Jurnal Sairara
Kepada Saudara Taufiq Ismail
13.
BIAR BUNGA MEKAR BERSAMA, SERIBU ALIRAN BERSAING SUARA
Aku masih ingin mengomentari alinea Saudara Taufiq Ismail ini: Saya ingatkan
hadirin bahwa ideologi ini telah menceburkan bangsa dalam dua perang saudara
yang berdarah-darah. Ideologi ini ternyata lancung keujian, gagal total di
seluruh dunia tak terbukti mampu memecahkan masalah politik, ekonomi, sosial
dan budaya tiga perempat abad lamanya. Selama 74 tahun (1917-1991)
Marxisme-Leninisme terbukti buas-ganas-barbar-haus darah, dan membantai 120
juta manusia di 76 negara (Courtois: 2000).
Kalau pemahamanku benar, dengan kalimat ini Saudara Taufiq Ismail mengingatkan
hadirin agar paling tidak berhati-hati pada ide Marxisme. Tentu saja
berpendapat dan memberi peringatan begini adalah hak penuh tanpa tergugatkan
dari Saudara Taufiq Ismail, baik sebagai pribadi, lebih-lebih lagi sebagai
cendekiawan dan sastrawan, untuk mengingatkan hadirinnya tentang bahaya
Marxisme dengan segala kata sifat yang disertai oleh Saudara Taufiq Ismail.
Tapi jika Saudara Taufiq Ismail berhak mengingatkan orang lain dengan segala
kemauan baik beliau, kukira orang lain pun berhak menetapkan pilihan dan siapa
pun tak mempunyai hak mengutuk pilihan dan pencarian mereka. Apakah bukan
demikian? Apalagi jika kita masih berpatokan bahwa motto bangsa, negeri dan
negara ini adalah bhinneka tunggal ika sari dari berkeindonesiaan dan sebagai
bentuk negara para pendiri negara ini memilih bentuk republik dan nilai-nilai
republiken. Bahwa bangsa kita merupakan
suatu kebhinekaan, aku memandangnya sebagai suatu rakhmat dan keindahan yang
patut disyukuri, sedangkan uniformitas , ketunggalan, termasuk la pensée
unique dekat dengan jurang petaka. Rekonsiliasi, kukira, adalah kemampuan hidup
dalam keragaman, dengan kebhinnekaan ini, tersimpul dalam rangkaian nilai
republik dan Indonesia.
Pada tahun 1960an, Menteri Kebudayaan RRT, Lin Mo-han menguraikan kebhinnekaan
ini dalam sebuaha orasi budayanya berjudul Biar Bunga Mekar Bersama, Seribu
Aliran Bersaing Suara, dan Paul Ricoeur, dalam artikelnya di Harian Le Monde,
Paris, sekitar tahun 2003 mengatakan bahwa kebudayaan itu majemuk ,
kemanusiaan itu tunggal. Sedangkan lokalitas oleh Paul Ricoeur dipandang
sebagai bahasa untuk berdialog dengan budaya dunia. Dari segi filsafat, atau
epistemologi, kukira bisa dipertanggungjawabkan, sementara la pensée unique,
apakah dasar pembenarannya? Apakah dasar pembenaran filosofi dan ilmiahnya
untuk mencegah orang memilih pandangan hidup masing-masing? Apakah karena kita
sepakat menjadi satu bangsa, satu negeri dan negara bernama Indonesia, lalu
yang minoritas harus menerima pandangan mayoritas secara budaya dan
mengeliminasikan dirinya dan dieliminasi dengan satu dan cara lain.
Tentu saja peringatan, sebagai sebuah kritik adalah syah, tapi melarang, nanti
dulu, jika kita masih menerima Republik dan Indonesia sebagai suatu rangkaian
nilai bersama dan perekat kita berbangsa, bernegeri dan bernegara. Orang Badui
mengatakan bahwa terlarang untuk melarang. Mao Zedong dalam artikelnya Dari
Mana Datangnya Pikiran Yang Tepat , demikian juga Mohamad Arkoun, islamolog
asal Aljazair dan pengajar di Sorbonne, Paris, dalam ceramahnya di depan
mahasiswa-mahasiswa IAIN di Paris sepuluhan tahun silam [laporan ceramah ini
pernah dimuat sehalaman penuh oleh Harian Media Indonesia, Jakarta] , ketika
berbicara tentang divine truth dan kebenaran yang lain, telah menunjukkan
makna kebhinnekaan ini serta arti kebebasan berpikir. Kebebasan berpikir akan
terganggu jika dihadang oleh larangan dan apriorisme. Aku mengkhawatirkan
peringatan Saudara Taufiq Ismail mengarah kepembentukan busut-busut halangan
bagi kebebasan orang memilih dan
mencari secara leluasa. Sementara aku memandang sastrawan-seniman termasuk
jenis manusia pencari dan pencari tak kenal tabu, seperti yang diungkapkan oleh
Chairil Anwar dalam esai dan puisi-puisinya. Jenis manusia yang jika
menggunakan istilah Pelukis Salim sebagai orang yang berjalan tapi tak pernah
punya sampai [lihat: Ajip Rosidi: Biografi Salim].
Alinea Saudara Taufiq Ismail di atas, tidak lain dari sebuah alinea yang
membuka palang pintu bagi perdebatan besar dan bukan suatu keniscayaan.
Apalagi sebagai suatu kebenaran yang tak bisa dipertanyakan. Alinea ini pun
sesungguhnya rada bertentangan dengan saran beliau untuk tergalangnya
perdamaian total. Perdamaian totalkah jika tidak mengakui kebhinnekaan dan
menyisihkan pihak lain? Apakah pola pikir begini bukannya merupakan suatu pola
pikir yang ankronik? Paling tidak menyangkal pendapat diri sendiri?
Kalau aku mengomentari respons Saudara Taufiq Ismail yang memang sejak lama
ingin kujumpai dan berdialog langsung, kukira ini merupakan bentuk kongkret
dari Biar BungaMekar Bersama, Seribu Aliran Bersaing Suara.
Selama Orba berkuasa, kami dari Lekra hanya boleh dicerca, tak mempunyai