[ac-i] kronik sairara: perlunya forum kebudayaan indonesia [3]
Kronik Sairara: PERLUNYA FORUM KEBUDAYAAN INDONESIA 3. TRADISI DAN MODERNITAS Kemudian Luluk Sumiarso dari Paguyuban Puspo Budoyo dan Ketua Yayasan Peduli Majapahit juga menulis: Beberapa kalangan bahkan ada yang mengartikan dan meredusir seolah budaya itu hanyalah sebatas Seni-Budaya. Padahal unsur budaya lebih dari itu, mencakup pula antara lain adat istiadat dan bahkan teknologi. Hasil proses budaya inilah yang akan berupa peradaban suatu bangsa. Dari kalimat-kalimat di atas saya ingin mengangkat dua soal, yaitu masalah tradisi dan modernitas. Tanpa kecuali, siapa pun tidak bisa memilih di mana kita lahir. Tidak bisa menetapkan di lingkungan etnik dan bangsa atau keluarga mana ia dilahirkan. Orangtua tidak pernah meminta izin kita yang kemudian disebut anak, untuk dilahirkan. Lingkungan, keluarga, etnik dan bangsa ini mempunya kebudayaan masing-masing yang unik. Kebudayaan , yang saya pahami sebagai bentuk jawaban nyata terhadap masalah-masalah kehidupan zaman mereka. Jawaban suatu angkatan anak manusia dalam menanggulangi segala rupa tantangan dikurun hidup mereka. Tanggap tidaknya jawaban barangkali menentukan kadar mereka sekaligus sebagai anak manusia dan zaman mereka. Kebudayaan ini merupakan rangkaian nilai dominan pada suatu zaman sangat beragam. Anak yang dilahirkan tanpa izin itu, tanpa terelakkan juga, diasuh di bawah dan dengan rangkaian nilai dominan di lingkungan, keluarga, etnik dan bangsa tertentu pada suatu kurun waktu, sehingga membentuk diri sang anak. Mempengaruhi perkembangan diri si anak selanjutnya. Meninggalkan tanda nilai pada si anak. Sebagai modal nilai pada sangat anak dalam menarungi dan mengharung kehidupan mereka sendiri selanjutnya. Anak ini merupakan angkatan tersendiri dan baru lagi. Hidup pada era lain lagi dari angkatan orangtuanya. Era sang anak mempunyai tantangan-tantangan tersendiri berbeda pula yang mau tak mau, suka tidak suka harus mereka jawab. Jawaban-jawaban angkatan sang anak tentu akan berbeda dari jawaban angkatan orangtuanya karena keadaan dan permasalahan pun berbeda. Angkatan sang anak melahirkan kebudayaan dan rangkaian nilai mereka sendiri. Pada saat lahirnya kebudayaan sang anak, maka kebudayaan orangtua akan menjadi kebudayaan angkatan silam yang bisa disebut kebudayaan tradisional, jika dilihat dari segi kurun waktu dan ujud jawaban. Sedangkan kebudayaan angkatan si anak disebut kebudayaan kekinian atau kebudayaan modern. Karena si anak diasuh dengan kebudayaan orangtua, kebudayaan tradisional, tentu saja nilai-nilai lama yang merupakan sangu mereka menarung dan mengharung zaman mereka, masih mempunyai pengaruh. Pengaruh inilah yang oleh Kelompok Sejarawan Annales Paris dijabarkan sebagai saling hubungan antara masa silam, hari ini dan esok. Tiga kurun waktu yang bertautan dan bukan sebagai pulau-pulau terpencil tanpa jembatan penghubung. Jembatan penghubung ini adalah kebudayaan. Adalah rangkaian nilai yang tertuang dalam berbagai bentuk berbagai bidang. Dari sudut pandang inilah, barangkali bisa dibaca arti pentingnya kesadaran sejarah, perlunya mengenal sejarah lokal, nasional dan dunia, sekaligus memperlihat bahayanya angkatan yang lupa sejarah dan yang oleh orang Perancis disebut angkatan tanpa sejarah[la génération sans l'histoire]. Tapi tradisi bukan sebatas pengertian kebudayaan dan rangkaian nilai masa silam. Tradisi bisa bermakna buah kebudayaan kekinian yang ditradisikan. Yang dilakukan secara berulang dan periodik. Misalnya La Fête de la Musique, yang diprakarsai oleh Jack Lang, Menteri Kebudayaan F.Mitterrand dari Partai Sosialis, pada bulan Juni 1981, guna menggalakkan kreativitas rakyat Perancis di bidang musik dalam menghadapi ofensif musik-musik Amerika Serikat, saban Juni sampai sekarang diselenggarakan di seluruh negeri. Tiap pojok jalan seluruh negeri pada pesta musik yang kemudian bersifat internasional, menjadi