[mediamusliminfo] Siapakah Al-Jibt dan Thaghut?
Siapakah Al-Jibt dan Thaghut? “Apakah kamu tidak memerhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Al-Kitab? Mereka percaya kepada Al-Jibt dan thaghut, serta mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Makkah) bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman. Mereka itulah orang yang dikutuk Allah, niscaya kamu sekali-kali tidak akan memperoleh penolong baginya.” (An-Nisa’: 51-52) Sebab Turunnya Ayat Ibnu Jarir meriwayatkan (5/133): Muhammad bin Al-Mutsanna telah menceritakan kepada kami, ia berkata: Ibnu Abi ‘Adi telah menceritakan kepada kami, dari Dawud, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, beliau berkata: Ketika Ka’b bin Asyraf tiba di Makkah, orang-orang Quraisy berkata kepadanya: “Engkau adalah orang yang paling baik dari penduduk Madinah dan pemuka mereka.” Ia menjawab: “Ya (betul)!” Mereka berkata: “Maukah kamu melihat kepada seorang shanbur yang terputus dari kaumnya? Ia mengaku bahwa dirinya lebih baik dari kami. Sementara kami yang lebih memerhatikan orang-orang yang menunaikan haji, pengabdi Ka’bah, dan memberi minum (bagi orang-orang yang menunaikan ibadah haji) setiap zaman (terlebih pada musim dingin saat paceklik).” Ia berkata: “Kalian lebih baik daripada dia.” Ibnu ‘Abbas berkata: “Maka turunlah ayat: “Sesungguhnya orang-orang yang membencimu dia yang terputus.” (Al-Kautsar: 3) Turun juga ayat: “Apakah kamu tidak memerhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Al-Kitab? Mereka percaya kepada jibt dan thaghut serta mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Makkah) bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman. Mereka itulah orang yang dikutuk Allah, niscaya kamu sekali-kali tidak akan memperoleh penolong baginya.” (An-Nisa: 51) Hadits ini juga disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya (1/513). Beliau berkata: Al-Imam Ahmad berkata: Muhammad bin Abi ‘Adi menceritakan kepadaku…, dengan sanad seperti di atas. Ibnu Hibban juga meriwayatkan dalam kitab Shahihnya, sebagaimana terdapat dalam kitab Mawarid Azh-Zham’an (hal. 428). Asy-Syaikh Abu Abdirrahman Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i berkata: “Semua perawinya adalah para perawi shahih. Hanya saja yang rajih (kuat) bahwa (hadits ini) mursal (ucapan Ibnu Abbas, pen.), sebagaimana yang disebutkan dalam Takhrij Tafsir Ibnu Katsir.” (Lihat Ash-Shahih Al-Musnad min Asbabin Nuzul, Asy-Syaikh Abu Abdirrahman Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, hal. 77) “Mereka percaya,” yaitu percaya (beriman) kepada al-jibt dan thaghut, kufur kepada Allah, dalam keadaan mereka mengetahui bahwa beriman kepada keduanya adalah kufur, percaya kepada keduanya adalah syirik. (Tafsir Ath-Thabari) Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin menerangkan: “Maknanya adalah membenarkan, menetapkan, dan tidak mengingkarinya.” “Kepada al-jibt dan thaghut.” Ada beberapa pendapat ulama dalam memaknai kata al-jibt. Di antaranya: 1. Al-Jibt adalah sihir. Ini adalah pendapat Umar bin Al-Khaththab, Ibnu ‘Abbas, Abul Aliyah, Mujahid, ‘Atha, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Asy-Sya’bi, Al-Hasan, Adh-Dhahak, dan As-Suddi. 2. Al-Jibt adalah setan. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ibnu ‘Abbas, Abul Aliyah, Mujahid, Atha’, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Asy-Sya’bi, Al-Hasan, ‘Athiyyah, dan Qatadah. 3. Al-Jibt adalah syirik. Pendapat ini dinyatakan oleh Ibnu ‘Abbas, menurut bahasa orang Habasyah. 