Tambahan, biar lebih sfesifik dan tidak terkesan sentimen kepada pemerintahan.
Jika negara ini disederhanakan dengan lapangan bola, dan aparatur negara sama
dengan panitia/pengelola, pengawas dan pelatih. Maka tentunya yang perlu
diperhatikan diantaranya:
- Lapangannya (bersih, datar, gawangnya bagus, garis-garis pelanggaran jelas
dsb...)
- Tribun penontonnya, biar rapi dan tidak mengganggu pemain
- Aturan mainnya : gak boleh narik baju, nendang kaki lawan, opsait dsb...
- Wasit : harus netral/jujur, cermat dan memegang serta paham betul aturan main.
Demikian juga dengan perekonomian. Harus terkelola deangan kompleks (dan itu
memang tidak mudah). Mulai dari suku bunga, ketersediaan energi dan sumberdaya
air, jalan/transportasi, sarana komunikasi, keamanan dari rasa takut dan
pencurian, kepastian hukum dalam perselisihan bisnis, pajak,
ketenaga kerjaan, sistim produksi, eksport-import, izin pendirian usaha yang
mudah, pengawasan persaingan usaha yang fair, daya beli masyarakat/konsumen,
dsb... Memang banyak faktor yang terkait dan mempengaruhi perekonomi tersebut,
tidak cukup hanya dijelaskan dalam satu atau dua lembar kertas.
Dan yang terpenting adalah sistim keuangan dan produksi, rasa aman dan
kepastian hukum. Karena melakukan bisnis itu juga tidak mudah, apa lagi
ditengah persaingan yang semakin ketat, karena pelaku bisnis dan barang/jasa
semakin meningkat jumlahnya melebihi kebutuhan dan daya beli konsumen (over
supplay). Pada kondisi over supplay, konsumen memang diuntungkan karena
harga-harga murah. Tetapi para pelaku bisnis kesulitan memperoleh laba, bisa
jadi bangkrut. Ketika banyak yang bangkrut, maka terjadi over demand dan
harga-harga naik lagi, dan pada kondisi ini masyarakat golongan konsumen yang
kerepotan (daya beli melemah). Jika terjadi berlarut-larut, maka konsumsi
berkurang, itu berarti terjadi
--- In AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com, "nazarjb" wrote:
>
> Hm...yang lebih baik adalah menata sistim politik dan ketatanegaraan itu dulu
> yang benar-benar nasional indonesia. Toh kita bisa lihat sendiri ketika
> politik bisa melabrak norma-norma/uu/kesepakatan-kesepakatan yang sudah
> dirumuskan sebelumnya. dan kita juga bisa melihat bagaimana bingungnya
> masyarakat mencari tokoh yang Bisa dipercaya sebagai panutan atau tuntunan.
> karena sistim negara dan politik di negeri ini justru membolak balik
> kebenaran, mengatakan tidak baik seseorang yang sebenarnya berkompeten. ya,
> penilaian tidak objektif itu penyebabnya. dan penyakit itu masuk ke setiap
> daerah-daerah. Maaf: contoh pak BJ. Habibi, (karena perilaku politisi) sempat
> dibilang tidak berkompeten, sementara di negeri tetangga dia diakui
> keahliannya. Ya, standar menilai orang-orang indonesia ini cenderung
> berdasarkan "like dan dislike" akibatnya tidak objektif. persis seperti
> tes-tes diberbagai instansi kenegaraan. mungkin karena Budaya kekeluargaan
> dan kebersamaan serta mata duitan yang terlalu tinggi sehingga penilaian
> objektif menjadi tereliminasi.
>
> Salam
> Nazar
> On: Tebo-Jambi
>
>
>
> --- In AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com, Wong Cilik
> wrote:
> >
> > Seperti Cina... atau
> > Seperti Brunei Darussalamm?
> >
> > Maksudnya, ekonomi cina diperkirakan sudah menjadi ekonomi terbesar ke dua
> > (atau 3) di dunia. Tapi secara orang perorang, 150juta jiwa (kira2 10%
> > penduduk mungkin?) masih merupakan penduduk miskin dengan pendapatan perhari
> > $1 per hari (280 ribu rupiah per bulan?). Pemerintahnya sih bisa arogan,
> > tidak mengacuhkan saran internasional untuk meningkatkan HAM dan memilih
> > bekerja sama dengan pemerintah diktator negara lain asalkan bisa beli minyak
> > murah, batubara murah, dan besi murah? Merasa gagah sebagai pemerintah
> > negara besar padahal pendapatan penduduk per kapita masih rendah?
> >
> > Ataukah seperti Brunei atau Singapore? Negaranya kecil, total ekonomi GDP
> > negara barangkali kecil tapi per kapitanya lebih baik tapi kalau hubungan
> > luar negeri atau diplomasi sering dianggap gak ada saking kecilnya ekonomi?
>