[ac-i] Ngobrol dengan Desainer Grafis: Wedha’s Pop Art Portrait

2008-08-10 Terurut Topik Hanny Kardinata
Siapa yang tak kenal Wedha? Mereka yang membaca majalah Hai sejak masa-masa
tahun 80an hingga kini sering melihat sebuah tanda tangan kecil Wedha
dipojok ilustrasi-ilustrasi yang menggugah pembaca.

Kini dua puluh tahun kemudian, Wedha tidak bertambah tua, namun sebaliknya,
dia tampil semakin menggila. Kini dengan teknologi komputer Wedha
menampilkan karya ilustrasi bergaya Pop Art.

Ikuti obrolan yang hangat dan seru bersama Wedha, dalam acara Ngobrol dengan
Desainer Grafis bertema: *Wedha's Pop Art
Portrait*http://desaingrafisindonesia.wordpress.com/2008/07/18/wedhas-pop-art-portrait/
di
panggung Pameran Ekonomi Kreatif Indonesia Bisa! di Senayan City pada hari
Minggu, 10 Agustus 2008, pukul 13.00. *Free!*


[ac-i] Deleilah Tak Ingin Pulang dari Pesta, Waria dalam Kesehariannya

2008-08-10 Terurut Topik Iwan Pribadi


 Deleilah Tak Ingin Pulang dari Pesta, Waria dalam Kesehariannya
 
http://gudeg.net/news/2008/08/3755/Deleilah-Tak-Ingin-Pulang-dari-Pesta-Waria-dalam-Kesehariannya.html

GudegNet
/Jumat, 8 Agustus 2008, 10:53 WIB /

Adalah *Deleilah*, kelompok penghibur yang terdiri dari tiga orang waria 
yaitu Rosiana (*Kusuma Ayu*), Luna (*Maria Alda Novika*), dan Happy 
(*Arum Marischa*), yang sering tampil bernyanyi dan menari di *Metro 
Club* dan makin hari mereka kian populer di tempat tersebut.


Namun perjalanan ketiga orang waria yang dahulunya sama-sama berangkat 
bersama dari dunia /cebongan/ ini, menghadapi konflik dan kendala di 
depan mereka.


Dari mulai permasalahan yang muncul dari masing-masing personal 
Deleilah, mulai hubungan antara Rosiana dengan Deddy yang menjadi 
manajer Deleilah, Happy yang semakin sibuk dengan aktifitasnya di LSM, 
dan Luna yang ingin mengejar karir lebih tinggi lagi di Jakarta. Sampai 
puncaknya ketika Metro Club ditutup karena akan diganti menjadi sebuah 
gedung bioskop.


Demikianlah garis besar cerita pementasan teater *Deleilah Tak Ingin 
Pulang Dari Pesta*, dengan sutradara *Joned Suryatmoko* dan naskah  oleh 
*Puthut EA*, yang dipentaskan dua malam berturut-turut yaitu 6 dan 7 
Agustus 2008 di *Societet Militaire - Taman Budaya Yogyakarta*. Kegiatan 
ini merupakan bagian dan sekaligus penutup dari *Festival Kesenian 
Yogyakarta XX 2008*.


Banyak hal yang unik dalam pementasan kali ini, yang paling menonjol 
adalah penampilan delapan orang waria yang menjadi aktor, dan tiga dari 
mereka adalah pemeran utama pementasan ini, yang berperan sebagai 
anggota kelompok Deleilah.


Walau demikian, jangan harapkan pertunjukkan ini akan mempertontonkan 
waria yang  berkostum glamour serba berkilat dan syal bulu-bulunya, 
kemudian beraksi dan berlenggak-lenggok mengikuti irama musik sambil 
melakukan /lipsync/ mengikuti suara penyanyi yang ada dalam rekaman 
musik tersebut.


Karena di sini, pemeran kelompok Deleilah benar-benar bernyanyi dan 
menari serta langsung diiringi musik dari sebuah band secara langsung.


Jangan pula berprasangka bahwa pertunjukkan ini memosisikan waria 
sebagai bahan lelucon dan guyonan saja bagi para penonton. Memang ada 
guyonan dan /joke/ khas waria, yang berulangkali memancing gelak tawa 
penonton, terutama melalui perilaku dan istilah-istilah khas waria, 
seperti /lekong/, /pewong/, /polesong/, dan /tuwekek/, tapi itu bukan 
merupakan sajian utama yang dihidangkan dalam pementasan ini.


Dalam pertunjukkan semalam, para penonton diajak untuk melihat waria 
dari sudut yang lebih personal, memandang melalui bagaimana hidup 
keseharian mereka sebagai manusia, dengan menceritakan permasalahan yang 
dihadapi, kenangan-kenangan masa kecil yang sangat berpengaruh dalam 
kehidupan mereka, serta cita-cita dan harapan mereka, jadi bukan 
semata-mata melihat waria sebagai suatu obyek tontonan atau bahan ejekan 
belaka.


Hal menarik lainnya adalah dibawakannya lagu-lagu dari beberapa kelompok 
band asal Yogyakarta, yaitu: *Oh Nina*, *Melancholic Bitch*, dan *Mock 
Me Not*, dengan aransemen yang berbeda sehingga lagu-lagu tersebut 
menjadi lebih sesuai untuk dibawakan oleh kelompok Deleilah yang 
berformat trio.
Bahkan ada sebuah lagu yang berubah format dari aslinya karena menjadi 
sangat bernuansa dangdut, tanpa merusak lagu tersebut secara 
keseluruhan. Itu semua merupakan hasil kerja *Ari Wulu* sebagai penata 
musik dan *Pantjasona Adji S.Sn* pelatih dan arransemen vokal.


Memang di sisi lain, masih nampak sedikit kekurangan-kekurangan secara 
teknis dan kualitas akting, terutama dari aktor-aktor waria, namun 
sesungguhnya itu sangat dapat dimaklumi, mengingat proses audisi untuk 
pertunjukkan ini baru dimulai bulan Maret, untuk memilih pemain yang 
akan memerankan masing-masing personel Deleilah.


Namun bila menilik para waria tersebut sebelumnya hampir tidak 
memperoleh latar belakang akting dan vokal, maka pencapaian yang telah 
dipertunjukkan dua malam berturut-turut kemarin itu, bolehlah kita sebut 
sebagai suatu hal yang luar biasa.


*Iwan Pribadi*
*GudegNet - Gudang Info Kota Jogja* http://www.gudeg.net


[ac-i] Profesor Barbara Hatley Goes to Mojokerto

2008-08-10 Terurut Topik abdul malik


[ Jum'at, 08 Agustus 2008 ] 

Profesor Australia
Belajar Seni Tradisi 

MOJOKERTO - Prof Barbara Hatley dari University of Tasmania Australia
untuk kali kedua mengunjungi Mojokerto, kemarin. Kunjungannya kali ini untuk
melihat lebih dekat seni tradisi di daerah ini.



''Selama 10 tahun terakhir ini saya menulis buku tentang seni tradisi di Jawa,
terutama di Jogjakarta,'' ungkap Kepala Jurusan
Asian Languages and Studies di University
  of Tasmania Australia
saat makan siang di sebuah lesehan Jl Empunala, Kota Mojokerto kemarin.



Pada kesempatan ini, hadir pula pelawak kondang Cak Supali, Cak Edy Karya,
pemilik Ludruk Karya Budaya, Abdul Malik Networker budaya asal Mojokerto,
Kepala Biro Sastra Dewan Kesenian Mojokerto Syaiful Bachri, serta beberapa
seniman lainnya.



Kunjungannya ke Mojokerto merupakan kali kedua untuk kepentingan yang sama
empat tahun silam. Hanya, untuk kali ini, Barbara akan menyaksikan langsung
pementasan Ludruk Karya Budaya yang digelar di Menganti, Kecamatan Gresik.
''Ini cukup menarik,'' kata dia. 



Apalagi, pemilik Ludruk Karya Budaya Eko Edy Susanto mengatakan, lokasi yang
dituju ini merupakan desa yang mayoritas warga Madura, namun uniknya di lokasi
tersebut beragama Hindu.



''Ceritanya dulu, Desa Bongso, Kecamatan Menganti, Gresik ini masih berupa
hutan belantara, dan datanglah enam kepala keluarga dari Madura babat alas di
sini, dan jadilah sebuah desa. Tentang agama Hindu, karena pada saat itu yang
datang kali pertama adalah penyebar agama Hindu, maka jadilah agama ini yang
dianut mereka,'' papar Edy.



Pada kesempatan tersebut rencananya Barbara juga akan menyerahkan buku karyanya
yang berjudul Javanese Performances on an Indonesian Stage. Buku karya setebal
600 halaman ini terbitan NUS Perss Singapura. ''Ini merupakan buku yang saya
tulis selama kunjungan-kunjungan saya di Indonesia 10 tahun terakhir. Tapi,
ya tidak terus-menerus menulis buku, di sela-sela kegiatan saya yang lain,''
ujarnya.



Ada 8 bab yang
dia tulis dalam bahasa Inggris itu. Antara lain, sejarah dan kondisi seni di 
Jogjakarta pada tahun
1970 setelah Orde Baru berkuasa. Seni tradisi yang berupa ketoprak di 
Jogjakarta yang ditinjau
dari segi sosial, politik dan budaya. Juga menyinggung tentang perempuan dan
gender dalam seni tradisi. 



Ketertarikan Barbara terhadap seni tradisi di Indonesia ini ternyata tidak lepas
dari latar belakang akademisnya selama ini. Sebagai kepala jurusan Asian
Language di kampusnya, ternyata dia juga merupakan profesor dalam bidang Bahasa
Indonesia. Disertasinya juga menuliskan tentang seni tradisi, khususnya
ketoprak di Indonesia.
(in/yr)

(Harian Radar Mojokerto)




  

[ac-i] Dilarang Memasang Bendera Partai di Pinggir Jembatan Sempit!

2008-08-10 Terurut Topik Iwan Pribadi


   Dilarang Memasang Bendera Partai di Pinggir Jembatan Sempit!
   
http://rony.dgworks.net/2008/08/06/dilarang-memasang-bendera-partai-di-pinggir-jembatan-sempit/

Demikian, jika saja saya seorang Raja, saya akan mengumumkan hal itu 
dengan disertai sanksi berat bagi yang melanggarnya. Sebagai seorang 
Raja, tentunya saya berhak dan dikaruniai hak mutlak untuk menentukan 
perilaku para /andahan/ (bawahan//kawulo/) saya.


Atau katakanlah saya ini MUI, saya akan membuat fatwa bahwa HARAM 
hukumnya memasang bendera partai di pinggir jembatan sempit! Paling 
tidak kalau saya sudah membuat fatwa demikian, sanksi neraka bagi mereka 
yang melanggarnya sepertinya cukup menakutkan. Apalagi kalau seperti 
selama ini yang terjadi di negeri ini, fatwa saya tentu akan didukung 
oleh serombongan pecinta kekerasan pendamba secuil kapling di surga. 
Tapi tentu berbeda dengan MUI, saya memiliki alasan yang sangat masuk 
akal dan sangat-sangat penting, walaupun tak lepas dari obyektifitas.  
Jadi, membela fatwa saya ini tentunya sangat baik bagi kemaslahatan umat.


*Bendera Pembawa Bencana*

Ya, jujur saja, sebenarnya belum menjadi bencana. Hanya saja 
sangat-sangat nyaris hampir menjadi bencana. Ceritanya saya melewati 
selokan mataram, kebetulan saya sedang pakai motor, bersama istri dan 
anak. Hampir seluruh jembatan di selokan mataram ini dipenuhi oleh 
bendera-bendera partai.


Pada awalnya ndak ada masalah, saya hanya agak terganggu pandangannya 
saja sehingga tidak bisa melihat dengan jelas ke arah berlawanan karena 
kadang terhalang oleh lambaian bendera. Hingga akhirnya saya sampai di 
ruas jembatan --yang jalannya rusak di seputaran Kutu Dukuh (Jalan 
Magelang). Tiba-tiba bendera yang cukup besar melambai ke arah badan 
jalan, menutup muka saya. Hampir saja saya jatuh, motor sempat goyang ke 
kiri dan ke kanan. Keseimbangan saya nyaris hilang ketika saya terantuk 
oleh lobang jalanan. Untungnya saya bergerak cukup pelan dan dari 
seberang sudah tidak ada motor/mobil lagi. Sehingga saya masih bisa 
mengendalikan dan kembali ke posisi seimbang.


Pertama kali yang terlontar hanyalah Astaghfirullah dan Alhamdulillah 
tidak jatuh. Tapi kemudian tidak bisa dibendung, keluar juga 
/pisuhan//makian terhadap pemasang bendera. Bendera PKNU! Ya, bendera 
itu lebih besar dari bendera yang lain (PKS) dan posisinya lebih pendek 
sekitar 10cm. Bendera itu yang hampir mencelakakan saya. Jika saja saya 
sendirian atau hanya berdua dengan istri, mungkin saya tidak akan 
sedemikian marah. Tapi saya bersama anak yang masih 9 bulan umurnya, 
kalau sampai jatuh, siapa yang akan bertanggung jawab?


Berharap partai tersebut bertanggungjawab? Ah, itu sih sama saja dengan 
berharap mendapatkan pemimpin yang tidak suka bohong. /Ndak mongken/! 
begitu teriakan teman saya. Maka saya hanya bisa berjanji untuk 
menuliskan peristiwa ini di media saya, di blog ini.


*Sekali lagi, Jangan memasang bendera partai di pinggir jembatan sempit!*

Ini mungkin himbauan saya ketika saya tersadar akan posisi dan siapa 
saya. Saya bukan Raja, bukan pula MUI, jadi tidak bisa mengeluarkan 
statement, fatwa maupun perintah. Saya hanya bisa menghimbau.


