[ac-i] Komik Hadiah untuk Toilet Terbersih!

2010-04-13 Terurut Topik ahmadzeni
Hadiah untuk Toilet Terbersih! 
Tuesday, 13 April 2010  
Cover mobile comic KiBezo volume 11KiBezo berterima kasih kepada seluruh 
petugas kebersihan di toilet seluruh 
Indonesia. Tapi tidak untuk tolilet yang bayar, tapi gak dijaga 
kebersihannya! Cerita pengalaman unik KiBezo ke tolilet menghadirkan bintang 
tamunya kali ini adalah di Gareng, tokoh punakawan dari Tumaritis. Yang jelas 
si Gareng bakal dibikin histeris sama KiBezo. Semoga membuat 
tertawa pembaca, dan sedikit brigidikan oleh ulas KiBezo. Beberapa ide KiBezo 
yang akan datang diantaranya bakal ada TKI (tenaga Kerja Indonesia) yang 
menjadi superhero, aksi KiBezo di 17 Agustusan, dan KiBezo lawan Jurigpit... 
Sambil menunggu komik lainnya yang 
dikerjakan TnP studio (ahmadzeni  Diana 
Maya) download saja ke 11 cerita KiBezo lainnya melalui hape pengguna Indosat, 
Telkomsel, dan XL. Kalau mau 
melihat semua komik KiBezo, bisa mengakses katalognya 
secara gratis melalui hapemu, alamatnya ada di: 
http://wap.keren.mobi/komik/comiccatalog.php 
 ahmadzeni


Bersenang-senang dengan komik...
Di www.PragatComic.com
Info Prakarya  Cergam


  

[ac-i] Meringkus Waktu...!!!

2010-04-13 Terurut Topik Tujuh Bintang Art Space
Pers Release

Meringkus Waktu
Katirin Solo Exhibition

Tujuh Bintang Art Space
Jl Sukonandi 7 Yogyakarta
17 April - 2 Mei 2010
Kritik Seni oleh : Suwarno Wisetrotomo

Aktivitas sederhana tetapi berdimensi sosial dan sekaligus spiritual, salah 
satunya adalah menunggu. Wujud kerjanya sederhana tetapi bisa berdampak 
kompleks, seperti perasaan marah, jengkel, lelah, bahkan frustrasi. Namun  juga 
bisa berdampak positif seperti terbentuknya pribadi yang lebih matang, jiwa 
yang lebih kuat dan berkarakter, kesabaran yang lebih lapang, serta kesetiaan 
yang teruji. Kapan ia, menunggu itu, berdampak positif atau negatif, tentu 
sangat tergantung dari kualitas pribadi seseorang; apakah seseorang itu 
memiliki kemampuan mengelola emosi dengan baik, ataukah sebaliknya. 
 
Aktivitas menunggu terkait erat dengan urusan waktu. Waktu itu konsisten, tak 
pernah merasa kurang atau lebih. Perbedaan hanya karena persoalan posisi 
geografis. Namun tak mengubah apapun, kecuali sekadar perbedaan antara wilayah 
yang satu dengan yang lainnya, yang membuat terjadinya selisih waktu. Maka, 
menunggu seperti bermain dan dimainkan oleh waktu dengan segenap tegangan. 
Dalam kehidupan masa kini tegangan itu di wakili oleh kehadiran arloji yang 
menunjukkan perubahan jam, yang menandakan durasi. Mula-mula dihitung dengan 
detik, kemudian menit, kemudian jam, yang kait mengkait dengan hari, bulan, 
tahun, dan abad.

Dalam aktivitas menunggu, maka arloji yang (umumnya) dikenakan di pergelangan 
tangan menjadi sasaran ekspresi si penunggu; entah menerima makian, entah 
terus-menerus dipelototi dengan muram, sambil memelihara kegelisahan. Atau 
sebaliknya, menunggu bisa melatih kesabaran dan mengikat kesetiaan. Aktivitas 
menunggu berada dalam ruang permainan yang menegangkan semacam itu.

Dari Tubuh ke Waktu
Tubuh adalah jazad yang terbatas. Puncaknya adalah kehancuran fisik setelah 
kematian. Tak ada yang tersisa kecuali kenangan (atas nilai-nilai) terhadapnya. 
Kapan semua itu terjadi, adalah urusan Sang Khalik Yang Maha Kuasa. Siapapun 
hanya mampu mengenang. Kenangan akan berkejaran dengan ingatan yang juga 
terbatas. Namun waktu berperan mengabadikan peran dan nilai yang pernah 
diperbuat oleh tubuh. Lebih dari itu, diperlukan tindakan untuk mengabadikan 
ingatan tersebut. Maka digubahlah sejumlah monumen yang substansinya adalah 
sebagai peringatan, sebagai kenangan. Meskipun akhirnya digunakan pula sebagai 
pengukuhan dan penegasan atas peran-peran seseorang yang merasa atau dianggap 
paling berjasa atau paling penting.

Tubuh sebagai subject matter para perupa, bukanlah hal baru. Karya-karya yang 
tertera dalam kitab-kitab suci sudah mulai menghadirkan tubuh sebagai gambaran 
kenyataan, khususnya terkait nama dan peristiwa. Karya-karya era romantisisme, 
hingga era kontemporer seperti sekarang, tubuh tetap menjadi sumber penciptaan 
yang menggairahkan. Gagasan dan tendensi yang melatarbelakangi beragam gubahan 
itu juga berbeda-beda, terus bergerak, seiring dengan pergeseran zaman yang 
menggeser pula sikap dan pemaknaan terhadap tubuh.

Kini, tubuh-tubuh menghadapi kenyataan yang fana: bergulat dengan waktu dan 
perubahan, serta keberakhiran. Setiap peristiwa akan berakhir. Dan, setiap 
akhir merupakan permulaan yang tak pernah bisa diduga atas apa yang akan 
terjadi. Pergeseran Katirin dapat dimaknai dalam perspektif semacam itu; yakni 
dari penghayatan atas fisik yang fana, ke persoalan waktu yang baka (abadi). Ia 
mempersoalkan tubuh dengan cara mengobservasi tubuh dirinya, atau tubuh orang 
lain (yang memiliki hubungan emosi atau jarak yang intim), untuk mengenali dan 
memahami, untuk kepentingan menjelaskan perihal menunggu dan waktu.

Meringkus Waktu
Problema yang muncul dalam aktivitas menunggu adalah munculnya hasrat yang 
besar untuk  meringkus sang waktu; ingin mempercepat lajunya, atau (mungkin) 
ingin mempelambatnya. Ia, sang waktu, tak bisa ditipu, karena waktu tak pernah 
menipu. Waktu juga tak bisa disuap, agar memenuhi kehendak penggunanya. Waktu 
tetap setia, dan setia pula menjadi saksi atas semua yang terjadi. Kalaupun 
kita berhasil mempedaya laju jarum panjang dan pendeknya, dan jarum detiknya, 
atau bisa meremukkan tabung pasirnya, pada dasarnya yang berubah atau bahkan 
hancur hanyalah fisiknya. Tetapi esensinya (sang waktu) tetap tak bergeser 
sedetikpun. Bukankah dengan demikian justru kita yang akhirnya tertipu, atau 
dengan sangat bodoh kita sedang menipu dirinya sendiri? 

Pameran ini lebih menampakkan pergulatan kesenian seorang Katirin dalam 
menjelajah dan mengobservasi tubuh dalam ruang dan waktu. Menunggu hanyalah 
sepenggal peristiwa, dari rangkaian waktu yang sesungguhnya mengisyaratkan 
tentang kesementaraan tubuh. Upaya-upaya untuk meringkus waktu, sesungguhnya 
hanya akan mubazir. Kecuali jika upaya itu ditujukan untuk berpacu dengan 
memberinya makna. Tubuh sesungguhnya fana. Dan, nilai-nilai lah yang abadi.

more info :
www.tujuhbintang.com
blog.tujuhbintang.com




[ac-i] Penyair2 Malaysia keturunan JOWO-disedut dari BERITA HARIAN

2010-04-13 Terurut Topik Wajah Bercahaya
Jawa dominasi dialog bahasa
Oleh Amad Bahri 
MardiPertemuan di Tanjung Piai antara PPJ, Kemudi angkat martabat 
keturunan Jawa terbabit



DIALOG Bahasa dan Sastera Penulis Johor-Selangor di Tanjung Piai 
Resort, Pontian, baru-baru ini, mempamerkan kekuatan ukhuwah di antara 
kedua-dua persatuan penulis terbabit dengan pelbagai aspek Jawa yang 
menjadi sebahagian daripada bangsa Melayu diberi tumpuan.


function 
ebBannerFlash_0_7716986227283311_DoFSCommand(command,args){ebScriptWin0_7716986227283311.gEbBanners[0].displayUnit.handleFSCommand(command,args,ebBannerFlash_0_7716986227283311);}function
 ebIsFlashExtInterfaceExist(){return true;}








Seramai 70 penulis Johor (Persatuan Penulis Johor) dan Selangor (Kemudi)
 yang dipertemukan pada program terbabit saling memuji dan mengakui 
keturunan Jawa menjadi faktor penting untuk mereka meneruskan perjuangan
 dalam bidang penulisan di negara ini.



function ebStdBanner0_DoFSCommand(command,args){try{command = 
command.replace(/FSCommand:/ig,);if((command.toLowerCase()==ebinteraction) 
|| 
(command.toLowerCase()==ebclickthrough))gEbStdBanners[0].handleInteraction();}catch(e){}}function
 ebIsFlashExtInterfaceExist(){return true;}









Dipengerusikan oleh Ketua 1, Persatuan Penulis Johor (PPJ), Amiruddin 
Mohd Ali Hanafiah. Dua orang ahli panel daripada PPJ yang ditampilkan 
ialah, Ketua II, Mohd Khairy Halimy dan Setiausaha I, Rosli Bakir. 
Manakala di pihak Kemudi, mereka menampilkan Ketua II, Kemudi, Abu 
Hassan Ashari Abas dan penulis drama, Asmira Suhadis. 



