[zamanku] Peringatan Hari Tanpa Kekerasan Sedunia 2 Oktober 2008 (Press Release)

2008-09-29 Thread yudha renesanto
*Press Release*

* *

*Yayasan Anand Ashram*

*Peringatan Hari Tanpa Kekerasan Sedunia *

*2 Oktober 2008*

* *

Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pada tanggal 15 Juni 2007,
telah menetapkan *International Day of Non-Violence* jatuh pada setiap
tanggal 2 Oktober, yang juga merupakan peringatan Hari Kelahiran *Mahatma
Gandhi* yang telah menginspirasikan gerakan hak-hak sipil dan kemerdekaan di
seluruh dunia dengan cara *Ahimsa *(Tanpa Kekerasan). Pada hari ini,
diharapkan setiap orang menyebarkan pesan-pesan tanpa kekerasan, termasuk
melalui pendidikan dan kesadaran publik.



Atas seruan ini, *Yayasan Anand Ashram* (beraffiliasi dengan PBB)
memperingati Hari Tanpa Kekerasan Sedunia ini dengan mengadakan :



   - Diskusi Buku *Be The Change!* *Menghidupi Kebijaksanaan Mahatma Gandhi*
   - Waktu: Kamis, 2 Oktober 2008, Pukul 19.00 – 21.00 WIB
   - Tempat : Pusat Pelatihan One Earth, Bukit Pelangi Km 2, Ciawi-Bogor,
   Jawa Barat - Indonesia



Buku, karya Bapak *Anand Krishna*, yang ditulis paska Tragedi Monas 1 Juni
2008 ini, memuat 10 butir utama ajaran Gandhi untuk merubah dunia ini dan
dipersembahkan kepada siapapun yang siap sedia untuk mempersembahkan harta,
jiwa, raga, bahkan nyawa di atas altar *Ibu Pertiwi*. Doa bersama bagi
Perdamaian Indonesia dan Dunia melalui *jalan non-violence* oleh pemeluk
agama dari berbagai agama dan suku bangsa akan menutup acara ini.



Tahun ini, Hari Tanpa Kekerasan Sedunia ini diperingati masih dalam suasana
Idul Fitri sehingga atmosfir kebersamaan dan saling memaafkan sangat selaras
dengan prinsip tanpa kekerasan walaupun pada kenyataannya masih banyak
kelompok yang mengatasnamakan agama, politik, ekonomi ataupun etnis
menggunakan kekerasan dalam menghadapi perbedaan pendapat. Bahkan, di
Indonesia kelompok-kelompok pembela agama dengan mudah melakukan kekerasan
terhadap orang lain dan kekerasan ini tidak hanya dibiarkan oleh
pemerintahan tapi juga dibenarkan oleh beberapa tokoh agama yang bersembunyi
dalam dalih pemurnian agama.



"Memang segala bentuk kejahatan harus dilawan, tapi harus tanpa kekerasan,
tanpa senjata, melainkan dengan logika, rasio dan di atas segalanya
cinta-kasih serta pemaafan. Keberhasilan seseorang melawan kejahatan dan
menaklukannya tanpa kekerasan membuatnya menjadi manusia berjiwa besar
seperti Sang Mahatma sendiri, " demikian tulis Bapak Anand Krishna dalam
Buku *Be The Change!* (Hal 58)



Tapi *Ahimsa* bukan lah tanda sebuah kelemahan. *Ahimsa*, menurut Mahatma
Gandhi, adalah ideal yang tertinggi. Ia diperuntukkan bagi mereka yang kuat,
bukan bagi para pengecut. *Ahimsa adalah atribut bagi para pemberani*.
Kelemahan
dan *Ahimsa* ibarat air dan api, tak pernah bertemu. Selain Gandhi, Nelson
Mandela di Afrika Selatan, dan Martin Luther King, Jr di Amerika Serikat
telah berhasil memperlihatkan kepada dunia bahwa gerakan masyarakat sipil
yang menerapkan prinsip-prinsip *Ahimsa* telah mampu mematahkan dominasi dan
cengkraman kekuasaan terdahulu yang diskriminatif dan mengutamakan
kekerasan.



Semoga pemahaman yang tepat dan komprehensif tentang prinsip-prinsip *Ahimsa
* (Tanpa Kekerasan) ini dapat tersebar dan menular, sehingga pada suatu hari
nanti, setiap hari tanpa kekerasan bukanlah merupakan suatu mimpi indah tapi
menjadi sebuah kenyataan yang nyata bagi seluruh manusia yang hidup bersama
secara damai di Satu Bumi, Satu Langit dan Satu Umat Manusia.



Ciawi, 2 Oktober 2008



Untuk Informasi Lebih Lanjut bisa menghubungi :

Made Yudhanegara (0816.482.61550) dan (021.710.1010629)

Joehanes (0811.144959)


[zamanku] (OOT) Undangan Diskusi Kebangsaan Memperingati Hari Sumpah Pemuda

2008-10-15 Thread yudha renesanto
 

Kepada Yang Terhormat,
 Jakarta, 10 Oktober 2008

* *

*Pemuda-pemudi Indonesia*

* *

* *

*Perihal : Undangan  Diskusi  Kebangsaan Memperingati Hari Sumpah Pemuda *

* *



Salam Indonesia!



Kami *National Integration Movement (NIM*) atau Gerakan Integrasi Nasional,
lembaga non-profit dan non-politik, yang berdiri karena keprihatinan kami
terhadap berbagai masalah disintegrasi bangsa yang saat ini terjadi dan yang
berpotensi untuk terjadi, sedang menyelenggarakan berbagai kegiatan yang
bertujuan untuk menumbuh-kembangkan rasa cinta  terhadap Ibu Pertiwi. Salah
satu kegiatan yang kami lakukan adalah *Diskusi Kebangsaan *setiap sebulan
sekali, yang merupakan *Kampanye Menjaga Keutuhan Bangsa dan Perdamaian
Dunia. *NIM yang  berasal dari berbagai latar belakang profesi, suku, agama
dan gender, berusaha untuk mengingatkan masyarakat Indonesia akan semangat
Pancasila, UUD 1945 dan juga semboyan Bhinneka Tunggal Ika atau Keberagaman
yang merupakan dasar dalam membangun Bangsa Indonesia. **



NIM menyadari bahwa peran pemuda Indonesia sangatlah penting dalam
membangkitkan upaya mempersatukan segala komponen masyarakat Indonesia yang
sangat majemuk. Sejarah telah mencatat bahwa semangat persatuan yang
digelorakan kaum muda Indonesia pada Sumpah Pemuda menjadi tonggak penting
dalam perjalanan bangsa ini.



Bersama surat ini, kami mengundang Saudara/Saudari untuk menghadiri Diskusi
Kebangsaan NIM memperingati Hari Sumpah Pemuda dengan tema *"Memaknai
Kembali Semangat Sumpah Pemuda di Tengah Rakyat yang Kian Apatis, Terpecah
dan Kecewa"* yang akan dilangsungkan pada:



   - Hari, tanggal : Jumat, 24 Oktober 2008
   - Waktu  : Pukul 19.00 WIB – selesai
   - Tempat : Padepokan One Earth, One Sky, One Humankind

  Jl. Raya Bukit Pelangi Km 2, Ciawi – Bogor

   - Pembicara: *DR Adnan Buyung Nasution *( Dewan
   Pertimbangan Presiden )
   - Info & pendaftaran   : Muslihah  0813 8990 6800/021-71510224 atau
   David 021-68644945



Kehadiran Saudara/Saudari sekalian sangat kami harapkan untuk suksesnya
acara ini. Demikianlah surat undangan ini kami sampaikan. Atas kesediaan,
dukungan dan kehadirannya, kami haturkan banyak terima kasih.

* *

Bende Mataram – Sembah Bhaktiku Bagi Ibu Pertiwi.

Indonesia Jaya !





* *

*Panitia*


[zamanku] Undangan Pers untuk International World Peace Day 2008

2008-09-17 Thread yudha renesanto
Jakarta, 17 September 2008



Kepada Yth., Jakarta, 17 September 2008

*Pemimpin Redaksi Koran, TV, Radio, dan Majalah*

di tempat



Undangan Pers

Sebagai salah satu organisasi yang telah berafiliasi dengan Perserikatan
Bangsa-Bangsa melalui *Department of Public Information*, Yayasan Anand
Ashram bersama sayap organisasinya, Forum Kebangkitan Jiwa (FKJ), *National
Integration Movement *(NIM), *Sufi Lodge*, ForADokSi-BIP*, Anand Krishna
Global Cooperation*, Yayasan Pendidikan Anand Krishna, Institut Pendidikan
Holistik, dan *California-Bali*

*Friendship Association* akan berpartisipasi dalam melakukan Kampanye
Perdamaian di Indonesia pada Hari Perdamaian Dunia (*The International Day
of Peace*) yang jatuh pada hari Minggu, 21 September 2008.



Kami meyakini bahwa perdamaian dunia dapat terwujud dengan menerapkan
prinsip tanpa kekerasan dalam kehidupan sehari-hari dimulai dengan tidak
bersuara keras kepada orang lain, tidak bertengkar, tidak menyakiti hati
orang lain dimulai dari orang-orang terdekat, menyayangi diri sendiri dan
meminta maaf pada orang yang pernah berselisih dengan kita.



Kampanye Perdamaian di Indonesia, yang mengusung tema

"*Kontribusi Pemuda Indonesia Bagi Perdamaian Dunia *: *World Peace Now! **Stop
Imagining, Make It Happen**"*

ini, akan dilaksanakan dalam serangkaian acara sebagai berikut :



*• Pemutaran dan Diskusi Film "Peace One Day", Open House bersama Bapak
Anand Krishna, dan Buka Puasa Bersama*

*
*

> Hari/Tgl : Sabtu, 20 September 2008
> Waktu : Pukul 13.00 s/d 18.00 WIB
> Tempat : Padepokan Anand Ashram
> Jl Sunter Mas Barat II-E, Block H-10/1, Jakarta
>
*
*

*• Pesta Rakyat Olahraga Tertawa*

*
*

> Hari/Tgl : Minggu, 21 September 2008
> Waktu : Pukul 05.45 s/d 6.45 WIB
> Tempat : Lapangan Ikada, Monas – Jakarta
>

Serangkaian acara ini akan didokumentasikan untuk kemudian dikirimkan ke PBB
sebagai bentuk partisipasi Indonesia pada peringatan *International Day of
Peace*. Untuk itu kami mengundang teman-teman pers untuk hadir dan
berpartisipasi dalam acara tersebut dan ikut merasakan kebersamaan menuju
perdamaian.


Terima kasih.
Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Imus (0813.8990.6800) atau
Joehanes (0811.144959)


Jl. Sunter Mas Barat II-E, Block H-10/1, Jakarta 14350 - Indonesia
Phone: 021-6508648, 0818-163391 Fax: 021-6503459


**


[zamanku] Peace One Day

2008-09-18 Thread yudha renesanto
Nowdays, World Peace is not enough just to be merely a fantasy, but it has
to become a reality.