Sudahlah kalian para partai-ers itu, sibukkanlah diri kalian dengan 
janji-janji saja. Janganlah kalian mengancam keselamatan orang-orang 
yang kalian klaim telah kalian wakili ini. Oke?


Saya sendiri punya janji kok dengan kalian, saya ndak akan milih!

vale, demi kesehatan

el rony, memandang sinis pada pemasang bendera. Sungguh, kalian tidak 
mengerti sama sekali tentang /advertise/, /campaign /apalagi ilmu 
komunikasi!


*Sumber: 
*http://rony.dgworks.net/2008/08/06/dilarang-memasang-bendera-partai-di-pinggir-jembatan-sempit/#more-216




[ac-i] Terbit, Puisigelap # 01-media dwi bulanan

2008-08-10 Terurut Topik abdul malik


Puisigelap

Hanya Untuk yang Mau Berpikir



Ihwal media



Puisigelap adalah media yang digawangi beberapa kepala yang selama ini menghuni
‘Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar’: Indra
Tjahyadi (Pimpinan Redaksi), Ribut Wijoto, F Aziz Manna, M. Aris dan Mashuri.
Didukung sepenuhnya oleh S Jai. Puisigelap
merupakan media sastra nirlaba, bentuk fotocopian, dan dicetak terbatas. Isinya
menawarkan sebuah cara bersastra yang tidak gampangan (atau, meski remeh-temeh
tapi berkonsep). Sebagaimana nama Puisigelap, media ini berpihak pada
karya-karya gelap (prosa, puisi, naskah drama, esei, resensi) yang
penyajian/isinya tidak mungkin dimuat di media-media biasa. Media ini
dwi-bulanan dan diluncurkan pada 8 Agustus 2008. 



Daftar Isi Edisi I



1. Kenapa Harus Ada
Gelap (Tim Redaksi)

2. Antilirik (Ribut Wijoto/esei) 

3. Puisi dan Kecabulan: Baudelaire dan Swinburne (Richard Sieburth-University
of New York
/terjemahan)

4. Beberapa Aspek ‘Kuasa Kegelapan’ Lu Hsun (T. A. Hsin-Associate Research
Linguist di University
 of California
/terjemahan)

5. Mimpi dan Fantasi Radikal (Mashuri/esei)

6. Puisi-puisi (F Azis Manna)

7. Prosa (nukilan novel Ben Okri-terjemahan Indra Tjahyadi)





Semacam Konsep



Pengarang yang menulis dengan mempertimbangkan pembaca, pada hakekatnya, telah
melakukan bunuh diri kreatif sia-sia. Karyanya
tak lebih sebagai laku merendahkan pembacanya, sekaligus membungkus diri
pengarang dan kecerdasannya dengan kain kafan karyanya. 

Sesungguhnya bukan pada pembaca pengarang harus bertaruh, tapi ia bertaruh pada
sejarah. Tolak ukurnya: sejauh mana ia mampu menukik ke lubuk hayat: mencecap
yang tersimpan di balik yang tampak, lalu mengunduh dan memikirkannya.
Pengarang pun tak bertanggung jawab pada dirinya sendiri. Ia hanya bertanggung
jawab bagaimana karya itu terwujud, meski dalam kondisi compang-camping,
setengah jadi, maupun gelap. Pengarang bukan hanya seorang penyelam atau
akrobatik saja, karena intensitas, integritas dan kaul diri sebagai penghamba
aksara-kata, adalah pemandu yang lincah untuk berselancar dalam wilayah nir,
teler ilham dan bias antara kesadaran dan ketaksadaran; sebuah apolakipsa yang
setengah mampus ingin dipertahankan, agar wilayah ambang tetap merujuk pada
sirkulasi pengetahuan yang jujur, murni dan tak berpihak ---kecuali pada
kebenaran asal…

Gelapkah? Pengarang tak peduli. Pada dasarnya, ia telah mengalami suatu ektase,
pencerahan yang berulang-ulang, yang bisa membedakan dan memberi jarak antara
yang profan-sakral, bentuk-isi, gelap-terang, ia telah berada di dasar
sekaligus di puncak, ia berada di dalam sekaligus di luar bahasa…

Jika ada yang menyangka, karyanya sebagai karya gelap, sekaligus laku edan
dalam bersastra, ia pun menganggap ITU hanya satu perspektif sia-sia. Tanda 
keawaman dan ‘maqam/derajat’ yang masih menapak
pada pengetahuan awam dan massal. 

