Re: [Keuangan] Krisis Yunani dan Stabilitas Sistem Keuangan Indonesia

2010-05-28 Terurut Topik Hok An
Saya duga masalah Indonesia sedikit lain dari Yunani.
Rating Indonesia sudah lama dibawah AA dan Yunani kena masalah karena 
ambrol dibawah AA.
Indonesia sudah lama kena beban bunga tinggi. Yunani baru sekarang 
ditimpa beban tambahan bunga.
Diduga ongkos bunga Yunani sekarang kira2 5%. Karena utang Yunani 
besarnya 150% PNB dan merupakan kewajiban internasional, maka 
dikuatirkan akan terjadi transfer modal keluar sebesar 6% PNB.
Di Indonesia utang negara sebagian adalah utang dalam negeri (SUN). Yang 
naik turun dan sebab itu kurang jelas adalah utang swasta dengan 
tendensi bahwa asuransi kredit CDS juga bisa naik turun dengan besar 
(antara 156 dan 725bps; lihat:
http://jotman.blogspot.com/2008/10/indonesia-do-costly-credit-default.html 
dan http://in.reuters.com/article/idINTOE62U05R20100331)

Dilhat dari pergerakan CDS maka pasar uang Indonesia dan Yunani memang 
sama2 rawan terhadap ketidak percayaan orang2 yang punya uang, tetapi 
Indonesia saat ini ingin naik kelas ke AA dan Yunani dipaksa turun dari 
bangku AA.

Masalahnya adalah kepercaan itu sulit tumbuh kalau semua orang melihat 
bahwa elite politik kita kerjanya tidak synkron dan bertengkar terus.

Salam

Hok An

Bali da Dave schrieb:
>
> Mudah-mudahan dibaca banyak orang artikel ini...
>
> Moga-moga saja krisis Yunani tidak ada imbasnya ke Indonesia.
> Asal perusahaan Indonesia bisa bayar utang luar negerinya, tidak ada 
> pelarian modal ke luar negeri...
>
> Kalau ada yang gagal bayar, utang jadi non performing loan, CAR jadi 
> turun... dan masyarakat jadi panik tidak percaya sistem perbankan 
> nasional... maka situasi bisa berubah dalam sekejap mata. Entah saat 
> itu anggota DPR mana yang mau maju berttanggung jawab memecahkan 
> masalah kepanikan masyarakat? Apakah omongan anggota DPR bisa 
> dipercaya masyarakat? Lihat gedung miring atau tidak saja gak bisa 
> jelas padahal ada di depan mata. Mau lagi lihat 'kepanikan' yang gak 
> bisa kelihatan?
>
> --- On Thu, 27/5/10, Deni Ridwan  > wrote:
>
> From: Deni Ridwan mailto:kangdeni%40yahoo.com>>
> Subject: [Keuangan] Krisis Yunani dan Stabilitas Sistem Keuangan Indonesia
> To: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com 
> 
> Received: Thursday, 27 May, 2010, 10:15 AM
>
>
>
> Kompas, Kamis, 27 Mei 2010
>
> Krisis keuangan di Yunani diperkirakan oleh berbagai kalangan tidak 
> akan menimbulkan dampak yang kentara bagi Indonesia. Bank Dunia dan 
> IMF berpendapat bahwa risiko untuk Indonesia relatif kecil mengingat 
> fundamental ekonominya cukup kuat.
>
> Selain itu, IMF juga yakin bisa melokalkan dampak krisis tersebut di 
> wilayah Eropa. Semoga perkiraan itu benar. Jika tidak, Indonesia saat 
> ini tak siap menghadapi guncangan pada sistem keuangan seperti tahun 
> 2008.
>
> Kepergian seorang Sri Mulyani adalah ongkos mahal yang harus dibayar 
> akibat huru-hara kasus Century. Namun, ongkos yang lebih mahal adalah 
> kerusakan fondasi untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Hal ini 
> ditandai dengan menjadi tak jelasnya basis legal untuk tindakan 
> penanganan krisis, melemahnya koordinasi, dan menipisnya saling 
> percaya antarotoritas pada sektor keuangan, serta akan munculnya 
> keengganan pejabat publik membuat keputusan penting di saat genting.
>
> Dasar hukum penanganan krisis sebetulnya sudah diatur dalam Peraturan 
> Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 4 Tahun 2008 tentang 
> Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Namun, Perppu yang dimaksudkan 
> sebagai protokol manajemen krisis itu saat ini laksana zombi yang tak 
> jelas statusnya.
>
> Sebagai dampak dari kasus Century, DPR telah menolak mengesahkan 
> Perppu itu menjadi UU sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UUD 1945. Di 
> sisi lain, DPR juga menolak mengesahkan RUU untuk pencabutan Perppu 
> yang diajukan oleh pemerintah. Padahal, dalam Pasal 25 dan Pasal 36 UU 
> No 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Perppu 
> yang ditolak DPR harus dicabut dengan sebuah UU. Akibatnya, saat ini 
> pemerintah dan BI tak memiliki landasan hukum yang jelas untuk 
> tindakan pencegahan ataupun penanganan krisis.
>
> Koordinasi antarotoritas di sektor keuangan juga dinilai melemah 
> setelah tak berfungsinya Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). 
> Dalam kasus penalangan Century, DPR bukan saja ”berhasil” memberikan 
> vonis bersalah kepada KSSK, tetapi juga ”membunuh” lembaga tersebut. 
> Ketiadaan KSSK akan menyulitkan koordinasi antara kementerian Keuangan 
> (selaku otoritas fiskal serta pengawas pasar modal dan lembaga 
> keuangan bukan bank), BI (selaku otoritas moneter dan pengawas 
> perbankan), serta Lembaga Penjamin Simpanan (selaku pelaksana 
> penjaminan simpanan dan penanganan bank gagal).
>
> Dampak lain
>
> Dampak lain yang harus diwaspadai adalah menipisnya kepercayaan antara 
> Kementerian Keuangan, BI, dan LPS. Proses pemeriksaan oleh BPK, Pansus 
> DPR, dan KPK disadari atau tidak telah menimbulkan friksi an