Then, what we should do in order to create peace in this world which is
getting closer to a belief of violence ?

This day, World Peace is no longer just a desire of an idealist, but already
is becoming the most realistic need so that humankind can keep survive in
this beautiful earth.

A journey of a thousand steps begins from one single small step.
So let's start creating World Peace by applying non-violent principles in
daily life, such as :

always talk in comforting tone,
avoid fight,
don't hurt anybody with harsh words, and
apologize to anyone who ever had a fight with us.

Creating World Peace by practicing a day without violence, or One Peace Day
on September 21st, 2008
**
*Please send this email to 10 of your friends, then you will get lucky
within this week.
*


[zamanku] PRESS RELEASE - Peringatan Hari Perdamaian Dunia

2008-09-18 Thread yudha renesanto
(sorry kalau OOT)   PRESS RELEASE



*Yayasan Anand Ashram*

National Integration Movement -- Forum Kebangkitan Jiwa – Sufi Lodge – Forum
Pengajar Dokter Psikolog-Bagi Ibu Pertiwi – Anand Krishna Global Cooperation
– Yayasan Pendidikan Anand Krishna – Institut Pendidikan Holistik –
California-Bali Frienship Association – L'Ayurveda



*Peringatan Hari Perdamaian Dunia (The International Day of Peace 2008) *

*Kontribusi Pemuda Indonesia bagi Perdamaian Dunia*

*World Peace Now! Stop Imagining, Make It Happen*



Tanggal *21 September* telah diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
sebagai *Hari Perdamaian Dunia (The International Day of Peace).* Seluruh
negara dan masyarakat dunia diharapkan menghormati hari ini sebagai hari
tanpa peperangan & tanpa kekerasan. Satu hari bagi Perdamaian, atau *Peace
One Day. *



*Peace One Day* diinisiatifkan oleh seorang pembuat film Inggris, Jeremy
Gilley, yang sejak tahun 1998, melakukan berbagai pertemuan dengan para
mahasiswa, LSM, Kepala Negara dan Pemerintahan Dunia, Pemenang Nobel
Perdamaian Oscar Arias
Sanchezdan Nelson
Mandela , Sekjen ke-7 PBB Kofi
Annan, Komisioner Hak Asasi Manusia PBB Mary Robinson, Sekjen Liga Arab Amre
Moussa , dan juga Dalai Lama bagi
terwujudnya Satu Hari Bagi Perdamaian.



Yayasan Anand Ashram (berafiliasi dengan PBB), beserta sayap-sayap
organisasinya, yakni Forum Kebangkitan Jiwa (FKJ), National Integration
Movement (NIM), Sufi Lodge, Forum Pengajar, Dokter dan Psikolog Bagi Ibu
Pertiwi (ForADokSi-BIP), Anand Krishna Global Cooperation, Yayasan
Pendidikan Anand Krishna, Institut Pendidikan Holistik, California-Bali
Friendship Association, dan L'Ayurveda merespon seruan ini dengan mengadakan
serangkaian acara dengan tema "*Kontribusi Pemuda Indonesia Bagi Perdamaian
Dunia: World Peace Now! Stop Imagining, Make It Happen*" mulai hari *Sabtu,
20 September 2008* sampai dengan hari *Minggu, **21 September 2008* yang
dilaksanakan secara serentak di beberapa kota besar di seluruh Indonesia,
antara lain :



*Jakarta** : *

Pemutaran dan Diskusi Film *Peace One Day*, Open House (bersama Bapak Anand
Krishna) dan Buka Puasa Bersama.

Waktu : Sabtu, 20 September 2008. Pukul 13:00-18:00 WIB

Tempat : Anand Ashram, Jl. Sunter Mas Barat II-E, Block H-10/1, Jakarta.
Informasi : Imus (0813.89906800)



Pesta Rakyat Olahraga Tertawa

Waktu : Minggu, 21 September 2008. Pukul 05:45-07:00 WIB

Tempat : Lapangan IKADA, Monas, Jakarta Pusat. Informasi : Sita
(0816.1407380)

* *

* *

*Denpasar – Bali :*

Pesta Rakyat Olahraga Tertawa

Waktu: Minggu, 21 September 2008. Pukul 07:00-08:00 WITA

Tempat : Lapangan Renon, Denpasar – Bali. Informasi : Aryana (0817.9741165)



*Surabaya** – Jawa Timur :*

Aksi Damai Membagikan Stiker dan pesan Perdamaian

Waktu: Minggu, 21 September 2008, Pk.08:00 – 10:00 WIB

Tempat : Bandara Udara Juanda, Surabaya. Informasi : Yohanes (0813.32988869)



*Jogjakarta – Jawa Tengah :*

Pesta Rakyat

Waktu : Minggu, 21 September 2008, Pk. 07:00 – 08:00 WIB

Tempat : Lapangan Parkir Museum Ronggowarsito, Jl. Abdul Rahman Saleh No. 1
Kali Banteng, Semarang.

Informasi : Pranoto (0856.2696783)



Pemutaran dan Diskusi Film *Peace One Day* dan Buka Puasa Bersama

Waktu : Minggu, 21 Sept 2008, Pk. 15:30 – Pk. 18:00 WIB

Tempat : Museum Ronggowarsito Lt. 1, Jl. Abdul Rahman Saleh No. 1 Kali
Banteng, Semarang.

Informasi : Haryadi (0856.2650699)



Bapak Anand Krishna, pendiri Yayasan Anand Ashram, meyakini bahwa Perdamaian
Dunia hanya dapat tercipta jika dimulai dari diri sendiri dan lingkungan
terdekat seperti keluarga. Maka pada *One Peace Day* tahun ini, beliau
menyerukan kita semua untuk mulai menolak kekerasan dalam bentuk apapun
dengan menerapkan beberapa hal praktis yang dapat kita lakukan dalam
kehidupan sehari-hari, yaitu *tidak bersuara keras kepada orang
lain*,*tidak bertengkar
*,* tidak menyakiti hati orang lain dimulai dari orang-orang
terdekat*,*menyayangi diri sendiri
* dan* meminta maaf pada orang yang pernah berselisih dengan kita*.



Dengan menerapkan prinsip tanpa kekerasan mulai pada diri sendiri dalam
kehidupan sehari-hari maka akan terwujud Perdamaian Sejati bagi lingkungan
masyarakat, bangsa dan negara, dunia dan umat manusia dalam Satu Bumi, Satu
Langit dan Satu Umat Manusia (*One Earth, One Sky, One Humankind*) **





Jakarta, 19 September 2008


[zamanku] i am SO VERY SORRY.......

2009-07-19 Thread yudha renesanto
I am sorry.

I apologize for my inability to be a good host to foreigners living in my
country. I am sorry that I could still find time to say my prayers before
rushing to the scene or to the hospital where the wounded were being
treated. I realize now, that I was being insensitive to the cries and tears
of the bereaved family members of the deceased and the injured victims in
the hospital.

I apologize for finding it more important to take pictures, rather than
helping Holcim Indonesia President Timothy David Mackay. Indirectly, or
indirectly, I stand responsible for his death. I am sorry for sharing those
pictures on television amidst giggles.

I am sorry for allowing our children to be brainwashed and trained as
suicide bombers. I apologize for not being vigilant enough toward people
spreading hatred in the name of religion and education.

I also apologize for my unwise remarks, finding scapegoats for the incident,
rather blaming my own incapability in securing my neighborhood. I now
realize that this incident was very carefully planned, and perhaps for
months. I can see a clear pattern connecting this with the hotel siege in
Mumbai some time back.

I am sorry, so very sorry.

by Anand Krishna -
http://www.facebook.com/note.php?note_id=100297644662&ref=mf


[zamanku] Antara Politik, Keimananan dan Sex

2009-07-20 Thread yudha renesanto
*Antara Politik, Keimananan dan Sex*

*Oleh Anand Krishna ,  *
*
http://www.thejakartapost.com/news/2009/05/19/between-politics-faith-and-sex.html
*

Sambil membaca Jakarta Post edisi Jum'at yg lalu, seorang teman yg sedang
berkunjung memberi komentar bahwa negara kita adalah negara yg lucu. Mungkin
dia sedang berusaha mengatakan sesuatu secara halus. Komentar dia muncul
setelah membaca artikel dimana Ketua PKS Tifatul Sembiring memberikan
pandangan nya tentang Gubernur BI Boediono sbg cawapres SBY di masa
kepemimpinan yg akan datang.


Artikel kedua yg sama "lucu" nya adalah tentang tututan kepada calon
presiden wanita untuk "ber-puasa sex" selama 10 hari.

Tifatul Sembiring tidak merasa nyaman dengan tingkat "keimanan" dari
Boediono, dan berkata, seperti di quote oleh Jakarta Post : "Boediono tidak
pernah berkotbah di hadapan khalayak Muslim."

Jadi walaupun Boediono secara teratur embahyang Jum'at di mesjid, Beliau
dianggap masih "kurang tingkat ke-muslim-an nya".


Yg lebih lucu lagi adalah, menurut Sembiring, para pendukungnya berpendapat
bahwa Boediono adalah seorang "nasionalis", dimana dianggap tidak layak
untuk me-wakil-i Islam.

Pertanyaan nya sekarang adalah: siapa yg dianggap layak untuk mewakili
Islam? Pertanyaan lain yg juga penting adalah: apakah seorang Muslim tidak
bisa menjadi nasionalis pada saat yg sama?

Yg juga sangat mengganggu saya adalah apakah kaum Kristen, Hindu ataupun
Budha mempunyai hak yg sama untuk menjadi seoarng calon wakil presiden dari
negara ini. Sedang menuju kemanakah negeri ini?


Mantan Pressiden PKS, Hidayat Nurwahid, yg sekarang adalah ketua MPR,
membuat pernyataan beberapa waktu yg lalu, bahwa dia menerima bbrp SMS, yg
mengatakan bahwa Hidayat adalah anti persatuan nasional (NKRI) dan anti
ideologi nasional yg berbasiskan Bhineka Tunggal Ika.

Hidayat menyanggah semua tuduhan-tuduhan ini. Saat nya sudah tiba bagi
Hidayat untuk menyatakan dengan jelas, apa pengertian Hidayat tentang
Bhineka Tunggal Ika sehubungan dgn kedudukan nya di dalam partainya.

Hidayat juga menolak untuk di-asosiasi-kan dengan Wahabi dan Saudi, dimana
menurut Hidayat bertentangan dengan partai politik. Bagaimana dengan
ideologi dari Wahabi itu sendiri? yg mana menempatkan "keseragaman" diatas
"keberagaman" (Bhineka Tunggal Ika)?