Bagamanapun sebutan ‘gelap’, telah menjari marka yang berpalung ambigu. Satu
sisi, ia dianggap wilayah samun, berbahaya, penuh ranjau, jebakan, jalan sesat
bercecabang, dihuni para hantu. Di sisi lain, ia diberi satu vonis: tak
terpahami, ngawur dan selalu diperlawankan dengan benderang. Tetapi sungguh
vonis itu sama tergesanya seperti seorang perempuan muda yang ingin menuntaskan
coitusnya dengan sang pacar, tapi sang bapak berteriak-teriak di telinganya.

Karya gelap ---yang menuntut pembacanya (tidak semua pembaca) yang sabar dan
berpikir, mengungkai rajutan kalam yang berpusar pada sastra-buta (bagi
pandangan awam), bawah sadar yang nanar, dan celah jiwa yang terbelah, memori
terpenggal, menolak dibaca oleh pembaca yang malas dan manja, mengaburkan
fakta-fiksi, dan lain-lainnya--- adalah harta karun
terpendam.

Puisigelap akan memberi ruang pada karya-karya itu, ide-gagasan, buah pikiran
tentang sastra yang berpatok pada satu hal: manusia dan karyanya tidak mudah
dipahami, manusia dan karyanya lebih sulit dipahami daripada mendedah pertemuan
‘payung’ dan ‘mesin jahit’, atau ‘bunga’ dan ‘tai’, atau ‘kaktus’ dan ‘anus’. 

Puisigelap akan mendedah karya yang dihasilkan dari intensitas dan integritas
menyuntuki ‘dunia’ yang dihindari oleh pengarang-pengaran yang merasa diri
‘mapan’. 

Puisigelap, memang media ‘hanya untuk yang mau berpikir’.

 

Informasi:

Ribut Wijoto

031- 72 10 2178




  

[ac-i] Press release: WAYANG LINTANG JOHAR 6

2008-08-10 Terurut Topik infomataya

Press release:



WAYANG LINTANG JOHAR 6

Pentas Keliling Dalang Bocah Malam Minggu Kliwon

Februari – Desember 2008



anak-anak:  masa depan  sumber mata air tradisi





Menindaklanjuti pentas keliling dalang bocah yang ke 5 ,  akan
menampilkan dalang cilik CANGGIH TRI ATMOJO KRISNO pada 9 Agustus  2008
, bertempat di Kampoeng Purwonegaran Solo, Jl. Tirtosari No 27 A , pk.
19.00 wib. Program ini merupakan Kerjasama MATaYA arts heritage,Taman
Budaya Surakarta dan Sanggar Sarotama



Profil Dalang  Cilik

CANGGIH TRI ATMOJO KRISNO

Lahir di Surakarta, 22 Juni 2000, Putra Bapak Harijadi Tri Putranto
pengajar jurusan Pedalangan ISI Surakarta , beralamat di Perum Subur
Makmur,telp 0271-83.Saat ini kelas 3 SD Ngringo 3 Jaten
Karanganyar.Semenjah umur 6 tahun sudah mulai mencintai wayang.Belajar
secara rutin setiap minggu 2x di Padepokan Seni Sarotama mulai februari
2007 sampai sekarang. Pengalaman berkesenian : Pendukung pentas
kolaburasi wayang orang dengan wayang kulit lakon Guwarso-Guwarsi
sebagai tokoh Guwarsi dalam Indonesia Performance Art Marc (IPAM)

2007 di ISI Surakarta, pentas pada acara Expo dan Bazar 35 tahun
perjalanan MTA Surakarta Juli 2007.



Lakon : SENO BUMBU

Sinopsis ; Di Sebuah desa bernama Manahilan, hidup seorang demang (tetua
desa) bernama Wijrapa. Ia memiliki anak bernama Rawan. Anaknya sangat
patuh, berbakti pada orang tua, dan rajin beribadah, sehingga disebut
anak yang anung aneng gito. Rawan juga sangat disukai oleh
teman-temannya, karena ramah, baik hati. Pada suatu saat, punggawa
(tentara) kerajaan Ekacakra memaksa Demang Wijrapa untuk dijadikan
santapan Prabu Baka. Upaya Rawan yang gagah berani untuk menyelamatkan
ayahnya sia-sia belaka, karena ia tidak memiliki kekuatan untuk melawan
para punggawa. Namun Rawan tidak putus asa. Dewi Kunti mengetahui hal
tersebut kemudian mencari Raden Bratasena untuk menolong keselamatan Ki
Demang. Melalui pertempuran yang seru, akhirnya Raden Bratasena berhasil
mengalahkan Prabu Baka. Kematian Prabu Baka membuat negara Ekacakra
kembali aman, rakyat hidup tenteram, damai dan sejahtera.



