Dari pak Hasan Soedjono, senior yang saya hormati. Semoga bermanfaat
Oka Widana From: On Behalf Of Hasan M. Soedjono Subject: [AKI-OOT] RE: [auri] Agus PAmbagio: Melobi UE Tanpa Arah, Hasil Parah Aswrwb. Milisers tersayang, Pertama-tama saya mohon maaf pada semua dan khususnya para moderator karena tulisan ini saya kirim secara cross-posting. Bukan karena saya mencari pembenaran, atau mengelak kesalahan, tetapi kebetulan yang kirim ke saya juga cross-posting. Berapa kali kah kita nonton film Hollywood di mana untuk menaklukkan seorang penjahat yang menyandera banyak orang (atau menyandera barang vital seperti bom, senjata kimia, peninggalan budaya yang tak ternilai), atau juga untuk mengurungkan niat orang yang berkeras hendak bunuh diri dengan cara melompat dari gedung tinggi, maka polisi setempat memerlukan untuk mendatangkan seorang Profiler atau Hostage Negotiator? Kalau kita simak, teknik yang selalu digunakan oleh seorang profiler adalah untuk mencoba mengerti sisi pandang sang lawan. Kadang-kadang ikhtiar untuk mengerti lawan mencapai titik di mana sang profiler bahkan perlu menunjukkan empathy yakni secara lisan menyampaikan pada lawan bahwa si Profiler bisa meRASAkan dam meMAKLUMi apa yang dialami oleh lawan. Teknik ini tidak hanya digunakan di ilmu kepolisian. Mencoba mengetahui lawan adalah suatu doktrin dasar bagi seorang pelatih tim olahraga, maupun Jenderal (termasuk Marsekal, heh, heh) di mana pun. Military Intelligence sangat diandalkan oleh setiap pemimpin operasi militer. Niatnya sama, mencapai tujuan strategis tanpa menimbulkan korban; paling tidak, demi meminimasi jumlah korban di kedua pihak. Dalam menyikapi larangan terbang Eropa, mungkin kita akan lebih efektif (baca: minimasi korban dan biaya) kalau kita mencoba pendekatan serupa di atas. Skenario yang kita perlu bayangkan cukup sederhana: Katakan saja Maskapai Indonesia dibolehkan terbang lagi, dan katakan saja terlepas apakah ada kesalahan di pihak maskapai kita atau tidak, tetapi atas kehendak Tuhan ternyata toh terjadi kecelakaan lagi di suatu kota di Eropa. Masih ingat pesawat cargo El Al yang jatuh di Schippol persis di atas pemukiman apartemen orang kumuh di Amsterdam sekitar 15 tahun silam? Kalau peristiwa serupa terjadi lagi, kira-kira apa sih bayangan kita akan bagaimana dahsyatnya reaksi publik, politisi, dan pemerintahan setempat? Apakah seperti di Indonesia yakni diberitakan di surat kabar selama dua minggu, untuk kemudian hilang? Hasil investigasi resmi pun cenderung mengalami nasib yang tidak banyak bedanya. Mungkinkah kita (bangsa Indonesia secara kolektif) memang sudah tidak mampu lagi untuk membayangkan skenario apa yang akan terjadi di Eropa kalau setelah baru enam bulan, suatu maskapai yang baru saja dilarang masuk Eropa, kemudian mengalami musibah di daratan sana? Selama hampir 70 tahun merdeka, masyarakat di Indonesia tidak pernah ditempa dan dididik (baca: mengalami atau menyaksikan) bagaimana menyelesaikan investigasi kecelakaan udara (di Indonesia) secara tuntas. Tuntas bukan hanya dalam artian menguak apa yang sebenarnya telah terjadi tetapi apa follow-up setelah akhirnya ketahuan kronologi kejadiannya? Follow-up bukan hanya dalam bentuk perbaikan sistem dan prosedur, tetapi juga sanksi dan tanggung jawab dari pihak yang akhirnya ketahuan bersalah (maupun turut bersalah). Kalau menteri