Re: [Keuangan] Krisis Yunani dan Stabilitas Sistem Keuangan Indonesia

2010-05-26 Terurut Topik Bali da Dave
Mudah-mudahan dibaca banyak orang artikel ini...

Moga-moga saja krisis Yunani tidak ada imbasnya ke Indonesia.
Asal perusahaan Indonesia bisa bayar utang luar negerinya, tidak ada pelarian 
modal ke luar negeri...  

Kalau ada yang gagal bayar, utang jadi non performing loan, CAR jadi turun...  
dan masyarakat jadi panik tidak percaya sistem perbankan nasional...  maka 
situasi bisa berubah dalam sekejap mata. Entah saat itu anggota DPR mana yang 
mau maju berttanggung jawab memecahkan masalah kepanikan masyarakat? Apakah 
omongan anggota DPR bisa dipercaya masyarakat? Lihat gedung miring atau tidak 
saja gak bisa jelas padahal ada di depan mata. Mau lagi lihat 'kepanikan' yang 
gak bisa kelihatan?

--- On Thu, 27/5/10, Deni Ridwan  wrote:

From: Deni Ridwan 
Subject: [Keuangan] Krisis Yunani dan Stabilitas Sistem Keuangan Indonesia
To: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com
Received: Thursday, 27 May, 2010, 10:15 AM







 



  



  
  
  Kompas, Kamis, 27 Mei 2010 



Krisis keuangan di Yunani diperkirakan oleh berbagai kalangan tidak akan 
menimbulkan dampak yang kentara bagi Indonesia. Bank Dunia dan IMF berpendapat 
bahwa risiko untuk Indonesia relatif kecil mengingat fundamental ekonominya 
cukup kuat. 



Selain itu, IMF juga yakin bisa melokalkan dampak krisis tersebut di wilayah 
Eropa. Semoga perkiraan itu benar. Jika tidak, Indonesia saat ini tak siap 
menghadapi guncangan pada sistem keuangan seperti tahun 2008. 