A. Latar Depan Wayang Lintang Johar

 Kuo Pao Kun (2001), tokoh teater modern Singapura,
mengatakan anda cukup beruntung menjadi bangsa Indonesia, bisa meminum
begitu banyak sumber mata air tradisi di Indonesia. Ungkapan  Pau Kun
tersebut cukup releven jika kita menengok bagaimana eksistensi seni
tradisi bagi anak-anak di perkotaan, khususnya Kota Solo. Ruang-ruang
publik kultural sebagai ruang bermain di perkotaan makin menyempit dan
nyaris punah, hanya ruang ekonomi makin dominan. Ruang bermain sebagai
ruang kreatif anak dalam proses interaksi sosial dan kultural dalam
kehidupan nyata sudah tidak natural. Budaya televisi telah memasuki
memori kolektif anak. dan berdampak menyeragamkan kreativitas.  Tontonan
TV menjadi panutan anak,  `idola' dan 'pengganti pengasuh
orang tua' dalam pendidikan anak, juga  menggantikan ruang bermain
yang tidak mendekatkan anak terhadap  alam sekitar. Secara psikologis,
membuat anak berjarak dengan realitas.

Wayang dengan banyak ragamnya, salah satu seni tradisional nusantara,
yang sangat  populer bagi masyarakat Jawa hingga kini dan juga   local
genius Kota Solo, meski telah diakui sebagai pusaka dunia (world
heritage) oleh UNESCO sejak 2003 – sudahkah mencapai esensinya
sebagai sumber mata air tradisi dalam kreativitas berkesenian di mata
anak-anak? Menurut Heri Hono, perupa kontemporer Indonesia, wayang
adalah kartun atau bentuk sederhana dari film kartun. Walaupun wayang
sudah akrab  dengan masyarakat Jawa melalui radio dan televisi, tapi
masih banyak anak-anak  masa kini mayoritas masih  menyukai  
tokoh-tokoh hero impor – superman, batman, spiderman dan kartun
Jepang yang menjadi idola. Misalnya, Gatotkoco masih kalah dengan
mereka, belum jadi idola anak-anak Indonesia. Apakah kita terus menunggu
bangsa lain yang terus menggali kekayaan local genius nusantara?

 Oleh karena itu, penting diadakan pentas Wayang Lintang
Johar, pentas anak-anak  dalam ekspresi pertunjukan  wayang kulit  dan
wayang bocah di ruang-ruang publik kota Solo tiap bulan sekali minggu
kliwonan (Februari - Desember 2008). Di sini mereka langsung bersentuhan
dengan realitas publik kota untuk mengundang publik apakah mereka masih
setia menjadi masyarakat pendukung seni wayang yang bisa mendorong
lahirnya kreator-kreator wayang masa depan. Ataukah anak-anak  kreator
wayang ini akan memasuki jalan sunyi di masa depan?  Kata `lintang
johar' disini bermakna dari dalang bocah akan lahir dalang masa
depan yang membangun dan mencipta tradisi – kata mencipta dan
membangun tersebut mengkristal menjadi `melestarikan'.  Artinya,
mereka mampu berproses, berkreativitas, dan melestarikan wayang sesuai
dengan perubahan zamannya dengan bertumpu pada akar local genius-nya.
Dengan demikian mereka di masa depan akan mampu memasuki dialektik
kebudayaan yang memahami tanda-tanda perubahan zaman. Jadi dalam Wayang
Lintang Johar ini berharap 

[ac-i] Tontonan Hitam Putih Dewan Kesenian Kota Mojokerto

2008-08-10 Terurut Topik abdul malik


[ Jum'at, 08 Agustus 2008 ] 

Tontonan Hitam Putih DKM 

MOJOKERTO - Kain putih polos terbentang di atas
panggung, dua sorot lampu dari belakang kain memunculkan siluet hitam. Bayangan
hitam tersebut bergerak mengikuti irama musik dan narasi yang dibacakan. 
Terkadang
menunduk, berjinjit, jongkok. Memunculkan suasana mencekam, sunyi, ngelangut,
terkadam seram. Sepuluh menit kemudian lampu padam menutup repertoar tersebut.



Begitulah suasana di sekretariat Dewan Kesenian Kota Mojokerto (DKM), Jl. Gajah
Mada 149,  Selasa (5/8) dalam kegiatan bertajuk Sebuah Tontonan Hitam
Putih. Aktor yang memainkan pentas siluet tadi adalah Rony Younard.



Dalam diskusi seusai pentas Rony, kelahiran Mojokerto, 14 Juni 1977, mengatakan
bahwa gagasan dasar pentas yang diusungnya dari pentas siluet Ketika Senja Tiba
adalah gambaran kekinian dan bagaimana carut marutnya di negeri kita.
''Seringkali kita takut pada gelap dan malam. Negeri ini masih diliputi gelap
gulita. Kita tak dapat melihat terang jika kita berada di ruang terang. Kita
dapat menikmati terang justru ketika kita berada dalam gelap,'' katanya.



