[ac-i] Ngobrol dengan Desainer Grafis: Wedha’s Pop Art Portrait
Siapa yang tak kenal Wedha? Mereka yang membaca majalah Hai sejak masa-masa tahun 80an hingga kini sering melihat sebuah tanda tangan kecil Wedha dipojok ilustrasi-ilustrasi yang menggugah pembaca. Kini dua puluh tahun kemudian, Wedha tidak bertambah tua, namun sebaliknya, dia tampil semakin menggila. Kini dengan teknologi komputer Wedha menampilkan karya ilustrasi bergaya Pop Art. Ikuti obrolan yang hangat dan seru bersama Wedha, dalam acara Ngobrol dengan Desainer Grafis bertema: *Wedha's Pop Art Portrait*http://desaingrafisindonesia.wordpress.com/2008/07/18/wedhas-pop-art-portrait/ di panggung Pameran Ekonomi Kreatif Indonesia Bisa! di Senayan City pada hari Minggu, 10 Agustus 2008, pukul 13.00. *Free!*
[ac-i] Deleilah Tak Ingin Pulang dari Pesta, Waria dalam Kesehariannya
Deleilah Tak Ingin Pulang dari Pesta, Waria dalam Kesehariannya http://gudeg.net/news/2008/08/3755/Deleilah-Tak-Ingin-Pulang-dari-Pesta-Waria-dalam-Kesehariannya.html GudegNet /Jumat, 8 Agustus 2008, 10:53 WIB / Adalah *Deleilah*, kelompok penghibur yang terdiri dari tiga orang waria yaitu Rosiana (*Kusuma Ayu*), Luna (*Maria Alda Novika*), dan Happy (*Arum Marischa*), yang sering tampil bernyanyi dan menari di *Metro Club* dan makin hari mereka kian populer di tempat tersebut. Namun perjalanan ketiga orang waria yang dahulunya sama-sama berangkat bersama dari dunia /cebongan/ ini, menghadapi konflik dan kendala di depan mereka. Dari mulai permasalahan yang muncul dari masing-masing personal Deleilah, mulai hubungan antara Rosiana dengan Deddy yang menjadi manajer Deleilah, Happy yang semakin sibuk dengan aktifitasnya di LSM, dan Luna yang ingin mengejar karir lebih tinggi lagi di Jakarta. Sampai puncaknya ketika Metro Club ditutup karena akan diganti menjadi sebuah gedung bioskop. Demikianlah garis besar cerita pementasan teater *Deleilah Tak Ingin Pulang Dari Pesta*, dengan sutradara *Joned Suryatmoko* dan naskah oleh *Puthut EA*, yang dipentaskan dua malam berturut-turut yaitu 6 dan 7 Agustus 2008 di *Societet Militaire - Taman Budaya Yogyakarta*. Kegiatan ini merupakan bagian dan sekaligus penutup dari *Festival Kesenian Yogyakarta XX 2008*. Banyak hal yang unik dalam pementasan kali ini, yang paling menonjol adalah penampilan delapan orang waria yang menjadi aktor, dan tiga dari mereka adalah pemeran utama pementasan ini, yang berperan sebagai anggota kelompok Deleilah. Walau demikian, jangan harapkan pertunjukkan ini akan mempertontonkan waria yang berkostum glamour serba berkilat dan syal bulu-bulunya, kemudian beraksi dan berlenggak-lenggok mengikuti irama musik sambil melakukan /lipsync/ mengikuti suara penyanyi yang ada dalam rekaman musik tersebut. Karena di sini, pemeran kelompok Deleilah benar-benar bernyanyi dan menari serta langsung diiringi musik dari sebuah band secara langsung. Jangan pula berprasangka bahwa pertunjukkan ini memosisikan waria sebagai bahan lelucon dan guyonan saja bagi para penonton. Memang ada guyonan dan /joke/ khas waria, yang berulangkali memancing gelak tawa penonton, terutama melalui perilaku dan istilah-istilah khas waria, seperti /lekong/, /pewong/, /polesong/, dan /tuwekek/, tapi itu bukan merupakan sajian utama yang dihidangkan dalam pementasan ini. Dalam pertunjukkan semalam, para penonton diajak untuk melihat waria dari sudut yang lebih personal, memandang melalui bagaimana hidup keseharian mereka sebagai manusia, dengan menceritakan permasalahan yang dihadapi, kenangan-kenangan masa kecil yang sangat berpengaruh dalam kehidupan mereka, serta cita-cita dan harapan mereka, jadi bukan semata-mata melihat waria sebagai suatu obyek tontonan atau bahan ejekan belaka. Hal menarik lainnya adalah dibawakannya lagu-lagu dari beberapa kelompok band asal Yogyakarta, yaitu: *Oh Nina*, *Melancholic Bitch*, dan *Mock Me Not*, dengan aransemen yang berbeda sehingga lagu-lagu tersebut menjadi lebih sesuai untuk dibawakan oleh kelompok Deleilah yang berformat trio. Bahkan ada sebuah lagu yang berubah format dari aslinya karena menjadi sangat bernuansa dangdut, tanpa merusak lagu tersebut secara keseluruhan. Itu semua merupakan hasil kerja *Ari Wulu* sebagai penata musik dan *Pantjasona Adji S.Sn* pelatih dan arransemen vokal. Memang di sisi lain, masih nampak sedikit kekurangan-kekurangan secara teknis dan kualitas akting, terutama dari aktor-aktor waria, namun sesungguhnya itu sangat dapat dimaklumi, mengingat proses audisi untuk pertunjukkan ini baru dimulai bulan Maret, untuk memilih pemain yang akan memerankan masing-masing personel Deleilah. Namun bila menilik para waria tersebut sebelumnya hampir tidak memperoleh latar belakang akting dan vokal, maka pencapaian yang telah dipertunjukkan dua malam berturut-turut kemarin itu, bolehlah kita sebut sebagai suatu hal yang luar biasa. *Iwan Pribadi* *GudegNet - Gudang Info Kota Jogja* http://www.gudeg.net
[ac-i] Profesor Barbara Hatley Goes to Mojokerto
[ Jum'at, 08 Agustus 2008 ] Profesor Australia Belajar Seni Tradisi MOJOKERTO - Prof Barbara Hatley dari University of Tasmania Australia untuk kali kedua mengunjungi Mojokerto, kemarin. Kunjungannya kali ini untuk melihat lebih dekat seni tradisi di daerah ini. ''Selama 10 tahun terakhir ini saya menulis buku tentang seni tradisi di Jawa, terutama di Jogjakarta,'' ungkap Kepala Jurusan Asian Languages and Studies di University of Tasmania Australia saat makan siang di sebuah lesehan Jl Empunala, Kota Mojokerto kemarin. Pada kesempatan ini, hadir pula pelawak kondang Cak Supali, Cak Edy Karya, pemilik Ludruk Karya Budaya, Abdul Malik Networker budaya asal Mojokerto, Kepala Biro Sastra Dewan Kesenian Mojokerto Syaiful Bachri, serta beberapa seniman lainnya. Kunjungannya ke Mojokerto merupakan kali kedua untuk kepentingan yang sama empat tahun silam. Hanya, untuk kali ini, Barbara akan menyaksikan langsung pementasan Ludruk Karya Budaya yang digelar di Menganti, Kecamatan Gresik. ''Ini cukup menarik,'' kata dia. Apalagi, pemilik Ludruk Karya Budaya Eko Edy Susanto mengatakan, lokasi yang dituju ini merupakan desa yang mayoritas warga Madura, namun uniknya di lokasi tersebut beragama Hindu. ''Ceritanya dulu, Desa Bongso, Kecamatan Menganti, Gresik ini masih berupa hutan belantara, dan datanglah enam kepala keluarga dari Madura babat alas di sini, dan jadilah sebuah desa. Tentang agama Hindu, karena pada saat itu yang datang kali pertama adalah penyebar agama Hindu, maka jadilah agama ini yang dianut mereka,'' papar Edy. Pada kesempatan tersebut rencananya Barbara juga akan menyerahkan buku karyanya yang berjudul Javanese Performances on an Indonesian Stage. Buku karya setebal 600 halaman ini terbitan NUS Perss Singapura. ''Ini merupakan buku yang saya tulis selama kunjungan-kunjungan saya di Indonesia 10 tahun terakhir. Tapi, ya tidak terus-menerus menulis buku, di sela-sela kegiatan saya yang lain,'' ujarnya. Ada 8 bab yang dia tulis dalam bahasa Inggris itu. Antara lain, sejarah dan kondisi seni di Jogjakarta pada tahun 1970 setelah Orde Baru berkuasa. Seni tradisi yang berupa ketoprak di Jogjakarta yang ditinjau dari segi sosial, politik dan budaya. Juga menyinggung tentang perempuan dan gender dalam seni tradisi. Ketertarikan Barbara terhadap seni tradisi di Indonesia ini ternyata tidak lepas dari latar belakang akademisnya selama ini. Sebagai kepala jurusan Asian Language di kampusnya, ternyata dia juga merupakan profesor dalam bidang Bahasa Indonesia. Disertasinya juga menuliskan tentang seni tradisi, khususnya ketoprak di Indonesia. (in/yr) (Harian Radar Mojokerto)
[ac-i] Dilarang Memasang Bendera Partai di Pinggir Jembatan Sempit!
