Re: [wanita-muslimah] Poligami: Obat Atau Racun?

2007-01-01 Terurut Topik abu faris
Pologami obat bagi orang yang mempunyai syahwat besar
daripada zinah sedangkan racun apabila menelantarkan
istri dan anak2 nya 
--- "L.Meilany" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

> Benar, Pak Ambon.
> Mengulas tulisan yg sifatnya fakta atau opini itu
> juga susah.
> Yg jelas, persepsi laki2 dan perempuan tentang
> masalah 'adil' mungkin beda
> Jadi nggak akan pernah bisa nyambung.
> Keadilan bagi perempuan bukan cuma menyangkut fisik
> semata- yg kelihatan
> tapi juga menyangkut batin. Lahiriah dan batiniah.
> 
> Jadi, nggak bisa gitu memandang poligami hanya dari
> sudut pria saja.
> Poligami dimasa sekarang bukan melulu masalah
> teologis, tapi juga menyangkut kehidupan 
> bermasyarakat, sosekbud.
> Laki2 memandang poligami hanya dari sisi agamanya
> saja, sedangkan perempuan secara holistik-
> keseluruhan.
> 
> Selama masih beda, maka praktek poligami akan terus
> diomongin terutamanya oleh perempuan.
> Karena laki2 lebih menekankan pada masalah fisik
> semata, pokoknya asal 'adil' urusan 
> materi semuanya dianggap beres.
> Sedangkan perempuan, anak2, kerabat itu lebih perasa
> :-)
> 
> Salam 
> l.meilany
> - Original Message -
> 
>   From: Ambon 
>   To: Undisclosed-Recipient:; 
>   Sent: Thursday, December 28, 2006 5:51 PM
>   Subject: [wanita-muslimah] Poligami: Obat Atau
> Racun?
> 
> 
>  
>
http://www.indomedia.com/bpost/122006/28/opini/opini1.htm
> 
>   Poligami: Obat Atau Racun?
> 
>   Pelaku poligami yang kaya raya mungkin bisa
> berhasil berbagi materi secara 'adil'. Tetapi,
> berhasil atau gagalnya ia berbagi keadilan di
> wilayah perasaan tak akan ada yang tahu.
> 
>   Sainul Hermawan
>   Dosen FKIP Unlam
> 
>   Telatkah bicara soal poligami ketika berita
> tentang poligami Aa Gym mulai mereda? Jawabnya tentu
> tidak, karena persoalan poligami bukan hanya gosip
> murahan tetapi ia juga salah satu tema penting dalam
> penelitian Sosiologi dan Antropologi. Karenanya,
> persoalan poligami perlu terus didiskusikan dalam
> kerangka ilmiah atau dalam kerangka apa saja,
> termasuk untuk tujuan gosip murahan.
> 
>   Akumulasi dari seluruh rangkaian pembicaraan
> tentangnya akan memberikan informasi bagi publik
> untuk menyikapi poligami secara bijak. Dalam
> pengertian, bukan hanya menilai poligami dari satu
> sudut pandang tetapi juga dari berbagai pengalaman
> orang yang pernah mengalaminya.
> 
>   Ketika seorang muslim bicara soal legalitas
> poligami, ia akan merujuk QS ayat 3: " ... maka
> menikahlah dengan wanita-wanita (lain) yang kamu
> cintai; dua, tiga, atau empat orang wanita, namun
> bila kamu khawatir tidak dapat berbuat adil maka
> nikahilah satu orang wanita saja " Tetapi kita
> harus ingat, kalimat ini penggalan dari kalimat
> panjang yang memerlukan penafsiran yang luas pula.
> Tetapi, pecinta poligami pemula sering memplesetkan
> ayat ini hanya untuk sebagai bemper pengaman.
> 
>   Ayat tersebut bukan sekadar membolehkan, tetapi
> juga melarang. Jadi, jangan ditafsirkan ayat ini
> sepenuhnya mengizinkan. Poligami itu sah-sah saja
> asal pelakunya adil, kalau tidak bisa adil jangan.
> Sebenarnya, imbauan semacam ini sering kita jumpai
> pada kotak obat. Ibarat obat, poligami bukan obat
> yang cocok bagi siapa saja. Setiap obat pasti selalu
> disertai dengan catatan kontra indikasi.
> 
>   Misalnya, obat A dapat untuk mengobati penyakit B
> asalkan pemakai tidak punya gejala penyakit C, D, E
> dan sebagainya. Demikian juga poligami, ia bisa jadi
> obat jika perempuan yang akan diobatinya tidak
> mengidap 'penyakit' tertentu. Tetapi dalam soal ini,
> sebenarnya siapa yang sakit? Laki-laki atau
> perempuan?
> 
>   Saya punya seorang kawan (laki-laki) yang selalu
> bercerita keinginan kuatnya untuk berpoligami.
> Dengan ungkapan yang sangat ekspresif dia berucap:
> "Pokoknya aku harus poligami. Aku sudah memasuki
> masa puber kedua. Aku tak bisa kerja kalau hasratku
> tak tersalur." Tetapi sampai detik ini, ia belum
> berani melakukannya karena istrinya tak mengizinkan.
> Bagi istrinya, lebih baik 'diracun' daripada dimadu.
> Ia menghadapi dilema. Tak poligami tak bisa kerja,
> sementara kalau memaksakan diri poligami ia akan
> melakukan sesuatu yang dibenci Tuhan: perceraian.
> Akhirnya ia selingkuh. Ia bisa kerja. Tetapi ia
> menjalani kemunafikan setiap hari. Munafik juga
> dibenci Tuhan. Akhirnya kejenuhan datang juga,
> perempuan yang diselingkuhinya ternyata lebih
> menjijikkan daripada istri yang telah memberinya
> keturunan. 
> 
>   Menghadapi poligami, perempuan dan laki-laki bisa
> sama-sama 'sakit'. Laki-laki sakit karena hasrat
&