Yg menarik lagi adalah kebijaksanaan wilayah Depok untuk menutup sebuah
gereja, dan penolakan untuk memberikan ijin mendirikan gereja. Menariknya
wilayah Depok ini adalah di bawah kekuasaan partai nya Hidayat (PKS). Akan
menjadi sangat menarik untuk meminta pendapat dari Nurwahid tentang hal ini.

Ada berita lain yg berhubungan dengan "aktifitas sexual" dari Capres Wanita:
mungkin ketua IDI- Facmi Idris, sudah melakukan penelitian yg mendalam ttg
hal ini. Yg dilupakan untuk diungkapkan adalah apa alasan di balik hal ini.
Meng-quote harian Jakarta Post tentang hal ini: "tuntutan untuk kandidat
capres wanita untuk menghindari hubungan sex adalah untuk menghindari supaya
hasil medical check up nya tidak menjadi 'bias'"

Yg tidak di ungkapkan adalah apakah hasil yg 'bias' ini hanya berhunbungan
dengan kandidat wanita saja atau juga berlaku bagi kandidat pria juga.

Hasil penelitian terakhir di bidang kesehatan meng-indikasikan bahwa kaum
wanita mempunyai siklus haid, dimana kaum pria juga mengalami siklus yg
seruapa dengan simpton yg berbeda. Jika kaum wanita mendapat manapause, kaum
pria mendapatkan andropause.


Memang kaum wanita mempunyai kromosom xx, kaum pria tidak bisa mendapatkan
kromosom yy. Kamu pria mewarisi kromosom xx dari sisi ibunya. Kita tidak
sedang ner-dikusi tentang isu superioritas dari kaum pria thd kaum wanita
ataupun sebaliknya. Tapi mari kita bicarakan sisi lain tentang hal ini.


Di bagian dunia ini, kita tidak pernah men-atbu-kan sex. Kita telah
mempelajari tentang energi sexual. Peninggalan candi candi Sukuh dan Cetoh
di Jawa Tengah merupakan bukti tentang hal ini.


Energi Sexual jika tidak di salurkan untuk maksud maksud yg lebih tinggi,
untuk kreativitas dan inovasi misalnya, akan mencari jalan keluar nya
melalui hubungan sexual biasa ataupun masturbasi. Lagi pula, hasrat untuk
merebut suatu kedudukan, ataupun mempertaruhkan apapun demi mencapai suatu
kedudukan - adalah juga tanda dari terhambatnya - atau penyaluran yg salah
dari energi sexual.


Saya memiliki berbagai pertanyaan di benak saya; teman saya dari seberang
lautan juga mempunyai banyak pertanyaan di benaknya juga. Bagaimana dengan
anda? sebagai pembaca dari The Jakarta Post. Jika kita tidak mempertanyakan
hal hal seperti ini sekarang - mungkin esok hari sudah akan terlambat.


--
*Between politics, faith and sex*
*
http://www.thejakartapost.com/news/2009/05/19/between-politics-faith-and-sex.html

*Anand Krishna ,  Jakarta   |  Tue, 05/19/2009 10:00 AM  |  Opinion

While reading Friday’s Jakarta Post, a visiting friend remarked we were “a
funny” country. Perhaps he was trying to use a milder term for something
else

[zamanku] Rendra: Going against the tide

2009-09-03 Thread yudha renesanto
By : Anand Krishna on
JakartaPost


My first and last meeting with W.S. Rendra took place not long after The
Jakarta Post carried an exclusive interview on the great poet on Nov. 12,
2005. I was then invited by a friend to talk about national integration and
Pancasila, the state ideology.

Rendra was seated with others in the audience, and listened to me
attentively. After I finished my talk, our host introduced us. Rendra was
very informal, "Bung," meaning "brother", "You are going against the tide.
Nobody cares about Pancasila anymore. What can you do?"

I said, "I learnt the art *of going against the norm* from you."

He remained silent for a while, and then nodded, "Yes, yes, yes, we have to
go on. Don't we?"

We discussed many things, and I could feel his restlessness. At the same
time, he was also surprisingly hopeful. What a man! He was a perfect blend
of tragic poet and dynamic activist, restless and yet hopeful.

I was truly impressed.

Here was a man who dared to go against the tide. He lived life on his own
terms. He was not ashamed of his lust and passion, at the same time he did
not stop at that. He was clearly trying to transcend them.

"When I hear people talking about my possessions, I tell them that I am but
only a trustee."

In the next few lines, he lists out all his possessions, the movable and the
immovable.

"But, why have I been entrusted with all these things? What should I do with
them? Why do I grieve when something that has been entrusted to me is taken
back by the rightful owner?"

Rendra, who was born a Christian in Surakarta (Central Java), on Nov. 7,
1935, died a Muslim in Depok (West Java), on Aug. 6, 2009. He lived to be as
human as possible.

When I heard about his death from a friend, I sighed. "One more loss."

Two days earlier, we had lost Mbah Surip, another great artist and a humble
man, a down-to-earth person.

Alas, Mbah Surip and now Mas Rendra. But, then I remembered the poet's
lines.

"Why do I grieve when something that has been entrusted to me is taken back
by the rightful owner?"

I can almost hear Mas Rendra reciting the next lines in that verse. "Why do
I consider it a calamity? Why do I call it a test?"

Rendra was a poet, a genius at that, but more than a poet, he was a man of
integrity. He was a man of courage.

Rendra complained about our system of government, which he believed was a
continuation of the Dutch colonial system. "Through poems I criticize
development that does not benefit the people and that ignores social and
cultural issues.

"It is normal for a colonial ruler to ignore those aspects, but after
independence we have to work on the social and cultural aspects."

One of Rendra's core beliefs was that when a nation forgets its social and
cultural values, moral decadence cannot be avoided.

"I must enlighten the people. Anytime there is moral decadence, poets have
to react.

"If there is natural devastation, poets have to react. If there is failure
in the government, many poets say that it is not their business. I do not
agree."

Here it is not Rendra the poet speaking, but Rendra the activist.

During President Soeharto's governance, Rendra was often threatened and
detained for expressing his thoughts on the government through his poems and
dramas. Undeterred, he continued promoting his beliefs through his work,
despite the hardship.

When Rendra was asked about his support for Nurmahmudi, the Major of Depok
and a member of the Prosperous Justice Party (PKS), he said:

"*I* support Nurmahmudi not because I am a member of PKS. It is impossible
for me to join PKS. For me, PKS is a party with an unclear platform."

PKS was not the only political party targeted by Rendra, who constantly
lamented that not a single party had reacted to an increase in politicians'
salaries when the majority of Indonesians live below the poverty line.

Nurmahmudi was notorious for canceling a building permit for a church that
was to be built in Depok. I am not sure whether Rendra ever raised this
issue with the Depok mayor.

Rendra was very much concerned about the rights of minority groups.

"There was a Christian family who was expelled from their house for
organizing a prayer *meeting*. I often organize prayers at home peacefully.
Does it mean that a Muslim is allowed to organize a prayer and others are
not allowed?" he asked.

Mas Rendra, soon we will be celebrating our national day, albeit without
you, and without Mbah Surip this year. We will miss you. But as we hoist the
national flag, we shall remember your words.

"There is a hope. It is not because of the quality of the government or the
political parties. It is because the young generation have started to
understand social knowledge, psychology, linguistics and anthropology. There
is hope."

*The writer is a spiritual activist and author of more than 130 books (
www.anandkrishna.org)*


[zamanku] Probing SBY's `Indonesia 2025' vision

2009-09-03 Thread yudha renesanto
by Anand Krishna
(http://www.thejakartapost.com/news/2009/08/21/probing-sby039s-indonesia-2025039-vision.html)

In his address to the nation on Aug. 15, 2009, President Susilo
Bambang Yudhoyono mentioned self-dependency (kemandirian),
competitiveness (daya saing) and excellence in civilization (peradaban
yang unggul) as three important factors in nation building.

Self-Dependency, or Nationalism in the language of our first president
Soekarno, can no longer be sustained outside the larger framework of
Internationalism. Our national self-dependency must also recognize the
interdependency of nations. Our world has already become a global
village, where anything happening in any corner of the village, or to
any villager, affects the entire village and all villagers.

In response to the JW Marriott and Ritz-Carlton bombings recently,
some of our "knowledgeable" experts, analysts and activists remarked
that the bombers had no reason to attack our country, for Indonesia
was not at war with them, and that instead they could have bombed some
other country at war with them, perhaps for instance the United States
of America.

It is very disheartening to note that even our "knowledgeable" lack
intelligence. What happens to America, or to any other country in the
world, has a ripple effect on the entire world. We cannot escape it.

Similarly, our government's stand on Myanmar is also regrettable.
While we can have a Palestinian Mission in our country, why can't we
allow the activists for peace and democracy in Myanmar to meet here?
Why can't we have the Dalai Lama visit our country and talk about the
plight of his people?

While talking about competitiveness, I believe that the Machiavellian
and Sun-Tzuian concept is no longer relevant. It must be replaced with
a more human approach based on togetherness (kebersamaan) as pointed
out by Business Week in its excellent special report (Oct. 30, 2006).

Interestingly, such a human approach was already envisioned by our
founding fathers. Sukarno called it gotong-royong (sharing our
burden), and Hatta translated the concept into a cooperative based
economy. Unfortunately however, President Yudhoyono did not, even
once, mention the word in his entire speech.

He did, however, suggest taking into account our resources (certainly
both human and natural), knowledge (skills), and culture for our
economic development. I fully endorse to this, as I also do to the
"limited role" of government (non intervention), for we have just
witnessed the failure of totally decentralized and liberal western
economy.

President Yudhoyono suggested productivity, adaptability, and
innovation (most importantly in the field of technology), as important
factors to excel. I presume that by innovation he meant creativity.
For innovation could also mean growth, or simply improvement on
something already created; whereas, creativity is originality.
Creativity is unique.

We must believe in our "uniqueness". This country, like any other
country in the world, is unique. We have our share to contribute to
world civilization as other countries do. We must be more
self-confident.

President Yudhoyono reasserted his commitment to the state ideology of
Pancasila as an "open and living ideology, source of inspiration and
solution for nation building"; and, the national theme Bhinneka
Tunggal Ika or "Unity in Diversity" as our uniting factor.

Now, let us for once and all time end the discourse on khilafat and
religion-based government system. And, with that, also end the threat
to our national unity and integration.

What is most important for the President is to closely watch the
movements of his supporters, some of them clearly have hidden agendas
and vested interests.

Our culture is deeply rooted in spirituality and humanity, not in the
dogmas and doctrines of a particular religion.

We do not believe in politically motivated barriers in the name of
religion. Our founding fathers used Ketuhanan or Godliness for
spirituality.

President Yudhoyono also shared his vision of "Indonesia 2025", when,
in his opinion, we will no longer be a developing nation, but mature
into a developed nation. This is perhaps his wise response to a report
prepared by the National Intelligence Council of the United States in
November 2008.

The report and ensuing studies, as well as scenarios prepared by
several experts, indicate that by 2025 the Indonesian State could be
fragmented. The threat is posed by religious fanatics, radicals and
extremists, and not only from terrorists or their violent acts.