Dilarang Memasang Bendera Partai di Pinggir Jembatan Sempit! http://rony.dgworks.net/2008/08/06/dilarang-memasang-bendera-partai-di-pinggir-jembatan-sempit/ Demikian, jika saja saya seorang Raja, saya akan mengumumkan hal itu dengan disertai sanksi berat bagi yang melanggarnya. Sebagai seorang Raja, tentunya saya berhak dan dikaruniai hak mutlak untuk menentukan perilaku para /andahan/ (bawahan//kawulo/) saya. Atau katakanlah saya ini MUI, saya akan membuat fatwa bahwa HARAM hukumnya memasang bendera partai di pinggir jembatan sempit! Paling tidak kalau saya sudah membuat fatwa demikian, sanksi neraka bagi mereka yang melanggarnya sepertinya cukup menakutkan. Apalagi kalau seperti selama ini yang terjadi di negeri ini, fatwa saya tentu akan didukung oleh serombongan pecinta kekerasan pendamba secuil kapling di surga. Tapi tentu berbeda dengan MUI, saya memiliki alasan yang sangat masuk akal dan sangat-sangat penting, walaupun tak lepas dari obyektifitas. Jadi, membela fatwa saya ini tentunya sangat baik bagi kemaslahatan umat. *Bendera Pembawa Bencana* Ya, jujur saja, sebenarnya belum menjadi bencana. Hanya saja sangat-sangat nyaris hampir menjadi bencana. Ceritanya saya melewati selokan mataram, kebetulan saya sedang pakai motor, bersama istri dan anak. Hampir seluruh jembatan di selokan mataram ini dipenuhi oleh bendera-bendera partai. Pada awalnya ndak ada masalah, saya hanya agak terganggu pandangannya saja sehingga tidak bisa melihat dengan jelas ke arah berlawanan karena kadang terhalang oleh lambaian bendera. Hingga akhirnya saya sampai di ruas jembatan --yang jalannya rusak di seputaran Kutu Dukuh (Jalan Magelang). Tiba-tiba bendera yang cukup besar melambai ke arah badan jalan, menutup muka saya. Hampir saja saya jatuh, motor sempat goyang ke kiri dan ke kanan. Keseimbangan saya nyaris hilang ketika saya terantuk oleh lobang jalanan. Untungnya saya bergerak cukup pelan dan dari seberang sudah tidak ada motor/mobil lagi. Sehingga saya masih bisa mengendalikan dan kembali ke posisi seimbang. Pertama kali yang terlontar hanyalah Astaghfirullah dan Alhamdulillah tidak jatuh. Tapi kemudian tidak bisa dibendung, keluar juga /pisuhan//makian terhadap pemasang bendera. Bendera PKNU! Ya, bendera itu lebih besar dari bendera yang lain (PKS) dan posisinya lebih pendek sekitar 10cm. Bendera itu yang hampir mencelakakan saya. Jika saja saya sendirian atau hanya berdua dengan istri, mungkin saya tidak akan sedemikian marah. Tapi saya bersama anak yang masih 9 bulan umurnya, kalau sampai jatuh, siapa yang akan bertanggung jawab? Berharap partai tersebut bertanggungjawab? Ah, itu sih sama saja dengan berharap mendapatkan pemimpin yang tidak suka bohong. /Ndak mongken/! begitu teriakan teman saya. Maka saya hanya bisa berjanji untuk menuliskan peristiwa ini di media saya, di blog ini. *Sekali lagi, Jangan memasang bendera partai di pinggir jembatan sempit!* Ini mungkin himbauan saya ketika saya tersadar akan posisi dan siapa saya. Saya bukan Raja, bukan pula MUI, jadi tidak bisa mengeluarkan statement, fatwa maupun perintah. Saya hanya bisa menghimbau. Sudahlah kalian para partai-ers itu, sibukkanlah diri kalian dengan janji-janji saja. Janganlah kalian mengancam keselamatan orang-orang yang kalian klaim telah kalian wakili ini. Oke? Saya sendiri punya janji kok dengan kalian, saya ndak akan milih! vale, demi kesehatan el rony, memandang sinis pada pemasang bendera. Sungguh, kalian tidak mengerti sama sekali tentang /advertise/, /campaign /apalagi ilmu komunikasi! *Sumber: *http://rony.dgworks.net/2008/08/06/dilarang-memasang-bendera-partai-di-pinggir-jembatan-sempit/#more-216
[ac-i] Terbit, Puisigelap # 01-media dwi bulanan
Puisigelap Hanya Untuk yang Mau Berpikir Ihwal media Puisigelap adalah media yang digawangi beberapa kepala yang selama ini menghuni ‘Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar’: Indra Tjahyadi (Pimpinan Redaksi), Ribut Wijoto, F Aziz Manna, M. Aris dan Mashuri. Didukung sepenuhnya oleh S Jai. Puisigelap merupakan media sastra nirlaba, bentuk fotocopian, dan dicetak terbatas. Isinya menawarkan sebuah cara bersastra yang tidak gampangan (atau, meski remeh-temeh tapi berkonsep). Sebagaimana nama Puisigelap, media ini berpihak pada karya-karya gelap (prosa, puisi, naskah drama, esei, resensi) yang penyajian/isinya tidak mungkin dimuat di media-media biasa. Media ini dwi-bulanan dan diluncurkan pada 8 Agustus 2008. Daftar Isi Edisi I 1. Kenapa Harus Ada Gelap (Tim Redaksi) 2. Antilirik (Ribut Wijoto/esei) 3. Puisi dan Kecabulan: Baudelaire dan Swinburne (Richard Sieburth-University of New York /terjemahan) 4. Beberapa Aspek ‘Kuasa Kegelapan’ Lu Hsun (T. A. Hsin-Associate Research Linguist di University of California /terjemahan) 5. Mimpi dan Fantasi Radikal (Mashuri/esei) 6. Puisi-puisi (F Azis Manna) 7. Prosa (nukilan novel Ben Okri-terjemahan Indra Tjahyadi) Semacam Konsep Pengarang yang menulis dengan mempertimbangkan pembaca, pada hakekatnya, telah melakukan bunuh diri kreatif sia-sia. Karyanya tak lebih sebagai laku merendahkan pembacanya, sekaligus membungkus diri pengarang dan kecerdasannya dengan kain kafan karyanya. Sesungguhnya bukan pada pembaca pengarang harus bertaruh, tapi ia bertaruh pada sejarah. Tolak ukurnya: sejauh mana ia mampu menukik ke lubuk hayat: mencecap yang tersimpan di balik yang tampak, lalu mengunduh dan memikirkannya. Pengarang pun tak bertanggung jawab pada dirinya sendiri. Ia hanya bertanggung jawab bagaimana karya itu terwujud, meski dalam kondisi compang-camping, setengah jadi, maupun gelap. Pengarang bukan hanya seorang penyelam atau akrobatik saja, karena intensitas, integritas dan kaul diri sebagai penghamba aksara-kata, adalah pemandu yang lincah untuk berselancar dalam wilayah nir, teler ilham dan bias antara kesadaran dan ketaksadaran; sebuah apolakipsa yang setengah mampus ingin dipertahankan, agar wilayah ambang tetap merujuk pada sirkulasi pengetahuan yang jujur, murni dan tak berpihak ---kecuali pada kebenaran asal… Gelapkah? Pengarang tak peduli. Pada dasarnya, ia telah mengalami suatu ektase, pencerahan yang berulang-ulang, yang bisa membedakan dan memberi jarak antara yang profan-sakral, bentuk-isi, gelap-terang, ia telah berada di dasar sekaligus di puncak, ia berada di dalam sekaligus di luar bahasa… Jika ada yang menyangka, karyanya sebagai karya gelap, sekaligus laku edan dalam bersastra, ia pun menganggap ITU hanya satu perspektif sia-sia. Tanda keawaman dan ‘maqam/derajat’ yang masih menapak pada pengetahuan awam dan massal. Bagamanapun sebutan ‘gelap’, telah menjari marka yang berpalung ambigu. Satu sisi, ia dianggap wilayah samun, berbahaya, penuh ranjau, jebakan, jalan sesat bercecabang, dihuni para hantu. Di sisi lain, ia diberi satu vonis: tak terpahami, ngawur dan selalu diperlawankan dengan benderang. Tetapi sungguh vonis itu sama tergesanya seperti seorang perempuan muda yang ingin menuntaskan coitusnya dengan sang