Re: [wanita-muslimah] Poligami: Obat Atau Racun?

2006-12-29 Terurut Topik L.Meilany
Benar, Pak Ambon.
Mengulas tulisan yg sifatnya fakta atau opini itu juga susah.
Yg jelas, persepsi laki2 dan perempuan tentang masalah 'adil' mungkin beda
Jadi nggak akan pernah bisa nyambung.
Keadilan bagi perempuan bukan cuma menyangkut fisik semata- yg kelihatan
tapi juga menyangkut batin. Lahiriah dan batiniah.

Jadi, nggak bisa gitu memandang poligami hanya dari sudut pria saja.
Poligami dimasa sekarang bukan melulu masalah teologis, tapi juga menyangkut 
kehidupan 
bermasyarakat, sosekbud.
Laki2 memandang poligami hanya dari sisi agamanya saja, sedangkan perempuan 
secara holistik- keseluruhan.

Selama masih beda, maka praktek poligami akan terus diomongin terutamanya oleh 
perempuan.
Karena laki2 lebih menekankan pada masalah fisik semata, pokoknya asal 'adil' 
urusan 
materi semuanya dianggap beres.
Sedangkan perempuan, anak2, kerabat itu lebih perasa
:-)

Salam 
l.meilany
- Original Message -

  From: Ambon 
  To: Undisclosed-Recipient:; 
  Sent: Thursday, December 28, 2006 5:51 PM
  Subject: [wanita-muslimah] Poligami: Obat Atau Racun?


  http://www.indomedia.com/bpost/122006/28/opini/opini1.htm

  Poligami: Obat Atau Racun?

  Pelaku poligami yang kaya raya mungkin bisa berhasil berbagi materi secara 
'adil'. Tetapi, berhasil atau gagalnya ia berbagi keadilan di wilayah perasaan 
tak akan ada yang tahu.

  Sainul Hermawan
  Dosen FKIP Unlam

  Telatkah bicara soal poligami ketika berita tentang poligami Aa Gym mulai 
mereda? Jawabnya tentu tidak, karena persoalan poligami bukan hanya gosip 
murahan tetapi ia juga salah satu tema penting dalam penelitian Sosiologi dan 
Antropologi. Karenanya, persoalan poligami perlu terus didiskusikan dalam 
kerangka ilmiah atau dalam kerangka apa saja, termasuk untuk tujuan gosip 
murahan.

  Akumulasi dari seluruh rangkaian pembicaraan tentangnya akan memberikan 
informasi bagi publik untuk menyikapi poligami secara bijak. Dalam pengertian, 
bukan hanya menilai poligami dari satu sudut pandang tetapi juga dari berbagai 
pengalaman orang yang pernah mengalaminya.

  Ketika seorang muslim bicara soal legalitas poligami, ia akan merujuk QS ayat 
3: " ... maka menikahlah dengan wanita-wanita (lain) yang kamu cintai; dua, 
tiga, atau empat orang wanita, namun bila kamu khawatir tidak dapat berbuat 
adil maka nikahilah satu orang wanita saja " Tetapi kita harus ingat, 
kalimat ini penggalan dari kalimat panjang yang memerlukan penafsiran yang luas 
pula. Tetapi, pecinta poligami pemula sering memplesetkan ayat ini hanya untuk 
sebagai bemper pengaman.