President Yudhoyono seems to have understood this threat clearly. I
must say, there are not so easy and very ambitious, but achievable
goals. Together, we can achieve them. But, as we talk of togetherness,
let us also not forget the "checks and balances", the most oft quoted
phrase in his speech, without which democracy would mean nothing.

Let us have the opposition. Let us not be afraid of them. "Those who
point out your mistakes," s

[zamanku] Manipulasi Pikiran

2009-09-03 Thread yudha renesanto
Sumber : 
KompasSabtu,
15 Agustus 2009 | 05:01 WIB

Oleh : Anand Krishna

Dalam sejarah modern, adalah Adolf Hitler (1889-1945) yang pertama kali
menggunakan mind manipulation atau manipulasi pikiran sebagai senjata.

Ibarat komputer, mind atau ”gugusan pikiran” manusia dapat dimanipulasi,
dapat di-hack, bahkan dapat disusupi virus untuk merusak seluruh
jaringannya.

*Perilaku manusia*

Dalam otobiografinya (Mein Kampf), Hitler menulis,

> ”Teknik propaganda secanggih apa pun tak akan berhasil bila hal yang
> terpenting tidak diperhatikan. Yaitu, membatasi kata-kata dan memperbanyak
> pengulangan.”
>

Kemungkinan besar, Hitler telah mempelajari penemuan Pavlov, ilmuwan asal
Rusia dan peraih hadiah Nobel 1904 untuk psikologi dan ilmu medis. Melalui
teorinya tentang conditioned reflex atau involuntary reflex action, sang
ilmuwan membuktikan, *”perilaku manusia dapat diatur atau dikondisikan” *sesuai
”proses pembelajaran yang diperolehnya”.

Sebenarnya Pavlov terinspirasi oleh law of association atau ”*hukum
keterkaitan*” yang banyak dibahas para pujangga dan ilmuwan sebelumnya.

Menurut hukum itu, ”*suatu kejadian*” dalam hidup manusia atau bentuk
kehidupan lain —tetapi tidak terbatas pada hewan dan tumbuhan—dapat
dikaitkan dengan ”*keadaan*” atau ”*perangsang*” atau ”*apa saja*” yang
sebenarnya tidak terkait secara langsung dengan kejadian itu.

Ketika seekor anjing diberi makanan, ia mengeluarkan air liur. Ini disebut
refleks yang lazim atau unconditioned reflex. Ia tak perlu menjalani proses
pembelajaran.

Namun, pada saat yang sama bila dibunyikan lonceng, terjadilah proses
pembelajaran. Anjing itu mulai ”mengaitkan” bunyi lonceng dengan makanan dan
air liurnya.

Setelah beberapa kali mengalami kejadian serupa, maka saat mendengar bunyi
lonceng, air liurnya keluar sendiri meski tidak diberi makanan. Ini disebut
conditioned reflex, refleks tak lazim. Keluarnya air liur itu tidak lazim,
tidak ada makanan. Namun, ia tetap mengeluarkan air liur.

Pembelajaran ini harus diulang beberapa kali agar ”*keterkaitan*” yang
dihendaki tertanam dalam gugusan pikiran atau mind hewan, atau... manusia!

Maka, tak salah bila Adolf Hitler menganjurkan ”*pengulangan*”. Dalam ilmu
psikologi dan neurologi modern, pengulangan atau repetition juga dikaitkan
dengan intensity. Apa yang hendak ditanam harus terus diulangi secara
intensif.

Demikian bila seekor anjing dapat mengeluarkan air liur yang sesungguhnya
tak lazim, manusia pun dapat dikondisikan, dipengaruhi untuk berbuat sesuatu
di luar kemauannya.

*Pengulangan*
Presiden Franklin Delano Roosevelt pernah menyangkal,

> ”Pengulangan tidak dapat mengubah kebohongan menjadi kebenaran.”
>
Betul, tetapi pengulangan dapat membuat orang percaya pada kebohongan.

Hitler membuktikan keabsahan sebuah pepatah lama dari Tibet,

> ”Bila diulangi terus-menerus, kebohongan pun akan dipercayai orang.”
>

Di antara kita mungkin ada yang masih ingat kasus iklan Old Joe yang
digunakan produsen rokok merek Camel pada tahun 1988. Saat itu, tokoh kartun
tersebut memang amat populer di kalangan remaja. Jelas, sang produsen ingin
membidik kelompok itu. Dan, mereka berhasil. Jumlah perokok remaja langsung
bertambah.

Saat itu, warga Amerika Serikat yang konon super power pun tidak sadar bila
gugusan pikiran mereka sedang dimanipulasi melalui iklan yang ditayangkan
berulang kali setiap hari dan di banyak media.

Hampir 10 tahun kemudian, setelah muncul desakan dari masyarakat dan LSM-LSM
yang ”*sadar*”, Federal Trade Commission dan Kongres AS baru tercerahkan dan
menyatakan bahwa periklanan seperti itu tidak etis dan tidak bermoral.

Camel pun mengalah dan menarik kembali iklan itu pada 1997. Hampir satu
dekade setelah iklan yang tidak etis dan tidak bermoral itu berjalan dan
menelan sekian banyak korban remaja. Sungguh amat disayangkan, ”periklanan
yang tidak etis dan tidak bermoral” seperti ini pun terjadi di negeri kita,
baik selama kampanye pemilihan umum maupun pemilihan presiden.

Saat saya membahas hal ini dengan seorang teman baik di salah satu lembaga
negara yang memiliki wewenang untuk menjatuhkan sanksi kepada para pelaku,
ia pun mengeluh: ”Apa yang dapat kami lakukan bila tidak ada keluhan dari
masyarakat?”

Siapakah masyarakat yang dimaksud?

Anda, dan saya. Adakah keberanian untuk bersuara bila keberhasilan yang
dicapai, atau kemenangan yang diraih dengan memanipulasi gugusan pikiran dan
otak sesama warga bangsa? Keberhasilan dan kemenangan seperti itu semu
adanya.

Saya berharap, saya berdoa, agar para menteri kita dalam kabinet mendatang,
para wakil rakyat, anggota MPR, dan pejabat lain, termasuk yang duduk dalam
KPU dan MK, Presiden, Wakil Presiden, dan rakyat Indonesia, sesama warga
negara, senantiasa diberkahi pikiran dan perasaan yang jernih. Tidak saling
memanipulasi dan mengeksploitasi, tetapi saling membantu untuk membangun
Indonesia Baru yang lebih beradab, lebih sopan, lebih santun, lebih
manusiawi.


[zamanku] Global interfaith harmony

2009-09-12 Thread yudha renesanto
By : Anand Krishna , on the Jakarta
Post

About 60 years ago, then president Sukarno scoffed at Indian shopkeepers in
India who took pride in displaying their religion on their signboards,
"Hindu Tea Stall", "Muslim Restaurant", and so on and so forth.

Around the same time, then president Radhakrishnan of India was amazed at
how we on the archipelago had preserved our culture and traditions, deeply
rooted in the ancient Indus Valley civilization, irrespective of our
religious affiliations.

That was a reality then, but a myth now.

Now, the hard reality is that *a notorious cleric, totally ignorant of our
age-old traditions and culture, can publicly make the threat that suicide
bombings will continue if we do not adopt a sharia-based government system.*

The intensified police efforts to curb terrorism are not blessed by this
purported man of God. Instead, he blesses the suicide bombers and calls them
martyrs. In his own words, "I don't absolutely blame bombers in Indonesia,
because their goal is good, namely to defend Islam."

Such view is in clear contrast with what Mahatma Gandhi believed in:
"Terrorism and deception are weapons not of the strong but of the weak. A
religious act cannot be performed with aid of the bayonet or the bomb."

Another hard fact is that our government feels helpless in dealing with this
one single man's notoriety, which has already tarnished our country's image.
Or perhaps he is not a single man after all. Perhaps there are others behind
him. Or a number of political parties, some influential people up there,
forces outside the country - who are they?

A former high officio tells me that is not the case. So what is the case?
"It's the political will. There is no political will to put an end to all
this." Perhaps.

Our learned analysts and scholars argue that fanaticism, radicalism and
terrorism are not the same. "Not all radicals," they argue, "are
terrorists."

As mentioned by Prof. Greg Barton, in his well-researched book, Jamaah
Islamiyah: Radical Islamism in Indonesia, our notorious cleric is also
reported to have said, *"I make many knives, I sell many knives, but I am
not responsible for how they are used."*

The moderate clerics maintain that terrorism and violence have nothing to do
with religion. They carefully avoid discussing the issue of growing
fanaticism. They would not echo with Gandhi, "A fanaticism that refuses to
discriminate is the negation of all ideals."

Speaking in international forums, the leaders of our religious institutions
are reluctant to admit that growing fanaticism and radicalism have divided
our society, where interfaith harmony had never been an issue to discuss,
but a way of life to practice.

We did not have interfaith groups earlier, but we had interfaith harmony.
This was a reality back then, and a myth now. Now, the reality is that we
have several interfaith groups, but no interfaith harmony.

Like it or not, religion has been used to justify acts of terror. Religion
has been presented in such a way, and by its own followers, that it has lost
both its meaning and its utility as a uniting force.

It is against this backdrop that, in December this year, *the Parliament of
the World's Religions will meet in Melbourne, Australia.*

We may recall that back in 1893, the parliament met for the first time in
Chicago. Vivekananda (1863-1902), one of the speakers who was to become the
star then, firmly believed that, *"sectarianism, bigotry and its horrible
descendant, fanaticism, have long possessed this beautiful Earth. They have
filled the Earth with violence, drenched it often and often with human
blood, destroyed civilization and sent whole nations to despair. Had it not
been for these horrible demons, human society would be far more advanced
than it is now."*

He hoped the convention might toll the "death-knell of all fanaticism, of
all persecutions with the sword or with the pen, and of all uncharitable
feelings between persons wending their way to the same goal".

More than a century later, his hope remains a hope and a dream to realize.
The conference in Melbourne later this year, therefore, is not only timely,
but also urgent and imperative. However, more important is the meeting of
our minds and hearts. More urgent is our willingness to be honest and
truthful in what we say and what we do. More imperative is the change of the
paradigm of a mere tolerance. We have to learn to appreciate the differences
between us.

We have to work on our individual belief systems and mental complexes. *Can
we change our slogans from "my religion is the best" or "my religion is the
only solution" to "my religion is not better than yours"? This will bring an
end to all our religious and religion-based conflicts, competitions and acts
of conversion.*

To my friends 

[zamanku] Duhh... Kok Banyak Juru Dakwah yang Bodoh Ya!

