Indonesia di Persimpangan Jalan

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

Selasa, 1 Juni 2004


Nu'im Khayat, seorang penyiar Radio Australia, suatu ketika menceritakan
sebuah perkembangan menarik di Johannesburg, Afrika Selatan. Di sana terjadi
"gelombang" pemerkosaan atas pria oleh wanita-wanita yang terkena penyakit
AIDS. Motif mereka melakukan hal itu adalah "balas dendam" karena mereka
merasa mendapatkan penyakit tersebut dari pria dengan perilaku seperti itu.


Sebagaimana disebutkan Nu'im dalam siaran tersebut, Afrika Selatan adalah
"penampung" penyakit itu dalam jumlah sangat besar. Menurut statistik PBB, 5
juta di antara 40 juta penduduk negara tersebut adalah pengidap penyakit
itu. Tentu akan lebih menarik kalau dikemukakan juga jumlah orang yang
mungkin terkena penyakit tersebut akibat "pemerkosaan sungsang" itu.


Menurut Nu'im, hal itu disebabkan pada zaman dahulu terjadi penerapan
sesuatu yang 'aneh' dalam kehidupan di Afrika; wanita melakukan tugas-tugas
militer, sedangkan pria bertugas memelihara anak dan bertanggung jawab atas
urusan-urusan rumah tangga. Mereka disebut kaum Amazon, beroperasi di sebuah
negara Afrika Barat dan di Libya.


Menurut siaran tersebut, hal itu menarik diceritakan karena sesuai dengan
adagium yang sangat populer di kalangan pers: "anjing menggigit orang
bukanlah berita, tapi kalau ada orang menggigit anjing, itu berita." Nilai
pemberitaan diukur dari langkanya peristiwa tersebut. Tetapi, di Indonesia,
hal itu tidak demikian pada saat ini. Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuat
surat keputusan yang melarang saya menjadi calon presiden dan itu
bertentangan dengan UU No 4 Tahun 1997.


Itu seharusnya menjadi "berita hangat" bagi pers kita. Tapi, ternyata tidak
demikian. Hal tersebut disebabkan besarnya ketakutan pers dan bangsa kita
atas hal itu. Sia-sia saja saya mencari dukungan untuk menentang SK
tersebut, yang jelas melanggar undang-undang. Ketakutan itu dapat dilihat
dalam beberapa hal yang juga mempunyai "napas yang sama". Saya ingat akan
tulisan Stuart Schram tentang Mao Zedong (Mao Tse Tung) yang menyatakan, "Ia
hidup bersama massa, karena itu ia sendirian." Sikap demikian itulah yang
oleh Ernest Hemingway dinyatakan sebagai "keberanian adalah bersikap pemurah
di bawah tekanan" (courage is grace under pressure). Karena itulah, saya
selalu mengajak bangsa dengan cara dan "gaya" saya sendiri.


Jelas bahwa perjuangan menegakkan demokrasi adalah urusan semua orang.
Dengan mendudukkan apa yang menjadi tindakan-tindakan kita dewasa ini, baik
secara terbuka (tersurat) maupun tersirat dalam sikap berdiam diri saja,
menunjukkan bahwa perjuangan itu adalah cerita lama yang dijalani sebuah
bangsa dari zaman ke zaman. Mungkin, benarlah apa yang dikemukakan seorang
filosof Yunani kuno bahwa "sejarah hanyalah pengulangan demi pengulangan
saja" (L'histoire se repete). Kebenaran seperti itu harus kita yakini
sebagai sesuatu yang harus dijalani sebuah bangsa dan negara untuk mencapai
tujuan-tujuan yang dimilikinya pada suatu waktu. Di hadapan "kenyataan"
seperti itu, yang intinya adalah penerimaan atas perubahan-pengulangannya,
diambil sikap menentang hal tersebut dan mempertahankan status quo.


Kini kita tengah berada dalam suasana seperti itu. Atau lebih tepatnya,
sebagai bangsa dan negara, kita berada di sebuah persimpangan jalan. Akan
kita terimakah perubahan-pengulangan keadaan tersebut sebagai bagian dari
proses menegakkan demokrasi, ataukah kita melestarikan keadaan/ status quo
sistem politik yang ada sekarang?