  Ayat tersebut bukan sekadar membolehkan, tetapi juga melarang. Jadi, jangan 
ditafsirkan ayat ini sepenuhnya mengizinkan. Poligami itu sah-sah saja asal 
pelakunya adil, kalau tidak bisa adil jangan. Sebenarnya, imbauan semacam ini 
sering kita jumpai pada kotak obat. Ibarat obat, poligami bukan obat yang cocok 
bagi siapa saja. Setiap obat pasti selalu disertai dengan catatan kontra 
indikasi.

  Misalnya, obat A dapat untuk mengobati penyakit B asalkan pemakai tidak punya 
gejala penyakit C, D, E dan sebagainya. Demikian juga poligami, ia bisa jadi 
obat jika perempuan yang akan diobatinya tidak mengidap 'penyakit' tertentu. 
Tetapi dalam soal ini, sebenarnya siapa yang sakit? Laki-laki atau perempuan?

  Saya punya seorang kawan (laki-laki) yang selalu bercerita keinginan kuatnya 
untuk berpoligami. Dengan ungkapan yang sangat ekspresif dia berucap: "Pokoknya 
aku harus poligami. Aku sudah memasuki masa puber kedua. Aku tak bisa kerja 
kalau hasratku tak tersalur." Tetapi sampai detik ini, ia belum berani 
melakukannya karena istrinya tak mengizinkan. Bagi istrinya, lebih baik 
'diracun' daripada dimadu. Ia menghadapi dilema. Tak poligami tak bisa kerja, 
sementara kalau memaksakan diri poligami ia akan melakukan sesuatu yang dibenci 
Tuhan: perceraian. Akhirnya ia selingkuh. Ia bisa kerja. Tetapi ia menjalani 
kemunafikan setiap hari. Munafik juga dibenci Tuhan. Akhirnya kejenuhan datang 
juga, perempuan yang diselingkuhinya ternyata lebih menjijikkan daripada istri 
yang telah memberinya keturunan. 

  Menghadapi poligami, perempuan dan laki-laki bisa sama-sama 'sakit'. 
Laki-laki sakit karena hasrat seksual primitifnya, tak menemukan saluran lain 
yang bisa membelokkan ke arah selain poligami. Perempuan juga 'sakit', karena 
ia makhluk yang dilahirkan dengan naluri lebih perasa daripada laki-laki. 

  Di sinilah kompleksnya berbuat keadilan dalam ranah perasaan yang sangat 
abstrak. Pelaku poligami yang kaya raya mungkin bisa berhasil berbagi materi 
secara 'adil'. Tetapi, berhasil atau gagalnya ia berbagi keadilan di wilayah 
perasaan tak akan ada yang tahu. Kecuali hanya Tuhan dan perempuan yang 
mengalaminya. Kita hanya bisa menerka lewat senyumnya, perempuan yang dimadu 
itu bahagia. Tetapi, senyum itu bisa sedangkal lautan yang dalamnya bisa 
diduga. Tetapi apa yang dirasakan hati perempuan y

[wanita-muslimah] Poligami: Obat Atau Racun?

2006-12-28 Terurut Topik Ambon
http://www.indomedia.com/bpost/122006/28/opini/opini1.htm

  
Poligami: Obat Atau Racun?

Pelaku poligami yang kaya raya mungkin bisa berhasil berbagi materi secara 
'adil'. Tetapi, berhasil atau gagalnya ia berbagi keadilan di wilayah perasaan 
tak akan ada yang tahu.

Sainul Hermawan
Dosen FKIP Unlam



Telatkah bicara soal poligami ketika berita tentang poligami Aa Gym mulai 
mereda? Jawabnya tentu tidak, karena persoalan poligami bukan hanya gosip 
murahan tetapi ia juga salah satu tema penting dalam penelitian Sosiologi dan 
Antropologi. Karenanya, persoalan poligami perlu terus didiskusikan dalam 
kerangka ilmiah atau dalam kerangka apa saja, termasuk untuk tujuan gosip 
murahan.

Akumulasi dari seluruh rangkaian pembicaraan tentangnya akan memberikan 
informasi bagi publik untuk menyikapi poligami secara bijak. Dalam pengertian, 
bukan hanya menilai poligami dari satu sudut pandang tetapi juga dari berbagai 
pengalaman orang yang pernah mengalaminya.

Ketika seorang muslim bicara soal legalitas poligami, ia akan merujuk QS ayat 
3: " ... maka menikahlah dengan wanita-wanita (lain) yang kamu cintai; dua, 
tiga, atau empat orang wanita, namun bila kamu khawatir tidak dapat berbuat 
adil maka nikahilah satu orang wanita saja " Tetapi kita harus ingat, 
kalimat ini penggalan dari kalimat panjang yang memerlukan penafsiran yang luas 
pula. Tetapi, pecinta poligami pemula sering memplesetkan ayat ini hanya untuk 
sebagai bemper pengaman.