Kepergian seorang Sri Mulyani adalah ongkos mahal yang harus dibayar akibat 
huru-hara kasus Century. Namun, ongkos yang lebih mahal adalah kerusakan 
fondasi untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Hal ini ditandai dengan 
menjadi tak jelasnya basis legal untuk tindakan penanganan krisis, melemahnya 
koordinasi, dan menipisnya saling percaya antarotoritas pada sektor keuangan, 
serta akan munculnya keengganan pejabat publik membuat keputusan penting di 
saat genting. 



Dasar hukum penanganan krisis sebetulnya sudah diatur dalam Peraturan 
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring 
Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Namun, Perppu yang dimaksudkan sebagai 
protokol manajemen krisis itu saat ini laksana zombi yang tak jelas statusnya. 



Sebagai dampak dari kasus Century, DPR telah menolak mengesahkan Perppu itu 
menjadi UU sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UUD 1945. Di sisi lain, DPR juga 
menolak mengesahkan RUU untuk pencabutan Perppu yang diajukan oleh pemerintah. 
Padahal, dalam Pasal 25 dan Pasal 36 UU No 10/2004 tentang Pembentukan 
Peraturan Perundang-undangan, Perppu yang ditolak DPR harus dicabut dengan 
sebuah UU. Akibatnya, saat ini pemerintah dan BI tak memiliki landasan hukum 
yang jelas untuk tindakan pencegahan ataupun penanganan krisis. 



Koordinasi antarotoritas di sektor keuangan juga dinilai melemah setelah tak 
berfungsinya Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Dalam kasus penalangan 
Century, DPR bukan saja ”berhasil” memberikan vonis bersalah kepada KSSK, 
tetapi juga ”membunuh” lembaga tersebut. Ketiadaan KSSK akan menyulitkan 
koordinasi antara kementerian Keuangan (selaku otoritas fiskal serta pengawas 
pasar modal dan lembaga keuangan bukan bank), BI (selaku otoritas moneter dan 
pengawas perbankan), serta Lembaga Penjamin Simpanan (selaku pelaksana 
penjaminan simpanan dan penanganan bank gagal). 



Dampak lain 



Dampak lain yang harus diwaspadai adalah menipisnya kepercayaan antara 
Kementerian Keuangan, BI, dan LPS. Proses pemeriksaan oleh BPK, Pansus DPR, dan 
KPK disadari atau tidak telah menimbulkan friksi antara lembaga tersebut. Ini 
adalah konsekuensi yang logis karena pada dasarnya tidak ada pihak yang mau 
disalahkan. Padahal, DPR dari awal menuntut BPK, Pansus, dan KPK menemukan 
pihak yang dinilai bersalah. Sulit dibayangkan suatu kebijakan terbaik bisa 
dihasilkan manakala institusi yang terlibat tidak memiliki level of trust yang 
kuat satu sama lain. 



Belajar dari pengalaman Boediono dan Sri Mulyani, dikhawatirkan timbul 
keengganan para pejabat publik mengambil keputusan penting di saat genting. 
Menurut Goran Lind (2003), keputusan pada saat krisis harus cepat dibuat karena 
berpacu dengan waktu. Akibatnya, keputusan itu pada umumnya dibuat berdasarkan 
pada informasi yang tak lengkap, tak akurat, serta tak mengikuti perkembangan. 



Selain itu, juga tak ada waktu bagi pemerintah dan bank sentral melakukan 
interpretasi ulang atas peraturan perundangan yang ada. Padahal, pada umumnya 
ketentuan itu hanya dirancang untuk menangani situasi normal, bukan kondisi 
krisis. Oleh karena itu, selain kapasitas dan integritas yang mumpuni, 
dibutuhkan juga keberanian yang besar untuk membuat keputusan pada saat krisis. 
Dalam konteks Indonesia, pejabat publik mana yang mau bernasib seperti Boediono 
dan Sri Mulyani? 



Wishful thinking bahwa Indonesia tak akan terkena dampak krisis Yunani jelas 
tidak cukup. Sumber kerentanan sistem keuangan bukan hanya faktor eksternal, 
tetapi