Tapi
mana bisa tahan aku hidup dengan suami yang matanya keseringan belanja?



Nah, dalam situasi itu, aku dekat dengan teman kantor, Mas Noval. Kedekatan
itu semula biasa. Dia memang baik, dan acap memuji kalau tubuhku bagus dan
kakiku seksi. Aku tertawa saja dengan ucapannya itu. Tapi, setelah aku
menikah, dan Tomi begitu, acap memelototi perempuan lain dan tak pernah
memujiku, pujian dari mas Noval membuat dadaku kini bergetar. Aku jadi suka
kalau dia memandangku, lama, dan kemudian memujiku. Karena itu, kadang aku
pun berpakaian agak ketat hanya untuk mendapatkan pujiannya. Aku merasa hal
itu semacam balas dendam pada Tomi. Dia selalu memuji perempuan lain, tapi
dia tidak tahu bahwa lelaki lain justru mengagumi dan memuji istrinya.



Kedekatanku dengan Noval ternyata ibarat bara bagiku. Aku begitu ketagihan
akan pujian dan tatapan matanya. Karena itu, ketika dia memuji dan bahkan
sesekali menyentuhku, kubiarkan saja, meski kadang aku berpura marah. Tapi
kelanjutannya ternyata panjang. Aku merasa diperhatikan dan mendapatkan
penghargaan. Akhirnya bisa diduga, aku terhanyut, dan mengikuti gejolak
asmaranya. Tapi apa yang terjadi, ketika hampir asmara itu tak tertahan, aku
tersadarkan. Mas Noval ternyata juga terobesesi pada tubuhku. Dia menciumi
betisku, dadaku, sembari mendesis-desis, memegang dadaku keras-keras. Aku
kaget, karena hal itu mengingatkan aku pada kelakukan Tomi. Gairahku pun
hilang, dan tak terjadilah perzinahan itu. Ternyata, Mas Noval adalah Tomi
dalam bentuk yang lain. Untunglah, aku tak sampai termakan oleh lelaki yang
sama.



Kini, aku merasa jijik dengan Tomi, dan tak mau meladeninya lagi sebagai
istri. Dia memang berjanji berubah, dan berhariu-hari hanya dari kantor dan
rumah, tak pernah mau ikut ke mal. Tapi, kalau kami ke luar, tiap ada
perempuan cantik, pasti dia komentari. Dia selalu minta maaf, dan merasa
tersiksa. Tapi aku entah kenapa, merasa dia tidak sungguh-sungguh berubah.



Apa yang harus aku lalukan? Bisakah Tomi berubah? Benarkah itu kelainan jiwa
dan tak bisa disebuhkan? Apakah aku harus bercerai?



Cerita Mita kepada redaksi


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke