[ac-i] kronik sairara: perlunya forum kebudayaan indonesia [3]

2008-07-04 Terurut Topik sangumang kusni

Kronik Sairara: 
 
 
PERLUNYA FORUM KEBUDAYAAN INDONESIA
  
 
 3. TRADISI DAN MODERNITAS 
 
 
Kemudian Luluk Sumiarso dari  Paguyuban  Puspo  Budoyo dan Ketua  Yayasan 
Peduli  Majapahit juga menulis: Beberapa  kalangan bahkan ada yang mengartikan 
dan meredusir seolah budaya itu hanyalah sebatas Seni-Budaya. Padahal unsur 
budaya lebih dari itu, mencakup pula antara lain adat istiadat dan bahkan 
teknologi. Hasil proses budaya inilah yang akan berupa peradaban suatu bangsa. 
 
 
Dari kalimat-kalimat  di atas  saya ingin mengangkat dua soal, yaitu masalah 
tradisi dan modernitas. 
 
Tanpa kecuali, siapa pun  tidak bisa memilih di mana kita lahir. Tidak bisa 
menetapkan di lingkungan etnik dan bangsa atau keluarga mana ia dilahirkan. 
Orangtua tidak pernah meminta izin kita yang kemudian disebut anak, untuk 
dilahirkan. Lingkungan, keluarga, etnik dan bangsa ini mempunya kebudayaan 
masing-masing yang unik. Kebudayaan , yang saya pahami  sebagai bentuk jawaban 
nyata terhadap masalah-masalah kehidupan zaman mereka. Jawaban suatu angkatan 
anak manusia dalam menanggulangi segala rupa tantangan dikurun hidup mereka. 
Tanggap tidaknya jawaban barangkali menentukan kadar mereka sekaligus sebagai 
anak manusia dan zaman mereka. Kebudayaan ini merupakan rangkaian nilai dominan 
pada  suatu zaman sangat beragam. 
 
 
Anak yang dilahirkan tanpa izin itu, tanpa terelakkan juga,  diasuh di bawah 
dan dengan rangkaian nilai dominan di lingkungan, keluarga, etnik dan bangsa 
tertentu pada suatu kurun waktu, sehingga membentuk diri sang anak. 
Mempengaruhi perkembangan diri si anak selanjutnya.  Meninggalkan tanda nilai 
pada si anak. Sebagai modal nilai pada sangat anak dalam  menarungi dan 
mengharung kehidupan mereka sendiri selanjutnya. 
 
 
Anak ini merupakan angkatan tersendiri dan baru lagi. Hidup pada era lain lagi 
dari angkatan orangtuanya. Era sang anak mempunyai tantangan-tantangan 
tersendiri berbeda pula  yang mau tak mau, suka tidak suka harus mereka jawab. 
Jawaban-jawaban angkatan sang anak tentu akan berbeda dari jawaban angkatan 
orangtuanya karena keadaan dan permasalahan pun berbeda. Angkatan sang anak 
melahirkan kebudayaan dan rangkaian nilai mereka sendiri. Pada saat lahirnya 
kebudayaan sang anak, maka kebudayaan orangtua akan menjadi kebudayaan angkatan 
silam yang bisa disebut kebudayaan tradisional, jika dilihat dari segi kurun 
waktu dan ujud jawaban. Sedangkan kebudayaan angkatan si anak disebut 
kebudayaan kekinian atau kebudayaan  modern. Karena si anak diasuh dengan 
kebudayaan orangtua, kebudayaan tradisional, tentu saja nilai-nilai lama yang 
merupakan sangu mereka menarung dan mengharung zaman mereka, masih mempunyai 
pengaruh. Pengaruh inilah yang oleh Kelompok
 Sejarawan Annales Paris dijabarkan sebagai saling hubungan antara masa silam, 
hari ini dan esok. Tiga kurun waktu yang bertautan dan bukan sebagai 
pulau-pulau terpencil tanpa jembatan penghubung. Jembatan penghubung ini adalah 
kebudayaan. Adalah rangkaian nilai yang tertuang dalam berbagai bentuk berbagai 
bidang.  Dari sudut pandang inilah, barangkali bisa dibaca arti pentingnya 
kesadaran sejarah, perlunya mengenal sejarah lokal, nasional dan dunia, 
sekaligus memperlihat bahayanya angkatan yang lupa sejarah dan yang oleh orang 
Perancis disebut angkatan tanpa sejarah[la génération sans l'histoire]. 
 
 
Tapi tradisi bukan sebatas pengertian kebudayaan dan rangkaian nilai masa 
silam. Tradisi bisa bermakna buah kebudayaan kekinian yang ditradisikan. Yang 
dilakukan secara berulang dan periodik. Misalnya La Fête de la Musique, yang 
diprakarsai oleh Jack Lang, Menteri Kebudayaan F.Mitterrand dari Partai 
Sosialis, pada bulan Juni 1981, guna menggalakkan kreativitas rakyat Perancis 
di bidang musik dalam menghadapi ofensif musik-musik Amerika Serikat,  saban 
Juni sampai sekarang diselenggarakan di seluruh negeri. Tiap pojok jalan 
seluruh negeri pada pesta musik yang kemudian bersifat internasional, menjadi 
panggung pesta rakyat, berlangsung hingga subuh. Fête de la Musique adalah 
karya kebudayaan kekinian yang ditradisikan oleh Perancis.
 
 
Tradisi , dalam pengertian hasil budaya angkatan pendahulu,  sebagai rangkaian 
nilai yahg tertuang dalam berbagai bentuk, tentu saja   tidak selalu tanggap 
dengan perkembangan dan tantangan. Karena sikon dan tantangan juga berbeda 
antara masa silam dan hari ini.  Tetapi kiranya, juga akan keliru mengatakan 
bahwa semua nilai-nilai masa silam itu sebagai kadaluwarsa. Misalnya nilai dari 
pepatah berikut: 
 
 
menepuk air di dulang 
memercik ke muka sendiri 
 
 
Saya kira, nilai dialektis sebab-akibat yang diungkapkan oleh pepatah ini masih 
mempunyai nilai tahan waktu hingga sekarang. Masih banyak contoh-contoh lain 
lagi yang memperlihatkan tahan waktunya rangkaian nilai angkatan silam yang 
disebut tradisi.
 
 
Tapi ada juga yang tidak tahan waktu dan sudah kadaluwarsa. Misalnya kebiasaan 
mangayau [potong kepala] pada masyarakat Dayak. Untuk zaman sekarang, saya 
kira 

[ac-i] kronik sairara: perlunya froum kebudayaan indonesia [4 --selesai]

2008-07-04 Terurut Topik sangumang kusni

Kronik Sairara: 
 
 
4. 
 
 
 KONGRES KEBUDAYAAN NASIONAL DARI BAWAH 
  
 
Selanjutnya di bagian lain Luluk Sumiarso menulis:   Tahun lalu, tepatnya 
tanggal 5 Juli 2007 di Balai Kartini, Jakarta, kami bersama Lintas Budaya 
Nusantara dan Media Grup menyelenggarakan Sarasehan Budaya dalam rangka 
memperingati Kongres Kebudayaan Pertama yang diselenggarakan di Solo tanggal 5 
Juli 1918, sepuluh tahun setelah lahirnya Boedi Oetomo. Konggres ini , walaupun 
pada tahap awal merupakan Konggres Kebudayaan Jawa, tetapi kemudian diperluas 
menjadi Kongres Kebudayaan Nasional pada tahun-tahun, yang kemudian berujung 
juga dengan diselenggarakannya Sumpah Pemuda 10 tahun kemudian. Sarasehean 
dibuka oleh menbudpar Jero Wacik , menampilkan pembicara antara lain Dr. Edi 
Sedyawati, Jakob Oetama dan Christine Hakim. Salah satu butir kesimpulan adalah 
perlunya dibentuk 'Forum Kebudayaan Indonesia' untuk menggalang semua potensi 
budaya bangsa, tanpa harus menghilangkan identitas masing-masing.

Untuk itulah, memanfaatkan momentum yang tepat, yaitu 100 Tahun Kebangkitan 
Nasional, 90 Tahun Konggres Kebudayaan Pertama dan 80 Tahun Sumpah Pemuda, kami 
bersama beberapa tokoh budaya dan mereka-mereka yang peduli budaya, akan 
membentuk 'Forum Kebudayaan Indonesia pada tanggal 5 Juli 2008 pukul 
10.00.Tempatnya adalah di Studio Radio Republik Indonesia, jalan Merdeka Barat 
Jakarta. Forum ini adalah Non-Politik, akan dipakai sebagai sarana komunikasi 
semua unsur budaya, tanpa mengurangi/meredusir identitas peran masing-masing, 
juga untuk membantu pemikiran-pemikiran mengenai visi budaya bangsa Indonesia 
ke depan. Harapannya, ke depan 'forum' ini dapat berkembang menjadi 'semacam 
KONI' untuk Kebudayaan Nasional Indonesia. [Lihat : Lampiran].
 
 
Ide sentral dari dua alinea ini adalah dibentuknya Forum Kebudayaan yang 
bertujuan : untuk menggalang semua potensi budaya bangsa, tanpa harus 
menghilangkan identitas masing-masing. 
 
Ide  menggalang semua potensi budaya bangsa, tanpa harus menghilangkan 
identitas masing-masing adalah sebuah pikiran yang baik dan niscayanya 
disokong serta dilaksanakan. Ide yang sesuai dengan rangkaian nilai republiken 
dan berkeindonesiaa. Rasuk dengan prinsip bhinneka tunggal ika. 
 
Pertanyaan saya: Apakah untuk mewujudkannya perlu pembentukan sebuah 
organisasi baru bernama Forum Kebudayaan Indonesia yang Harapannya, ke depan 
'forum' ini dapat berkembang menjadi 'semacam KONI' untuk Kebudayaan Nasional 
Indonesia. Apakah pengejawantahan pikiran dan harapan ini akan efektif dengan 
mendirikan Forum Kebudayaan Indonesia 'semacam KONI' untuk Kebudayaan Nasional 
Indonesia? Saya mengkhawatirkan, adanya 'semacam KONI' untuk Kebudayaan 
Nasional Indonesia  akan menjelma sebagai sarana pengawas, pengendali 
kebudayaan dan forum demikian akan terjangkit KKN dan alat birokrasi serta 
sangat birokratis.  Apalagi jika di dalamnya terdapat birokrat- birokrat dan 
yang disebut tokoh-tokoh kebudayaan tapi jauh dari masyarakat budaya yang aktif 
dan benar-benar menjadi aktor kreatif di bidang kebudayaan.  Jika bayangan ini 
terjadi, maka ide dan harapan dengan pembentukan Forum Kebudayaan akan menjadi 
jauh panggang dari api. 
 
Jika demikian, lalu apakah alternatif lain untuk mengejawantahkan ide dan 
harapan di atas? 
 
Terhadap pertanyaan ini, saya ingin menjawabnya dengan pertanyaan: Mengapa 
tidak, kita bersandar pada dan mempercayai masyarakat kesenian, pada 
aktor-aktor budaya di lapangan yang tergabung dalam berbagai komunitas 
sastra-seni dan lembaga-lembaga kebudayaan yang tersebar di berbagai daerah dan 
pulau tanahair?.  Komunitas-komunitas dan lembaga-lembaga ini sudah jauh lebih 
dahulu ada  dan lebih lama dari 10 tahun, dan sampai sekarang terus berkegiatan 
dan bekerjasama secara leluasa dan tanpa dikendalikan oleh partai politik mana 
pun. Juga tidak disopiri oleh penyelenggara negara. Mereka membeayai diri 
mereka sendiri. Lahir, tumbuh dan berkembang secara mandiri. Saya melihat 
adanya komunitas-komunitas dan lembaga-lembaga kebudayaan bebas, mandiri ini 
adalah tenaga penting bagi pembangunan kebudayaan di negeri kita. Bersandar dan 
percaya pada mereka, saya kira akan merupakan orientasi yang lebih rasuk untuk 
negeri kita yang bhinneka. Melalui mereka, bisa
 diharapkan konsep kebudayaan, sastra-seni kepulauan akan marak. Desentralisasi 
nilai, bukan sentralisasi nilai dan bentuk mempunyai syarat berkembang tanpa 
ada yang merasa diri sebagai pusat pengesahan.  Saya  mengkhawatirkan dengan 
ide pembentukan Forum Kebudayaan Indonesia, hanya akan memperkuat kembali  
sentralisasi nilai dan penciptaan pusat  pengesahan [legacy center] baru 
dalam dunia kebudayaan,  varian lain dari pandangan bahwa kebudayaan Indonesia 
hanyalah puncak-puncak kebudayaan daerah sebagai yang dianut oleh UUD 1945. 
Adanya pusat pengesahan dan sentralisasi nilai dan bentuk menjurus ke 
penyeragaman, mendorong pembentukan bangsawan-bangsawan setipe dengan 
nomenklatura budaya baru di negeri kita , 

[ac-i] Sumbangan RAJA ALI HAJI diakui di MALAYSIA

2008-07-04 Terurut Topik anuv chaviddy

BERITA HARIAN - Kamis 3 Julai 2008-SASTERA 
Menilai sumbangan Raja Ali Haji dalam bahasa
Oleh Nazmi Yaakub






PENDEDAHAN: Dari kiri; Zaharah, Ting, Nor Azlia dan Prof Dr Mohd Mokhtar Abu 
Hassan pada sesi Seminar Ijazah Tinggi Raja Ali Haji di APM, UM.


Ketokohan pengarang kelahiran Pulau Penyengat diperakui menerusi dua buku 
tulisannya 

SEMINAR Ijazah Pengajian Tinggi di Akademi Pengajian Melayu (APM), Universiti 
Malaya (UM), Kuala Lumpur, baru-baru ini, memperakukan sumbangan tokoh 
pengarang Bugis, Raja Ali Haji Raja Ahmad dalam bidang bahasa apabila dua 
kitabnya, Bustan al-Katibin ditulis pada 1850 dan Kitab Pengetahuan Bahasa 
(1858) diteliti. 

Penelitian terhadap sumbangan Raja Ali Haji dalam bidang pengajaran tatabahasa 
bahasa Melayu, perkamusan dan adab belajar itu, memperluaskan skop kajian 
terhadap tokoh Bugis berkenaan yang selama ini lebih dikenali kerana kehebatan 
gurindamnya, seperti terpancar pada Gurindam Dua Belas ditulis pada 1847 dan 
sejarah Melayu lewat Tufhat al-Nafis. 



Calon sarjana APM, Ting Hua Lui, berharap kajiannya terhadap Bustan al-Katibin 
dan Kitab Pengetahuan Bahasa, dapat menyumbang kepada usaha untuk mengisi 
kekurangan maklumat dan lompong ilmu pengetahuan mengenai penghasilan 
tatabahasa bahasa Melayu pada abad ke-19. 

“Permasalahan kajian saya ialah belum ada kajian mendalam mengenai isi 
kandungan dua kitab itu serta sumbangan Raja Ali Haji terhadap bidang ilmu 
tatabahasa bahasa Melayu,” katanya ketika melapah Sumbangan Raja Ali Haji 
Terhadap Ilmu Tatabahasa Bahasa Melayu. 

Antara kajian sebelum ini ialah Kesusasteraan Klasik Melayu Sepanjang Abad 
karya Teuku Iskandar; Falsafah Bahasa: Beberapa Aspek Kajian (Prof Dr Hashim 
Musa) dan Raja Ali Haji dari Riau: Apakah Beliau Seorang Tokoh Transisi atau 
Pujangga Klasik yang Akhir Sekali? (Prof Emeritus Dr Mohd Taib Osman) 
Kajian mengenai Raja Ali Haji pula oleh Harimurthi Kridalaksana dalam 
makalahnya, Bustan al-Katibin dan Kitab Pengetahuan Bahasa - Sumbangan Raja Ali 
Haji dalam Ilmu Bahasa Melayu dan Darwis Harahap (Bustanul Katibin dan Kitab 
Pengetahuan Bahasa: Satu Tinjauan), manakala Adriyetti Amir melalui disertasi 
sarjananya, Kitab Pengetahuan Bahasa Karangan Raja Ali Haji: Kajian 
Leksikografi. 

Bustan al-Katibin diakui pengkaji ini sebagai karya awal mengenai tatabahasa 
bahasa Melayu yang dihasilkan pengarang dari Nusantara sehingga membolehkan 
pembaca untuk mempelajari pelbagai aspek struktur bahasa pada peringkat awal 
pembinaannya lagi. 

“Tujuan Raja Ali Haji menghasilkan Bustan al-Katibin adalah untuk menyebarkan 
ilmu bahasa dan ilmu tulisan, menghasilkan buku tatabahasa bahasa Melayu serta 
menerapkan hukum bahasa. Bustan al-Katibin juga mengandungi perbincangan 
kepentingan mempelajari bahasa, manakala huraian dalam konteks tatabahasa luas 
dan mendalam,” katanya pada pembentangan yang dipengerusikan Dr Zahir Ahmad. 

Kitab terbabit turut mengandungi perbincangan mengenai aspek ilmu yang 
terkandung dalam bahasa Melayu, selain pengajaran Raja Ali Haji dalam ilmu dan 
akal yang bukan saja sesuai untuk pembacaan pada zamannya, bahkan masih lagi 
bermanfaat untuk diketahui serta dikaji sarjana dan pembaca pada zaman kini. 
“Ada sarjana semasa yang mengkritik Bustan al-Katibin kerana menggunakan kaedah 
tatabahasa bahasa Arab untuk bahasa Melayu seperti kajian oleh Mohd Taib, 
Teuku, Virginia Matheson dan Prof Teeuw, tetapi beliau tidak wajar 
dipersalahkan kerana sejak kecil lagi, mendalami ilmu pengetahuan Islam dengan 
mengikuti ayahnya ke Makkah. 

“Raja Ali Haji turut mengemukakan 10 adab berguru yang wajar dijadikan ikutan 
dan teladan kepada pelajar, sekali gus dianggap menjadi peringatan yang berguna 
kepada mereka yang sedang menuntut ilmu dan patut disimpan di setiap 
perpustakaan kerana dapat membimbing ke arah ilmu yang benar,” katanya. 

Keistimewaan Kitab Pengetahuan Bahasa pula, Hui Lui kerana ia membincangkan 
kelas atau golongan kata, menghuraikan unit tatabahasa dan membincangkan aspek 
sintaksis, sekali gus menjadi kamus pertama karya orang tempatan sebelum abad 
ke-20 selain menjadikannya sebagai kamus ekabahasa tertua di Alam Melayu. 

“Bahagian kamus dibincangkan secara terperinci sehingga menampakkan sebagai 
kamus terbaik dan boleh menjadi petunjuk serta panduan dalam kehidupan ahli 
masyarakat. Entri dalam kamus itu disusun dengan baik dan mudah difahami dengan 
contoh perkataan mencukupi, selain memperlihatkan ciri morfologi dan 
sintaksis,” katanya. 

Selain itu, Raja Ali Haji juga tidak meminggirkan konsep adab dan budi dalam 
dua kitab terbabit apabila Mukadimah Bustan al-Katibin membincangkan 
kepentingan ilmu dan akal, cara menuntut ilmu serta hubungan penuntut dengan 
guru. 

“Dalam Kitab Pengetahuan Bahasa pula, Raja Ali Haji menjelaskan konsep adab dan 
budi dengan menerangkan sembilan adab yang membabitkan adab dengan Allah, orang 
berilmu, menuntut ilmu, antara anak dengan ibu bapa, ahli keluarga, 
saudara-mara, sahabat, orang yang dikenali 

[ac-i] kronik sairara: le déclin de l'homme blanc -ke merosotan orang putih [1]

2008-07-04 Terurut Topik sangumang kusni
Kronik Sairara:
 
 
LE DECLIN DE L'HOMME BLANC
 
 
1.
 
 
Minggu lalu, ketika sedang bekerja di dapur Koperasi Restoran Indonesia, Andri, 
seorang mahasiswa Indonesia yang sedang belajar masalah komputer di Paris, 
sambil bekerja di Koperasi masuk ke dapur sambil menggerutu: Jangan mau 
dikibulin bulé!. Mendengar gerutu itu, aku menoleh bertanya: Ada apa Andri, 
khoq ngomel sendiri? Lalu ia menjelaskan keadaan yang sedang dihadapinya di 
ruang pelayanan tamu yang kami sebut la salle de service. 
 
Seorang tamu berkulit putih setelah mendapat l'entrée [makanan pembuka] berupa 
sup ayam, minta lumpia dengan alasan ia belum mendapatkan l'entrée. 
 
Padahal saya memberikannya kepada Tuan, dan sudah Tuan minum habis, jawab 
Andri.
Saya mau memberikan Tuan lumpia itu, tapi harus jelas bahwa Tuan harus 
membayar harga tambahan, tambah Andri dengan tegas tapi sopan. Si kulit putih 
itu menjawab dengan tegas pula:
 
Tidak mau.
 
Kalau tidak mau ya tidak saya berikan, ujar Andri lagi. Si kulit putih itu 
diam.  
 
Dengan latar kejadian inilah, Andri yang merasa jengkel lalu menggerundel di 
dapur:  
 
Jangan mau ditipu bulé. Cukup sudah kita ditipu.  
 
Dalam hati, aku berkata sendiri: Wah, agaknya Andri mengalami perkembangan 
baru dalam pemikirannya. Apakah perkembangan ini merupakan hasil diskusi kami 
awak Koperasi tentang soal politik, bahasa, sejarah dan lain-lain sambil kami 
bekerja? Aku tidak tahu persis, tapi yang jelas, dibandingkan dengan hari-hari 
pertama ia bergabung,  dari segi pemikiran dan sikap, Andri mengalami 
perkembangan pesat. Secara nyata sejak 26 tahun berdirinya,  Koperasi ini, 
selain menjadi sarana ekonomi yang menghidupkan kami, ia juga merupakan tempat 
kami saling belajar dan saling bantu , sarana kami untuk turut memperkenalkan 
Indonesia dengan pendekatan kebudayaan. Semua pekerja Koperasi sadar akan hal 
ini dan melakukannya dengan cara serta gaya masing-masing. 
 
Ketika ia masuk lagi ke dapur, teman lain menegurnya dengan ringan: Awas lho, 
Andri, jangan sampai pikiran dan sikapmu menjurus ke rasialisme anti bulé. 
Kritis itu baik, tapi ekstrimitas itu berbahaya. Dari gerundelan Andri tadi, 
aku melihatnya bahwa pada mahasiswa muda ini, mulai tumbuh rasa harga diri dan 
martabat diri sebagai orang Indonesia. Ia sering mengatakan bahwa Niscayanya 
menjadi Indonesia itu tidak boleh bodoh.Tidak boleh memalu-malukan bangsa dan 
negeri. 
 
Selain itu gerutu  Andri sebenarnya bukan omelan tak berdasar. Melalui 
pengalaman menghadapi orang Perancis di Koperasi ini, hampir tanpa kecuali 
semua pekerja berkesimpulan bahwa orang Perancis itu punya sikap yang mau 
memanfaatkan [profiter] dan agak sok hebat semata karena kulit mereka putih. 
 
***
 
Hari Minggu, 29 Juni 2008, seperti kebiasaan saban hari,  aku membeli Harian Le 
Monde dan bulanan Le Monde Diplomatique,  menambah info dan analisa bandingan 
dari  Harian La Croix yang kulanggani sejak bertahun-tahun. Sebuah artikel 
berjudul: Le Déclin de l'homme blanc [Kemerosotan Orang Putih] tulisan ekonom 
Perancis, Eric Le Boucher,  segera menambat perhatianku dan berkali-kali kubaca 
ulang. Jarang-jarang sekali istilah l'homme blanc seperti halnya Orang Arab, 
Orang Hitam, yang dipandang berbau rasis  dan gampang menyinggung perasaan, 
digunakan dalam percakapan, apalagi dalam  artikel di sebuah harian serius 
seperti Le Monde. Harian kanan seperti Le Figaro pun cermat dalam menggunakan 
istilah. 
 
Judul artikel Eric Le Boucher ini juga segera mengingatkan aku akan artikel 
Lenin yang profetik, berjudul Eropa Yang Terbelakang, Asia Yang Maju. Tentu 
saja mengingatkan aku akan gerutu Andri di Koperasi.
 
Eric memulai artikelnya dengan pertanyaan:  Apakah sekarang kita hidup di awal 
kemerosotan Eropa yang tak terelakkan? Kemerotan nilai-nilai dan humanismenya? 
Akhir dari Dunia Yunani [la fin du monde grec]? Eric selanjutnya menjelaskan 
bahwa pertanyaan-pertanyaannya ini berangkat dari latarbelakang krisis 
kapitalisme Barat dewasa ini,krisis finansial, krisis Negara Kesejahteraan. Dan 
tentu saja ditambah dengan latar  keadaan kebangkitan Asia yang tinggal landas 
berpolakan model lain,  serta munculnya masalah agama di Dunia Arab Musliman 
[le monde arabo-musulman]. 
 
Latarbelakang lain dari pertanyaan Eric di atas adalah keadaan Perancis 
sekarang. Di sini gencar dilakukan pembahasan kritis tentang masalah identitas 
Eropa, yang menyangkut  masalah humanisme yang dipandang sebagai selubung saja 
dari jenis seksual dari kehendak kolonialistis ras putih. Para pengkritik 
identitas Eropa berupa humanisme terselubung ini  berpendapat bahwa sekarang 
sudah saatnya kita menyokong  relativisme kebudayaan [le relativisme 
culturel] -- bsebuah tesis yang bermaksud menjawab Jean-François Mattéi dalam 
karyanya Le Regard Vide. Essai sur l'épuissement de la culture européenne, 
Pandangan Hampa. Esai tentang Ketidakerdayaan Budaya Eropa [ Flammarion, Paris, 
2007].  Barangkali relativisme kebudayaan ini juga diarahkan kepada teori 
hak 

[ac-i] invitation

2008-07-04 Terurut Topik hendi setio yulianto
mohon numpang publikasi dari seorang kawan:
(sebuah pementasan gojekan tentang realitas orang-orang kecil)
 
 
Teater Sangkakala Jogjakarta mengundang kawans dalam pementasan teater Hadiah 
Istimewa karya timbong, sutradara Anang Sanusi.
Hari Jumat, 4 juli 2008
Tempat di Taman Budaya Yogyakarta
Jam : 19.35 WIB
Kontribusi : Hanya dengan datang dan berapresiasi kemawon alias GRATIS
matur sembah nuwun

 
 


  

[ac-i] pekan sastra hijau; sastra, lingkungan, dan kearifan lokal (FLP)

2008-07-04 Terurut Topik eimanjaya
PEKAN SASTRA HIJAU; SASTRA, LINGKUNGAN,DAN KEARIFAN LOKAL

PRESS RELEASE

SILATURAHIM NASIONAL FORUM LINGKAR PENA

PEKAN SASTRA HIJAU;
SASTRA, LINGKUNGAN,
DAN KEARIFAN LOKAL


Sepuluh tahun yang lalu, musim hujan dan musim kemarau masih bisa
diperkirakan. Petani di Indonesia yakin hujan akan turun pada
bulan-bulan yang berakhiran kata –ber seperti September, Oktober,
November, dan desember. Bahkan pada masyarakat Jawa dikenal istilah
deres-derese sumber untuk bulan Desember; di bulan tersebut curah
hujan paling tinggi. Sekarang, musim hujan atau kemarau tak terduga.
Bulan-bulan yang dulunya hujan turun tak terkira, masih kering
kerontang. Begitu juga pada musim yang seharusnya kemarau. Sebagian
besar ahli menduga gejala perubahan iklim tersebut akibat dari
pemanasan global.

Perubahan pola iklim akibat pemanasan global akan menambah daftar
panjang bencana di Indonesia selain banjir, tanah longsor, kekeringan,
serta badai tropis. Menurut Badan Penanggulangan Bencana Nasional
Indonesia, dalam kurun waktu 2003-2005 bencana alam terkait dengan
cuaca mencapai 1,429 kasus atau 53.3% dari total bencana alam yang
terjadi di Indonesia. Pada sector kehutanan, titik api akan semakin
parah. Pada September 2006 tercatat 26,561 titik api yang merupakan
angka tertinggi sejak Agustus 1997.

Langkah penanggulangan dan pencegahan lebih lanjut terhadap dampak
pemanasan global telah ditempuh beberapa pihak. Sebagai Negara yang
meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 1994 dan
Protokol Kyoto pada tahun 2004 yang diadopsi oleh UU No. 17/2004,
Indonesia telah mencoba beberapa langkah dalam mengatasi maslah
perubahan iklim ini. Kini saatnya penulis melalui tulisannya ikut
berperan dalam menyelamatkan lingkungannya.

Penulis bisa mengambil peran untuk mengingatkan dan mengajak pembaca
`melihat' sebab dan akibat pemanasan global melalui tulisannya. Hal
ini harus dilakukan secara berkelanjutan mengimbangi kampanye budaya
materialistis dan hedonis. Di saat media massa ramai memberitakan
kehidupan artis dan audisi berbagai kontes, penulis harus mengingatkan
siapa saja melalui tulisannya: bumi kita sedang sekarat.

Forum Lingkar Pena (FLP) sebagai organisasi penulis dan pengkaderan
penulis terpanggil untuk mendukung gerakan penyelamatan dan pencegahan
kerusakan lingkungan melalui tulisan. Melalui acara Silaturahim
Nasional, FLP melatih masyarakat umum dan anggotanya untuk menguasai
berbagai jenis tulisan hingga bisa diberdayakan untuk kampanye peduli
lingkungan hidup.

Untuk tujuan besar itulah, FLP bekerja sama dengan Formasi Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Indonesia mengadakan Silaturahim Nasional
antar anggota dan komunitas sastra lainnya dalam Pekan Sastra Hijau
yang mengambil tema Pekan Sastra Hijau; Sastra, Lingkungan, Dan
Kearifan Lokal.

Kegiatan akan diselenggarakan selama tiga hari pada Jumat s/d Minggu,
11 – 13 Juli 2008 bertempat di Pusat Studi Jepang Universitas
Indonesia, Depok dan Aula TK Bahasa, Jl. Gardu, Sr. Sawah,
Jagakarsa, Jakarta Selatan.


AGENDA KEGIATAN

Jumat, 11 Juli 2008

08.00 – 12.00 WIB: Pembukaan  Talk Show: Kreatif Dan Kaya Tanpa
Merusak Lingkungan:

• 08.00 – 09.30 WIB: Pembukaan Acara
Pembicara: Helvy Tiana Rosa (Sastrawan  Pendiri FLP)
DR Prihardi Kahar (Biomass Conversion Group, Asian Center for
Enviromental Research (ACER), Japan)



• 09.30 – 12.00 WIB Talk Show: Kreatif dan Kaya tanpa Merusak Lingkungan

Pembicara: Aris Nugraha (ANP Production)
Haidar Bagir (Pelaku Industri Perbukuan)
Habiburrahman El-Shirazy (Penulis Novel Best Seller Ayat-Ayat Cinta)

Moderator: Boim Lebon (Penulis serial Lupus ABG  Lupus Kecil).