Ketua II, Persatuan Penulis Johor (PPJ), Mohd Khairy Halimy, 
menggamatkan dialog ketika memulakan bicara mengenai budaya orang Jawa, 
Giring Putu: Salah Satu Adat Tradisional Masyarakat Jawa Yang Mengalami 
Kepupusan; Satu Pengamatan. 



“Giring Putu  ialah Perhimpunan Keluarga Besar yang secara tidak 
langsung menyerlahkan adat budaya, amalan turun temurun dan istilah yang
 berjaya memugar nostalgia dan semangat anak Jawa,” katanya yang pernah 
hadir dan menguruskan majlis terbabit.



Khalayak diberitahu bahawa putu bermaksud cucu dan ia merangkumi 
cicit dan seluruh keluarga terdekat dan pasti ada saudara mara yang 
bercerita mengenai jenis makanan dan hidangan, terdengarlah nama seperti
 getuk, nasi ambeng, rengginang, rempeyek, tempe dan tiwol. 






“Bagi kelompok anak muda yang jarang berjumpa, sesekali mereka 
bercerita mengenai aktiviti budaya orang Jawa dan persembahan seperti 
barongan, kemplingan, ketoprak dan kuda kepang, pasti tidak terlepas 
daripada dibincangkan,” katanya.



Selain itu, lazimnya pemilihan hari yang sesuai bagi mengadakan 
majlis terbabit akan pasti ‘terkeluar’ kiraan orang Jawa seperti Legi, 
Paeng, Poon, Wage dan Keliwon yang merujuk kepada lima hari yang 
mempunyai neton (nilai) tersendiri. 



Selesai Mohd Khairy mengolah adat budaya masyarakat Jawa yang 
semakin ditinggalkan dalam arus globalisasi, penulis drama, Asmira 
Suhadis yang juga ahli Persatuan Penulis dan Kebajikan Selangor 
(Kemudi), berkongsi kegembiraannya apabila skrip drama radionya dalam 
bahasa Jawa diterima untuk disiarkan oleh Radio dan Televisyen Malaysia 
(RTM).



“Saya bersetuju bahawa bahasa Jawa boleh jadi pengikat antara sesama
 penulis, termasuk kalangan ahli PPJ dan Kemudi,” katanya yang terharu 
dan gembira apabila melihat sebahagian besar rakan penulis pada 
pertemuan itu boleh bertutur dalam bahasa Jawa, walaupun ada yang kurang
 lancar. 



Dialog yang berlangsung dalam suasana santai pagi itu dan 
dipengerusikan oleh Ketua 1 PPJ, Amiruddin Mohd Ali Hanafiah, tidak 
hanya bertumpu kepada dua lagi panel; Setiausaha I PPJ, Rosli Bakir dan 
Ketua II Kemudi, Abu Hassan Ashari Abas, apabila seorang demi seorang 
Penulis Selangor Johor saling mengemukakan pandangan, mengimbas 
peristiwa, ingat mengingatkan dan tidak kurang ada yang membuat lawak 
sehingga ramai ketawa berdekah-dekah. 



Ahli Kemudi, Ismail Supandi, terus menyokong bahawa bahasa Jawa ada 
aura dan sejarah tersendiri sehingga hari ini, lalu orang Jawa mahupun 
bahasanya perlu menggegar dan digegarkan sehingga sudah ada beberapa 
perkataan suku itu dikomersialkan media seperti ‘banget’.



Beliau juga mengajak peserta Dialog Bahasa dan Sastera Penulis 
Johor-Selangor berbangga dan menyedari bahawa hidangan sarapan pagi yang
 popular orang Jawa, iaitu lempeng kini sudah ditiru Barat sehingga 
mereka mencipta ‘piza’. 



Ketika semua terhibur dengan jenaka dan usikan mesra Amiruddin, ahli
 Kemudi, Dr Ibrahim Ghafar; tiba-tiba tampil mengimbas peristiwa 1988 
yang membabitkan Dugong Si Tenang, sambil berharap masyarakat, pihak 
berkuasa dan pemimpin mengambil pengajaran.



“Pihak berkuasa mengarahkan Pak Atan melepaskan Si Tenang dan 
akhirnya ikan itu ditemui mati. Perlu diingat, selepas itu satu demi 
satu malapetaka menimpa negara membabitkan hubungan Malaysia-Singapura 
termasuk isu Tambak Laut,” ujarnya.



Dr Ibrahim turut berharap rakyat negara ini khususnya orang Johor 
agar merenung ‘Wasiat Tuanku’,