2009-09-15 Thread yudha renesanto
Senin, 14 September 2009 | 21:01 WIB
*Laporan wartawan KOMPAS Lukas Adi Prasetya*

*YOGYAKARTA, KOMPAS.com
—
*Pengasuh Ponpes Rudlotul Fatihah, Bantul, KH Muhammad Fuad Riyadi (38),
gerah melihat semangat Islam disampaikan hanya secara sepotong-potong oleh
para juru dakwah Islam. "Juru dakwah banyak yang bodoh. Saya tantang mereka
memahami Islam," kata Kyai Fuad.

Ia melihat bahwa yang disampaikan juru dakwah di masjid, di televisi, dan di
mana saja sudah melenceng dari semangat Islam, agama yang seharusnya memberi
kesejukan, ketentraman, kedamaian bagi siapa saja, tak hanya umat Islam,
tetapi semua orang non-muslim, termasuk mereka yang ateis sekalipun.

Dengan kata lain, jika apa yang dikatakan juru dakwah membuat umat nonmuslim
waswas, merasa terancam, dan tak nyaman, maka itu sudah cukup memberikan
gambaran bahwa dakwah yang dilontarkan juru dakwah sudah tak lagi Islami.
Ini fenomena yang menurut dia sudah mulai muncul sejak tahun 1970-an, dan
mulai kencang.

Ia banyak memberi kritik tentang kebiasaan dan perilaku umat Muslim.
Misalnya memakai pengeras suara sekeras mungkin sehingga umat non-muslim dan
muslim pun sama-sama terganggu, juga rangkaian acara puasa yang
kemeriahannya berlebihan.

"Juru dakwah, dai-dai itu, maaf, baru memegang satu ayat, tapi *ngomong*-nya
sejuta ayat. Tak heran, sekarang bermunculan radikalisme, seperti aksi *
sweeping*, fundamentalisme, dan hal tak mengenakkan yang mengatasnamakan
agama. Peraturan daerah pun digiring menjadi bernuansa Islam," paparnya.

Lihat saja, menurutnya, sekarang banyak yang secara eksplisit dan implisit
menyuarakan perlunya Indonesia menjadi negara Islam. "Enggak hanya orang
nonmuslim yang ketar-ketir dan cemas. Saya juga takut. Apa Islam di
Indonesia seperti itu? Islam adalah agama yang menyuarakan kerinduan pada
Allah, bukan agama yang bikin orang lain takut, apalagi menyemai benih
permusuhan," katanya.

"Perlu dicatat, saya hapal 'Malam Kudus', lagu rohani umat Katolik saat
Natal. Liriknya bagus. Lagunya bagus. Saya suka Natal, gereja. Saya suka
semangat Natal, damai di bumi damai di hati. Saya berani katakan, lagu
'Malam Kudus' itu lagu Islami," ujar kyai muda ini.

Tentang Puasa, mestinya umat Islam merefleksikan hal itu seperti umat Hindu
merayakan Nyepi. "Mestinya Puasa itu ya nuansanya seperti saat Nyepi. Kita
merenung, berdiam, bukan malam ramai," katanya.

Pengotakan agama mesti dihapus. "Saya justru gembira jika saat zikir
bersama, ada teman-teman nonmuslim yang ikut datang. Ikut *nggabung*. Sering
mereka datang ke ponpes saya. Seorang Katolik yang pernah datang pas zikir
bilang ke saya, kok dia merasa tenang dan nyaman. Tentu ia masih Katolik.
Ketika dia pun merasa damai, tenang, itulah juga sejatinya esensi zikir,"
ucap dia.

Kyai ini merasa perlu minta maaf kepada semua umat nonmuslim yang pernah
tersinggung dengan perlakuan umat Muslim dan perkataan/perbuatan para juru
dakwah. "Saya mohon maaf karena mereka melakukan itu. Mohon dimaklumi," kata
Kyai Fuad.

Kyai ini menggelar lukisan bertema "Aura Dsikir" di Bentara Budaya
Yogyakarta. Acara berlangsung dari Sabtu (12/9) hingga Kamis (17/9). Proses
pembuatan lukisan dilakukan dengan berzikir terlebih dulu.


[zamanku] PRESS RELEASE International Day of Peace 2009

2009-09-20 Thread yudha renesanto
PRESS RELEASE

* *

*ANAND ASHRAM FOUNDATION*

*National Integration Movement – Forum Kebangkitan Jiwa – Sufi Lodge –
ForADokSi-BIP – Anand Krishna Global Cooperation – Yayasan Pendidikan Anand
Krishna – Institut Pendidikan Holistik – California-Bali Friendship
Association*



*International Day of Peace 2009*

*CELEBRATING PEACE TOWARD INTERFAITH HARMONY*

* *

Tahun 2009 ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akan memperingati
International Day of Peace pada tanggal 21 September 2009 sebagai seruan
global bagi penghentian segala bentuk pertikaian dan penggunaan semangat
anti-kekerasan. Sekarang adalah waktunya bagi kita semua untuk merenungkan
segala kerugian yang diakibatkan oleh peperangan, pertikaian, dan kekerasan
atas nama apapun, serta segala manfaat yang dapat kita peroleh dari
penyelesaian masalah dengan cinta, perdamaian dan harmoni.



Sepuluh tahun lalu, Jeremy Gilley mendirikan gerakan Peace One day yang
bertujuan untuk menghentikan segala peperangan dan kekerasan di dunia paling
tidak untuk satu hari saja. Atas upaya yang tidak mengenal lelah tersebut
maka,PBB menetapkan tanggal 21 September sebagai Hari Perdamaian
Internasional.



Indonesia sebagai negara yang terdiri dari berbagai macam agama, suku,
tradisi, dan sosial masih menghadapi pertikaian penuh kekerasan yang
disebabkan oleh perbedaan agama. Komunitas kecil Anand Ashram, yang
didirikan oleh aktlivis spiritual, *Bapak Anand Krishna*, sudah sejak 1991
tidak hanya berbicara tentang perdamaian dan persatuan negeri di atas
kebhinnekaan, tapi sudah mempraktekannya dalam keseharian, seperti yang
dilakukan tahun ini dengan merayakan hari lebaran bersama para anggota
komunitas yang berasal dari berbagai latar belakang agama yang berbeda di
pulau Dewata, Bali.



Yayasan Anand Ashram, sebagai bagian dari organisasi masyarakat sipil dunia
yang telah berafiliasi dengan PBB, bertekad untuk terus membagi dan
menggaungkan
semangat perdamaian di Indonesia dan dunia, dengan turut merayakan Hari
Perdamaian Internasional ini sebagai bagian dari kampanye publik untuk
membangun dan mewujudkan suatu masyarakat dunia yang hidup penuh cinta,
damai dan harmony di Satu Bumi, Satu Langit, Satu Keluarga Besar Ummat
Manusia.



Oleh karena itu, kami dari Yayasan Anand Ashram beserta sayap-sayap
organisasinya, yakni Forum Kebangkitan Jiwa (FKJ), National Integration
Movement (NIM), Sufi Lodge, ForADokSi-BIP, Anand Krishna Global Cooperation,
Yayasan Pendidikan Anand Krishna, Institut Pendidikan Holistik, dan
California-Bali Friendship Association akan mengadakan acara*,** Peringatan
Hari Perdamaian Internasional 2009** *pada :



Hari/ Tanggal  : Senin, 21 September 2009

Waktu : 19:30-21:00 WITA

Tempat: Anand Krishna Center Bali

  Jl. Pura Mertasari No. 27, Sunset Road Area,
Kuta, Bali.

  Phone : (062) 811258648



Semoga semangat perdamaian dan apresiasi terhadap perbedaan dapat terus
bergaung di sanubari segenap anak-anak bangsa. *Amin, Amen, Sadhu, Om Shanti
Shanti Om.*





Jakarta, 21 September 2009





Salam Indonesia!











*Maya Safira Muchtar*

*Ketua Yayasan Anand Ashram*

* *

Untuk Keterangan Lebih Lanjut bisa menghubungi : Maya Safira Muchtar (
0818891122)


[zamanku] Undangan Diskusi : "Titik Temu Agama-agama dari Sudut Pandang Islam"

2009-10-09 Thread yudha renesanto
National Integration Movement kembali menggelar Diskusi Kebangsaan
yang akan menghadirkan seorang tokoh Islam yang kontroversial, merupakan
imam perempuan satu-satunya di dunia, juga seorang penulis buku yang
berjudul 'Qur'an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman's
Perspective', *Amina Wadud.*

Diskusi ini akan mengambil tema
*Titik Temu Agama-agama dari Sudut Pandang Islam*'.
Seru ? Pastinya!! Jangan sampai terlewat,

*Hari Sabtu, 10 Oktober 2009
Pukul 16.00 - 17.30 WIB
Di One Earth Retreat Center
Jl Raya Bukit Pelangi KM 2
Ciawi - Bogor*

Info dan pendaftaran hubungi Isti (0818.0894.1999)

Wass,


[zamanku] Pers Release : Parliament of the World Religions - [1 Attachment]

2009-12-07 Thread yudha renesanto
*SELAMATKAN KEBERAGAMAN BUDAYA INDONESIA
DENGAN MENGAPRESIASI PANCASILA DAN BHINNEKA
TUNGGAL IKA
*


[zamanku] Lessons of leadership: Why do our politicians fail?

2009-12-17 Thread yudha renesanto
*by : Anand Khrisna* ,  Jakarta   |  Thu, 12/17/2009 8:59 AM  |  Opinion


Source :
http://www.thejakartapost.com/news/2009/12/17/lessons-leadership-why-do-our-politicians-fail.html

In spite of their “purportedly” common vision toward a better and more
livable world, our politicians have failed. Certainly not all of them were,
or, are insincere.

Nevertheless, they have failed to deliver. Today, we live in a more
comfortable, but not a “better” world. Conflicts and wars are tearing us
apart – whereas, peace and harmony remain issues for discussion among our
elites.

In his historic speech in Cairo on June 4 this year, President Obama spoke
about the need to “have the courage to make a new beginning”.

Later, during the UN General Assembly on Sept. 23, he emphasized, “The time
has come for the world to move in a new direction.”

Interestingly, the Iranian President Mahmoud Ahmadinejad, whose speech was
boycotted by many, also expressed hope for “a global community filled with
justice, friendship, brotherhood and welfare”.

Not long after, speaking at Harvard on Sept. 29, President Yudhoyono
proposed the reinvention of “a new world”.

More recently, speaking in Egypt on Nov. 9, Chinese Premier Jiabao hoped the
cooperation between China and the African countries would “contribute to the
effort of building a harmonious world of enduring peace and common
prosperity”.

I do not doubt their good intentions, but neither can I close my eyes to the
fact the world envisioned by them is still a far cry from their hopes.

*Why?*

President Sukarno, one of our founding fathers, found flaws in the way we
handled our problems.

Speaking to the 15th UN General Assembly on Oct. 4, 1960, he said: “Any
effort to solve our problems with violence, threat, or force would not only
fail, but create problems of a more serious nature.”

He cited “equality” as the only solution. To him, equality was the
quintessence of all human rights. He hoped for certain universally accepted
guiding principles to usher in a new era of equality among nations. It was
on these grounds that he wished to “build the world anew”.

