[Keuangan] Momentum Pacu Pertumbuhan

2006-11-07 Terurut Topik ari ams
http://www.kompas.co.id/

Rabu, 08 November 2006 - 04:36 wib
Momentum Pacu Pertumbuhan

*JAKARTA, KOMPAS - Kondisi makro-ekonomi Indonesia kini berada dalam posisi
kondusif untuk bergerak maju. Kegiatan perekonomian mulai menggeliat,
tercermin dari meningkatnya permintaan kredit perbankan. Indeks saham pun
terus melonjak, menandakan kepercayaan investor yang tetap kuat. *

Momentum ini seharusnya dimanfaatkan semua pihak untuk saling mendukung
mempercepat pertumbuhan ekonomi. Apalagi, dalam rapat Dewan Gubernur Bank
Indonesia (BI), Selasa (7/11), suku bunga acuan atau BI Rate kembali
diturunkan 50 basis poin menjadi 10,25 persen.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, penurunan BI Rate
merupakan momentum yang tepat untuk menumbuhkan investasi baru. Perusahaan
pun bisa lebih ekspansif mengembangkan usahanya.

Direktur Utama Indef Fadhil Hasan, pada hari yang sama, menjelaskan, waktu
yang dimiliki bangsa ini untuk berbenah dan meletakkan fondasi yang kokoh
bagi tahap pembangunan selanjutnya tak banyak lagi. "Waktunya hanya sampai
2007. Tahun 2008 dan 2009 semua orang sudah berpikir pemilihan umum sehingga
hal-hal yang terkait kepentingan publik akan terpinggirkan," katanya.

Menurut Fadhil, suasana kondusif ini juga harus dijaga jangan sampai rusak
hanya gara-gara persoalan politik. Ketua Masyarakat Profesional Madani Ismed
Hasan Putro menyarankan elite politik agar berhenti saling memprovokasi.
Ketegangan politik hanya akan menambah deret masalah di mata investor asing.


*Perbaiki iklim investasi *

Saat ini upaya yang harus dipacu pemerintah, kata Fadhil adalah memperbaiki
iklim investasi secepat mungkin. Memang telah banyak upaya yang dilakukan
pemerintah, tetapi belum optimal. Optimalisasi masih perlu dilakukan pada
hal-hal yang menyangkut perundang-undangan, kebijakan anggaran, dan
pemberian insentif.

Waktu untuk berbenah dan memanfaatkan momentum semakin minim karena BI
memperkirakan tantangan makro-ekonomi tahun 2007 lebih berat dibandingkan
dengan tahun 2006, terutama inflasi.

Direktur Perencanaan Strategis dan Humas BI Budi Mulya mengatakan,
pemerintah dan BI menargetkan inflasi tahun 2007 sebesar enam persen plus
minus satu. Padahal, secara historis sejak tahun 2002, inflasi inti selalu
berada di kisaran tujuh persen. Pada bulan Oktober 2006 inflasi inti sebesar
6,86 persen. Salah satu pemicu inflasi tahun 2007 adalah lambatnya
peningkatan kapasitas produksi yang menyebabkan penawaran lebih rendah
dibandingkan dengan permintaan.

Situasi itu mengisyaratkan bahwa tahun 2007 stimulus ekonomi dari sisi suku
bunga tak akan seagresif tahun 2006, mengingat inflasi inti dipakai sebagai
dasar bagi BI dalam menentukan suku bunga acuan atau BI Rate.

BI juga memperkirakan terdapat indikasi tren menurun pada harga komoditas
dunia. Tren meningkat pada impor barang konsumsi yang dapat memengaruhi
kinerja neraca pembayaran Indonesia secara keseluruhan.

Akan tetapi, pakar moneter Iman Sugema mengatakan, pencapaian inflasi yang
cukup rendah tahun ini harus direspons secara hati-hati. Angka inflasi
Januari-Oktober yang hanya 4,96 persen cukup jauh di bawah target akhir
tahun sebesar delapan persen. Salah satu penyebabnya, kata Iman, adalah
anjloknya daya beli masyarakat. Selain itu, rendahnya permintaan juga dipicu
ketidakpastian pasar tenaga kerja. "Orang yang kena PHK akan berhemat karena
tak tahu kapan bekerja lagi," katanya.

*Menggeliat *

Besarnya momentum tak hanya terlihat dari kondusifnya makro-ekonomi, tetapi
juga dari kegiatan sektor riil yang mulai menggeliat. Penyaluran kredit
perbankan cenderung naik sejak Agustus 2006. Bahkan, bulan September 2006
kredit meningkat Rp 18,5 triliun atau tertinggi sepanjang tahun 2006.

Secara kumulatif selama tahun 2006, kredit bertumbuh 7,9 persen.
Meningkatnya kredit tak lepas dari maraknya pembangunan proyek-proyek
pemerintah dan turunnya suku bunga kredit.

Direktur BII Sukatmo Padmosukarso mengatakan, suku bunga kredit akan terus
menurun seiring penurunan BI Rate. Dengan asumsi BI Rate akan berada di
level 9,5 persen pada akhir tahun, maka suku bunga kredit bisa diturunkan ke
level 13,5 persen. Saat ini suku bunga kredit 14-17 persen.

Indeks harga saham gabungan di Bursa Efek Jakarta terus meningkat didorong
oleh arus masuk modal asing. Pada penutupan perdagangan saham kemarin,
indeks naik 13,304 poin (0,81 persen) menuju level tertingginya, 1.654,152,
dan melampaui level psikologis 1.650.

Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI Muliaman D Hadad menyarankan
perbankan nasional mencari cara agar bisa lebih banyak menyalurkan kredit
mikro ke masyarakat kecil. Pemberdayaan masyarakat kecil penting untuk
mengurangi angka kemiskinan, sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi.

Saat ini tidak semua bank memiliki keahlian menyalurkan kredit mikro. BI,
kata Muliaman, telah mengeluarkan aturan untuk mendorong bank menyalurkan
kredit mikro. (FAJ/DIS)


[Non-text portions of this message have been removed]



=
Moto: Email Krit

[Keuangan] Laporan dwi-tahunan IEA World Energy Outlook 2006

2006-11-07 Terurut Topik Budi Sudarsono
Para Anggota Maling list Yth.,

Setelah sekian lama, barulah IEA keluar dengan laporan yang bernada
mendukung energi nuklir: sesudah perkebangan harga energi 2004 sampai
2006 dan setelah Pemerintah AS mendorong dibangunnya PLTN di AS.
Berikut ini kutipan press release IEA tentang World Energy Outlook
2006, yang secara hatu-hati mendukung nuklir sebagai penawar emisi
CO2.

Wasalam,


Press releases

(06)17

The World Energy Outlook 2006 Maps Out a Cleaner, Cleverer and More
Competitive Energy Future

See Related Publication or Event
07 November 2006 London --- "World political leaders have decided to
act with resolution and urgency to change the energy future. The
World Energy Outlook 2006 shows how to make that happen”, said Claude
Mandil, Executive Director of the International Energy Agency (IEA)
today in London at the launch of the latest edition of the Outlook –
the annual flagship publication of the IEA.

“WEO-2006 reveals that the energy future we are facing today, based
on projections of current trends, is dirty, insecure and expensive.
But it also shows how new government policies can create an
alternative energy future which is clean, clever and competitive –
the challenge posed to the IEA by the G8 leaders and IEA ministers”,
Mr. Mandil emphasised.

In a Reference Scenario, which provides a baseline vision of how
energy markets are likely to evolve without new government measures
to alter underlying energy trends, global primary energy demand
increases by 53% between now and 2030. Over 70% of this increase
comes from developing countries, led by China and India. Imports of
oil and gas in the OECD and developing Asia grow even faster than
demand. World oil demand reaches 116 mb/d in 2030, up from 84 mb/d in
2005. Most of the increase in oil supply is met by a small number of
major OPEC producers; non-OPEC conventional crude oil output peaks by
the middle of the next decade. Global carbon-dioxide (CO2) emissions
reach 40 Gt in 2030, a 55% increase over today’s level. China
overtakes the United States as the world’s biggest emitter of CO2
before 2010. These trends would accentuate consuming countries’
vulnerability to a severe supply disruption and resulting price
shock. They would also amplify the magnitude of global climate
change.

Strong policy action is needed to move the world onto a more
sustainable energy path. An Alternative Policy Scenario demonstrates
that the energy future can be substantially improved if governments
around the world implement the policies and measures they are
currently considering. In this scenario, global energy demand is
reduced by 10% in 2030 – equivalent to China’s entire energy
consumption today. Global carbon-dioxide emissions are reduced by 16%
– equivalent to current emissions in the United States and Canada
combined – in the same time-frame. In the OECD countries, oil imports
and CO2 emissions peak by 2015 and then begin to fall. Improved
efficiency of energy use contributes most to the energy savings.
Increased use of nuclear power and renewables also help reduce
fossil-fuel demand and emissions. Just a dozen specific policies in
key countries account for 40% of the reduction in global CO2
emissions. The shifts in energy trends described in this scenario
would serve all three of the principal goals of energy policy:
greater security, more environmental protection and improved economic
efficiency.

“The good news”, said Mr. Mandil, “is that these policies are very
cost-effective. There are additional upfront costs involved, but they
are quickly outweighed by savings in fuel expenditures. And the extra
investment by consumers is less than the reduction in investment in
energy-supply infrastructure. Demand-side investments in more
efficient electrical goods are particularly economic; on average, an
additional $1 invested in more efficient electrical equipment and
appliances avoids more than $2 in investment in power generation,
transmission and distribution infrastructure.

The energy picture has changed appreciably since the 2004 Outlook,
the last major update of the IEA’s global energy projection. The
realities of the energy market have become harsher and the relative
competitive position of fuels has changed. Oil and gas prices this
year have been between three and four times higher than in 2002 and
this is reflected in a new oil price assumption for the projections.
But world economic growth has remained robust, as the recessionary
effects of higher energy prices have been more than offset by other
factors. Coal is now cheaper than natural gas for electricity
generation, while nuclear power may, in some cases, be cheaper than
both coal and gas – even where there is no penalty for emitting CO2.
Coal has led the recent surge in global energy demand and is on a
stronger growth path than in previous WEOs. China and India are the
predominant sources of global energy demand growth.

“WEO 2006 identifies under-investment in new energy supply as a real
risk”, said M

Re: [Keuangan] IICE 2006: Boediono, "Belum ada Komitment"

2006-11-07 Terurut Topik Hok An
Bung Ikhsan,

Memang proyek2 infrastruktur bermasalah sebab sifatnya jangka panjang
dan sebagian mengandung risiko tinggi. Untuk mencari sumber panas bumi
sudah lama ada usul untuk membentuk semacam asuransi risiko.

Dari artikel Kompas yang saya kutip dibawah kelihatan bahwa lembaga
keuangan kita juga belum membuka semacam sumber dana untuk proyek2 yang
berrisko. Kemungkinan untuk subsidi silang yang dulu banyak dilakukan
oleh perusahaan2 seperti PLN juga sudah sulit.
Tampaknya proyek2 ini akan seret jalannya.

Salam
Hok An

Sabtu, 04 November 2006 - 04:39 wib

Bank Pilih-pilih Infrastruktur

JAKARTA, KOMPAS - Perbankan akan menjadikan proyek infrastruktur sebagai
sasaran utama kredit investasi ke depan. Akan tetapi, perbankan akan
selektif memilih proyek yang dibiayai. Proyek yang telah matang,
berisiko rendah, dan berjangka waktu tidak terlalu panjang merupakan
proyek-proyek yang akan diburu.

Demikian dikatakan secara terpisah oleh Ketua Umum Perhimpunan Bank Umum
Nasional, sekaligus Direktur Utama BNI, Sigit Pramono; Direktur Bank
Internasional Indonesia Sukatmo Padmosukarso; Direktur Bank Niaga
Catherine Hadiman; Direktur Bank Mandiri Sentot Sentausa; dan ekonom
BRI, Djoko Retnadi, Jumat (3/11) di Jakarta.

Menurut Sigit, perbankan sebenarnya telah lama menunggu, tetapi
permintaan kredit infrastruktur hingga kini masih sedikit. "Tahun 2007
kredit infrastruktur memang akan meningkat, tetapi bertahap karena
pencairan kreditnya per termin berdasarkan progres perkembangan
pembangunan proyek," katanya.