pacar, tapi sang bapak berteriak-teriak di telinganya. Karya gelap ---yang menuntut pembacanya (tidak semua pembaca) yang sabar dan berpikir, mengungkai rajutan kalam yang berpusar pada sastra-buta (bagi pandangan awam), bawah sadar yang nanar, dan celah jiwa yang terbelah, memori terpenggal, menolak dibaca oleh pembaca yang malas dan manja, mengaburkan fakta-fiksi, dan lain-lainnya--- adalah harta karun terpendam. Puisigelap akan memberi ruang pada karya-karya itu, ide-gagasan, buah pikiran tentang sastra yang berpatok pada satu hal: manusia dan karyanya tidak mudah dipahami, manusia dan karyanya lebih sulit dipahami daripada mendedah pertemuan ‘payung’ dan ‘mesin jahit’, atau ‘bunga’ dan ‘tai’, atau ‘kaktus’ dan ‘anus’. Puisigelap akan mendedah karya yang dihasilkan dari intensitas dan integritas menyuntuki ‘dunia’ yang dihindari oleh pengarang-pengaran yang merasa diri ‘mapan’. Puisigelap, memang media ‘hanya untuk yang mau berpikir’. Informasi: Ribut Wijoto 031- 72 10 2178
[ac-i] Press release: WAYANG LINTANG JOHAR 6
Press release: WAYANG LINTANG JOHAR 6 Pentas Keliling Dalang Bocah Malam Minggu Kliwon Februari Desember 2008 anak-anak: masa depan sumber mata air tradisi Menindaklanjuti pentas keliling dalang bocah yang ke 5 , akan menampilkan dalang cilik CANGGIH TRI ATMOJO KRISNO pada 9 Agustus 2008 , bertempat di Kampoeng Purwonegaran Solo, Jl. Tirtosari No 27 A , pk. 19.00 wib. Program ini merupakan Kerjasama MATaYA arts heritage,Taman Budaya Surakarta dan Sanggar Sarotama Profil Dalang Cilik CANGGIH TRI ATMOJO KRISNO Lahir di Surakarta, 22 Juni 2000, Putra Bapak Harijadi Tri Putranto pengajar jurusan Pedalangan ISI Surakarta , beralamat di Perum Subur Makmur,telp 0271-83.Saat ini kelas 3 SD Ngringo 3 Jaten Karanganyar.Semenjah umur 6 tahun sudah mulai mencintai wayang.Belajar secara rutin setiap minggu 2x di Padepokan Seni Sarotama mulai februari 2007 sampai sekarang. Pengalaman berkesenian : Pendukung pentas kolaburasi wayang orang dengan wayang kulit lakon Guwarso-Guwarsi sebagai tokoh Guwarsi dalam Indonesia Performance Art Marc (IPAM) 2007 di ISI Surakarta, pentas pada acara Expo dan Bazar 35 tahun perjalanan MTA Surakarta Juli 2007. Lakon : SENO BUMBU Sinopsis ; Di Sebuah desa bernama Manahilan, hidup seorang demang (tetua desa) bernama Wijrapa. Ia memiliki anak bernama Rawan. Anaknya sangat patuh, berbakti pada orang tua, dan rajin beribadah, sehingga disebut anak yang anung aneng gito. Rawan juga sangat disukai oleh teman-temannya, karena ramah, baik hati. Pada suatu saat, punggawa (tentara) kerajaan Ekacakra memaksa Demang Wijrapa untuk dijadikan santapan Prabu Baka. Upaya Rawan yang gagah berani untuk menyelamatkan ayahnya sia-sia belaka, karena ia tidak memiliki kekuatan untuk melawan para punggawa. Namun Rawan tidak putus asa. Dewi Kunti mengetahui hal tersebut kemudian mencari Raden Bratasena untuk menolong keselamatan Ki Demang. Melalui pertempuran yang seru, akhirnya Raden Bratasena berhasil mengalahkan Prabu Baka. Kematian Prabu Baka membuat negara Ekacakra kembali aman, rakyat hidup tenteram, damai dan sejahtera. A. Latar Depan Wayang Lintang Johar Kuo Pao Kun (2001), tokoh teater modern Singapura, mengatakan anda cukup beruntung menjadi bangsa Indonesia, bisa meminum begitu banyak sumber mata air tradisi di Indonesia. Ungkapan Pau Kun tersebut cukup releven jika kita menengok bagaimana eksistensi seni tradisi bagi anak-anak di perkotaan, khususnya Kota Solo. Ruang-ruang publik