4. Al-Jibt adalah al-ashnam (patung-patung). Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu ‘Abbas. 5. Al-Jibt adalah al-kahin (dukun). Ini adalah pendapat Asy-Sya’bi, Abul Aliyah, Muhammad bin Sirin, dan Makhul. 6. Al-Jibt adalah Huyai bin Akhthab. Pendapat ini dinyatakan oleh Ibnu ‘Abbas. 7. Al-Jibt adalah Ka’b bin Al-Asyraf. Pendapat ini dikatakan oleh Mujahid. 8. Al-Jibt adalah suara (bisikan) setan. Pendapat ini dilontarkan oleh Al-Hasan. 9. Abu Nashr bin Ismail bin Hammad Al-Jauhari dalam kitabnya Ash-Shihah, menyebutkan bahwa Al-Jibt adalah suatu kalimat yang dipakai untuk memaknai patung, dukun, tukang sihir, dan yang lainnya. 10. Al-Jibt adalah tukang sihir (menurut bahasa Habasyah). Pendapat ini dinyatakan Ibnu Zaid, Sa’id bin Jubair, Abul Aliyah, Ibnu Sirin, dan Makhul. 11. Al-Jibt adalah segala sesuatu yang disembah selain Allah. Pendapat ini dinyatakan oleh Al-Imam Malik bin Anas. Tentang kata thaghut, juga ada beberapa pendapat: 1. Setan. Ini pendapat Umar bin Al-Khaththab, Ibnu ‘Abbas, Abul Aliyah, Atha’, Sa’id bin Jubair, Asy-Sya’bi, Al-Hasan, Adh-Dhahhak, As-Suddi, dan ‘Ikrimah. 2. Tandingan-tandingan selain Allah, berhala-berhala dan semua yang setan menyeru (mengajak) kepadanya. 3. Al-Kahin (dukun). Pendapat ini dikemukakan oleh Mujahid, Sa’id bin Jubair, Abul Aliyah, dan Qatadah. 4. Ibnul Qayyim berkata: “Thaghut adalah segala sesuatu yang dengannya seorang hamba melampaui batas, baik berupa yang diibadahi, yang diikuti, atau yang ditaati.” Ahlul ilmi mengatakan bahwa makna atau tafsir inilah yang paling menyeluruh, sedangkan penafsiran yang lain merupakan tafsir misal (bentuk konkret yang ada). Ibnu Katsir menjelaskan: “
[mediamusliminfo] Makna Thaghut
Makna Thaghut Dakwah semua Rasul yang Allah Subhanahu wa Ta’ala utus adalah menyeru umatnya untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengkufuri thaghut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan telah kami utus seorang Rasul pada setiap umat, (untuk menyeru): ‘Beribadahlah kalian kepada Allah dan jauhilah oleh kalian thaghut’.” (An-Nahl: 36) Kufur kepada thaghut adalah syarat sahnya ibadah seseorang, sebagaimana wudhu merupakan syarat sah shalat. Pengertian Thaghut Secara bahasa, kata ini diambil dari kata طَغَى, artinya melampaui batas. Adapun menurut istilah syariat, definisi yang terbaik adalah yang disebutkan Ibnul Qayyim: “(Thaghut) adalah setiap sesuatu yang melampui batasannya, baik yang disembah (selain Allah Subhanahu wa Ta'ala), atau diikuti atau ditaati (jika dia ridha diperlakukan demikian).” Ibnul Qayyim berkata: “Jika engkau perhatikan thaghut-thaghut di alam ini, tidak akan keluar dari tiga jenis golongan tersebut.” Definisi lain, thaghut adalah segala sesuatu yang diibadahi selain Allah (dalam keadaan dia rela). Wajibnya Mengingkari Thaghut Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan kepada seluruh hamba-Nya untuk mengkufuri thaghut dan beriman kepada Allah. Dasarnya adalah: 1. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus Rasul-Nya untuk mendakwahkan masalah ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ”Dan telah kami utus pada setiap umat seorang Rasul, (yang menyeru umatnya):Beribadahlah kalian kepada Allah dan jauhilah oleh kalian thaghut.” (An-Nahl: 36) 2. Kufur kepada thaghut merupakan syarat sah iman, sehingga tidak sah iman seseorang hingga mengingkari thaghut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ”Barangsiapa yang kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah maka dia telah berpegang dengan tali yang kokoh.” (Al-Baqarah: 256) 3. Karena ini terkandung dalam lafadz Laa ilaha illallah. Ilallah adalah iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kufur kepada thaghut. Laa ilaha menafikan semua peribatan kepada selain Allah. Laa ilaha illallah menetapkan ibadah hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala. Bentuk Pengingkaran terhadap Thaghut Para ulama menerangkan bahwa mengkufuri thaghut terwujud dengan enam perkara yang ditunjukkan oleh Al-Qur`an: 1. Meyakini batilnya peribadatan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. 2. Meninggalkannya dan meninggalkan peribadahan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hati, lisan, dan anggota badan. 3. Membencinya dengan hati dan mencercanya dengan lisan. Cercaan dengan lisan yaitu dengan cara menunjukkan dan menerangkan bahwa sesembahan selain Allah adalah batil dan tidak bisa memberikan manfaat. 4. Mengkafirkan pengikut dan penyembah thaghut. 5. Memusuhi mereka dengan dzahir dan batin, dengan hati dan anggota badan. 6. Menghilangkan sesembahan-sesembahan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan tangan, jika ada kemampuan. Keenam perkara ini telah dilakukan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan kita diperintahkan untuk meneladani beliau. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ”Telah ada bagi kalian teladan yang baik pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya.” (Al-Mumtahanah: 4) Nabi Ibrahim ‘alaihissalam meyakini batilnya peribadahan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Bacakanlah kepada mereka kisah Ibrahim. Ketika ia berkata kepada bapak dan kaumnya: ‘Apakah yang kalian sembah?’ Mereka berkata: ‘Kami menyembah patung dan kami akan terus mengibadahinya.’ Maka Ibrahim berkata: ‘Apakah (patung-patung tersebut) mendengar ketika kalian berdoa? Apakah dia bisa memberikan manfaat atau menimpakan mudarat?’.” (Asy-Syua’ara`: 69-73) Nabi Ibrahim ‘alaihissalam meyakini batilnya sesembahan mereka, bahwa sesembahan mereka tidak bisa memberikan manfaat atau menimpakan mudarat. Beliau meninggalkan serta menjauhi sesembahan mereka kemudian hijrah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “(Ibrahim) berkata: ‘Aku akan pergi kepada Rabbku, dan Dia akan memberikan hidayah kepadaku’.” (Ash-Shaffat: 99) Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang Ibrahim: “Aku berlepas diri dari apa yang kalian sembah, kecuali Dzat yang telah menciptakanku karena sungguh Dia akan memberikan hidayah kepadaku.” (Az-Zukhruf: 26-27) Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman tentang Ibrahim ‘alaihissalam: “Aku akan menjauhi kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah, dan aku akan berdoa kepada Rabbku.” (Maryam: 48) Nabi Ibrahim ‘alaihissalam membenci sesembahan mereka dengan hatinya dan menjelekkannya dengan lisan, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala kabarkan bahwa Ibrahim berkata: ”Celakalah kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah.” (Al-Anbiya`: 67) Nabi Ibrahim ‘alaihissalam mengingkari mereka dan mengabarkan bahwa mereka adalah kafir serta mengumumkan bahwa ia berlepas diri dari mereka, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala kabarkan dalam surat Al-Mumtahanah: “Kami ingkar terhadap kalian, dan telah tampak antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian, hingga kalian be