memecat dirut PJKA mah sudah sering. Atau kenék bis digebugin massa juga sudah biasa, lumrah, bahkan terkesan dibenarkan (dibiarkan). Tetapi kalau teknisi yang dituntut secara kriminal, asosiasi profesional pilot yang kemudian membenahi diri dan segera menerbitkan panduan operasional dan panduan etika yang baru, menteri transportasi yang mengundurkan diri dari kabinet, dirut maskapai yang hara-kiri semua peristiwa susulan seperti itu, kalau di Indonesia, hanya dikenal dalam bentuk pemberitaan atas apa yang terjadi setelah ada kecelakaan di LUAR negeri. Itu pun sering hanya sebagai berita sisipan atau catatan kaki dalam liputan berita utamanya. Di Indonesia mah, kita lain, Bung. Jangankan tuntutan pidana atau pembenahan profesi secara suka rela dan penuh tanggung jawab, selama hampir 70 tahun kita lepas dari belenggu penjajahan fisik oleh kolonialis bulé, belum pernah ada satupun pejabat regulator maupun pejabat maskapai yang mengundurkan diri. Apalagi menteri atau dirut. Mungkin point saya di atas akan lebih meresap kalau saya ajukan skenario imajiner yang sederhana di bawah ini: IPDN di Sukabumi, setelah 3 bulan tutup, ditinjau dan diinspeksi dan di-blah, blah, blah , akhirnya segera dibuka kembali karena desakan warga Sukabumi dan warga Jawa Barat yang kehilangan nafkah dan potensi ekonomi sebagai akibat ditutupnya lembaga yang menampung ribuan siswa dari seluruh Indonesia. Apakah kita akan serta merta percaya, dan setuju? Kemudian kepala tim evaluasi turut-turut mempertanyakan mengapa IPDN tidak boleh dibuka kembali, setelah dalam tiga bulan dinyatakan bahwa tidak ada lagi budaya serta praktek brutal dan praktek seks bebas. Bahkan beliau malah turut-turut menginsinyuasi bahwa ketidak-setujuan masyarakat atas keberadaan IPDN hanya merupakan diskriminasi politik-ekonomi Indonesia terhadap suku Sunda. Nah, bagaimana reaksi kita? Saya tidak heran jika Anda menganggap itu absurd. Mungkin, sikap mental dan budaya (atau mungkin akan lebih tepat lagi adalah ketiadaan sikap budaya dan mental) terhadap safety (DAN pertanggung-jawabnya) inilah yang sebenarnya dipertanyakan dan dikhawatirkan oleh Tétéh Eropa (Uni Eropa). Bagaimana mereka mau mengabulkan permintaan kita, kalau kita tidak menunjukkan empathy pada permasalahan dan kekhawatiran yang dirasakan oleh mereka? Kalau Anda tertawa mendengar skenario imajiner dan absurd di atas tadi, jangan-jangan itu juga reaksi para penentu kebijakan di UE lho, atas permohonan Indonesia untuk segera di-daftar-putihkan kembali! Hanya saja, sebagai suku eks-kolonialis, mereka lebih piawai dalam diplomasi untuk menyembunyikan gelak yang sebenarnya membahak di hati kecil mereka. Para wakil Indonesia (baik yang tidak resmi dan apalagi yang resmi) seyogyanya dibekali rasa empathy seperti seorang Profiler atau Hostage Negotiator. Bukan karena sang Profiler setuju dan sepaham dengan lawan, melainkan dalam rangka memicu perubahan sikap dan perilaku (behavioral modification) dari lawan. Tujuannya adalah demi mitigasi akan jumlah korban, apalagi korban kolateral. Salam hangat selalu, Wass -hms- PS Saya sebenarnya agak malu, tetapi entah kenapa, saya justru menyimpan rasa syuuzon terhadap maskapai Asean yang lain (dalam hal ini termasuk Hong Kong juga). Tangan tersembunyi Adam Smith akan mendikté mereka untuk, secara diam-diam dan hati-hati tetapi terus-menerus, menebar