panggung pesta rakyat, berlangsung hingga subuh. Fête de la Musique adalah karya kebudayaan kekinian yang ditradisikan oleh Perancis. Tradisi , dalam pengertian hasil budaya angkatan pendahulu, sebagai rangkaian nilai yahg tertuang dalam berbagai bentuk, tentu saja tidak selalu tanggap dengan perkembangan dan tantangan. Karena sikon dan tantangan juga berbeda antara masa silam dan hari ini. Tetapi kiranya, juga akan keliru mengatakan bahwa semua nilai-nilai masa silam itu sebagai kadaluwarsa. Misalnya nilai dari pepatah berikut: menepuk air di dulang memercik ke muka sendiri Saya kira, nilai dialektis sebab-akibat yang diungkapkan oleh pepatah ini masih mempunyai nilai tahan waktu hingga sekarang. Masih banyak contoh-contoh lain lagi yang memperlihatkan tahan waktunya rangkaian nilai angkatan silam yang disebut tradisi. Tapi ada juga yang tidak tahan waktu dan sudah kadaluwarsa. Misalnya kebiasaan mangayau [potong kepala] pada masyarakat Dayak. Untuk zaman sekarang, saya kira
[ac-i] kronik sairara: perlunya froum kebudayaan indonesia [4 --selesai]
Kronik Sairara: 4. KONGRES KEBUDAYAAN NASIONAL DARI BAWAH Selanjutnya di bagian lain Luluk Sumiarso menulis: Tahun lalu, tepatnya tanggal 5 Juli 2007 di Balai Kartini, Jakarta, kami bersama Lintas Budaya Nusantara dan Media Grup menyelenggarakan Sarasehan Budaya dalam rangka memperingati Kongres Kebudayaan Pertama yang diselenggarakan di Solo tanggal 5 Juli 1918, sepuluh tahun setelah lahirnya Boedi Oetomo. Konggres ini , walaupun pada tahap awal merupakan Konggres Kebudayaan Jawa, tetapi kemudian diperluas menjadi Kongres Kebudayaan Nasional pada tahun-tahun, yang kemudian berujung juga dengan diselenggarakannya Sumpah Pemuda 10 tahun kemudian. Sarasehean dibuka oleh menbudpar Jero Wacik , menampilkan pembicara antara lain Dr. Edi Sedyawati, Jakob Oetama dan Christine Hakim. Salah satu butir kesimpulan adalah perlunya dibentuk 'Forum Kebudayaan Indonesia' untuk menggalang semua potensi budaya bangsa, tanpa harus menghilangkan identitas masing-masing. Untuk itulah, memanfaatkan momentum yang tepat, yaitu 100 Tahun Kebangkitan Nasional, 90 Tahun Konggres Kebudayaan Pertama dan 80 Tahun Sumpah Pemuda, kami bersama beberapa tokoh budaya dan mereka-mereka yang peduli budaya, akan membentuk 'Forum Kebudayaan Indonesia pada tanggal 5 Juli 2008 pukul 10.00.Tempatnya adalah di Studio Radio Republik Indonesia, jalan Merdeka Barat Jakarta. Forum ini adalah Non-Politik, akan dipakai sebagai sarana komunikasi semua unsur budaya, tanpa mengurangi/meredusir identitas peran masing-masing, juga untuk membantu pemikiran-pemikiran mengenai visi budaya bangsa Indonesia ke depan. Harapannya, ke depan 'forum' ini dapat berkembang menjadi 'semacam KONI' untuk Kebudayaan Nasional Indonesia. [Lihat : Lampiran]. Ide sentral dari dua alinea ini adalah dibentuknya Forum Kebudayaan yang bertujuan : untuk menggalang semua potensi budaya bangsa, tanpa harus menghilangkan identitas masing-masing. Ide menggalang semua potensi budaya bangsa, tanpa harus menghilangkan identitas masing-masing adalah sebuah pikiran yang baik dan niscayanya disokong serta dilaksanakan. Ide yang sesuai dengan rangkaian nilai republiken dan berkeindonesiaa. Rasuk dengan prinsip bhinneka tunggal ika. Pertanyaan saya: Apakah untuk mewujudkannya perlu pembentukan sebuah organisasi baru bernama Forum Kebudayaan Indonesia yang Harapannya, ke depan 'forum' ini dapat berkembang menjadi 'semacam KONI' untuk Kebudayaan Nasional Indonesia. Apakah pengejawantahan pikiran dan harapan ini akan efektif dengan mendirikan Forum Kebudayaan Indonesia 'semacam KONI' untuk Kebudayaan Nasional Indonesia? Saya mengkhawatirkan, adanya 'semacam KONI' untuk Kebudayaan Nasional Indonesia akan menjelma sebagai sarana pengawas, pengendali kebudayaan dan forum demikian akan terjangkit KKN dan alat birokrasi serta sangat birokratis. Apalagi jika di dalamnya terdapat birokrat- birokrat dan yang