Sukarno was a man of vision.

He was a dreamer, but not an unrealistic one. He knew the realization of
this dream would only be possible if we all let go of our “petty grudges,
and ill feelings toward each other…

“Eliminate the cause of war, and peace shall reign. Eliminate the cause of
tension, and life shall be easy…

“It is not only to ensure the survival of this world, we have the task to
build the world anew!”

Sukarno often cited Neo-Imperialism and Neo-Colonialism as threats to world
peace and true emancipation. Many of us then, and even now, scoff at him,
and consider his fears unfounded.

History, however, has proved otherwise. Neo-Imperialism and Neo-Colonialism
are not only a living reality, but are also thriving at the cost of our
ignorance.

To make things worse, even our politicians and highly paid diplomats are
often unaware of this.

They still relate Neo-Imperialism and Neo-Colonialism with certain western
powers.

They cannot see the tables turning. The imperial powers colonizing us are no
longer western, but also eastern, and perhaps, our next-door neighbors, and
darling friends.

George Bernard Shaw was, perhaps, right in saying that: “He knows nothing;
he thinks he knows everything – that clearly points to a political career.”

Sukarno offered an indigenous “Indonesian Solution” to face the challenges
ahead: Pancasila.
“When I speak of Pancasila, I am actually speaking of our nation’s, at
least, 2,000-year-old civilization.”

He was bold enough to challenge the assembly to point out any flaw in what
he offered; or, anything disputable or irrelevant to the modern age and its
challenges. The entire assembly, instead, applauded “Sukarno of Indonesia”
as he was then known.

Alas, we Indonesians have lost our self-pride. We no longer believe in the
ideals of Pancasila, and in the virtues and values of our age-old
civilization.

Our leaders find it more civilized to connect with much younger and less
experienced civilizations. They forget that when those civilizations lived
by raiding caravans, and had to have the divine guidance to divide their
booty, we were already shipping our spices using our own flag carriers!
Sukarno explained the values imbibed in Pancasila in few simple words:
*Religiosity,
Nationalism, Internationalism, Democracy, and Social Justice.* These are
universal values, and no man in his senses would possibly oppose these
values.

Yet, I say, we have failed. Where have we gone wrong? Let’s move from being
positive thinkers to having a positive and holistic attitude toward life and
ask of our conscience, “Are we in a better position today than we were at
the time of our independence?”

Simple mathematics: consider the current value of all the wealth, all the
natural resources we had on Aug. 17, 1

[zamanku] Stop Violence in the Name of Religion

2009-12-20 Thread yudha renesanto
*Stop Violence in the Name of Religion*
*91* 
Signatures


Published by Anand Krishna on Dec 19, 2009
Category: Religion
Region: GLOBAL 
Target: The Government of the Republic of Indonesia
Background (Preamble):
Violence in the name of religion still persists. Just a few days before
Christmas, in the Indonesian City of Bekasi, another Church was attacked on
Dec 18th 2009 (Santo Albertus Church, Bekasi).

Our Government and officials are unable to curb such acts of violence,
clearly for lack of the political will.

Need support from the Global Community to pressurize our Government through
the Indonesian Embassies/Missions in your respective countries. Shalom
Salaam Sadhu Shanti..

IN THE NEWS

1. LARGEST ENGLISH LANGUAGE DAILY
http://www.thejakartapost.com/comment/reply/240302

2. ANOTHER ENGLISH PAPER
http://thejakartaglobe.com/home/church-attacked-by-bekasi-mob/348186

Petition:
We, the undersigned, call on the Government of the Republic of Indonesia,
and the United Nations to put pressure on the head of the state, to
immediately act against the fanatics, extremists, and radicals who are let
loose to destroy places of worship of faiths other than theirs.

To Sign the petition, please click below :

http://www.gopetition.com.au/petitions/stop-violence-in-the-name-of-religion.html

regards
yudha


[zamanku] Renungan Natal

2009-12-24 Thread yudha renesanto
*Memikul Salib bersama Yesus*

*oleh : Anand Krishna**
(
http://www.facebook.com/anandkrishnafull?ref=nf#/notes/anand-krishna-full/renungan-natal/214925959662
)

Mudah sekali bagi kita untuk mengutip seseorang yang “punya nama” kemudian
menjabarakan apa yang dikatakannya. Mudah sekali bagi kita untuk mengutip
Yesus, atau Muhammad, atau Siddhartha, atau Krishna, kemudian mengomentari
kata-kata mereka.

Namun, tidak demikian dengan seorang Yesus. Ketika ditanya oleh para ahli
kitab apa yang menjadi “ajaran utama” – bukan ajaran-“nya” – tetapi
“ajaran”, titik. Mereka ingin mendengar sesuatu yang bersifat generik, dan
berlaku bagi semua.

Maka, tanpa keraguan, Yesus pun menjawab bila mencintai Tuhan dengan segenap
hati, pikiran dan jiwa – adalah ajaran terutama. Dan, kedua adalah mencintai
tetangga kita sebagaimana kita mencintai diri sendiri.

Pernyataan seperti ini bukanlah pernyataan biasa. pernyataan seperti ini
mengandung resiko yang sangat tinggi. Pernyataan ini menuntut “komitmen
penuh” tanpa embel-embel, tanpa syarat apa pun jua.

Menempatkan Tuhan diatas segalanya.
Dan, menempatkan tetangga sejajar dengan diri, dan keluarga sendiri.

Mudah terucap, tetapi tidak mudah dalam laku.
Maka, para ahli kitab pun tercengang. Mereka tidak terbiasa memperoleh
jawaban setegas dan sejelas itu. Kebiasaan para alim ulama adalah mengutip
ayat-ayat suci. Mereka tidak berani berpendapat sendiri. Mereka tidak berani
mengambil resiko.

Tidak demikian dengan Yesus. Ia berani mengambil resiko. Ia tidak
membutuhkan dukungan kitab suci atau ayat-ayat suci untuk menyampaikan
kebenaran. Inilah salib Yesus. Keberaniannya itulah yang menjadi salib yang
masih juga dipikulnya hingga hari ini.

“Apa yang tidak kau hendaki bagi dirimu, janganlah kau lakukan terhadap
sesama manusia – inilah inti ajaran Torah. Sisanya sekedar penjabaran dari
inti ajaran itu,” Talmud juga menyampaikan hal yang sama. Tetapi, siapa yang
peduli? Siapa yang ingat? Para alim ulama dan ahli kitab sibuk mengutip
ayat-ayat suci, seorang Yesus sibuk melakoni ayat-ayat itu.

Yesus adalah seorang pemberani, sekaligus pemberontak. Masih ingat apa yang
dilakukannya di pelataran bait suci? Ia seorang diri. Para murid yang
berjumlah sedikit itu untuk malah meminggir. Para penonton bingung, karena
apa yang mereka saksikan saat itu adalah sesuatu yang baru.

Yesus, seorang diri, mengobrak-abrik gubuk para pedagang dan para penukar
uang yang menempatkan diri sebagai calo Tuhan.

Adakah keberanian seperti itu dalam diri kita?
Bila tidak, maka jadilah kita pemuja bangkai, gambar, patung, kitab dan
tempat – yang semuanya kemudian tidak lebih dari berhala.

Bila kita tidak berani memikul salib kita masing-masing bersama Yesus, maka
biarlah hati kita, nurani kita, jiwa kita menangisi kelemahan diri pada
malam Natal ini. Tidak perlu merayakan Natal dengan menyalakan pelita dan
lilin, karena hati yang lemah tidaklah menjadi kuat dengan cara itu.

Apakah arti kelahiran Yesus?
Setiap detik banyak orang yang lahir, dan banyak pula yang mati. Setiap
Natal kita merayakan kelahiran Yesus, sebagaimana kita merayakan hari
kelahiran saudara kita pasangan kita, anak kita – lantas apa? Apa bedanya?
Barangkali Natal lebih meriah, itu saja?

Kelahiran Yesus tidak dapat dipisahkan dari kayu salib yang kelak
dipikulnya. Kehiran Yesus hanyalah menjadi bermakna bila saat menyalakan
lilin untuk merayakannya, kita juga memungut kayu salib yang ada diatas
altar dan memikulnya. Pajangan itu mesti turun dari dinding dan berpindah
tempat ke atas pundak kita.

Keberanian Yesus, kegigihannya untuk menghadapi segala tantangan hidup –
inilah kemuliaan dan keilahiannya. Kematiannya diatas salib dan
kebangkitannya kembali mesti “terulangi” dalam hidup kita masing-masing.

Adakah keberanian di dalam diri kita untuk terlebih dahulu - jauh-jauh hari
sebelum merayakan malam kelahiran Yesus - menguburkan jiwa kita yang lemah,
hati kita yang alot, dan pikiran kita yang kacau?

Biarlah keangkuhan, dan keserakahan kita mati diatas kayu salib. Biarlah
jiwa kita yang tersentuh oleh kesadaran kristus bangkit kembali untuk
berkarya di tengah kegaduhan dan ketakwarasan dunia ini dengan tetap
mempertahankan kewarasan diri. Barulah setelah itu, malam kelahiran Yesus
menjadi bermakna bagi kita.

Yesus tidak mengurusi kerajaan dunia, Ia mengurusi kerajaan Allah. Ya,
betul, tetapi milik siapa pula kerajaan, bahkan dunia ini, alam ini?
Bukankah semuanya milik Allah? Bukanlah kerajaan Allah berada di dalam diri
kita masing-masing?

“Tidak mengurusi kerajaan dunia”, mesti dimaknai sebagai “tidak mengurusi
apa pun jua karena keterikatan kita dengan dunia”.

Urusilah keluarga, dan dunia, karena semuanya itu merupakan amanah Allah.
Tugas yang diberikan kepada kita oleh Gusti Pangeran.

Jadikanlah malam Natal ini malam yang beda dari malam-malam lain. Isilah
malam Natal ini bukan saja dengan lagu, dansa, pesta dan kebaktian, tetapi
dengan pencerahan baru, dengan kesadaran baru.

Yesus tidak kemana-mana. Yesus ada di sini. Ia tida

[zamanku] Pembunuhan Karakter!!

2010-02-27 Thread yudha renesanto
Oleh : Ahmad Yulden Erwin


Sebagai aktivis Gerakan Anti Korupsi di Indonesia selama lebih dari 10
tahun ini, saya cukup paham bagaimana mekanisme hukum pidana jika ingin
mengadukan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana tertentu kepada
aparat penegak hukum. Kita tidak bisa sembarangan saja mengadukan orang
dan menuduhnya melakukan perbuatan pidana. Harus ada "bukti permulaan
yang cukup".