kultural sebagai ruang bermain di perkotaan makin menyempit dan nyaris punah, hanya ruang ekonomi makin dominan. Ruang bermain sebagai ruang kreatif anak dalam proses interaksi sosial dan kultural dalam kehidupan nyata sudah tidak natural. Budaya televisi telah memasuki memori kolektif anak. dan berdampak menyeragamkan kreativitas. Tontonan TV menjadi panutan anak, `idola' dan 'pengganti pengasuh orang tua' dalam pendidikan anak, juga menggantikan ruang bermain yang tidak mendekatkan anak terhadap alam sekitar. Secara psikologis, membuat anak berjarak dengan realitas. Wayang dengan banyak ragamnya, salah satu seni tradisional nusantara, yang sangat populer bagi masyarakat Jawa hingga kini dan juga local genius Kota Solo, meski telah diakui sebagai pusaka dunia (world heritage) oleh UNESCO sejak 2003 sudahkah mencapai esensinya sebagai sumber mata air tradisi dalam kreativitas berkesenian di mata anak-anak? Menurut Heri Hono, perupa kontemporer Indonesia, wayang adalah kartun atau bentuk sederhana dari film kartun. Walaupun wayang sudah akrab dengan masyarakat Jawa melalui radio dan televisi, tapi masih banyak anak-anak masa kini mayoritas masih menyukai tokoh-tokoh hero impor superman, batman, spiderman dan kartun Jepang yang menjadi idola. Misalnya, Gatotkoco masih kalah dengan mereka, belum jadi idola anak-anak Indonesia. Apakah kita terus menunggu bangsa lain yang terus menggali kekayaan local genius nusantara? Oleh karena itu, penting diadakan pentas Wayang Lintang Johar, pentas anak-anak dalam ekspresi pertunjukan wayang kulit dan wayang bocah di ruang-ruang publik kota Solo tiap bulan sekali minggu kliwonan (Februari - Desember 2008). Di sini mereka langsung bersentuhan dengan realitas publik kota untuk mengundang publik apakah mereka masih setia menjadi masyarakat pendukung seni wayang yang bisa mendorong lahirnya kreator-kreator wayang masa depan. Ataukah anak-anak kreator wayang ini akan memasuki jalan sunyi di masa depan? Kata `lintang johar' disini bermakna dari dalang bocah akan lahir dalang masa depan yang membangun dan mencipta tradisi kata mencipta dan membangun tersebut mengkristal menjadi `melestarikan'. Artinya, mereka mampu berproses, berkreativitas, dan melestarikan wayang sesuai dengan perubahan zamannya dengan bertumpu pada akar local genius-nya. Dengan demikian mereka di masa depan akan mampu memasuki dialektik kebudayaan yang memahami tanda-tanda perubahan zaman. Jadi dalam Wayang Lintang Johar ini berharap
[ac-i] Tontonan Hitam Putih Dewan Kesenian Kota Mojokerto
[ Jum'at, 08 Agustus 2008 ] Tontonan Hitam Putih DKM MOJOKERTO - Kain putih polos terbentang di atas panggung, dua sorot lampu dari belakang kain memunculkan siluet hitam. Bayangan hitam tersebut bergerak mengikuti irama musik dan narasi yang dibacakan. Terkadang menunduk, berjinjit, jongkok. Memunculkan suasana mencekam, sunyi, ngelangut, terkadam seram. Sepuluh menit kemudian lampu padam menutup repertoar tersebut. Begitulah suasana di sekretariat Dewan Kesenian Kota Mojokerto (DKM), Jl. Gajah Mada 149, Selasa (5/8) dalam kegiatan bertajuk Sebuah Tontonan Hitam Putih. Aktor yang memainkan pentas siluet tadi adalah Rony Younard. Dalam diskusi seusai pentas Rony, kelahiran Mojokerto, 14 Juni 1977, mengatakan bahwa gagasan dasar pentas yang diusungnya dari pentas siluet Ketika Senja Tiba adalah gambaran kekinian dan bagaimana carut marutnya di negeri kita. ''Seringkali kita takut pada gelap dan malam. Negeri ini masih