Selanjutnya, alumni SMEA Negeri 1 Sooko tersebut menambahkan ia ingin
menggambarkan nasib seorang anak manusia yang telanjur masuk dalam sistem dan
terjebak di dalamnya. ''Yang bisa dilakukannya adalah diam mengikuti sistem
tersebut. Apabila dia bergerak untuk keluar maka dia akan binasa, seperti yang
saya gambarkan  pada bagian akhir repertoar saya tersebut,'' katanya.



Tontonan kedua adalah pembacaan cerpen Apa Kabar, Malam? karya Indra Tranggono,
penulis cerpen asal Jogjakarta.
Mohamad Misbakh membacakan cerpen tersebut 15 menit. Tampil di panggung dengan
iringan petikan gitar dari Rony Younard dan bongo oleh Andrie Brengos. Setting
panggung minimalis.



Mbes, panggilan akrabnya, memang bukan nama baru bagi kancah dunia seni di
Mojokerto. Laki-laki kelahiran, Mojokerto, 6 Juli 1966 tersebut pernah baca
puisi selama 12 jam tanpa henti di panggung terbuka samping GOR Seni Majapahit
(sekarang menjadi Perpustakaan Umum Kota Mojokerto) dan pernah menjabat sebagai
ketua Teater Kaca Studio Fine Art Mojokerto.



Cerpen Apa Kabar, Malam? Menggambarkan tentang seorang perempuan yang mengalami
peristiwa tragis. Orang-orang yang dicintainya itu diambil paksa, ayahnya
diperam dalam drum berisi adonan semen dan batu hingga darahnya membeku.
Orang-orang yang dicintainya dirajam dengan timah panas dan ditikam dengan
bayonet berkilat. Harta bendanya dijarah. Saudara-saudaranya diperkosa bahkan
ketika belum pernah menstruasi.



Dalam sarasehan seusai pentas, Mbes menjelaskan bahwa pentas malam itu
merupakan pemanasan untuk persiapan  kegiatan Parade Teater Kota Mojokerto
yang akan diadakan akhir Agustus 2008. ''Selama seminggu akan diadakan pentas
teater. Tiap hari 2 kelompok. Tempatnya ya di Sekretariat DKM,'' katanya.



Kegiatan yang diadakan Biro Seni Drama DKM, malam itu dihadiri sekitar 50
penonton, selain pengurus DKM,  Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto (DKKM),
juga siswa-siswa SMAN 2 Kota Mojokerto, Cak Edi Karya pimpinan ludruk Karya
Budaya, komunitas sastra Pondok Kopi  Pacet, Lidhie Art Forum, Elita
Dimawan Sanggar Sangkra Laksita, Cak Jito Akar Mojo Pacet. (in/yr)

(Harian Radar Mojokerto)

Informasi:Mohamad Misbakh 081134 08311





  

[ac-i] Manunggaling Kawula Gusti - The History of Java - Babad Tanah Jawa

2008-08-10 Terurut Topik Ahmad Jalidu
AGUSTUSAN DENGAN BUKU-BUKU SUPER HUEBOHH!!
 
PARADE BUKU MERDEKA
MEDIA PRESSINDO GROUP dan GRAMEDIA
 

9 AGUSTUS 2008 | 14.00 WIB | TB. Gramedia Jl. Sudirman Jogja
MANUNGGALING KAWULA-GUSTI (K.H. M. Sholikhin)
Menghadirkan K.H. Muhammad Sholikhin (Penulis dan Peneliti Suifisme Islam Jawa)
 

9 AGUSTUS 2008 | 18.00 WIB | TB. Gramedia Jl. Sudirman Jogja
BABAD TANAH JAWI (W.L. Olthof)
THE HISTORY OF JAVA (Thomas Stamford Raffles)
Menghadirkan : Sugito HS. (Budayawan Jawa dan Kolumnis Harian Jogja)

 

K.H. Muhammad Sholikhin, Seorang ulama muda, Seorang pengelana, dan Seorang 
pengkaji sekaligus pelaku sufisme Jawa paling mutakhir... telah suntuk 
mendalami dan meneliti ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar
Ia telah menemukan berbagai fakta historis dan kesimpulan-kesimpulan inti 
tentang filsafat ketuhanan versi Syekh Siti Jenar yang selama ini kabur dan 
kontroversial...
 
MANUNGGALING KAWULA GUSTI... telah ia susun menjadi sebuah buku yang paling 
komprehensif menyodorkan fakta bahwa Manungaling Kawula Gusti adalah filsafat 
ketuhanan yang amat dalam, lengkap dan bisa dipertanggungjawabkan. Sholikhin 
membandingkannya dengan berbagai filsafat barat dan konsep tauhid para sufi 
Timur Tengah berabad-abad yang lalu.
 