Yang dimaksud bukti permulaan yang cukup dalam kasus pelecehan seksual:
1. Harus ada 2 atau 3 saksi yang melihat "langsung" kejadian dugaan
pelecehan tersebut; 2. Harus ada visum dari RSU. Ini adalah dasar bagi
pihak polisi atau Komnas HAM/Perempuan untuk melakukan proses hukum.
Nah, jika memang bukti permulaan yang cukup tersebut ada, maka adalah
hak setiap warga negara untuk menuntut keadilan melalui proses hukum.
Namun, jika tidak ada bukti permulaan yang cukup, maka kita bisa dituduh
balik melakukan pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan, dan
fitnah.

Anehnya, pihak pengacara TR dan SM, yang seharusnya pasti tahu soal
prosedur hukum pidana ini, justru malah menjadi pihak yang saya duga
mendorong TR dan SM mengadukan dugaan pelecehan seksual tersebut ke
Komnas Perempuan dan Polda Metro Jaya. Meski ia sendiri tahu bahwa tak
ada bukti permulaan yang cukup untuk mengadukan kasus ini ke aparat
penegak hukum (hal ini terbukti dari pengakuannya sendiri kepada pihak
pers beberapa waktu lalu). Etika profesi pengacara ini harus dipertanyakan.

Menurut pendapat saya, dari segi hukum, Bapak Anand Krishna adalah
korban "penghakiman" oleh pers akibat pelaporan TR dan SM ke Komnas
Perempuan dan Polda Metro Jaya tanpa disertai bukti permulaan yang cukup.

Nah, kalau Bapak Anand Krishna mau, justru dugaan kasus "pencemaran nama
baik dan perbuatan tidak menyenangkan" terhadapnya malah sudah memiliki
"bukti permulaan yang cukup" untuk ditindaklanjuti ke dalam proses hukum.

Pemberitaan yang tak berimbang di pers Indonesia sehingga mencemarkan
nama baik seseorang adalah suatu tindak pidana yang melawan hukum. Jika
kasus seperti ini bisa dilegitimasi oleh aparat penegak hukum, atau
bahkan menjadi yurisprudensi, maka ini alamat buruk penegakan supremasi
hukum di Indonesia. Karena kelak siapa pun bisa mengadu dan diadukan
telah melakukan pelecehan seksual, tanpa bukti permulaan yang cukup,
asal bisa "mem-/blow up/" kasusnya ke pers Indonesia.

Salah satu kasus terkenal "penghakiman oleh pers" ini justru terjadi
beberapa tahun lalu dan menimpa seorang yang sekarang akan diberi gelar
pahlawan pluralisme, Gus Dur, Presiden RI ke-4. Beliau waktu itu
diberitakan telah melakukan perzinahan dengan seorang janda, bahkan ada
fotonya segala saat beliau sedang memangku sang janda. Namun, akhirnya
terbukti juga menurut seorang pakar informasi bahwa foto tersebut cuma
rekayasa komputer. Tuduhan ini, yang tak sekalipun dibuktikan melalui
proses hukum yang adil, dijadikan salah satu alasan untuk "meng-kudeta"
beliau dari jabatannya yang sah secara konstitusi. Apakah ada pihak pers
yang telah memberitakan tuduhan tanpa bukti itu meminta maaf kepada Gus Dur?

Saya pikir, kasus yang menimpa Bapak Anand Krishna harus dijadikan
pembelajaran hukum serta pembelajaran tentang kebebasan pers yang
bermartabat. Sebab, bisa jadi ke depan Anda akan diadukan telah
melakukan pelecehan seksual dan mengalami "penghakiman" oleh pers, tanpa
bukti permulaan yang cukup. Semoga saja tidak terjadi lagi kasus seperti
yang menimpa Bapak Anand Krishna dan Gus Dur ini pada masa datang.


[zamanku] Tara Pernah Minta Tolong di Wall Facebook Anand Krishna

2010-04-03 Thread yudha renesanto
Tara Pernah Minta Tolong di *Wall* Facebook Anand
Krishna
 *E Mei Amelia R* - detikNews


*Jakarta* - Maya Safira Muchtar, Direktur Anand Krishan Foundation membantah
segala tudingan Tara Pradiptha Laksmi atas pelecehan seksual yang dilakukan
Anand Krishna. Bahkan, menurut Maya, Tara pernah meminta tolong di dinding
situs jejaring sosial facebook milik Anand Krishna.

"Dia menulis di wall Pak Anand dan beberapa teman-temannya," kata Maya di
Mapolda Metro Jaya, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Rabu (24/2/2010).

Berikut tulisan Tara dalam dinding facebook milik Anand Krishna yang berakun
Anand Krishna Full.

"Bapak...i hate to give you more problems know...but i have to ..i can't
stand it anymore..i've been held as a hostage in my own house by my parents
so i can't go anywhere...only because they don't want me to be my self and
follow what my heart say, even my wish is actually to keep my problems to be
myself and finish this semester..but they still not allowed me please help
me...liberates me...help me bapak..get me out.."

Tulisan itu dipostingkan oleh Tara dalam akun facebooknya Tara Laksmi pada
14 Juni 2009 pukul 8.33 WIB. Dengan nada yang sama, Tara juga mempostingkan
tulisannya di dinding beberapa teman facebooknya pada  14 Juni 2009 8.29
WIB.

"I want to get out of my house...i've been held as a hostagr in my own
hpuse...and can't go out  anywhere. Only because my parents don't allow me
to be myself and follow my heart says...sombody please HELP ME OUT
NOW!!!"

Melihat hal itu, pengacara Maya, Darwin Aritonang menilai, Tara justru
memiliki masalah keluarga. "Ayahnya baru pulang dari Australi, sepuluh tahun
dia tidak ketemu ayahnya. Saat dia menuliskan itu, dia kos. Lalu keluar,
tidak ada kabar. Baru muncul peristiwa ini," pungkasnya.
* (mei/asp)*


[zamanku] Meditating on the Media

2010-04-03 Thread yudha renesanto
 By Anand Krishna on
TheBaliTimes

March 26, 2010

The media is the most powerful entity on earth,” said the American black
militant leader Malcolm X, popular in the 1960s. For, in his own words,
“They have the power to make the innocent guilty and to make the guilty
innocent, and that’s power. Because they control the minds of the masses.”

How does the media do this? How does it control the minds of the masses? By
repeating one thing over and over. In the words of my very dear friend the
late Dr Setiawan, a neurosurgeon par excellence, “The mind can be
manipulated and controlled by intensive repetition.”

The word “mind” here is used for the “common mind.” A common mind is a dull
mind. When it is bombarded with a certain idea – whether constructive or
destructive – it begins to believe in it. A dull mind cannot differentiate
between the two.

Now, a dull mind is not necessarily an illiterate mind. A highly
intellectual mind can also be dull, and therefore destructive. On the other
hand, an illiterate mind can be sharp, and therefore constructive.

The number of books we have read, the number of degrees we have acquired or
the number of awards we have received – all these do not necessarily sharpen
our mind. Our mind is sharpened by varied kinds of experiences. A sharp mind
is an all-rounder mind. It is holistic and expansive. A sharp mind is a
borderless mind, infinite and as limitless as the sky.

Modern-day scientists, scholars, specialists and experts tend to have
“concentrated” minds. In Nicholas Murray Butler’s words, they know “more and
more about less and less.” Such non-expansive minds can never be sharp.

A deeply religious mind that is not aware of the latest developments in the
fields of science and technology remains dull. Similarly, a scientific and
technocrat mind shall have no depth without religious experience.

A sharp mind is an all-rounder mind.

And a mind that is not all-rounder is dull.

Unfortunately, our present-day society consists of more dull than sharp
minds, and this situation has been fully exploited by a handful of people.
Someone has rightly said, “In day-to-day commerce, television is not so much
interested in the business of communications as in the business of
delivering audiences to advertisers. People are the merchandise, not the
shows. The shows are merely the bait.”

A handful of people not only control our media, but also our politics and
economy. They are the actual rulers, not the elected heads of states and
governments.

Management expert Teresa Stover writes: “The news media has become an aspect
of show business, offering merely infotainment. It has evolved into an
entity that tends to function as public relations for the wealthy and
powerful … The news media is being utilised as a political tool of
suppression and propaganda by those in power, and propaganda is
psychological in nature. Full of half-truths and utter misinformation, it’s
an arrogant and very commercial strategy that is implemented because it
appeals to emotions…”

There is no way to stop them.

However there is a way to remain unaffected by such media propaganda and
promotion profiting the immoral. The way is: Meditation.

A meditative mind can never, ever be manipulated or exploited. For a
meditative mind is an inquiring mind. It is the mind ever in search of
truth. It begins such a search by first understanding its own nature.
Self-inquiry is the first step in meditation.

It should not surprise us, therefore, if the manipulators are against
meditation. In Teresa Stover’s words, “Manipulators rarely advise you to
seek new and diverse information or to ‘learn and research for yourself.’ It
tends to be safer for exploitative and irresponsible leaders to keep their
citizens in the dark; in their view less independent thought is better.
Independent thought leads to an inquiring mind.”

An inquiring mind is an awakened mind. It is the mind of people like
Socrates, busy exploring life in all its diverse dimensions. It is the
opposite of an indoctrinated and non-inquiring mind.

The Sufis speak of fiqr or tafakkur – this is the way to meditation. This is
the way to sharpen the mind. This is the way to ensure that your mind is not
indoctrinated, manipulated and exploited.

When a disciple follows a Sufi Murshid, Guru or Master, he actually follows
the lead set by him to freedom. It is not “following” in the sense that the
word has been misunderstood and misinterpreted, but “walking” side by side
to enlightenment.

Unless and until this happens – our minds are sharpened, and its inherent
intelligence is brought to the surface – the human mind remains very, very
vulnerable to outside forces.

Be meditative, free yourself first of the negative influence of the media
and society, and then undertake the task of reforming both, the media and
society. The world today is in dire need of true reformers. The media must
be owned and directed by 

[zamanku] Benarkah Ada Cuci Otak & Hipnotis oleh Anand Krishna?

2010-04-03 Thread yudha renesanto
Yuan Yudistira 
OkeZone
Kamis, 4 Maret 2010 - 10:54 wib Mengikuti perkembangan berita yang saya baca
di beberapa media yang berkembang saat ini tentang Bapak Anand Krishna.
Bapak Anand Krishna telah dilaporkan oleh dua orang yang konon mengaku
sebagai mantan murid telah melakukan perbuatan pelecehan seksual.

Mengingat ketokohan beliau – isu seperti ini tentu menjadi hal yang menarik
untuk dipublikasikan oleh beragam media baik cetak maupun elektronik .

Apakah benar apa yang dilaporkan kedua “mantan murid” Bapak Anand Krishna
kepada pihak polisi, saya berpendapat biarkan proses hukum yang berjalan
dengan baik tanpa adanya tekanan dari pihak manapun. Semuanya harus bisa
dibuktikan oleh pihak pelapor.