diliputi gelap gulita. Kita tak dapat melihat terang jika kita berada di ruang terang. Kita dapat menikmati terang justru ketika kita berada dalam gelap,'' katanya. Selanjutnya, alumni SMEA Negeri 1 Sooko tersebut menambahkan ia ingin menggambarkan nasib seorang anak manusia yang telanjur masuk dalam sistem dan terjebak di dalamnya. ''Yang bisa dilakukannya adalah diam mengikuti sistem tersebut. Apabila dia bergerak untuk keluar maka dia akan binasa, seperti yang saya gambarkan pada bagian akhir repertoar saya tersebut,'' katanya. Tontonan kedua adalah pembacaan cerpen Apa Kabar, Malam? karya Indra Tranggono, penulis cerpen asal Jogjakarta. Mohamad Misbakh membacakan cerpen tersebut 15 menit. Tampil di panggung dengan iringan petikan gitar dari Rony Younard dan bongo oleh Andrie Brengos. Setting panggung minimalis. Mbes, panggilan akrabnya, memang bukan nama baru bagi kancah dunia seni di Mojokerto. Laki-laki kelahiran, Mojokerto, 6 Juli 1966 tersebut pernah baca puisi selama 12 jam tanpa henti di panggung terbuka samping GOR Seni Majapahit (sekarang menjadi Perpustakaan Umum Kota Mojokerto) dan pernah menjabat sebagai ketua Teater Kaca Studio Fine Art Mojokerto. Cerpen Apa Kabar, Malam? Menggambarkan tentang seorang perempuan yang mengalami peristiwa tragis. Orang-orang yang dicintainya itu diambil paksa, ayahnya diperam dalam drum berisi adonan semen dan batu hingga darahnya membeku. Orang-orang yang dicintainya dirajam dengan timah panas dan ditikam dengan bayonet berkilat. Harta bendanya dijarah. Saudara-saudaranya diperkosa bahkan ketika belum pernah menstruasi. Dalam sarasehan seusai pentas, Mbes menjelaskan bahwa pentas malam itu merupakan pemanasan untuk persiapan kegiatan Parade Teater Kota Mojokerto yang akan diadakan akhir Agustus 2008. ''Selama seminggu akan diadakan pentas teater. Tiap hari 2 kelompok. Tempatnya ya di Sekretariat DKM,'' katanya. Kegiatan yang diadakan Biro Seni Drama DKM, malam itu dihadiri sekitar 50 penonton, selain pengurus DKM, Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto (DKKM), juga siswa-siswa SMAN 2 Kota Mojokerto, Cak Edi Karya pimpinan ludruk Karya Budaya, komunitas sastra Pondok Kopi Pacet, Lidhie Art Forum, Elita Dimawan Sanggar Sangkra Laksita, Cak Jito Akar Mojo Pacet. (in/yr) (Harian Radar Mojokerto) Informasi:Mohamad Misbakh 081134 08311
[ac-i] Manunggaling Kawula Gusti - The History of Java - Babad Tanah Jawa
AGUSTUSAN DENGAN BUKU-BUKU SUPER HUEBOHH!! PARADE BUKU MERDEKA MEDIA PRESSINDO GROUP dan GRAMEDIA 9 AGUSTUS 2008 | 14.00 WIB | TB. Gramedia Jl. Sudirman Jogja MANUNGGALING KAWULA-GUSTI (K.H. M. Sholikhin) Menghadirkan K.H. Muhammad Sholikhin (Penulis dan Peneliti Suifisme Islam Jawa) 9 AGUSTUS 2008 | 18.00 WIB | TB. Gramedia Jl. Sudirman Jogja BABAD TANAH JAWI (W.L. Olthof) THE HISTORY OF JAVA (Thomas Stamford Raffles) Menghadirkan : Sugito HS. (Budayawan Jawa dan Kolumnis Harian Jogja) K.H. Muhammad Sholikhin, Seorang ulama muda, Seorang pengelana, dan Seorang pengkaji sekaligus pelaku sufisme Jawa paling mutakhir... telah suntuk mendalami dan meneliti ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar Ia telah menemukan berbagai fakta historis dan kesimpulan-kesimpulan inti tentang filsafat ketuhanan versi Syekh Siti Jenar yang selama ini kabur dan kontroversial... MANUNGGALING KAWULA GUSTI... telah ia susun menjadi sebuah buku yang paling komprehensif menyodorkan fakta bahwa Manungaling Kawula Gusti adalah filsafat ketuhanan yang