Temui, K.H. Muhammad Sholikhin dan dapatkan berbagai keterangan beliau tentang 
isi buku ini di Toko GRAMEDIA Jl. Sudirman Jogja. Sabtu 9 Agustus 2008 jam 
14.00 WIB
Gratis
 
 
Sore harinya, 9 AGustus 2008 jam 18.00 WIB. SUGITO HS, seorang seniman dan 
budayawan jawa yang masih muda dan bersemangat, akan memperbincangkan kekayaan 
budaya Jawa sebagai bekal kemajuan Indonesia... ia akan membahas berbagai hal 
yang mengacu pada dua buku paling fonomenal tentang Jawa :
 

BABAD TANAH JAWI yang ditulis dalam masa kejayaan Kerajaan Surakarta dan 
ditulis ulang oleh W.L. Olthof serta diterbitkan di Belanda pada tahuan 1941, 
dan kini hadir ke tengah Anda dipersembahkan oleh penerbit NARASI Yogyakarta. 
Buku ini mengisahkan sejarah kerajaan Jawa sejak nabi Adam hingga keraton 
mataram pada tahun 1647.
 

THE HISTORY OF JAVA Karya besar sang administratus Inggris yang amat jatuh 
cinta pada pulau Jawa Sir Thomas Stamfod Raffles. Dia yang terkenal dengan 
menemukan bunga Bangkai di Sumatera dan pernah sesumbar bahwa dialah pemilik 
informasi tentang Jawa paling lengkap di dunia saat itu (1817) melalui 
penerbitan The History of Java di Eropa. Kini buku ini hadir berkat persembahan 
penerbit NARASI Yogyakarta. Dan SUGITO HS akan bersama-sama Anda 
memperbincangkan buku ini di GRAMEDIA Jl. SUDIRMAN Yogyakarta.
 
Sampai bertemu di sana
 
Didik Adi Sukmoko (Jali)
Promosi dan Eskternal Affair
Media Pressindo Group
08882855643


[ac-i] Tafsir Puisi Kebangsaan

2008-08-10 Terurut Topik anuv chaviddy



“TAFSIR PUISI
KEBANGSAAN” DALAM RANGKA “ AGUSTUSAN”  DI
PT.CATUR ELANG PERKASA ALIAS C PLUS

 

 

Dalam rangka “Agustusan” , Direktur Bisnis dan Pengembangan PT.Catur
Elang Perkasa atau yang lebih terkenal sebagai C+ , Sentot E.Baskoro akan
menyelenggarakan “Tafsir Puisi Kebangsaan” yakni sebuah acara baca puisi dan
ceramah budaya mengenai sinergi antara teknologi informasi dengan sastra-budaya
Indonesia,dengan pembaca puisi dan pemateri Drs.Viddy AD 
Daery,penyair,budayawan dan pengamat perkembangan
teknologi informasi ( IT ) , yang kini bekerja sebagai Staf Khusus Menkominfo
RI bidang analis media.Moderator dan pengantar diskusi adalah Bapak Sentot
sendiri yang memang juga pengamat budaya dan masalah sosial.

 

Acara yang diselenggarakan di
kantor C+ di bilangan Cilandak Timur,Jakarta Selatan tersebut diselenggarakan
pada hari Jum’at 15 Agustus 2008 sore , dan disamping berisi baca puisi dan
ceramah budaya juga diadakan dialog timbal-balik mengenai dunia sastra dan IT.
Memang, C+ merupakan perusahaan pemasok teknologi dan peralatan kantor yang
berkaitan dengan IT,misalnya computer, dan berbagai ragam peralatan IT yang
kini sudah sangat beragam jenisnya.

 

“Saya ingin staf dan karyawan
saya tidak hanya mengenal IT an sich, namun juga mempunyai wawasan budaya yang
amat penting di zaman millennium 21 ini, karena sekarang memang abad
“kebudayaan” sebagai tahap ke empat, setelah tahap 1 : zaman batu atau zaman
berburu dan meramu, tahap 2 : zaman pertanian , tahap 3 : zaman industri dan
tahap 4 : zaman informasi yang berarti materinya adalah kebudayaan. Nah, kita
bangsa Indonesia jangan sampai buta kebudayaan sehingga disergap kebudayaan
asing lalu kita gagap dan “mati rasa”.Saya percaya budayawan Viddy AD Daery
yang sudah melanglang daratan Asia Tenggara memberi masukan banyak bagi kami.”
Tegas Bapak Sentot E Baskoro.  
-* ( culturecare)