rasa takut UE terhadap maskapai Indonesia. Tujuan Adam Smith adalah sederhana: menangkap semua pangsa pasar penumpang Eropa yang tetap saja prefer menikmati keindahan alami dan kekayaan budaya Bali dari pada mengunjungi kota kosmopolitan Asean lainnya. Saya tidak perlu heran atau kecewa kalau ternyata kecurigaan saya ini ada benarnya lha wong lagu, batik dan témpé pun bisa mereka bajak. Apalagi cuman membajak penumpang yang menjadi hak/jatah maskapai nasional kita. Kalau mereka tidak bisa kebagian revenue dari preferensi alamiah dan laten para turis Eropa terhadap keindahan dan potensi Bali, maka paling tidak mereka bisa menikmati seluruh pemasukan dari turis tersebut sebagai penumpang pesawat mereka. Cara mereka pun tidak perlu kasar dan jahat, seperti dengan cara menebar fitnah. Kita sendiri tahu betapa efektifnya SQ melalui iklan yang senantiasa membanggakan armada termuda di dunia - menanamkan paradigma umum seolah ada korelasi signifikan antara umur pesawat dan keselamatan penerbangan. Dan tentunya saya tidak bicara SQ sebagai satu-satunya maskapai Asia. Kesemuanya akan berupaya untuk memukau habis-habisan para penentu kebijakan di UE, antara lain dengan terus menerus memamerkan kemajuan-kemajuan safety yang diberlakukan bagi maskapai mereka sendiri. Tidak tertutup taktik mengirim safety inspectors mereka ke Eropa untuk ikut di setiap training dan seminar yang diadakan oleh berbagai lembaga di Eropa. Mungkin juga mengirim para pilot dan teknisi untuk berlatih di sana, termasuk menyewa simulator di Eropa. Misalnya, yang biasanya cukup satu kali setahun kirim tim untuk belajar, kini dengan adanya stigma terhadap maskapai Indonesia -- mereka sengaja kirim tiga kali, dan dengan delegasi atau kontingen yang besar (high profile). Tidak terlepas kemungkinan bahwa ada software pelatihan atau software bagi air traffic controller yang diciptakan oleh perusahaan Eropa dan yang bisa dibeli secara low profile bahkan off-the-shelf sekalipun, tetapi para maskapai tadi memilih untuk mengadakannya secara high profile, agar para pengamat di Eropa dipaksa untuk tidak bisa tidak selain semakin mengapresiasi kemajuan yang sedang ditempuh di maskapai Asean tersebut. Logikanya adalah semakin UE menghormati SQ, MAS, CX, dan TG, maka dengan sendirinya semakin mereka akan menganggap rendah maskapai Indonesia. Semakin Uni Eropa mengapresiasi para maskapai tadi, maka secara psikologis semakin tinggi pula ekspektasi UE terhadap maskapai Indonesia. Dan hal ini menguntungkan maskapai dan negeri lawan. Dan selama mereka memperhatikan bahwa banyak orang Indonesia yang pandai mengeluh bahwa di Indonesia budaya safety masih belum terwujud, tetapi orang-orang Indonesia itu sendiri yang justru tidak pernah mencontohkan dengan berbuat konkrit (termasuk membenahi profesi dan mengundurkan diri), maka selama itulah para maskapai tetangga terjamin akan bisa terus berpesta-pora yang dibiayai oleh maskapai nasional kita. Ini bukan suatu pesta pora yang kecil. Kalau ada 100,000 wisatawan Eropa yang ke Indonesia, maka meski para wisman Eropa terbiasa tinggal 11 hari @ USD 100 per hari di Indonesia (= USD 110 juta per tahun yang diserap hotel, restoran, pengrajin lokal), dan kalau harga tiket pp Bali-Eropa adalah USD 1,000, maka ada USD 100 juta per tahun yang dinikmati maskapai asing. Kalau dari sisi perimbangan