Sukatmo mengatakan, perbankan biasanya akan menyalurkan kredit investasi
konstruksi dalam pembangunan proyek infrastruktur. Itu pun umumnya hanya
dilakukan jika sumber pembiayaan keseluruhan proyek sudah jelas. Adapun
kredit modal kerja akan disalurkan pada proyek yang aliran dananya bisa
dikontrol bank, seperti jalan tol, pelabuhan, dan kelistrikan.

"Perbankan akan menghindari kredit infrastruktur yang berjangka panjang
melampaui tujuh tahun karena risikonya relatif besar," katanya.

Catherine Hadiman mengutarakan, bank-bank besar telah berminat membentuk
sindikasi guna membiayai proyek infrastruktur untuk menyebar risiko
karena kreditnya sangat besar.

Djoko Retnadi memperkirakan, kredit infrastruktur akan menyumbang 25
persen dari total kredit yang akan disalurkan perbankan pada tahun 2007.
"Jika pertumbuhan kredit tahun 2007 mencapai 20 persen, kontribusi
kredit infrastruktur mencapai 5 persen," katanya.

Dukungan

Sejauh ini pemerintah telah menyiapkan sejumlah hal terkait pembiayaan
infrastruktur. Misalnya, membentuk komite pembiayaan infrastruktur yang
bertugas menggali sumber-sumber pembiayaan. Perbankan, sebagai sektor
keuangan yang sangat dominan di Indonesia, diharapkan menjadi motor
pembiayaan infrastruktur. Sumber pembiayaan lainnya dari asuransi, dana
pensiun, anggaran pemerintah, dan investor asing.

Pemerintah juga telah menunjuk Bank Mandiri sebagai pemimpin konsorsium
untuk pembiayaan infrastruktur kelistrikan. Bank BUMN lainnya, BNI,
ditunjuk sebagai pemimpin konsorsium pembiayaan jalan tol.

Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia (BI)
Muliaman Hadad mengatakan, BI juga telah memberi banyak kelonggaran
untuk mendorong pembangunan infrastruktur. Batas maksimum pemberian
kredit (BMPK) telah dilonggarkan dari 20 persen menjadi 30 persen untuk
BUMN yang membangun proyek infrastruktur. Selain itu, BI juga
mengecualikan larangan kredit pengadaan tanah untuk keperluan proyek
infrastruktur.

Maraknya pembiayaan infrastruktur pada tahun 2007 akan menjadi titik
bagi kredit investasi yang dalam tiga tahun terakhir pertumbuhannya
terus melambat. Mengutip data BI, total kredit investasi per Agustus
2006 sebesar Rp 138,55 triliun, atau hanya bertumbuh 2,87 persen
dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Bandingkan
dengan kredit konsumsi yang bertumbuh 11,72 persen dalam kurun waktu
yang sama.

Kendala

Para bankir mengakui masih ada sejumlah faktor yang bisa menyebabkan
mereka urung menyalurkan kredit infrastruktur. Misalnya, kepastian dan
jaminan dalam penyediaan lahan untuk pembangunan jalan tol. Kini memang
belum ada yang bisa menjamin seberapa besar dana dan waktu yang
dibutuhkan untuk pembebasan lahan. Padahal, faktor itu sangat penting
untuk mengukur imbal hasil proyek.

Sigit mengatakan, perbankan sulit membiayai kredit pengadaan tanah
karena berisiko besar karena berpotensi dijadikan ajang spekulasi. (FAJ)

Mohamad Ikhsan schrieb:

> Guaranteed fund yang dibentuk pemerintah tujuannya ke arah ini. Kalau
> dibaca dari proceeding dan keterangan2 di media. Lembaga guaranteed
> fund dibentuk sebagai pooling Dana Risk sharing yang sewaktu-waktu
> bisa diakses bila diperlukan (misal harga pembebasan jauh lebih tinggi
>
> dari yang diperkirakan etc...).
>
> Lembaga ini vital bagi kesuksesan semua tender proyek infrastruktur.
> Karena banyak investor masih jeri dengan resiko politik di Indonesia,
> termasuk investor lokal.
>
> Ini hal yang baru. Dan bisa dibilang se