amat dalam, lengkap dan bisa dipertanggungjawabkan. Sholikhin membandingkannya dengan berbagai filsafat barat dan konsep tauhid para sufi Timur Tengah berabad-abad yang lalu. Temui, K.H. Muhammad Sholikhin dan dapatkan berbagai keterangan beliau tentang isi buku ini di Toko GRAMEDIA Jl. Sudirman Jogja. Sabtu 9 Agustus 2008 jam 14.00 WIB Gratis Sore harinya, 9 AGustus 2008 jam 18.00 WIB. SUGITO HS, seorang seniman dan budayawan jawa yang masih muda dan bersemangat, akan memperbincangkan kekayaan budaya Jawa sebagai bekal kemajuan Indonesia... ia akan membahas berbagai hal yang mengacu pada dua buku paling fonomenal tentang Jawa : BABAD TANAH JAWI yang ditulis dalam masa kejayaan Kerajaan Surakarta dan ditulis ulang oleh W.L. Olthof serta diterbitkan di Belanda pada tahuan 1941, dan kini hadir ke tengah Anda dipersembahkan oleh penerbit NARASI Yogyakarta. Buku ini mengisahkan sejarah kerajaan Jawa sejak nabi Adam hingga keraton mataram pada tahun 1647. THE HISTORY OF JAVA Karya besar sang administratus Inggris yang amat jatuh cinta pada pulau Jawa Sir Thomas Stamfod Raffles. Dia yang terkenal dengan menemukan bunga Bangkai di Sumatera dan pernah sesumbar bahwa dialah pemilik informasi tentang Jawa paling lengkap di dunia saat itu (1817) melalui penerbitan The History of Java di Eropa. Kini buku ini hadir berkat persembahan penerbit NARASI Yogyakarta. Dan SUGITO HS akan bersama-sama Anda memperbincangkan buku ini di GRAMEDIA Jl. SUDIRMAN Yogyakarta. Sampai bertemu di sana Didik Adi Sukmoko (Jali) Promosi dan Eskternal Affair Media Pressindo Group 08882855643
[ac-i] Tafsir Puisi Kebangsaan
“TAFSIR PUISI KEBANGSAAN” DALAM RANGKA “ AGUSTUSAN” DI PT.CATUR ELANG PERKASA ALIAS C PLUS Dalam rangka “Agustusan” , Direktur Bisnis dan Pengembangan PT.Catur Elang Perkasa atau yang lebih terkenal sebagai C+ , Sentot E.Baskoro akan menyelenggarakan “Tafsir Puisi Kebangsaan” yakni sebuah acara baca puisi dan ceramah budaya mengenai sinergi antara teknologi informasi dengan sastra-budaya Indonesia,dengan pembaca puisi dan pemateri Drs.Viddy AD Daery,penyair,budayawan dan pengamat perkembangan teknologi informasi ( IT ) , yang kini bekerja sebagai Staf Khusus Menkominfo RI bidang analis media.Moderator dan pengantar diskusi adalah Bapak Sentot sendiri yang memang juga pengamat budaya dan masalah sosial. Acara yang diselenggarakan di kantor C+ di bilangan Cilandak Timur,Jakarta Selatan tersebut diselenggarakan pada hari Jum’at 15 Agustus 2008 sore , dan disamping berisi baca puisi dan ceramah budaya juga diadakan dialog timbal-balik mengenai dunia sastra dan IT. Memang, C+ merupakan perusahaan pemasok teknologi dan peralatan kantor yang berkaitan dengan IT,misalnya computer, dan berbagai ragam peralatan IT yang kini sudah sangat beragam jenisnya. “Saya ingin staf dan karyawan saya tidak hanya mengenal IT an sich, namun juga mempunyai wawasan budaya yang amat penting di zaman millennium 21 ini, karena sekarang memang abad “kebudayaan” sebagai tahap ke empat, setelah tahap 1 : zaman batu atau zaman berburu dan meramu, tahap 2 : zaman pertanian , tahap 3 : zaman industri dan tahap 4 : zaman informasi yang berarti materinya adalah kebudayaan. Nah, kita bangsa Indonesia jangan sampai buta kebudayaan sehingga disergap kebudayaan asing lalu kita gagap dan “mati rasa”.Saya percaya budayawan Viddy AD Daery yang sudah melanglang daratan Asia Tenggara memberi masukan banyak bagi kami.” Tegas Bapak Sentot E Baskoro. -* ( culturecare)