disebut tokoh-tokoh kebudayaan tapi jauh dari masyarakat budaya yang aktif dan benar-benar menjadi aktor kreatif di bidang kebudayaan. Jika bayangan ini terjadi, maka ide dan harapan dengan pembentukan Forum Kebudayaan akan menjadi jauh panggang dari api. Jika demikian, lalu apakah alternatif lain untuk mengejawantahkan ide dan harapan di atas? Terhadap pertanyaan ini, saya ingin menjawabnya dengan pertanyaan: Mengapa tidak, kita bersandar pada dan mempercayai masyarakat kesenian, pada aktor-aktor budaya di lapangan yang tergabung dalam berbagai komunitas sastra-seni dan lembaga-lembaga kebudayaan yang tersebar di berbagai daerah dan pulau tanahair?. Komunitas-komunitas dan lembaga-lembaga ini sudah jauh lebih dahulu ada dan lebih lama dari 10 tahun, dan sampai sekarang terus berkegiatan dan bekerjasama secara leluasa dan tanpa dikendalikan oleh partai politik mana pun. Juga tidak disopiri oleh penyelenggara negara. Mereka membeayai diri mereka sendiri. Lahir, tumbuh dan berkembang secara mandiri. Saya melihat adanya komunitas-komunitas dan lembaga-lembaga kebudayaan bebas, mandiri ini adalah tenaga penting bagi pembangunan kebudayaan di negeri kita. Bersandar dan percaya pada mereka, saya kira akan merupakan orientasi yang lebih rasuk untuk negeri kita yang bhinneka. Melalui mereka, bisa diharapkan konsep kebudayaan, sastra-seni kepulauan akan marak. Desentralisasi nilai, bukan sentralisasi nilai dan bentuk mempunyai syarat berkembang tanpa ada yang merasa diri sebagai pusat pengesahan. Saya mengkhawatirkan dengan ide pembentukan Forum Kebudayaan Indonesia, hanya akan memperkuat kembali sentralisasi nilai dan penciptaan pusat pengesahan [legacy center] baru dalam dunia kebudayaan, varian lain dari pandangan bahwa kebudayaan Indonesia hanyalah puncak-puncak kebudayaan daerah sebagai yang dianut oleh UUD 1945. Adanya pusat pengesahan dan sentralisasi nilai dan bentuk menjurus ke penyeragaman, mendorong pembentukan bangsawan-bangsawan setipe dengan nomenklatura budaya baru di negeri kita ,
[ac-i] Sumbangan RAJA ALI HAJI diakui di MALAYSIA
BERITA HARIAN - Kamis 3 Julai 2008-SASTERA Menilai sumbangan Raja Ali Haji dalam bahasa Oleh Nazmi Yaakub PENDEDAHAN: Dari kiri; Zaharah, Ting, Nor Azlia dan Prof Dr Mohd Mokhtar Abu Hassan pada sesi Seminar Ijazah Tinggi Raja Ali Haji di APM, UM. Ketokohan pengarang kelahiran Pulau Penyengat diperakui menerusi dua buku tulisannya SEMINAR Ijazah Pengajian Tinggi di Akademi Pengajian Melayu (APM), Universiti Malaya (UM), Kuala Lumpur, baru-baru ini, memperakukan sumbangan tokoh pengarang Bugis, Raja Ali Haji Raja Ahmad dalam bidang bahasa apabila dua kitabnya, Bustan al-Katibin ditulis pada 1850 dan Kitab Pengetahuan Bahasa (1858) diteliti. Penelitian terhadap sumbangan Raja Ali Haji dalam bidang pengajaran tatabahasa bahasa Melayu, perkamusan dan adab belajar itu, memperluaskan skop kajian terhadap tokoh Bugis berkenaan yang selama ini lebih dikenali kerana kehebatan gurindamnya, seperti terpancar pada Gurindam Dua Belas ditulis pada 1847 dan sejarah Melayu lewat Tufhat al-Nafis. Calon sarjana APM, Ting Hua Lui, berharap kajiannya terhadap Bustan al-Katibin dan Kitab Pengetahuan Bahasa, dapat menyumbang kepada usaha untuk mengisi kekurangan maklumat dan lompong ilmu pengetahuan mengenai penghasilan tatabahasa bahasa Melayu pada abad ke-19. “Permasalahan kajian saya ialah belum ada kajian mendalam mengenai isi kandungan dua kitab itu serta sumbangan Raja Ali Haji terhadap bidang ilmu tatabahasa bahasa Melayu,” katanya ketika melapah Sumbangan Raja Ali Haji Terhadap Ilmu Tatabahasa Bahasa Melayu. Antara kajian sebelum ini ialah Kesusasteraan Klasik Melayu Sepanjang Abad karya Teuku Iskandar; Falsafah Bahasa: Beberapa Aspek Kajian (Prof Dr Hashim Musa) dan Raja Ali Haji dari Riau: Apakah Beliau Seorang Tokoh Transisi atau Pujangga Klasik yang Akhir Sekali? (Prof Emeritus Dr Mohd Taib Osman) Kajian mengenai Raja Ali Haji pula oleh Harimurthi Kridalaksana dalam makalahnya, Bustan al-Katibin dan Kitab Pengetahuan Bahasa - Sumbangan Raja Ali Haji dalam Ilmu Bahasa Melayu dan Darwis Harahap (Bustanul Katibin dan Kitab Pengetahuan Bahasa: Satu Tinjauan), manakala Adriyetti Amir melalui disertasi sarjananya, Kitab Pengetahuan Bahasa Karangan Raja Ali Haji: Kajian Leksikografi. Bustan al-Katibin diakui pengkaji ini sebagai karya awal mengenai tatabahasa bahasa Melayu yang dihasilkan pengarang dari Nusantara sehingga membolehkan pembaca untuk mempelajari pelbagai aspek struktur bahasa pada peringkat awal pembinaannya lagi. “Tujuan Raja Ali Haji menghasilkan Bustan al-Katibin adalah untuk menyebarkan ilmu bahasa dan ilmu tulisan, menghasilkan buku tatabahasa bahasa Melayu serta menerapkan hukum bahasa. Bustan al-Katibin juga mengandungi perbincangan kepentingan mempelajari bahasa, manakala huraian dalam konteks tatabahasa luas dan mendalam,” katanya pada pembentangan yang dipengerusikan Dr Zahir Ahmad. Kitab terbabit turut mengandungi perbincangan mengenai aspek ilmu yang terkandung dalam bahasa Melayu, selain pengajaran Raja Ali Haji dalam ilmu dan akal yang bukan saja sesuai untuk pembacaan pada zamannya, bahkan masih lagi bermanfaat untuk diketahui serta dikaji sarjana dan pembaca pada zaman kini. “Ada sarjana semasa yang mengkritik Bustan al-Katibin kerana menggunakan kaedah tatabahasa bahasa Arab untuk bahasa Melayu seperti kajian oleh Mohd Taib, Teuku, Virginia Matheson dan Prof Teeuw, tetapi beliau tidak wajar dipersalahkan kerana sejak kecil lagi, mendalami ilmu pengetahuan Islam dengan mengikuti ayahnya ke Makkah. “Raja Ali Haji turut mengemukakan 10 adab berguru yang wajar dijadikan ikutan dan teladan kepada pelajar, sekali gus dianggap menjadi peringatan yang berguna kepada mereka yang sedang menuntut ilmu dan patut disimpan di setiap perpustakaan kerana dapat membimbing ke arah ilmu yang benar,” katanya. Keistimewaan Kitab Pengetahuan Bahasa pula, Hui Lui kerana ia membincangkan kelas atau golongan kata, menghuraikan unit tatabahasa dan membincangkan aspek sintaksis, sekali gus menjadi kamus pertama karya orang tempatan sebelum abad ke-20 selain menjadikannya sebagai kamus ekabahasa tertua di Alam Melayu. “Bahagian kamus dibincangkan secara terperinci sehingga menampakkan sebagai kamus terbaik dan boleh menjadi petunjuk serta panduan dalam kehidupan ahli masyarakat. Entri dalam kamus itu disusun dengan baik dan mudah difahami dengan contoh perkataan mencukupi, selain memperlihatkan ciri morfologi dan sintaksis,” katanya. Selain itu, Raja Ali Haji juga tidak meminggirkan konsep adab dan budi dalam dua kitab terbabit apabila Mukadimah Bustan al-Katibin membincangkan kepentingan ilmu dan akal, cara menuntut ilmu serta hubungan penuntut dengan guru. “Dalam Kitab Pengetahuan Bahasa pula, Raja Ali Haji menjelaskan konsep adab dan budi dengan menerangkan sembilan adab yang membabitkan adab dengan Allah, orang berilmu, menuntut ilmu, antara anak dengan ibu bapa, ahli keluarga, saudara-mara, sahabat, orang yang dikenali
[ac-i] kronik sairara: le déclin de l'homme blanc -ke merosotan orang putih [1]
Kronik Sairara: LE DECLIN DE L'HOMME BLANC 1. Minggu lalu, ketika sedang bekerja di dapur Koperasi Restoran Indonesia, Andri, seorang mahasiswa Indonesia yang sedang belajar masalah komputer di Paris, sambil bekerja di Koperasi masuk ke dapur sambil menggerutu: Jangan mau dikibulin bulé!. Mendengar gerutu itu, aku menoleh bertanya: Ada apa Andri, khoq ngomel sendiri? Lalu ia menjelaskan keadaan yang sedang dihadapinya di ruang pelayanan tamu yang kami sebut la salle de service. Seorang tamu berkulit putih setelah mendapat l'entrée [makanan pembuka] berupa sup ayam, minta lumpia dengan alasan ia belum mendapatkan l'entrée. Padahal saya memberikannya kepada Tuan, dan sudah Tuan minum habis, jawab Andri. Saya mau memberikan Tuan lumpia itu, tapi harus jelas bahwa Tuan harus membayar harga tambahan, tambah Andri dengan tegas tapi sopan. Si kulit putih itu menjawab dengan tegas pula: Tidak mau. Kalau tidak mau ya tidak saya berikan, ujar Andri lagi. Si kulit putih itu diam. Dengan latar kejadian inilah, Andri yang merasa jengkel lalu menggerundel di dapur: Jangan mau ditipu bulé. Cukup sudah kita ditipu. Dalam hati, aku berkata sendiri: Wah, agaknya Andri mengalami perkembangan baru dalam pemikirannya. Apakah perkembangan ini merupakan hasil diskusi kami awak Koperasi tentang soal politik, bahasa, sejarah dan lain-lain sambil kami bekerja? Aku tidak tahu persis, tapi yang jelas, dibandingkan dengan hari-hari pertama ia bergabung, dari segi pemikiran dan sikap, Andri mengalami perkembangan pesat. Secara nyata sejak 26 tahun berdirinya, Koperasi ini, selain menjadi sarana ekonomi yang menghidupkan kami, ia juga merupakan tempat kami saling belajar dan saling bantu , sarana kami untuk turut memperkenalkan Indonesia dengan pendekatan kebudayaan. Semua pekerja Koperasi sadar akan hal ini dan melakukannya dengan cara serta gaya masing-masing. Ketika ia masuk lagi ke dapur, teman lain menegurnya dengan ringan: Awas lho, Andri, jangan sampai pikiran dan sikapmu menjurus ke rasialisme anti bulé. Kritis itu baik, tapi ekstrimitas itu berbahaya. Dari gerundelan Andri tadi, aku melihatnya bahwa pada mahasiswa muda ini, mulai tumbuh rasa harga diri dan martabat diri sebagai orang Indonesia. Ia sering mengatakan bahwa Niscayanya menjadi Indonesia itu tidak boleh bodoh.Tidak boleh memalu-malukan bangsa dan negeri. Selain itu gerutu Andri sebenarnya bukan omelan tak berdasar. Melalui pengalaman menghadapi orang Perancis di Koperasi ini, hampir tanpa kecuali semua pekerja berkesimpulan bahwa orang Perancis itu punya sikap yang mau memanfaatkan [profiter] dan agak sok hebat semata karena kulit mereka putih. *** Hari Minggu, 29 Juni 2008, seperti kebiasaan saban hari, aku membeli Harian Le Monde dan bulanan Le Monde Diplomatique, menambah info dan analisa bandingan dari Harian La Croix yang kulanggani sejak bertahun-tahun. Sebuah artikel berjudul: Le Déclin de l'homme blanc [Kemerosotan Orang Putih] tulisan ekonom Perancis, Eric Le Boucher, segera menambat perhatianku dan berkali-kali kubaca ulang. Jarang-jarang sekali istilah l'homme blanc seperti halnya Orang Arab, Orang Hitam, yang dipandang berbau rasis dan gampang menyinggung perasaan, digunakan dalam percakapan, apalagi dalam artikel di sebuah harian serius seperti Le Monde. Harian kanan seperti Le Figaro pun cermat dalam menggunakan istilah. Judul artikel Eric Le Boucher ini juga segera mengingatkan aku akan artikel Lenin yang profetik, berjudul Eropa Yang Terbelakang, Asia Yang Maju. Tentu saja mengingatkan aku akan gerutu Andri di Koperasi. Eric memulai artikelnya dengan pertanyaan: Apakah sekarang kita hidup di awal kemerosotan Eropa yang tak terelakkan? Kemerotan nilai-nilai dan humanismenya? Akhir dari Dunia Yunani [la fin du monde grec]? Eric selanjutnya menjelaskan bahwa pertanyaan-pertanyaannya ini berangkat dari latarbelakang krisis kapitalisme Barat dewasa ini,krisis finansial, krisis Negara Kesejahteraan. Dan tentu saja ditambah dengan latar keadaan kebangkitan Asia yang tinggal landas berpolakan model lain, serta munculnya masalah agama di Dunia Arab Musliman [le monde arabo-musulman]. Latarbelakang lain dari pertanyaan Eric di atas adalah keadaan Perancis sekarang. Di sini gencar dilakukan pembahasan kritis tentang masalah identitas Eropa, yang menyangkut masalah humanisme yang dipandang sebagai selubung saja dari jenis seksual dari kehendak kolonialistis ras putih. Para pengkritik identitas Eropa berupa humanisme terselubung ini berpendapat bahwa sekarang sudah saatnya kita menyokong relativisme kebudayaan [le relativisme culturel] -- bsebuah tesis yang bermaksud menjawab Jean-François Mattéi dalam karyanya Le Regard Vide. Essai sur l'épuissement de la culture européenne, Pandangan Hampa. Esai tentang Ketidakerdayaan Budaya Eropa [ Flammarion, Paris, 2007]. Barangkali relativisme kebudayaan ini juga diarahkan kepada teori hak
[ac-i] invitation
mohon numpang publikasi dari seorang kawan: (sebuah pementasan gojekan tentang realitas orang-orang kecil) Teater Sangkakala Jogjakarta mengundang kawans dalam pementasan teater Hadiah Istimewa karya timbong, sutradara Anang Sanusi. Hari Jumat, 4 juli 2008 Tempat di Taman Budaya Yogyakarta Jam : 19.35 WIB Kontribusi : Hanya dengan datang dan berapresiasi kemawon alias GRATIS matur sembah nuwun
[ac-i] pekan sastra hijau; sastra, lingkungan, dan kearifan lokal (FLP)
PEKAN SASTRA HIJAU; SASTRA, LINGKUNGAN,DAN KEARIFAN LOKAL PRESS RELEASE SILATURAHIM NASIONAL FORUM LINGKAR PENA PEKAN SASTRA HIJAU; SASTRA, LINGKUNGAN, DAN KEARIFAN LOKAL Sepuluh tahun yang lalu, musim hujan dan musim kemarau masih bisa diperkirakan. Petani di Indonesia yakin hujan akan turun pada bulan-bulan yang berakhiran kata ber seperti September, Oktober, November, dan desember. Bahkan pada masyarakat Jawa dikenal istilah deres-derese sumber untuk bulan Desember; di bulan tersebut curah hujan paling tinggi. Sekarang, musim hujan atau kemarau tak terduga. Bulan-bulan yang dulunya hujan turun tak terkira, masih kering kerontang. Begitu juga pada musim yang seharusnya kemarau. Sebagian besar ahli menduga gejala perubahan iklim tersebut akibat dari pemanasan global. Perubahan pola iklim akibat pemanasan global akan menambah daftar panjang bencana di Indonesia selain banjir, tanah longsor, kekeringan, serta badai tropis. Menurut Badan Penanggulangan Bencana Nasional Indonesia, dalam kurun waktu 2003-2005 bencana alam terkait dengan cuaca mencapai 1,429 kasus atau 53.3% dari total bencana alam yang terjadi di Indonesia. Pada sector kehutanan, titik api akan semakin parah. Pada September 2006 tercatat 26,561 titik api yang merupakan angka tertinggi sejak Agustus 1997. Langkah penanggulangan dan pencegahan lebih lanjut terhadap dampak pemanasan global telah ditempuh beberapa pihak. Sebagai Negara yang meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 1994 dan Protokol Kyoto pada tahun 2004 yang diadopsi oleh UU No. 17/2004, Indonesia telah mencoba beberapa langkah dalam mengatasi maslah perubahan iklim ini. Kini saatnya penulis melalui tulisannya ikut berperan dalam menyelamatkan lingkungannya. Penulis bisa mengambil peran untuk mengingatkan dan mengajak pembaca `melihat' sebab dan akibat pemanasan global melalui tulisannya. Hal ini harus dilakukan secara berkelanjutan mengimbangi kampanye budaya materialistis dan hedonis. Di saat media massa ramai memberitakan kehidupan artis dan audisi berbagai kontes, penulis harus mengingatkan siapa saja melalui tulisannya: bumi kita sedang sekarat. Forum Lingkar Pena (FLP) sebagai organisasi penulis dan pengkaderan penulis terpanggil untuk mendukung gerakan penyelamatan dan pencegahan kerusakan lingkungan melalui tulisan. Melalui acara Silaturahim Nasional, FLP melatih masyarakat umum dan anggotanya untuk menguasai berbagai jenis tulisan hingga bisa diberdayakan untuk kampanye peduli lingkungan hidup. Untuk tujuan besar itulah, FLP bekerja sama dengan Formasi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia mengadakan Silaturahim Nasional antar anggota dan komunitas sastra lainnya dalam Pekan Sastra Hijau yang mengambil tema Pekan Sastra Hijau; Sastra, Lingkungan, Dan Kearifan Lokal. Kegiatan akan diselenggarakan selama tiga hari pada Jumat s/d Minggu, 11 13 Juli 2008 bertempat di Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia, Depok dan Aula TK Bahasa, Jl. Gardu, Sr. Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan. AGENDA KEGIATAN Jumat, 11 Juli 2008 08.00 12.00 WIB: Pembukaan Talk Show: Kreatif Dan Kaya Tanpa Merusak Lingkungan: 08.00 09.30 WIB: Pembukaan Acara Pembicara: Helvy Tiana Rosa (Sastrawan Pendiri FLP) DR Prihardi Kahar (Biomass Conversion Group, Asian Center for Enviromental Research (ACER), Japan) 09.30 12.00 WIB Talk Show: Kreatif dan Kaya tanpa Merusak Lingkungan Pembicara: Aris Nugraha (ANP Production) Haidar Bagir (Pelaku Industri Perbukuan) Habiburrahman El-Shirazy (Penulis Novel Best Seller Ayat-Ayat Cinta) Moderator: Boim Lebon (Penulis serial Lupus ABG Lupus Kecil). Tempat: Aula Pusat Studi Jepang, Universitas Indonesia, Depok. HTM: Umum Rp 75.000,- Mahasiswa/Pelajar Rp 35.000,- 13.30 15.30 WIB: Pelatihan: Optimalisasi Perpustakaan Sekolah dan Taman Baca untuk Lingkungan Sekitar Pembicara: Wien Muldian (Aktivis Perbukuan; Forum Indonesia Membaca) Yessy Gusman (Artis pendiri rumah baca) Moderator : Lusiana M. Hevita (Kepala Perpustakaan Fakultas Ekonomi UI) Tempat: Aula Pusat Studi Jepang, Universitas Indonesia, Depok. HTM: Umum Rp 75.000,- Mahasiswa/Pelajar Rp 35.000,- 13.30 16.00 WIB: Fiksi GILA; Pelatihan Menulis Fiksi Pembicara: Sofie Dewiyani (Kandidat Doktor Bidang Literasi, University of Illinois at Urbana, Chicago, USA) Afifah Afra (CEO Afra Publishing) Tasaro (Peraih Adikarya IKAPI kategori fiksi 2007) Moderator : Naniek Susanti (penulis dan editor) Tempat: Aula PPPTK BAHASA, Jln Gardu, Sr. Sawah, Jagakarsa, Jak-Sel HTM : Umum Rp 75.000 Mahasiswa/Pelajar Rp 35.000 13.30-15.30 WIB: LOVE (Lokakarya Novel) Internal FLP Pembicara: Majelis Penulis FLP (Izzatul Jannah, Helvy Tiana Rosa) Tempat: Ruang Kelas Pusat Studi Jepang, Universitas Indonesia, Depok 16.00-21.00 WIB: Bedah Tuntas FLP Internal FLP Pembicara: Helvy Tiana Rosa, Izzatul Jannah, Rahmadiyanti, Muthi Masfu'ah Moderator: Majelis Penulis FLP Tempat: Aula TK BAHASA, Jln. Gardu, Sr. Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan Sabtu, 12 Juli 2008 09.00
[ac-i] Mimpi Jakarta sebagai Gerbang Budaya
SUARA PEMBARUAN DAILY Mimpi Jakarta sebagai Gerbang Budaya SP/Alex Suban Kawasan Silang Monas (Monumen Nasional), Jakarta. Jakarta sudah semakin tua. Kota yang menyimpan banyak cerita dan peristiwa. Setelah 481 tahun berlalu, wajah Jakarta telah banyak berubah. Gelombang modernisasi menjelma dalam bentuk gedung-gedung pencakar langit dan gaya hidup urban. Mungkinkah Jakarta menjadi gerbang budaya Indonesia? Hampir setiap tahun, Hari Ulang Tahun Jakarta selalu dirayakan dengan meriah dan megah. Penyalaan kembang api, pentas seni hingga beragam acara lain. Kini Jakarnaval menjadi puncak acara perayaan hari ulang tahun Jakarta ke-481. Seperti tahun 2007, perayaan tersebut akan diisi dengan atraksi, kesenian dari 10 daerah, dan pawai mobil hias. Termasuk iringan ondel-ondel, rebana marawis, dan tanjidor yang menjadi kesenian khas daerah tuan rumah. Pada 2007, perayaan tersebut memang berlangsung meriah. Namun, kemeriahan tersebut mungkin tidak terulang pada tahun 2008 ini. Keterbatasan dan keterlambatan alokasi dana kegiatan menjadi penyebabnya. Namun, sejumlah pertunjukan seni dan pawai tetap saja diadakan seperti acara Jakarta Anniversary Festival (JAF) VI 2008. Direktur Gedung Kesenian Jakarta, Marusya Nainggolan mengatakan JAF 2008 memasuki penyelenggaraan yang ke-7 dengan tema Jadikan Jakarta Pintu Gerbang Budaya yang Inovatif dan Bersahabat. Jakarta merupakan Ibukota Indonesia yang menjadi pintu gerbang budaya untuk berbagai seni tradisi dan kontemporer dari Indonesia maupun mancanegara. Melalui seni budaya diharapkan akan terjalin hubungan persahabatan antardaerah dan antarnegara. Jakarta sebagai gerbang budaya boleh jadi sekadar tema. Tetapi lalu muncul banyak pertanyaan dari slogan itu. Apakah memang warga Jakarta sudah cukup berbudaya? Apakah pemerintah daerah Jakarta memang sudah menghargai budaya yang ada? Lantas bagaimana tafsir dan eksekusinya? Sudahkah aparatur pemda siap dengan tema itu? Menurut Kepala Sub Dinas Promosi Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta I Nyoman Wedhana, Jakarta sebagai Gerbang Budaya memegang peran kunci dalam menyukseskan program pariwisata. Ada dua alasan untuk itu. Pertama, Jakarta merupakan pintu masuk bagi turis asing dan lokal yang berkunjung ke Indonesia. Kedua, Jakarta sebagai Kota Metropolitan adalah miniatur Indonesia karena perpaduan beragam kebudayaan daerah hasil urbanisasi besar-besaran di kota tersebut. Nyoman Wedhana mengharapkan semoga penyelenggaraan Jakarnaval yang sederhana pada tahun 2008 ini, bisa sukses dan berlangsung aman tanpa kendala berarti. Ia berjanji penyelenggaraan di tahun 2009 bakal lebih semarak dan meriah seperti yang pernah terjadi pada 2006 dan 2007. Bagaimanapun Jakarta adalah kawasan peninggalan jejak-jejak tempo dulu Sunda Kelapa yang masih tersisa. Sebagian besar warisan telah lenyap, tetapi pelestarian masih bisa dilakukan dengan metode: konservasi, rekonstruksi, atau revitalisasi. Upaya ini diperlukan untuk mengangkat dan menimbulkan kembali kawasan-kawasan bersejarah. Sebut saja Kota, kawasan kota tua yang baru-baru ini ditemukan benda-benda antik. Sejumlah kasus pembongkaran bangunan-bangunan kuno bersejarah seperti Gedung Candranaya. Pemerintah beralasan harus memberikan tempat bagi bangunan baru yang modern. Situasi ini menimbulkan keprihatinan karena kehilangan bangunan kuno berarti kehilangan warisan sejarah berharga. Belum lagi aksi-aksi vandalisme yang merusak banyak warisan budaya di Jakarta. Ditambah lagi kasus premanisme yang mencoreng wajah Jakarta. Asep Kambali, Sejarawan dari Komunitas Historia Indonesia (KHI) mengatakan slogan Gerbang Budaya sudah tidak tepat diberikan kepada Kota Jakarta. Nilai tersebut, tutur Asep, telah pudar, karena kebudayaan kurang mendapat tempat dalam kehidupan masyarakat perkotaan. Umumnya, masyarakat perkotaan lebih memandang kebudayaan dan sejarah sebagai sesuatu yang membosankan. Tidak mendapat prioritas utama dalam kehidupan mereka, termasuk pemerintah, tutur Asep. Kini, Jakarta hanyalah tempat singgah bagi wisatawan dan tempat mencari uang bagi pendatang. Ia mengatakan, hal itu terjadi karena berubahnya apresiasi masyarakat terhadap nilai kebudayaan. Penjiwaan masyarakat terhadap nilai budaya telah menurun. Budaya hanya menjadi hiburan yang bersifat selingan saja, karena masyarakat lebih tertarik membahas permasalahan ekonomi. Tidak heran, jika kebudayaan semakin tersisih dari kehidupan perkotaan, tambah Asep. Asep mengatakan berbagai kegiatan seni dan budaya menyambut HUT Jakarta merupakan hal positif demi kelestarian budaya. Namun, menyayangkan kegiatan itu hanya bersifat hiburan semata. Tidak ada pembahasan mendalam mengenai nilai budaya yang ditampilkan. Sekadar Perayaan Perayaan HUT Jakarta 2008 mungkin tidak sepenuhnya berkonsep sadar budaya. Pemerintah hampir tidak peduli dan menghargai pengembangan budaya. Termasuk juga menjadikan warga Jakarta berbudaya tertib dan
[ac-i] Ke Museum, Liburan 250 Rupiah!
Liburan 250 Rupiah KOMPAS/JULIAN SIHOMBING Museum Nasional atau yang biasa disebut Museum Gajah merupakan salah satu dari beberapa museum yang ada di Jakarta. Tempat ini tiap hari didatangi pelancong-pelancong mancanegara dan juga pengunjung asal dalam negeri. Meski begitu, dalam soal pengunjung jangan bandingkan jumlahnya dengan pengunjung museum di Eropa. Artikel Terkait: Rame-rame Plesir ke Zaman Tempo Doeloe Mau ke Museum Apa? Rabu, 2 Juli 2008 | 11:25 WIB
[ac-i] Change the value! From Designer to Designpreneur via Brand and Branding
Change the value! From Designer to Designpreneur via Brand and Brandingadalah materi tulisan desainer kondang Mendiola B Wiryawan pada acara talkshow FDGIFriends#17: Dari Desain Grafis menuju Distro via Branding yang diselenggarakan siang ini: Sabtu, 5 Juli 2008, jam 14.00-17.00, di Emax store, Kemang arcade 2nd floor, Kemang Raya 20A, Jakarta. Ikuti tulisannya di DGIhttp://desaingrafisindonesia.wordpress.com/2008/07/05/change-the-value-from-designer-to-designpreneur-via-brand-and-branding/ dan sampai jumpa pada acara yang inspiratif ini bersama Mendiola B Wiryawan (mendiola design associates) dan Dendi Darman (347/unkl).