Menyimak adanya isu yang berkembang bahwa pelapor telah mengalami brain wash
atau proses cuci otak.  Dan bahkan akhir-akkhir ini apa yang dilakukan oleh
Lembaga Anand Ashram pun tak luput disoroti media dan disebut-sebut sebagai
sebuah lembaga yang menyebarkan ajaran sesat.

Menanggapi semua pemberitaan yang ada, saya terdorong untuk menuliskan
beberapa hal berdasarkan pengalaman pribadi saya yang berkenalan dengan
Bapak Anand Krishna serta lembaga Anand Ashram.
Semoga apa yang saya sampaikan ini bisa memberikan informasi yang cukup bagi
siapa saja yang penasaran tentang apa yang sebenarnya dilakukan di Anand
Ashram dari sudut pandang yang netral.

Izinkan saya memperkenalkan diri - Nama lengkap saya Yuan Novadhya
Yudistira, kelahiran 28 November 1975. Beragama Islam. Pendidikan terakhir
S2 dan saat ini bekerja sebagai IT Manager sebuah perusahaan media di
Jakarta. Saat ini telah menikah dan dikaruniai dua orang anak.

*Bagaimana Saya Mengenal Anand Krishna dan Anand Ashram*

Mungkin akan saya mulai dengan menceritakan kilas balik saya pertama kali
mengenal Bapak Anand Krishna dan lembaga Anand Ashram.

Sekira tahun 1998 – ketika itu saya kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB)
tingkat akhir.  Seperti kebanyakan mahasiswa yang lain,  saya pernah aktif
di beberapa organisasi – terutama organisasi rohani Islam dan juga musala
kampus.

Rasa pengetahuan tentang Islam – dan mungkin dilatar belakangi – dasar
pemahaman saya yang masih sangat dangkal,  proses pencarian jati diri saya
membawa saya terlibat dalam sebuah organisasi gerakan islam yang cukup
ekstrim dan bergerak di bawah tanah.

Kurang lebih dua tahun saya aktif di sana dan bahkan saya pernah menjadi
salah satu “perangkat pemerintahan” pada level setingkat desa. Walaupun saya
tidak menyebutkan gerakan apa yang saya ikuti, pembaca tentu bisa menerka
kira-kira apa. Pada saat itu, semangat jiwa muda saya yang mendorong dan
bergerak 100 persen. All out.

Gerakan yang saya ikuti ini memberikan semacam doktrin yang cukup ekstrim,
dimana jangankan orang yang beragama di luar Islam, bahkan orang Islam yang
belum masuk kedalam gerakan ini – dalam istilah mereka “melakukan hijrah”
adalah termasuk orang kafir dan layak untuk diperangi!

Begitu terlenanya saya dengan ajaran yang saya terima telah mendorong saya
untuk mencurahkan seluruh perhatian, dana dan waktu saya pada kegiatan
gerakan tersebut. Bahkan pihak keluarga saya merasa “telah kehilangan saya”.
Kerasnya aktivitas di sana dan karena konsentrasi pada pencurahan dana dan
sumberdaya manusia yang sangat tinggi,  mengantarkan saya pada sebuah titik
kulminasi. Sebuah titik dimana saya merasa hati dan jiwa saya kering.  Saya
merasa apa yang sudah saya korbankan tidak membawa saya kemana mana, jiwa
masih saya kering, hidup saya tidak tenang dan yang pasti hubungan saya
dengan keluarga dan orang tua menjadi  berantakan.

Apa yang saya rasakan saat itu sesungguhnya tidak bisa dijelaskan dengan
kata-kata. Saya mengalami goncangan yang cukup dahsyat.  Di satu sisi saya
sudah didoktrin tentang sebuah ideologi, di sisi lain – saya merasa telah
pada satu titik jenuh dan merasa tidak mendapatkan apa yang saya cari.

Dalam situasi dan kondisi tersebutlah saya berkenalan dengan Bapak Anand
Krishna melalui sebuah buku yang beliau tulis. Tertarik dengan apa yang saya
baca, akhirnya saya memutuskan untuk datang pada sebuah acara open house
yang diselenggarakan di sunter.

*Pengalaman yang Benar-Benar Baru Mengenal Meditasi*

Dalam acara open house yang pertama kali saya ikuti,  saya mendapatkan
sebuah pengalaman baru.  Dalam acara tersebut yang dihadiri oleh puluhan
orang,  itulah pertama kali saya melihat Bapak Anand Krishna secara
langsung.

Dalam kesempatan itu, Beliau mengajarkan sebuah teknik yang kala itu terasa
aneh, tapi setelah selesai acara efeknya langsung terasa. Seakan beban berat
yang sedang saya pikul hilang begitu saja.
Singkat cerita saya mengikuti beberapa program. Program pertama yang saya
ikuti adalah  “Seni Memberdaya Diri 1”, Kemudian “Neo Zen Reiki”. Saya
merasakan ketenangan dan merasa mendapatkan apa yang sedang saya cari.

Setelah itu, bisa saya katakan bahwa saya telah mengikuti semua program yang
a

[zamanku] Hal menarik seputar karakter asinan terhadap Anand Krishna

2010-04-03 Thread yudha renesanto
*Perhatian, ini tulisan panjang, subyektif, mengandung curcol, dan menyebut
nama. Dengan nekat membaca ini, berarti Anda sudah setuju untuk tidak
menuntut dan atau mengutuk saya. :)*

*diambil dari 
**guhpraset.wordpress.com
**
*

——-——-——-——-——-——-——-——-——-——-——-

Jadi gini, baru-baru ini saya ditanya-tanya begini:

“*Guh, guru spiritual lu kena kasus cabul ya!*” tanya seorang Mbak Cantik.
“*Guh, Anand Krishna terkait dugaan asusila?*” tanya Mbak lain yg lebih
cantik.
“*Nyet, AK kenapa tuh di TV One?*” tanya seorang yang pasti temannya lintas
spesies.

Yaiks!

Dan saya pun harus kembali bergaul dengan TV. Tadinya saya malas sekali
menonton TV, kecuali kalau terhubung dengan PS2. Malas menonton iklan. Tapi
demi menonton Mbak TR vs AK ya apa boleh bikin.

Saya berhasil nonton berita itu. Berkali-kali.

Dan baru setelah beberapa kali, saya tersadar kalau pemberitaan di TV
itu *tidak
berimbang*. Bagian TR diberitakan dengan mantap dan jelas sekali,
diulang-ulang sampai bosan, nah giliran pihak AK bicara, cuma diperlihatkan
singkat sekali.

Cara pemberitaan begitu membuat saya teringat pada cerita implisit beberapa
teman yang ngakunya bekerja di pabrik PR (bukan Pubic, tapi Public. *Public
Relations*). Secara implisit mereka menyampaikan bahwa “*Sebagaimana
perusahaan PR dibayar untuk mengatur agar media diisi berita yang
menguntungkan klien korporat, sebagai PR kami juga bisa dibayar untuk
mengatur agar media diisi berita yang membunuh musuh-musuh klien kami”*.
Pendapat yang membuat saya berprasangka buruk pada stasiun TV yang saya
tonton.

Tapi sore tadi cara TV mulai berubah.

Selepas maghrib saya menonton (lagi) TV One, kali ini wakil pihak tertuduh
dimunculkan. Ibu Maya yang baru nongol langsung komplain memperingatkan
pembawa acara yang beberapa detik sebelumnya mengatakan “*pihak AK sampai
sekarang sulit dihubungi*” padahal Ibu Maya sudah siap dan menunggu di
studio sejak 17.30 (atau 16.30, saya lupa). Tentu saja beliau membantah
semua tuduhan dan mengatakan hal yang dituduhkan tidak pernah terjadi.

Siaran langsung itu lumayan vulgar. Ada kalimat dari seorang mas-mas dari
pihak TR: “*…seperti menggosok vagina*“. Mbak SM juga menyebut-nyebut “*…tisu
berisi cairan sperma*“. Semua diucap secara eksplisit. Sevulgar itu, sesore
itu, pada jam primetime dimana anak-anak mungkin masih terjaga. TV One ini
pasti hanya di stel di TV yang berada di ruangan khusus orang dewasa.
Ternyata bukan cuma blog saya saja yang bisa sevulgar itu.

Sekarang saya yakin karakter Anand Krishna memang sedang dibantai oleh
media. Dibuat tampak cabul secabul-cabulnya. Pembantaian ini bahkan sudah
dimulai sebelum pengadilan direncanakan. Ini mengingatkan saya pada nasib
Antasari. Media membuat beliau tampak mesum dengan mengekspos saat-saat
dimana pengadilan yang (entah kenapa) sangat tertarik dengan cara Antasari
membuka kutang Rani. *….mmm… kutang….*

Lantas?

Ya bagi semua yang berguru pada Anand, baik secara langsung, lewat buku,
maupun diam-diam dari jauh, kasus ini jelas sangat amat menggelisahkan.
Apalagi trial by press yang sedang dilakukan TVnya Bang One bersama
media-media lain. Itu sux!

Trus gimana?

Ya gimana lagi. Kita ikuti saja perkembangannya gimana. Kasus ini jelas akan
mengalihkan perhatian sebagian orang dari kasus-kasus besar macam Century,
penggelapan pajak dan semacamnya. *berharap jangan ada yg nyebut kasus
Freeport atau Aceh atau Kalimantan*.

Kalau nanti TR bersama hipnoterapis, psikolog dan 100
pengacaranyaberhasil
membuktikan AK bersalah, kamu gimana Guh??

Ya… saya akan terus menghormatinya sebagai Guru. Jika guru sekolah yang
pernah menampari saya puluhan kali hanya dalam waktu satu hari bisa tetap
saya hormati, apalagi AK yang sudah mengajarkan banyak pemahaman baru dan
memperluas wawasan saya. Namun saya yakin beliau tidak bersalah.

Apalagi saya sudah mulai melepaskan paham buntelanisme. Sebuah cacat dalam
‘buntelan’ tidak harus membuat saya menganggap seluruh buntelan jadi layak
buang. Sebaliknya, adanya beberapa hal yang bagus dalam buntelan, tidak
berarti seluruh isi buntelan pasti bagus. Saya masih terus belajar untuk
tidak terjebak buntelanisme.

Udah? Gitu aja?

Belum. Kan judulnya diatas itu adalah “hal-hal menarik disekitar karakter
asinan terhadap AK”. (Untuk yang belum mengerti, karakter asinan ini
maksudnya adalah *character assasination* atau pembunuhan karakter)

Jadi, inilah hal-hal menarik itu. Semua terkait kasus TR vs AK yang bertema
“Hipnotis”, “Brainwash” dan “Cabul yang secabul-cabulnya”:

*1. Keberanian yang inspiratif*

Inilah sisi baiknya. Keberanian Mbak TR bisa *menginspirasi dan menyemangati
siapapun yang menjadi korban pelecehan agar berani melapor*. Jika Mbak TR
berani melaporkan tokoh sebesar AK, masa dilecehkan oleh guru sekolah atau
guru ngaji saja takut dan bungkam? Jika