Kalau kita menerima "kebenaran" akan hukum pertama dalam proses yang kita
jalani bersama sebagai bangsa dan negara, maka sudah waktunya kita memulai
sebuah proses demokratisasi kehidupan bangsa dan negara. Jika sebaliknya,
kita hanya puas dengan memelihara status quo system politik yang ada. Nah,
untuk mencari jawaban umum yang menuju kepada tujuan kita bersama,
dibutuhkan pemimpin. Pemimpin itulah yang harus ada dalam gerakan untuk
mengambil pilihan yang dimaksudkan di atas.


Kalau itu dianggap pilihan perubahan yang tepat, maka harus ada pemimpin
yang akan mendorong arah perubahan yang akan dibiayai dan diikuti sejumlah
besar warga bangsa di tempat yang berbeda-beda. Tetapi, kalau sang pemimpin
ternyata "salah baca" atas keinginan banyak orang itu, dan hanya sedikit
yang mengikuti, maka risikonya, dia akan dikucilkan dari pengambilan
pendapat di kalangan elite. Dia akan dianggap mengada-ada serta segala kata
yang diucapkan dan tindakan demi tindakan yang dia lakukan dinilai tidak
relevan dan tidak mewakili siapa pun.


Dengan kata lain, dia akan menjadi pemimpin yang tidak memiliki basis massa
dan sama kedudukannya dengan para pemimpin lembaga-lembaga pemerintahan yang
sudah ada. Lalu, apakah hak yang dia miliki untuk memimpin perubahan di masa
yang akan datang? Memang kedengarannya agak "kejam". Tapi, itulah kenyataan
yang ada dan harus menjadi pedoman.


Contoh yang paling baik dalam hal itu adalah Martin Luther King Junior, yang
pada awal tahun 60-an telah memimpin upaya orang berkulit hitam di AS untuk
mencapai hak bersuara dalam pemilu, dan memperoleh pendidikan yang sama bagi
setiap orang warga negara AS. Hal itu "menyulut" berbagai reaksi penuh
kekerasan di banyak tempat, seperti Birmingham (Alabama). Perjuangan yang
dia lakukan sebagai pendeta Kristen selama bertahun-tahun, akhirnya membawa
kepada sebuah barisan panjang yang berjalan beberapa kilometer dekat Gedung
Putih dan Congress (Lembaga Perwakilan Rakyat) di Washington DC, AS. Dan
ternyata barisan itu diikuti 1 juta orang yang mendukung gerakan tersebut.
Menghadapi "kenyataan" ini, akhirnya, sistem pendidikan di AS mengalami
berbagai perubahan sesuai dengan konstitusi mereka.


Apakah hal yang sama juga akan terjadi di negeri kita? Ini harus dilihat
dari keputusan PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) atas kasus permintaan
agar saya dan Dr Marwah Daud Ibrahim diizinkan menjadi calon presiden dan
wakil presiden RI dalam pemilu 5 Juli 2004. Jika PTUN mengulur-ulur waktu
dan mengambil keputusan negatif setelah pemilu putaran pertama, atau PTUN
mengeluarkan keputusan positif, namun KPU tetap menolak melaksanakan
keputusan itu atas dasar "alasan-alasan teknis", berarti jalan tertutup bagi
proses demoktratisasi kehidupan bangsa dan negara sejak saat tersebut.


Ini berarti, walaupun nantinya ada proses demokratisasi, namun karena
kelemahan sistem kenegaraan tersebut, maka hal itu akan memungkinkan
negara-negara lain mendikte kita.


Karena itulah, selain pengulangan-pengulangan peristiwa dari masa lampau,
sekarang ini kita juga dihadapkan kepada hal-hal baru seperti diuraikan di
atas. Dari waktu ke waktu, kita dihadapkan kepada berbagai hal yang
menyangkut kehidupan bangsa dan negara di masa depan. Pada 5 Juli 1959, Bung
Karno mengeluarkan dekrit untuk memungkinkan kita bersama berfungsi sebagai
negara dan bangsa karena "kegagalan" konstituante untuk kembali ke UUD 1945
sebagai instrument tertinggi di dalam kehidupan bernegara. Dan ternyata, itu
hanya didukung 52 persen suara Dewan Konstituante. Setelah negara kukuh,
kita sekarang dihadapkan kepada tantangan lain: dapatkah negara itu
menegakkan demokrasi? Ini berarti, banyak perubahan harus terjadi untuk
keberhasilan kita. Memang mudah perubahan demi perubahan itu dikatakan,
namun sulit dilaksanakan, bukan?


Jakarta, 28 Mei 2004


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke