He he he he keluar juga kan karangannya he he he Salam
Ady Kristanto ________________________________ From: Hasto P Irawan <hpirawan2...@yahoo.com> To: sbi-info@yahoogroups.com Sent: Tuesday, January 20, 2009 2:24:35 PM Subject: Re: [SBI-InFo] Populasi Common Bird dan Dinamika Iklim Pengen ngarang lagi aaaah..., mumpung lagi nganggur neh:) Sebnernya jawaban2 spt ini udah gw perkirakan sebelumnya bakal muncul buat menanggapi topik "kenapa populasi burung X rendah" dll:) Memang paling mudah adalah menyalahkan manusianya sbg biang keladi atas kerusakan lingkungna dan rendahnya populasi suatu jenis burung. Tentu itu tidak salah. dalam banyak kasus, hal itu memang bener2 terjadi. TAPI tentu tidak dalam semua kasus. Untuk kasus2 tertentu, banyak faktor lain diluar manusia yg berperan. COntohnya waktu gw kasih topik rendahnya populasi burung laut (mau camar kek, dara laut kek, atau booby kek terserah silahkan pilih) yg bukan cuma di habitat manusia tapi juga di alam secara umum. Pasti orang di sini pada marah ato kebakaran jenggot kalo gw mengajukan dugaan "mungkin karena populasi ikan juga rendah" hua ha ha hah a. Orang gak rela kalo disebut di Indonesia yg katanya subur makmur itu cuma ada sedikit makanan hue he he he.. Padahal itu bisa saja dan wajar saja terjadi dalam konteks ekologi. Bukankah memang wajar, karena pengaruh iklim, tanah, dinamika iklim dll, mahluk tertentu bisa jadi banyak di suatu bagian bumi sedangkan di bagian lainnya sedikit. Tapi kemungkinan itu selalu bener2 ditolak di milis ini untuk diperhitungkan dalam soal rendahnya populasi burung laut (walo memang tentu ada faktor2 lain yg berperan). Begitu juga sual gagak (yg secara tradisional tak pernah ditangkapi atau diburu) yg di sini gak bisa jadi common bird. Belum2 orang udah kebakaran jenggot ha ah haa... Menurut gw mungkin saja faktornya bukan cuman karena salah manusia, bukan karena kerusakan lingkungan, dll. Faktor "lingkungan yg berubah jadi penuh dengan hunian manusia" sebagai penyebab rendahnya populasi gagak jadi GUGUR jika kita mau ngelihat bahwa di bagian dunia yg lain, gagak justru flourish (merembaka, jumlahnya melimpah) di daerah2 urban yg JUSTRU penuh dengan manusia, bukan lagi hutan yg asli. DI sini berperan soal sifat burung atau mungkin "kecerdasan" si burung dlm beradaptasi atau berganti pakan di daerah hunian manusia, pakan yg muncul dari limbah manusia, atau variasi/dinamika musim/iklim yg memungkinkan pakan jenis tertentu sangat banyak dijumpai, dan di bagian tahun yg lain pakan jenis lain yg gantian muncul dalam jumlah besar. Soal dinamika iklim atau musim ini (pergantian dari musim panas ke gugur ke dingin ke semi ke panas lagi), mungkin bisa saja jadi penyebab pakan melimpah di satu musim tertentu, yg memungkinkan menghidupi jumlah besar populasi burung (bukan banyaknya ragam spesies burung) di situ. Gw pernah liat tayangan TV soal jackdaw (sejenis gagak tapi lebih kecil) yg berpesta dengan cacing di awal musim semi dan jumlahnya jadi sangat banyak di desa2 di musim itu, yg timing-nya memang bersamaan dgn melimpahnya cacing di awal musim semi. Sedangkan di musim panas atau musim gugur, ada sumber pakan jenis lain yg melimpah (bergantian) yg timing-nya selalu sama dalam setaun. Ada kemungkina dinamika pergantian musim itulah yg menyebabkan dinamika populasi berbagai jenis