manfaat, seharusnya maskapai kita berpotensi untuk menangguk separo dari belanja tiket tersebut. Kalau saya tidak salah, jumlah wisatawan asal Eropa yang ke Indonesia jauh lebih besar dari perumpamaan saya di sini. _____ From: Tommy tamtomo [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: 04 Desember 2007 8:17 To: all; [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED] Cc: A Andoko; [EMAIL PROTECTED] Subject: [auri] Agus PAmbagio: Melobi UE Tanpa Arah, Hasil Parah Mas AP nulis nih di Detik, langsung dari eropa! cuman foto yg termuat hemat umur tuh hehehe TT ------- 04/12/2007 07:55 WIB Catatan Agus Pambagio dari Brussels Melobi UE Tanpa Arah, Hasil Parah Agus Pambagio - detikcom Agus Pambagio (foto: Visi Anak Bangsa) Brussels - Di tengah suasana hujan dan suhu 3 derajat Celcius, saya tiba di markas Directorat General Transport and Energy (DG TREN) Unit F-3 yang beralamat di Rue de Mot 24, B-1040 pada tanggal 30 November 2007 tepat pukul 11.30 waktu Brussels, Belgia. Saya sudah ditunggu oleh si empunya kantor DG TREN Unit F 3 yang merupakan bagian dari European Commission yang menangani larangan terbang atau Community List 51 maskapai berjadwal dan carter Indonesia ke 27 negara anggota Uni Eropa (UE). Maksud hati bertemu dengan mereka adalah untuk ikut melobi UE sebagai wakil publik yang independen dengan membawa data-data secukupnya yang saya peroleh dari berbagai pihak terkait, termasuk regulator dan beberapa operator penerbangan Indonesia. Rasa penasaran saya sebagai rakyat Indonesia atas pelarangan terbang tersebut membawa saya sampai ke markas UE ini. Secara independen, saya ingin supaya larangan terbang 51 maskapai penerbangan Indonesia ke UE yang tercantum di community list dicabut. Namun ternyata tidak bisa berjalan dengan baik, karena lobby tools-nya belum pernah dibuat oleh Pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Departemen Perhubungan RI (DJU). Lobby tools yang saya maksud adalah sebuah dokumen yang dapat dipakai untuk menyangkal, menjawab dan menunjukkan bahwa tidak ada alasan UE melarang terbang maskapai Indonesia ke wilayah UE. Namun apa mau dikata bahwa dokumen yang saya dapatkan dari DJU ternyata bukan dokumen yang harus mengklarifikasi hasil audit International Civil Aviation Organization (ICAO) 2007 seperti yang diminta oleh UE. Dokumen yang dimaksud adalah Corrective Action Plan (CAP) atau dokumen rencana perbaikan atas temuan hasil audit ICAO yang tertuang dalam Universal Safety Oversight Audit Program (USOAP). Dokumen yang selama ini di klaim oleh DJU sebagai CAP ternyata isinya memang belum menjawab USOAP, tetapi hanya bahan presentasi yang menceritakan hal-hal yang sudah dan akan direncanakan oleh DJU dalam mengantisipasi keselamatan penerbangan secara umum. Belum secara terstruktur dan tajam membahas atau menjawab temuan dan rekomendasi ICAO yang tercantum dalam USOAP Februari 2007. Dokumen USOAP menjadi salah satu dasar UE memasukkan Indonesia ke dalam community list atau larangan terbang bagi maskapai penerbangan Indonesia tertanggal 28 Juni 2007. Pertanyaan saya : Apakah DJU lupa atau kurang paham isi dokumen USOAP? Bagaimana keselamatan penerbangan dan perlindungan konsumen bisa berjalan baik di Republik Indonesia, kalau regulator penerbangan yang berwenang saja kurang paham aturan penerbangan Internasional? Berikut saya sampaikan percakapan