Tempat: Aula Pusat Studi Jepang, Universitas Indonesia, Depok.
HTM: Umum Rp 75.000,- Mahasiswa/Pelajar Rp 35.000,-

13.30 – 15.30 WIB: Pelatihan: Optimalisasi Perpustakaan Sekolah dan
Taman Baca untuk Lingkungan Sekitar

Pembicara: Wien Muldian (Aktivis Perbukuan; Forum Indonesia Membaca)
Yessy Gusman (Artis pendiri rumah baca)

Moderator : Lusiana M. Hevita (Kepala Perpustakaan Fakultas Ekonomi UI)

Tempat: Aula Pusat Studi Jepang, Universitas Indonesia, Depok.
HTM: Umum Rp 75.000,- Mahasiswa/Pelajar Rp 35.000,-

13.30 – 16.00 WIB: Fiksi GILA; Pelatihan Menulis Fiksi
Pembicara: Sofie Dewiyani (Kandidat Doktor Bidang Literasi, University
of Illinois at Urbana, Chicago, USA)
Afifah Afra (CEO Afra Publishing)
Tasaro (Peraih Adikarya IKAPI kategori fiksi 2007)

Moderator : Naniek Susanti (penulis dan editor)

Tempat: Aula PPPTK BAHASA, Jln Gardu, Sr. Sawah, Jagakarsa, Jak-Sel
HTM : Umum Rp 75.000 Mahasiswa/Pelajar Rp 35.000

13.30-15.30 WIB: LOVE (Lokakarya Novel)
Internal FLP
Pembicara: Majelis Penulis FLP (Izzatul Jannah, Helvy Tiana Rosa)
Tempat: Ruang Kelas Pusat Studi Jepang, Universitas Indonesia, Depok

16.00-21.00 WIB: Bedah Tuntas FLP
Internal FLP
Pembicara: Helvy Tiana Rosa, Izzatul Jannah, Rahmadiyanti, Muthi Masfu'ah
Moderator: Majelis Penulis FLP
Tempat: Aula TK BAHASA, Jln. Gardu, Sr. Sawah, Jagakarsa, Jakarta
Selatan


Sabtu, 12 Juli 2008

09.00 

[ac-i] Mimpi Jakarta sebagai Gerbang Budaya

2008-07-04 Terurut Topik Asep Kambali
SUARA PEMBARUAN DAILY 


Mimpi Jakarta sebagai Gerbang Budaya
 
SP/Alex Suban 
Kawasan Silang Monas (Monumen Nasional), Jakarta. 
 

Jakarta sudah semakin tua. Kota yang menyimpan banyak cerita dan peristiwa. 
Setelah 481 tahun berlalu, wajah Jakarta telah banyak berubah. Gelombang 
modernisasi menjelma dalam bentuk gedung-gedung pencakar langit dan gaya hidup 
urban. Mungkinkah Jakarta menjadi gerbang budaya Indonesia? 
 
Hampir setiap tahun, Hari Ulang Tahun Jakarta selalu dirayakan dengan meriah 
dan megah. Penyalaan kembang api, pentas seni hingga beragam acara lain. Kini 
Jakarnaval menjadi puncak acara perayaan hari ulang tahun Jakarta ke-481. 
Seperti tahun 2007, perayaan tersebut akan diisi dengan atraksi, kesenian dari 
10 daerah, dan pawai mobil hias. Termasuk iringan ondel-ondel, rebana marawis, 
dan tanjidor yang menjadi kesenian khas daerah tuan rumah. 
 
Pada 2007, perayaan tersebut memang berlangsung meriah. Namun, kemeriahan 
tersebut mungkin tidak terulang pada tahun 2008 ini. Keterbatasan dan 
keterlambatan alokasi dana kegiatan menjadi penyebabnya. Namun, sejumlah 
pertunjukan seni dan pawai tetap saja diadakan seperti acara Jakarta 
Anniversary Festival (JAF) VI 2008. 
 
Direktur Gedung Kesenian Jakarta, Marusya Nainggolan mengatakan JAF 2008 
memasuki penyelenggaraan yang ke-7 dengan tema Jadikan Jakarta Pintu Gerbang 
Budaya yang Inovatif dan Bersahabat. Jakarta merupakan Ibukota Indonesia yang 
menjadi pintu gerbang budaya untuk berbagai seni tradisi dan kontemporer dari 
Indonesia maupun mancanegara. Melalui seni budaya diharapkan akan terjalin 
hubungan persahabatan antardaerah dan antarnegara. 
 
Jakarta sebagai gerbang budaya boleh jadi sekadar tema. Tetapi lalu muncul 
banyak pertanyaan dari slogan itu. Apakah memang warga Jakarta sudah cukup 
berbudaya? Apakah pemerintah daerah Jakarta memang sudah menghargai budaya yang 
ada? Lantas bagaimana tafsir dan eksekusinya? Sudahkah aparatur pemda siap 
dengan tema itu? 
Menurut Kepala Sub Dinas Promosi Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta I 
Nyoman Wedhana, Jakarta sebagai Gerbang Budaya memegang peran kunci dalam 
menyukseskan program pariwisata. Ada dua alasan untuk itu. Pertama, Jakarta 
merupakan pintu masuk bagi turis asing dan lokal yang berkunjung ke Indonesia. 
Kedua, Jakarta sebagai Kota Metropolitan adalah miniatur Indonesia karena 
perpaduan beragam kebudayaan daerah hasil urbanisasi besar-besaran di kota 
tersebut. 
 
Nyoman Wedhana mengharapkan semoga penyelenggaraan Jakarnaval yang sederhana 
pada tahun 2008 ini, bisa sukses dan berlangsung aman tanpa kendala berarti. Ia 
berjanji penyelenggaraan di tahun 2009 bakal lebih semarak dan meriah seperti 
yang pernah terjadi pada 2006 dan 2007. 
 
Bagaimanapun Jakarta adalah kawasan peninggalan jejak-jejak tempo dulu Sunda 
Kelapa yang masih tersisa. Sebagian besar warisan telah lenyap, tetapi 
pelestarian masih bisa dilakukan dengan metode: konservasi, rekonstruksi, atau 
revitalisasi. Upaya ini diperlukan untuk mengangkat dan menimbulkan kembali 
kawasan-kawasan bersejarah. Sebut saja Kota, kawasan kota tua yang baru-baru 
ini ditemukan benda-benda antik. 
 
Sejumlah kasus pembongkaran bangunan-bangunan kuno bersejarah seperti Gedung 
Candranaya. Pemerintah beralasan harus memberikan tempat bagi bangunan baru 
yang modern. Situasi ini menimbulkan keprihatinan karena kehilangan bangunan 
kuno berarti kehilangan warisan sejarah berharga. Belum lagi aksi-aksi 
vandalisme yang merusak banyak warisan budaya di Jakarta. Ditambah lagi kasus 
premanisme yang mencoreng wajah Jakarta. 
 
Asep Kambali, Sejarawan dari Komunitas Historia Indonesia (KHI) mengatakan 
slogan Gerbang Budaya sudah tidak tepat diberikan kepada Kota Jakarta. Nilai 
tersebut, tutur Asep, telah pudar, karena kebudayaan kurang mendapat tempat 
dalam kehidupan masyarakat perkotaan. 
 
Umumnya, masyarakat perkotaan lebih memandang kebudayaan dan sejarah sebagai 
sesuatu yang membosankan. Tidak mendapat prioritas utama dalam kehidupan 
mereka, termasuk pemerintah, tutur Asep. 
 
Kini, Jakarta hanyalah tempat singgah bagi wisatawan dan tempat mencari uang 
bagi pendatang. Ia mengatakan, hal itu terjadi karena berubahnya apresiasi 
masyarakat terhadap nilai kebudayaan. Penjiwaan masyarakat terhadap nilai 
budaya telah menurun. 
Budaya hanya menjadi hiburan yang bersifat selingan saja, karena masyarakat 
lebih tertarik membahas permasalahan ekonomi. Tidak heran, jika kebudayaan 
semakin tersisih dari kehidupan perkotaan, tambah Asep. 
 
Asep mengatakan berbagai kegiatan seni dan budaya menyambut HUT Jakarta 
merupakan hal positif demi kelestarian budaya. Namun, menyayangkan kegiatan itu 
hanya bersifat hiburan semata. Tidak ada pembahasan mendalam mengenai nilai 
budaya yang ditampilkan. 
 


Sekadar Perayaan 
Perayaan HUT Jakarta 2008 mungkin tidak sepenuhnya berkonsep sadar budaya. 
Pemerintah hampir tidak peduli dan menghargai pengembangan budaya. Termasuk 
juga menjadikan warga Jakarta berbudaya tertib dan 

[ac-i] Ke Museum, Liburan 250 Rupiah!

2008-07-04 Terurut Topik Asep Kambali
Liburan 250 Rupiah





  

KOMPAS/JULIAN SIHOMBING
Museum Nasional atau yang biasa disebut Museum Gajah merupakan salah satu dari 
beberapa museum yang ada di Jakarta. Tempat ini tiap hari didatangi 
pelancong-pelancong mancanegara dan juga pengunjung asal dalam negeri. Meski 
begitu, dalam soal pengunjung jangan bandingkan jumlahnya dengan pengunjung 
museum di Eropa. 



Artikel Terkait: 

Rame-rame Plesir ke Zaman Tempo Doeloe 
Mau ke Museum Apa? 


Rabu, 2 Juli 2008 | 11:25 WIB







  

[ac-i] Change the value! From Designer to Designpreneur via Brand and Branding

2008-07-04 Terurut Topik Hanny Kardinata
Change the value! From Designer to Designpreneur via Brand and
Brandingadalah materi tulisan
desainer kondang Mendiola B Wiryawan pada acara talkshow FDGIFriends#17: Dari
Desain Grafis menuju Distro via Branding yang diselenggarakan siang
ini: Sabtu, 5 Juli 2008, jam 14.00-17.00, di Emax store, Kemang arcade 2nd
floor, Kemang Raya 20A, Jakarta.

Ikuti tulisannya di
DGIhttp://desaingrafisindonesia.wordpress.com/2008/07/05/change-the-value-from-designer-to-designpreneur-via-brand-and-branding/
dan
sampai jumpa pada acara yang inspiratif ini bersama Mendiola B Wiryawan
(mendiola design  associates) dan Dendi Darman (347/unkl).