Ayat tersebut bukan sekadar membolehkan, tetapi juga melarang. Jadi, jangan 
ditafsirkan ayat ini sepenuhnya mengizinkan. Poligami itu sah-sah saja asal 
pelakunya adil, kalau tidak bisa adil jangan. Sebenarnya, imbauan semacam ini 
sering kita jumpai pada kotak obat. Ibarat obat, poligami bukan obat yang cocok 
bagi siapa saja. Setiap obat pasti selalu disertai dengan catatan kontra 
indikasi.

Misalnya, obat A dapat untuk mengobati penyakit B asalkan pemakai tidak punya 
gejala penyakit C, D, E dan sebagainya. Demikian juga poligami, ia bisa jadi 
obat jika perempuan yang akan diobatinya tidak mengidap 'penyakit' tertentu. 
Tetapi dalam soal ini, sebenarnya siapa yang sakit? Laki-laki atau perempuan?

Saya punya seorang kawan (laki-laki) yang selalu bercerita keinginan kuatnya 
untuk berpoligami. Dengan ungkapan yang sangat ekspresif dia berucap: "Pokoknya 
aku harus poligami. Aku sudah memasuki masa puber kedua. Aku tak bisa kerja 
kalau hasratku tak tersalur." Tetapi sampai detik ini, ia belum berani 
melakukannya karena istrinya tak mengizinkan. Bagi istrinya, lebih baik 
'diracun' daripada dimadu. Ia menghadapi dilema. Tak poligami tak bisa kerja, 
sementara kalau memaksakan diri poligami ia akan melakukan sesuatu yang dibenci 
Tuhan: perceraian. Akhirnya ia selingkuh. Ia bisa kerja. Tetapi ia menjalani 
kemunafikan setiap hari. Munafik juga dibenci Tuhan. Akhirnya kejenuhan datang 
juga, perempuan yang diselingkuhinya ternyata lebih menjijikkan daripada istri 
yang telah memberinya keturunan. 

Menghadapi poligami, perempuan dan laki-laki bisa sama-sama 'sakit'. Laki-laki 
sakit karena hasrat seksual primitifnya, tak menemukan saluran lain yang bisa 
membelokkan ke arah selain poligami. Perempuan juga 'sakit', karena ia makhluk 
yang dilahirkan dengan naluri lebih perasa daripada laki-laki. 

Di sinilah kompleksnya berbuat keadilan dalam ranah perasaan yang sangat 
abstrak. Pelaku poligami yang kaya raya mungkin bisa berhasil berbagi materi 
secara 'adil'. Tetapi, berhasil atau gagalnya ia berbagi keadilan di wilayah 
perasaan tak akan ada yang tahu. Kecuali hanya Tuhan dan perempuan yang 
mengalaminya. Kita hanya bisa menerka lewat senyumnya, perempuan yang dimadu 
itu bahagia. Tetapi, senyum itu bisa sedangkal lautan yang dalamnya bisa 
diduga. Tetapi apa yang dirasakan hati perempuan yang menjalani poligami, siapa 
yang tahu?

Karena itu, pembela poligami tak perlu terlalu bernafsu untuk menyalahkan 
mereka yang antipoligami, apalagi dengan menggeneralisasi dan memplesetkan 
surah suci hanya untuk kepentingan nafsu primitif laki-laki yang ada sejak 
Islam belum ada. Kasus poligami yang sering saya ketahui, ternyata tidak 
didorong oleh keinginan utama untuk menjalankan perintah agama. Agama selalu 
jadi tameng legitimasi untuk melapangkan jalan, menenangkan kegamangan pikiran 
dan perasaan pelakunya. Kalau begitu, poligami religius atau sekuler menjadi 
tipis batasnya. Meskipun kita punya teladan dalam soal ini, baik yang universal 
ataupun lokal, setiap peniruan selalu tak mulus karena sejarah dan nasib 
manusia tak pernah benar-benar sama.

Demikian pula penentang poligami, tak perlu terlalu jauh memvonis mereka yang 
berpoligami atau seorang lelaki yang menikahi lebih dari satu perempuan adalah 
'penjahat kemanusian' yang merendahkan martabat perempuan. Ingat, kenyataan 
perempuan itu tak homogen. Dunia perempuan itu sebuah belantara luas yang 
mustahil disimpulkan hanya oleh sebuah tulisan yang penuh keterbatasan dan 
nafsu. Dunia perempuan itu penuh wa