saya dengan 3 orang pejabat kunci UE yang berwenang dan menangani kasus Indonesia, seperti : Roberto Salvarini (Head of Unit Air Safety), Federico Grandini (Administrator Aviation Safety), Olga Koumartsioti (Aviation Safety) dan melalui telepon dengan Mr. Calleja Crespo (Director). Pertama, ketika saya tanyakan mengapa UE dalam keputusannya tanggal 28 November 2007 tidak juga menghapus Indonesia dari community list, padahal Pemerintah RI sudah banyak melakukan perbaikan sesuai dengan permintaan UE. Apa jawaban UE? Mereka bilang betul bahwa kami sudah menerima dokumen yang disebut oleh DJU sebagai CAP, meskipun sangat terlambat. Namun dokumen tersebut (yang diberi judul 'ROAD MAP TO SAFETY: Brief for European Union') bukan CAP yang seharusnya menjawab temuan dalam USOAP. Menurut UE, itu hanya dokumen presentasi DJU saja! Selain sangat tipis (41 halaman) juga tidak menjawab USOAP. Mereka katakan akan bersedia duduk bersama jika Pemerintah RI sudah menyerahkan CAP. Nah lho! Akhirnya lobi yang saya lakukan selama berada di markas UE hanya sebatas mengkonfirmasi semua data yang saya peroleh dari DJU dan sumber-sumber lain, termasuk kronologis dasar-dasar diambilnya keputusan larangan terbang tersebut sejak 22 Maret 2007 sampai hari ini dan menanyakan apa saja kriteria penilaian UE supaya pencabutan larangan terbang ini dapat segera dilaksanakan. Berikut adalah lima (5) persyaratan UE yang umum dipakai sebagai dasar sebuah negara dikeluarkan dari community list : 1. Harus ada Corrective Action Plan (CAP) baik dari maskapai penerbangan maupun regulator. Dalam CAP harus tercantum milestone dan tanggal yang pasti kapan langkah-langkah tersebut akan selesai serta dapat menjelaskan semua temuan audit ICAO secara rinci dan jelas. 2. Regulator (DJU) harus memberikan endorcement terhadap CAP yang dibuat masing-masing maskapai penerbangan. 3. CAP yang dibuat oleh regulator dan maskapai penerbangan harus diserahkan pada European Commission (EC) tepat waktu agar dapat disebarkan ke seluruh 27 anggota UE untuk dianalisa oleh EC dan 27 anggota UE. 4. Bersamaan dengan pengiriman CAP, Pemerintah RI sudah harus mulai melakukan tindakan sesuai dokumen CAP yang menjawab USOAP, dan jika diperlukan UE bersedia membantu proses implementasinya. 5. Jika semua tindakan yang dilakukan Pemerintah RI (DJU) sudah sesuai dengan CAP, barulah UE akan mengirimkan tim teknis untuk memeriksa pelaksanaan dan pencapaian CAP ke Indonesia. Jika hasil pemeriksaan sudah sesuai dengan CAP, barulah community list atau larangan terbang dicabut. Jadi bisa dibayangkan kalau CAP saja belum dibuat dengan benar oleh DJU, bagaimana kita bisa melobi UE dan minta mereka segera mencabut larangan terbang tersebut? Meskipun demikian, sebelum saya mohon diri, masih sempat saya tanyakan kapan kira-kira UE akan mencabut larangan terbang maskapai Indonesia. Mereka dengan ringan menjawab : "Please tell to your Government, Just Work! If not it will take 100 years or more." Dengan senyum asam saya meninggalkan mereka sambil mengurut dada dan dalam hati berucap: Bagaimana mau melobi dan minta larangan terbang segera dicabut, lha persyaratan yang diminta dan digunakan sebagai alat lobi saja belum dibuat ? Masya Allah. Salam. *Agus Pambagio, Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen. [Non-text portions of this message have been removed]