spesies (yg bisa jadi pakan, dan otomatis si pemakan juga jadi melimpah bersamaan dgn melimpahnya pakan). Soal negeri kita yg subur makmur, saya sangat setuju. karena sinar matahari, air dan suhu hangat yg ada sepanjang taun memungkinkan segala tumbuhan hidup dan tumbuh dgn cepat. Tapi kata "subur" itu sendiri dalam konteks ekologi adalah hal yg relatif. DI daerah tropis basah, tanaman mudah tumbuh (karena banyak air dan matahari) memang iya, tapi subur dalam artian "kaya nutrisi" ya belum tentu. Ilusi masa kecil tentang kesuburan tanah air yg selalu digembar-gemborkan para bapak ibu guru itu memang indah. Tapi ketika dewasa saya mulai berpikir lebih obyektif. Walo saya bukan orang biologi, kadang saya baca literatur2 biologi. Dengan pengetahuan saya yg dangkal itu (malu ah, di sini pasti banyak orang biologi, hiks!) saya mulai tau bahwa "kenyataannya" tak seindah ilusi. Dari literatur saya tau bahwa tanah di daerah tropis tidak sesubur kelihatannya. humus relatif tipis. hutan hujan tropis yg lebat dan basah tak bagus jika dibuka jadi lahan pertanian, karena nutrisi tanahnya yg tipis itu akan segera hilang begitu hutan ditebang dan siklus daur ulang yg sebelumnya berlangsung itu kemudian terputus. bahwa daun2an di daerah tropis ternyata kandungan gizinya lebih rendah dibanding daun atau rumput di daerah iklim sedang, karena pengaruh tanah dan iklim. Apakah itu suatu kekurangan? menurut saya bukan kekurangan. itu cuma "keadilan alam". alam memberi sebatas yg dibutuhkan. kalo kita memang sebenernya gak butuh banyak, ya alam gak akan memberi banyak. adil, kan??? Orang yg hidup di daerah tropis beruntung. pohon2 bisa berbuah sepanjang tahun sehingga kalo masyarakatnya bener, sebenernya gak mungkin ada orang kelaparan (ironisnya, kelaparan dan malnutrisi justru lebih kerap terjadi di daerah tropis). Sedangkan di daerah iklim sedang, makanan hanya melimpah di musim tertentu, sedangkan di musim lain praktis tak ada pohon , gandum, padi yg bisa berbuah. berarti tak ada yg bisa dimakan. Sehingga orang di daerah iklm sedang butuh makanan dalam jumlah banyak dan bergizi tinggi di satu musim, supaya bisa disimpan untuk persediaan ketika musim dingin dimana samasekali tak ada makanan. Karena itu, alam memberi keadilan: tanah yg bernutrisi dan rumput yg bergizi memungkinkan ternak tumbuh lebih cepat, lebih besar, menghasilkan lebih banyak daging, telur, dan susu, yg bisa dijadikan daging asap sebagai persediaan makanan selama musim dingin, dijadikan keju dan mentega untuk disimpan dan dimakan sepanjang musim dingin yg tak ada makanan lain dari tumbuhan. Iklim dingin yg ekstrim juga menuntut mereka memakan makanan yg lebih bergizi, supaya tubuh dan stamina bisa bertahan di tengah suhu ekstrim. Karena itu, alam juga memberi yg manusia butuhkan di sana. Sedangkan di sini, iklimnya adem ayem. orang tak perlu kerja keras mengumpukan makanan sbg persediaan musim dingin ketika samasekali tak ada makanan, toh sepanjang tahun di sini ada tumbuhan yg bisa berbuah dan dimakan. Orang juga tak perlu banyak makan daging dll untuk menjaga stamina dalam suhu di bawah nol derajat dan angin yg menderu-deru. Iklim yg nyaman memungkinkan orang di sini tetap sehat dengan makanan ala kadarnya, tidak berlebihan. Karena itu juga alam memberi sebatas yg dibutuhkan orang di sini, tak berlebih. Adil, kan???? Peace, ah... Udah dulu dongengnya:) Maafkanlah dirikyuu ini yg suka posting topik gak relevan dgn milis:) Hasto Pratikto ------------ --------- --------- --------- --------- --------- --------- --------- --------- --------- --- On Sun, 1/18/09, Ady Kristanto <ady_kristanto@ yahoo.com> wrote: From: Ady Kristanto <ady_kristanto@ yahoo.com> Subject: Re: [SBI-InFo] Knpa burung besar tak suskes jadi common bird di sini?? To: sbi-i...@yahoogroup s.com Date: Sunday, January 18, 2009, 11:35 AM Bung Hasto, menurut saya hal ini dikarenakan kebanyakan sikap masyarakat Indonesia belum bisa menghargai lingkungan. mereka menganggap tidak terlalu penting. yang penting bisa makan dan tidur. Burung-burung besar seperti angsa memang kita tidak ada, kita ada bangau seperti bangau bluwok yang zaman dahulu umum di Jakarta (Pak Baskoro pernah attach fotonya), kemudian ada cangak abu, cangak merah, ibis cucuk besi. semua ini burung besar. dulu sangat umum. namun ... untuk suatu spesies dapat bertahan hidup dia memerlukan tempat mencari makan dan tempat tinggal serta berlindung. nah untuk burung-burung air ini memang punya tempat tinggal yang terjaga yaitu P. Rambut ini juga karena pulau ini merupakan kawasan yang dilindungi. namun ada tempat berlindung tapi areal mencari makan mereka semakin hari semakin menghilang. mau nggak mau mereka akan pergi mencari daerah baru. saya attachkan citra satelit Jakarta tahun 1976, 1989 hingga 2004 liat perubahan drastis di bagian utara Jakarta. Kemudian bung Hasto bilang manyar burung yang umum. wah sekarang mah dah sulit, jangankan di kota di desa aja susah. itu akibat penangkapan yang berlebihan. banyak yang sudah hilang ... Gelatik jawa yang menjadi maskot Jakarta Selatan karena dahulu banyak di daerah tersebut sekarang kemana? kemudian Srigunting hitam yang jadi maskot Jakarta timur ilang juga tergerus pembangunan kota. yang ironis lambang DKI sendiri elang bondol. itu juga mana? iri kalo ke Kalimantan, disana di kota besar macam Pontianak, Palangkaraya kita masih bisa melihat elang bondol dan elang laut berseliweran di tengah kota. kalo di Jawa dimana? kagak ada? ditambah lagi gara-gara iklan rokok yang menggunakan elang bondol dan harimau, permintaan akan elang bondol di pasar burung meningkat. pembeli beralasan "keren dan gagah seperti di iklan" jika pelihara burung tersebut. Untuk Columba livia atau merpati batu aka burung dara, itu umum kok. di Jakarta banyak yang pelihara maupun yang lepas. memang agak berbeda dengan yang di Eropa penyesuaian dengan habitat tempat dia tinggal di Indonesia. untuk gagak alhamdulilah masih bisa ditemukan di Jakarta ini di SM. Muara Angke dan sekitar Kamal hingga pelabuhan Muara Angke walaupun kehadiran mereka juga jarang hanya 1 - 2 individu setiap perjumpaan. kalo mau liat yang banyakan yang naik dikit ke utara di kepulauan seribu. Hewan pasti bisa menyesuaikan diri dengan habitat yang ada dan dia bisa jadi sesuatu yang umum jika ... ada toleransi dari manusia dan penghargaan manusia terhadap satwa liar. tapi kayaknya sedikit sekali warga Indonesia yang bersikap seperti itu. Jadi jangan heran kalo teori dengan kenyataan berbeda jauh. wong teori dibuat atau berdasarkan di tempat yang aman-aman aja ndak cocok disini. kecuali teori-teori itu dibikin disini. tapi tetep aja pasti berubah. teori lingkungan pasti kalah ama teori ekonomi. Salam Ady Kristanto ________________________________ From: Hasto P Irawan <hpirawan2005@ yahoo.com> To: sbi-i...@yahoogroup s.com Sent: Sunday, January 18, 2009 4:33:39 PM Subject: [SBI-InFo] Knpa burung besar tak suskes jadi common bird di sini?? Tgl 16 Januari yg lalu pesawat Airbus 320 terpaksa mendarat darurat di air Sungai Hudson yang dingin di New York, setelah mengalami kerusakan mesin akibat mesinnya menabrak dan menghisap sekawanan angsa liar. Jadi iri euy... TEntu saja bukan iri sama kecelakaannya, tapi iri pada keberadaan common birds di sana. Kapan yah di sini ada common birds yg ukuran tubuhnya besar2 spt di daerah2 high latitude (daerah yg jauh dari Khatulistiwa) ?? Gw juga sering iri euy.. kalo liat tayangan VOA, sembari reporternya melaporkan kejadian, di kolam di latar belakang banyak burung liar besar2 (lebih besar dari merpati, kayaknya gull) yg terekam kamera, hinggap atau beterbangan. Padahal itu di tengah kota euy. Demikian juga seagull yg banyak terlihat di pantai2 yg ramai. Di sini kebanyakan common birds (burung yg lazim dijumpai dimana2 dan dalam jumlah banyak, termasuk di daerah habitasi manusia) adalah yg berukuran kecil: bangsa bondol, burung gereja, bangsa bulbul (kutilang dan trocokan), bangsa manyar, dll yg semuanya bertubuh kecil. Apa sebabnya ya di sini burung berukuran besar jarang banget ada yg bisa sukses menjadi common birds dan biasanya cuma bisa dijumpai di tempat2 terpencil, pulau2 yg jauh, dan tidak dekat dgn kehidupan sehari2 manusia? Satu lagi neh faktor X yg misterius soal habitat dan populasi burung yg bikin gw curious pengen tau apa jawaban sebenernya he he... DI kampung saya di Jawa, sewaktu saya SD dulu ada gagak, tapi itu juga cuma kadang2 terlihat, gak banyak. Dan sampai sekarang udah belasan tahun (atau mungkin ada 20 tahun kaleee) gw belom pernah liat gagak lagi di alam bebas, walo gw juga kadang bepergian ke luar kota, ke gunung, ke pantai. (kayaknya masih ada gagak hutan/Corvus enca yaa, tapi cuman di pulau atau wilayah2 tertentu yg jauh dari habitat manusia, gw blom pernah ketemu euy..). Padahan jaman dulu jangankan penduduk mau makan gagak, nangkep aja gak berani karena takut kena tulah lantaran gagak dianggap burung perlambang kematian he he. Meski begitu, dulu gagak juga gak banyak jumlahnya walo gak diburu. Padahal menurut literatur yg saya baca, sekedar contoh aja: di Amerika populasi gagak di daerah habitasi manusia (desa2 atau kota2 kecil) berdasar estimasi sampai puluhan juta ekor, saking banyaknya sampai sering dipandang sbg nuisance (gangguan lingkungan dan pertanian). Di Inggris juga sama. Sedangkan Columba livia, meski di sana juga melimpah dan di sini enggak, tak saya masukkan di sini karena memang secara alamiah Columba livia bukan burung asli Indonesia dan tak terdapat di alam secara alamiah. Jadi yg dijadikan contoh di sini gagak aja deh.. Walo tentunya gagak di Negara Bagian New York dan gagak di mBoyolali (he he he) berasal dari subspesies yg berbeda, tapi karena masih satu genus (Corvus sp), mestinya sifat, syarat hidup, dan toleransi terhadap perubahan habitat mereka gak berbeda jauh. Jadi aneh juga kalo di New York sana gagak bisa melimpah, tapi di nJember sini sangat langka. Hmmm..apa yaa faktor X yg misterius itu?? Think, think think!!:) Hasto Pratikto